BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Proses pendidikan, tentunya pembelajaran merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan darinya. Belajar dan pembelajaran memang tidak dapat disamakan, namun keduanya memiliki dimensi yang sama. Bila dalam pembelajaran, sang pengajar mencoba untuk melakukan transformasi pengetahuan (kognisi) kepada siswa (receiver). Sedangkan dalam belajar sang pembelajar melakukan eksplorasi pengetahuan secara mandiri. Belajar yaitu perubahan murid dalam bidang material, formal serta fungsional pada umumnya dan bidang intelektual pada khususnya. Jadi belajar merupakan hal yang pokok. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan harus merupakan akhir dari pada periode yang cukup panjang. Berapa lama waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaklah merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari- hari, berminggu-minggu, berbulan- bulan atau bertahun- tahun. Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata, proses itu terjadi pada diri seseorang yang sedang mengalami belajar. Jadi yang dimaksud dengan belajar bukan tingkah laku yang nampak, tetapi proses terjadi secara internal di dalam diri indvidu dalam mengusahakan memperoleh hubungan- hubungan baru.
1
Belajar merupakan aktivitas atau usaha perubahan tingkah laku yang terjadi pada dirinya atau diri individu. Perubahan tingkah laku tersebut merupakan pengalamanpengalaman baru. Dengan belajar individu mendapatkan pengalaman- pengalaman baru. Perubahan dalam kepribadian yang menyatakan sebagai suatu pola baru dan pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian baru dengan jalan mengalami atau latihan. Siswa memerlukan layanan pendidikan yang layak, termasuk juga anak yang berkebutuhan khusus (ABK) dengan segala keterbatasan kemampuannya baik dari segi fisik, mental, intelektual, sosial dan sebagainya. Oleh karena itu Pemerintah memberikan perhatian yang semakin besar terhadap layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa : Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemerintahan pun menyediakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan atau kelainannya (UndangUndang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat 2)
Sekolah merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan yang bersifat formal sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar ini melibatkan dua pihak yang paling penting, yaitu guru sebagai tenaga pengajar dan siswa sebagai pelajar. Kedua pihak ini harus dapat berinteraksi secara positif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
2
Terdapat banyak hal penunjang diantara kedua belah pihak tersebut dalam kegiatan dalam belajar mengajar. Salah satunya yang paling penting adalah motivasi siswa untuk belajar. Motivasi belajar merupakan hal yang mendorong siswa untuk dapat mengikuti kegiatan dalam belajar mengajar. Seperti dikemukakan: ”Tidaklah disebut belajar tanpa ada perubahan, tidak ada perubahan tanpa aktivitas, dan tidak ada aktivitas tanpa ada motivasi” (Sukmara, 2003:47). Berdasarkan pernyataan tersebut, motivasi memegang peranan yang mendasar guna terciptanya aktivitas yang pada akhirnya terjadi perubahan yang merupakan tujuan dari pembelajaran. Motivasi dapat bersifat intrinsik, yaitu berasal dari dalam diri siswa dan dapat pula bersifat ekstrinsik, yaitu berasal dari luar diri siswa, misalnya suasana belajar yang kondusif, menantang, dan menarik serta cara guru menyampaikan materi pelajaran yang menyenangkan. Dalam hal inilah, peran guru sangat dibutuhkan oleh siswa. Guru dituntut mampu melakukan tindakan-tindakan positif sebagai usaha untuk dapat merangsang timbulnya motivasi agar siswa dapat melakukan aktivitas belajar dengan baik. Guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif dari menarik bagi siswa sehingga mereka tertantang untuk melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Kerja sama yang baik seperti itu,akan berdampak positif dalam mencapai hasil belajar yang optimal.Pada umumnya masyarakat penyandang masalah sosial tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam masyarakat, misalnya saja penyandang tunanetra. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki mereka harus menggunakan suatu cara untuk dapat membaca.
3
Buku merupakan gudang ilmu, tidak terkecuali bagi tunanetra dan karena keterbatasan visualnya maka tunanetra tidak biasa menggunakan buku dengan tuliasan huruf biasa untuk orang awas pada umumnya. Akhirnya pemerintah menetapkan huruf braille sebagai huruf resmi yang bisa dipergunakan untuk anak tunanetra. Ditetapkannya huruf Braille sebagai huruf resmi yang bisa dipergunakan oleh tunanetra diharapkan dapat lebih membantu mengurangi masalah yang sering timbul pada orang yang memiliki kekurangan pengindraan dalam hal ini cacat netra. Untuk mempelajari metode tersebut tentunya diperlukan adanya suatu sistem belajar mengajar yang baik dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu. Proses transformasi tersebut tentunya berlangsung antara pengajar yang memiliki kemampuan dalam sistem pengajaran. Di dalam pengajaran huruf Braille ada program-program tertentu yang dikhususkan untuk para tunanetra yang memang belum pernah sekolah dan yang belum paham sama sekali mengenai baca dan menulis Braille. Hal menarik di sini adalah bagaimana belajar mengajar tersebut berlangsung dan dengan menggunakan metode seperti apa dan menggunakan teknik perabaan serta berbagai hambatan atau kesuliatan dari pengajar. Apa yang menjadi tujuan akhir dari semua program itu, sehingga nantinya bisa diterima dan berguna bagi perkembangan dan pemberdayaan para penyandang cacat netra di lingkungan sosialnya. Di sini pengajar atau pendidik memiliki kedudukan yang sangat penting terutama sebagai supportive activity atau pementor. Pada awal pembelajaran Braille
4
terhadap penyandang tunanetra, harus adanya pendekatan yang dapat merangsang indera mereka. Penerapan ini hendaknya dapat dilaksanakan secara perlahan tapi harus bersifat rutin agar tingkat kepahamannya dapat tercapai. Dalam pengajaran huruf braille ini para tunanetra dituntut untuk rajin dalam melatih sensitivitas perabaannya, karena indra perabaan merupakan alat pembacaan huruf-huruf braille tersebut sehingga pemaknaan terjadi didalam proses belajar. Teknik perabaan ini dituntut kerajinan para tunanetra untuk lebih melatih sensitivitas tangannya, karena didalam proses pengajaran ini ada yang lamban dan ada juga yang cepat, tergantung konsentrasi para tunanetra tersebut. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan bahwa: Pengajar harus seseorang yang berkepribadian baik dan harus diteladani sehingga nantinya dapat memanusiakan manusia, untuk itu pengajar juga harus melakukan kegiatan bimbingan, yaitu menuntun anak didik dan memberikan lingkungan yang sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan yang dicita-citakan (Sardiman, 1992:158). Adapun beberapa tahap awal pengenalan huruf braille yang harus dilakukan oleh pengajar adalah : 1
Pengenalan alat tulis braille, yaitu regglate, paku tulis dan penghapus. Para pengajar mengajarkan bagaimana cara penggunaaan alat-alat tulis tersebut.
2
Mengajarkan bagaimana cara memasang kertas kedalam alat tulis, agar bisa ditulis dengan huruf braille.
5
3
Para pengajar mengajarkan posisi titik-titik huruf braille yang terdiri dari 6 titik.
4
Pengajar mengenalkan huruf braille dari A sampai Z dan juga tandatanda baca yang wajib diketahui.
Huruf Braille merupakan suatu pesan yang harus dapat dimengerti dan dipahami oleh para tunanetra. Di sini pesan harus disampaikan dan dikembangkan berdasarkan struktur, isi, dan juga perlakuan yang diterapkan untuk tunanetra, dan juga dapat disesuaikan dengan kemampuan mereka. Instruksi (pelajaran) di sini para tunanetra harus dituntun secara individual atau kerjasama secara berkelompok. Para pengajar harus memberikan instruksi secara jelas, dan pada saat kegiatan belajar mereka harus di tunggu dan diperhatikan sedetil mungkin untuk menghindari kesalahan mereka dalam memasang dan menggunakan alat tulis, kesalahan mereka terhadap posisi titik-titik braille, dan kesalahan mereka dalam pengenalan huruf. Umumnya pembelajaran Braille erat hubungannya dengan anak tunanetra, baik yang buta maupun yang kurang lihat. Dalam pendidikan untuk anak-anak tunanetra, baik yang diselenggarakan di SLB bagian A maupun melalaui program pendidikan terpadu, para guru berkewajiban untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik mereka . untuk mendapatkan pengalaman yang beraneka ragam, termasuk didalamnya pembelajaran Braille.
6
Masalah umum yang dimiliki tunetra dalam hal Braille sangatlah tampak dari ketidakbisaanya anak tunanetra low vision terhadap Braille, dan dari banyaknya teknologi sehingga dalam pembelajarn jarang menggunakan tulisan Braille, namun dalam hal anak tunanetra Braille merupakan hal yang pokok untuk dipahami dan digunakan dalam setiap pembelajaran. Ada anak tunanetra kelas 1 SD masih belum mampu dalam menggunakaan Braille, jadi dalam setiap pembelajarannya anak tidak mengenal yang namanya menulis karena menurut gurunya pembelajaran menulis Braille dasar sudah harus menguasai karena sudah diajarkan pada kelas persiapan, dalam hal ini guru tidak memberikan solusi untuk penggunaan Braillenya tapi mengfokuskan pada pembelajaran dikelas sebagai pengampaian materi dengan mengenyampingkan kratifitas anak yang bisa dilalui dengan menulis. Kondisi seperti inilah yang peneliti temukan di lapangan pada diri seorang anak tunanetra yang bersekolah di SLB Muhamadiyah Banjarsari Ciamis. Anak hanya mampu mendengar pelajaran tanpa mampu mencatat dengan tepat. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat Braille merupaka sarana pembelajaran yang pokok bagi anak tunanetra, Dalam hal demikian, diperlukan suatu kreativitas khususnya bagi guru dan orang tua untuk menciptakan suasana yang menarik dalam pembelajaran bahasa yang diawali dengan menggunakan kata-kata ujaran. Dari aspek pembelajaran braille khususnya pada anak tunanetra yang mempunyai hambatan dalam berbicara, guru tengah menggunakan segala upaya dalam memberikan layanan untuk melatih berbahasa anak dengan berbicara mengucapkan kata-kata ujaran tersebut.
7
B.
FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian yang jelas tentang permasalahan yang akan diteliti serta tidak meluas dan lebih terfokus pada inti permasalahan, maka penulis perlu memfokuskan masalah penelitiannya. Adapun fokus dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pembelajaran Braille di SLB Muhammadiyah Banjarsari Ciamis”. C.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang serta fokus masalah yang telah dikemukanan di atas, maka penulis menagjukan pertanyaan sebagai berikut: 1
Bagaimana guru menyusun rencana dalam pembelajaran Braille di SLB Muhammadiyah Banjarsari?
2
Bagaimana proses pembelajaran Braille di SLB Muhammadiyah Banjarsari Ciamis?
3
Kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dan anak tunanetra dalam proses pembelajaran Braille tersebut?
4
Upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pembelajaran Braille di SLB Muhammadiyah Banjarsari?
D.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1
Utuk mengetahui cara guru menyusun rencana dalam pembelajaran Braille untuk anak tunanetra di SLB Muhammadiyah Banjarsari.
8
2
Untuk mengetahui proses pembelajaran Braille untuk anak tunanetra di SLB Muhammadiyah Banjarsari.
3
Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh guru dan anak tunanetra dalam mengikuti pembelajaran
Braille di
SLB
Muhammadiyah
Banjarsari. 4
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pembelajaran Braille di SLB Muhammadiyah Banjarsari.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, seperti diantaranya : 1.
Manfaat Ilmiah
Dengan mengetahui berbagai masalah pembelajaran bahasa ujaran pada anak autistik, maka dapat ditarik suatu kesimpulan akhir. Dari kesimpulan akhir tersebut dapat dibuat suatu teori atau rumusan konsep, sebagai alternatif pemecahan masalah dari berbagai masalah pembelajaran. 2.
Manfaat Praktis
Dengan mengacu pada alternatif pemecahan masalah yang dihasilkan dari penelitian ini, diharapkan berbagai masalah pembelajaran Braille pada anak tunanetra dapat di atasi atau setidaknya dikurangi. Alternatif pemecahan masalah yang dihasilkan dari penelitian ini juga bisa menjadi bahan rekomendasi bagi berbagai pihak yang terkait, sehingga layanan bagi yang diberikan oleh berbagai pihak terkait dapat lebih optimal.
9
E.
PENJELASAN ISTILAH
1.
Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan makhluk hadup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu , berubah tingkah laku atau tanggapa yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI, 1996: 14). Sependapat dengan pernyataan tersebut, Sutomo (1993: 68) mengemukakan bahwa :
“Pembelajaran adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang yang dengan sengaja dilakukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Sedangkan belajar adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan tingkah laku yang bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisik, tetapi perubahan dalam kebiasaan, kecakapan, bertambah, berkembang daya pikir, sikap dan lain-lain ( Soetomo,1993: 120)” . Pasal I Undang- undang No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Jadi pembelajaran adalah proses yang disengaja yang menyebabkan siswa belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi tertentu. 2.
Braille
Kamus Umum Bahasa Indonesia, braille adalah sistem tulisan dan catatan untuk orang buta dan berupa kode. (Yandianto, 2002:604). Huruf braille pada awalnya merupakan tulisan latin yang dicetak timbul (relief), kemudian berubah menjadi tulisan titik-titik timbul yang dapat dibaca dengan jalan meraba. Sekarang
10
sistem braille ini menjadi 6 titik saja.
Pada saat ini sistem tulisan braille
dipergunakan secara luas dan umum sebagai tulisan resmi orang tunanetra. Pada tanggal 4 Januari 1809 disebuah desa Coupvray + 40 km dari kota Paris lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Louis Braille. Anak laki-laki yang lincah ini pada umur 3 tahun menjadi tunanetra disebabkan sebelah matanya tertusuk pisau yang mengakibatkan kedua matanya menjadi rusak kerena terkena infeksi. Kejadian itu sudah tentu dirasakan oleh Louis Braille dan kedua orang tuanya sebagai suatu kemalangan yang sangat besar. Pada hakekatnya kejadian itu merupakan suatu yang mengahantarkan Louis Braille kepada kemashuran sebagai pahlawan kemanusiaan yang abadi sepanjang zaman. Tahun 1819 yaitu ketika berumur 10 tahun, Louis Braille mulai bersekolah pada L’eccle des Yeunes Avangles di Kota Paris, suatu sekolah tunanetra pertama yang didirikan oleh Valentine Hauy pada tahun 1784.
Disekolah Louis Braille
memperlihatkan bakat serta kemauan yang keras, sehingga ia tergolong anak yang pandai. Sesungguhnya sebagai akibat ketunanetraannya itu Louis Braille tergolong anak yang berfisik lemah dan sakit-sakitan. Setelah menamatkan pelajarannya Louis Braille bekerja pada sekolah tersebut selaku pembantu guru (repertitor). Pada waktu itu tulisan yang dipergunakan adalah tulisan latin yang dicetak timbul (relief). Sezaman dengan Louis Braille, seoarng opsir Tentara Berkuda Perancis bernama Charles Barbier menciptakan tulisan titik-titik timbul yang dapat dibaca dengan jalan meraba. Sistem tulisan Charles Berbier itu terdiri dari 12 buah titik dan
11
diciptakan untuk keperluan militer. Dengan perantaraan temannya Louise Braille berkenalan dengan tulisan titik-titik dari Barbier itu. Louise Braille sangat tertarik akan penemuan Barbier itu dan segera ia berkesimpulan bahwa sistem titik-titik timbul lebih baik bagi perabaan dari pada relieif latin. Louise Braille menyusun kembali sistem titik-titik ini menjadi 6 titik saja, yang kemudian dikenal sebagai sebagai tulisan braille. Ia ciptakan sistem tulisannya itu untuk keperluan bahasa, berhitung dan musik. Juga diciptakannya alat tulisnya yang diberi nama reglette. Pada tahun 1836 lengkaplah sistem tulisan braille itu dan sejak itu perjuangan Louis Braille diarahkan keluar, yaitu agar sistem tulisan braille dipergunakan secara luas dan umum sebagai tulisan resmi orang-orang tunanetra. (Pedoman Menulis Huruf Braille, SERI: II/A-BUKU 1) 3. Tunanetra Batasan tunanetra banyak dirumuskan oleh beberapa pakar, dan penekanan ndari rumusan yang ada tergantung dari sudut pandang, misalnya batasan tunanetra dari sudut pandang medis, dikemukakan oleh Connor (1975 : 240), sebagai berikut : A person shall be considered blind whose central visual acuity does not exceed 20/200, in the better eye with correcting lenses or whose visual acuity,if better than 20/200 has a limit in the central field of vision to such a degree that its widest diameter subtends an angle of no greater than twenty degrees. Rumusan di atas menunjukan bahwa seseorang dikatakan tunanetra apabila ketajaman penglihatannya tidak lebih dari 20/200 meskipun dengan kacamata pembesar, atau kalaupun ketajamannya diatas 20/200 tetapi bidang penglihatannya
12
tidak melebihi sudut pandang sebesar 20 derajat. Singkatnya, batasan tunanetra dari kacamata medis mempersyaratkan pada dua pertimbangan berikut: 1. Ketajaman penglihatannya tidak lebih dari 20/200 feet atau 6/60 meter. 2. Bidang penglihatannya tidak lebih luas dari sudut 20 derajat, meskipun memiliki ketajaman penglihatan yang normal atau diatas 20/200 feet atau 6/60 meter. Batasan tunanetra dari kacamata pendidikan, lebih memfokuskan pada urgensi fungsi penglihatan terhadap proses pendidikan dalam setting pendidikan untuk anak melihat. Misalnya Barraga (1983: 25), merumuskan pengertian tunanetra sebagai berikut : A visually handicapped child as one whose visual infairment interferes with his optimal learning and achievement, unless adaptations are made in the methods of presenting learning experiences, the nature of the materials used, and/or in the learning environment. Menunjuk peda batasan tunanetra yang dikemukakan oleh Barraga di atas, seseorang dikatakan tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan fungsi penglihatan untuk mengikuti belajar dan mencapai prestasi secara maksimal, tidak dapat menyesuaikan dengan metode, materi pelajaran, dan lingkungan belajar yang umumnya digunakan oleh orang melihat. Tentunya batasan tersebut tidak bersifat fatalistic, melainkan menegaskan adanya beberapa keterbatasan yang dimiliki tunanetra sebagai akibat dari ketidak berfungsian indra penglihatan, kecuali dilakukan penyesuaian
atau
desain
pembelajaran
yang
akomodatif
terhadap
kondisi
ketunanetraan.
13
Selain rumusan di atas Kirk (1986) yang dikutif oleh Amin dan Yusuf (1990:14), merumuskan batasan tunanetra sebagai berikut: Seorang anak yang cacat penglihatannya adalah yang cacat penglihatannya mengganggu prestasi belajarnya secara optimal kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode pembelajaran, penyajian pengalaman belajar, sifatsifat bahan yang digunakan dan atau lingjungan belajar. Kedua batasan tersebut terdapat hal yang sangat esensial dalam memahami tunanetra dari perspektif pendidikan, yakni penting adanya desain pembelajaran dengan m,engakomodasi kondisi dari ketunanetraan. Kondisi ketunanetraan tidak hanya melihat sisi handicapped nya saja ( keterbatasan ), tetapi melihat pada sisi lainnya, yakni potensi atau kemungkinan apa yang dapat dikembangkan pada diri tunanetra melalui pendidikan dan atau intervensi lingkungan sosialnya. F. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang berupaya memecahkan masalah atau menjawab berbagai pertanyaan dari masalah yang sedang dihadapi tersebut pada masa sekarang. Seorang ahli mengatakan bahwa: “Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial dari perspektif para partisipan melalui pelibatan ke dalam kehidupan aktor-aktor yang terlibat” (Musthafa dalam Alwasilah, 2002:27). Menurut ahli lain dikatakan: Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. (Moleong, 2006:6).
14
1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di penelitian ini dilakukan di SLB Muhammadiyah Banjarsari. Yang berada di Desa Banjarsari Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis 2. Informan Informan adalah pihak-pihak yang bersedia memberikan informasi-informasi berisi keterangan dan data penting yang dibutuhkan dalam penelitian ini kepada peneliti. Informan disini adalah siswa tunanetra dan guru kelas satu di
SLB
Muhamadiyah Banjarsari– Ciamis. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik pengumpulan data primer dan tekhnik pengumpulan data sekunder yang meliputi : a. Wawancara Wawancara dilakukan dengan guru dan siswa, guru wali kelas dari anak tunanetra tersebut, dan kepala sekolah SLB Muhamadiyah Banajarsari – Ciamis sebagai informan dalam penelitian b. Observasi langsung Observasi langsung dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran keadaan pembelajaran Braille untuk anak tunanetra di SLB Muhammadiyah Banjarsari. Pengamatan dilakukan di lakukan di sekola SLB Muhammadiyah Banjarsari.
15
4. Tekhnik Analisis Data Menurut pendapat ahli dikemukakan bahwa: “Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian besar” (Patton dalam Moleong, 1993:103). Adapun teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Reduksi data, yaitu dengan menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi. b. Penyajian data, berupa sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, berbentuk teks naratif c. Menarik kesimpulan dan verifikasi. 5. Tekhnik Pemeriksaan Keabsahan Data Pemeriksaan keabsahan data digunakan untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepercayaan atau kredibilitas dari data yang diperoleh. a. Ketekunan Pengamatan. Seorang ahli menjelaskan bahwa: “Ketekunan Pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain melalui ketekunan pengamatan akan memunculkan kedalaman data yang diperoleh” (Moleong, 1993:175).
16
b. Triangulasi. Dijelaskan bahwa: “Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu” (Moleong, 1993:178). c. Pengecekan Sejawat Melalui Diskusi. Dijelaskan pula bahwa: “Pengecekan sejawat melalui diskusi merupakan teknik yang dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat” (Moleong, 1993:179).
17