BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang saat ini dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, ditopang oleh tiga sektor penting, yakni pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Dalam konteks kesehatan terlihat beberapa indikasi bahwa perhatian terhadap masyarakat dalam pelayanan kesehatan ternyata masih jauh dari harapan masyarakat konsumennya. Menurut Balasubramanian seperti dikutip Kusminarno (2002) menyebutkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 2,5 milyar orang (hampir setengah penduduk dunia) tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang paling dasar. Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan jasa yang unik dimana masih terdapat karakteristik consumer ignorance sehingga dapat terjadi supply induce demand dalam jasa layanan kesehatan. Bagi konsumen pelayanan kesehatan yang paling mendasar pun haruslah menganut asas keadilan sosial dan pemerataan. Kejelasan produk pelayan kesehatan baik yang bersifat public goods maupun private goods hendaknya diatur dalam batas yang jelas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan sebagai regulator dalam sistem kesehatan. Kaidah equity egaliter dalam sistem kesehatan pun tampaknya masih merupakan harapan yang sangat sulit untuk diwujudkan (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001). Dalam konteks hubungan industrial kesehatan adanya supply jasa kesehatan dengan demand kesehatan dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen kesehatan merupakan suatu hubungan pasar. Berbeda dengan hubungan sektor
ekonomi lainnya, dalam pembelian jasa pelayanan kesehatan masyarakat sebagai konsumen kesehatan masih berada dalam posisi tawar yang lemah. Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu geografis dan ekonomis. Rendahnya aksesibilitas secara geografis disebabkan oleh jauhnya lokasi pengguna sarana pelayanan kesehatan (masyarakat) dengan sarana pelayanan kesehatan dan terbatasnya transportasi menuju sarana pelayanan kesehatan (puskesmas terdekat). Aksesibilitas secara ekonomis terkait dengan keterjangkauan dari sisi financial atau ketidakterjangkauan terhadap tarif sarana pelayanan kesehatan. Kondisi ketidakterjangkauan tarif sarana pelayanan kesehatan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor tingginya harga satuan sarana pelayanan kesehatan itu sendiri (Tim Pengajar Ekonomi Kesehatan, 2001). Melalui Sistem Kesehatan Nasional yang telah ditetapkan tahun 2004, Departemen Kesehatan telah mengatur hal pelayanan kesehatan tersebut dengan menetapkan sub sistem pembiayaan kesehatan. Sub sistem pembiayaan kesehatan yaitu suatu tatanan
yang menghimpun berbagai upaya
penggalian,
pengalokasian, dan pembelanjaaan sumberdaya keuangan secara terpadu
dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya (Depkes, 2004). Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah , yaitu hanya rata–rata 2,2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau rata–rata anatara USD 12-18 kapita/tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran WHO yang paling sedikit lima persen dari Produk Domestik Bruto per tahun. Di Indonesia, 30 persen pembiayaan kesehatan tersebut bersumber dari Pemerintah dan sisanya sebesar 70 persen bersumber dari masyarakat termasuk
swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif (Depkes, 2004). Tujuan Pemerintah dalam mengatur sub sistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan
dengan jumlah yang mencukupi,
teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya. Oleh sebab itu diperlukan penelitian mengenai suatu pola pembiayaan masyarakat guna mewujudkan pelayanan kesehatan secara merata dan menyeluruh. 1.2 Perumusan Masalah Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor kesehatan sampai saat ini belum begitu efektif. Dana Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif serta investasi, sedangkan besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat
masih
terbatas dan bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat
yang
memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni sekitar 20 persen penduduk. Metode pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh pembayaran tunai, sehingga mendorong
penyelenggaraan dan pemakaian
pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan. Demikian pula penerapan teknologi canggih dan perubahan pola penyakit sebagai
akibat
meningkatnya
UHH
(Umur
Harapan
Hidup) 5
akan
mendorong
meningkatnya biaya kesehatan yang tidak dapat dihindari. Sekitar 80% penduduk Indonesia masih belum terlindungi kesehatannya, sementara hanya kurang lebih 20 persen penduduk yang memiliki jaminan kesehatan melalui PT Askes, Jamsostek,
Dana Sehat dan lain sebagainya
(Wibisana, 2003). Telah banyak kajian mengenai pelbagai bentuk pemeliharaan kesehatan mancanegara menyadari bahwa pembayaran tunai langsung dari kantong konsumen atau pembayaran melalui pihak ketiga terhadap tagihan pemberi pelayanan kesehatan mendorong kenaikan pembiayaan kesehatan. Sebagai solusinya dirumuskanlah Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) yang merupakan upaya awal pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman terhadap akses dan mutu pelayanan kesehatan akibat kenaikan biaya kesehatan. Pada hakekatnya JAMKESDA merupakan sistem pemeliharaan kesehatan yang memadukan penataan sub sistem pelayanan kesehatan dengan sub sistem pembiayaan kesehatan. Berbagai upaya pun telah ditempuh Pemerintah guna mengembangkan suatu sistem pembiayaan kesehatan pra bayar yang menjamin seluruh masyarakat akan tingginya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. Program JAMKESDA yang telah dicetuskan sejak sebelum reformasi masih berjalan tersendat-sendat. Segera setelah era reformasi terjadi berbagai upaya pun telah ditempuh mulai dari Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPSBBM-BK) sampai pada saat sekarang Jaminan Kesehatan Masyarakat 5
Umur Harapan Hidup Nasional meningkat dari 65 Tahun menjadi 70 Tahun (www.indonesiaindonesia.com, diakses tanggal 4 Februari 2009)
(JAMKESMAS) untuk masyarakat miskin. Metoda dan sistemnya pun sangat bervariasi mulai dari pembiayaan diserahkan kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) sampai pada saat ini dikelola oleh PT Askes. Jumlah penduduk miskin di Kota Sukabumi tahun 2005 menurut hasil pendataan Badan Pusat Statistik sebanyak 48,732 jiwa, angka tersebut sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota Sukabumi Nomor 235 tahun 2005 tentang Penetapan Jumlah Masyarakat Sasaran Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askes Gakin) di Kota Sukabumi. Pendataan sasaran program Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dilakukan oleh Puskesmas yang bekerjasama dengan pihak kader, Petugas Lapang Keluarga Berencana (PLKB) dan Kelurahan. Keluarga miskin (GAKIN) terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Puyuh sebesar 31.86 persen, dan terkecil di Kecamatan Baros sebesar 12.24 persen (Tabel 1). Akan tetapi bila perbandingan antara penduduk miskin dan jumlah penduduk seluruhnya maka yang terbesar ada pada Kecamatan Gunung Puyuh (30.50 persen). Disisi lain jumlah masyarakat yang sudah mengikuti Jaminan Pemeliharaan Kesehatan diluar Askes Gakin adalah sebagai berikut : Askes sosial berjumlah 39,403 jiwa, Jamsostek 1,010 jiwa dan Askes Komersial berjumlah 20 jiwa. Berdasarkan fenomena pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat sekelompok masyarakat yang tidak termasuk masyarakat miskin, juga tidak termasuk dalam masyarakat golongan kaya dan mereka bukan PNS yang memiliki Asuransi Kesehatan dari PT Askes juga bukan pegawai sektor formal yang memiliki Jamsostek. Sekelompok masyarakat tersebut belum memiliki kejelasan tentang sistem perlindungan jaminan kesehatan.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Kota Sukabumi Tahun 2005 No 1
Kecamatan BAROS
KK Miskin
Jumlah Penduduk
KK
Penduduk
Miskin
Proposi (%)
Seluruhnya
Seluruhnya
Gakin
752
3009
6140
28152
12,24
10,68
Penkin
2
CITAMIANG
1713
6855
10535
44358
16,26
15,45
3
WARUDOYONG
1850
7402
11819
48876
15,65
15,14
4
GUNUNG PUYUH
2800
11203
8323
36725
24,99
30,50
5
CIKOLE
1593
6374
4999
52162
31,86
12,21
6
LEMBUR SITU
1488
5955
8029
29027
18,53
20,51
7
CIBEUREUM
1983 12179
7934 48732
6992 56837
26116 265416
28,36
30,37
TOTAL
Sumber: Bappeda Kota Sukabumi 2005 Dengan telah dicakupnya masyarakat miskin oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) yang manajemen kepesertaannya dikelola oleh PT Askes, dan dengan telah tercakupnya juga masyarakat dari kelompok PNS dan pegawai sektor formal oleh PT Askes dan Jamsostek, maka masih terdapat sekelompok masyarakat pada segmen menengah dan atas di
luar PNS dan
pegawai sektor formal yang belum tercakup oleh asuransi kesehatan sebagai jaminan pemeliharaan kesehatannya. Berdasarkan kondisi di atas yang menjadi pokok permasalahan yaitu “Bagaimana Pola Pembiayaan Kesehatan bagi Masyarakat yang Belum Memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dalam Mewujudkan Cakupan Menyeluruh (Universal coverage) Asuransi Kesehatan di Kota Sukabumi”. Adapun permasalahan spesifik dari masalah pokok di atas adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana Pola Pembiayaan Kesehatan pada kelompok yang belum memiliki jaminan Pemeliharaan kesehatan di Kota Sukabumi pada tahun 2005?
2.
Berapakah premi yang harus dibayar oleh kelompok masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan bila mereka bersedia mengikuti asuransi?
3.
Bagaimana strategi dan program pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum kajian adalah merumuskan pola pembiayaan kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan dalam mewujudkan cakupan menyeluruh asurasi kesehatan di Kota Sukabumi. Untuk memenuhi tujuan umum tersebut, maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah : 1. Mengidentifikasi pola pembiayaan kesehatan pada kelompok yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan di Kota Sukabumi Tahun 2005 2. Menganalisis besaran premi bagi kelompok masyarakat yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan. 3. Merekomendasikan strategi pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi kesehatan. Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Agar Pemerintah Daerah mengetahui bagaimana pola pembiayaan kesehatan bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang melakukan penelitian mengenai sistem pembiayaan kesehatan melalui penerapan sistem asuransi kesehatan dengan cakupan menyeluruh. 3. Menciptakan model jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk mewujudkan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat Kota Sukabumi.