BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ekonomi liberal atau biasa disebut dengan kapitalisme telah menjadi arus utama bagi pijakan ekonomi di seluruh dunia. Sejak kelahirannya di sekitar pertengahan abad 18, kapitalisme telah berkali-kali jatuh dalam krisis ekonomi. Feneomena ini muncul secara siklikal atau seakan telahe menjadi siklus teratur dari perkembangan kapitalisme. Peristiwa paling mutakhir adalah krisis ekonomi global yang terjadi sekitar pertengahan tahun 2007 lalu mencapai titik kulminasinya sepanjang 2008. Krisis kali ini sedikit berbeda dari krisis yang lahir pada periode-periode sebelumnya. Gelombang finansialisasi dianggap sebagai akar penyebab dari kebangkrutan sejumlah perusahaan raksasa dunia dari AS, contoh paling terkemuka ialah Lehman Brothers. Kolapsnya ekonomi AS diyakini bersumber dari masalah pembayaran subprime mortgage atau kredit perumahan murah bagi rakyat AS. Konsep kredit ini secara umum diartikan sebagai kredit dengan resiko tinggi yang khususnya ditujukan bagi kelompok rakyat miskin. Menguatnya bisnis perumahan AS sejak awal tahun 2000-an mendorong pertumbuhan investasi besar ke sektor tersebut. Dengan trend harga dan profit yang tampak begitu menjanjikan, kredit perumahan menjangkau ke seluruh lapisan
1
ekonomi rakyat termasuk golongan mengah –kebawah. Subprime mortgage kemudian dijadikan strategi investasi baru. Pada saat bersamaan, sektor finansial muncul sebagai poros baru ekonomi AS. Meski kapitalisme finansial telah mengemuka di AS sejak lama, justru dekade k2000-an menjadi titik kulminasi dari perkembangannya. Beragam inovasi instrumen finansial ditemukan, umunya dalam bentuk instrumen derivatif, dan menjadi sumber absorpsi profit dalam skala masif. Kredit konsumsi, saham, asuransi, pasar mata uang, atau penjualan surat hutang muncul sebagai komoditas paling bernilai dan menjadi penggerak utama kapitalisme AS di awal abad 21. Sejumlah bank investasi, lembaga hedging fund, atau perusahaan di bidang finansial adalah kelompok yang paling diuntungkan dari finasialisasi ekonomi AS. Bahkan bank-bank komersil atau perusahaan non-finansial terlibat dalam arus besar ini. Namun begitu, sejarah terulang. Kerapuhan sektor finansial kembali terbukti. Berselang 7 tahun dari krisis dotcom1 di awal tahun 2000, krisis finansial menerjang AS dengan skala jauh lebih besar. Krisis financial yang berpusat di AS ini menyebar dampak yang sangat parah dan luas. Sejumlah lembaga investasi, bank, dan perusahaan di AS dipukul oleh ancaman kebangkrutan dan penurunan tingkat laba yang sangat signifikan. Produk sektor manufaktur, misalnya, menurun tajam di AS, Eropa, Jepang, dan Cina. Tiga produsen otomotif di Detroit, terancam merugi
1
Krisis dotcom adalah salah satu gejolak financial dengan imbas cukup besar terutama terhadap sector financial AS. Terjadi di awal 2000.untuk lebih detail lihat, World’scom Bankruptcy Mess, diakses dari http://www.economist.com/node/1246194?Fsrc=scn/fb/wl/pe/ar/worldcom
2
sebesar $28.6 milyar pada paruh pertama 2008, yang jika tidak ditangani secepatnya akan segera bangkrut. Inilah krisis ekonomi terparah setelah depresi ekonomi global pada tahun 1930-an. Krisis meledak dan terus membebani tingkat kesejahteraan rakyat amerika serikat dan roda bisnis maupun investasi. Finansialisasi merupakan komponen paling dominan yang meletakkan sumber krisis. Hutang-hutang tak terbayar, kredit macet, nilai transaksi penjualan dan pembelian saham merosost drastis, hingga meningkatnya jumlah pengangguran adalah beberapa contoh dari sederet persoalan yang menyerang ekonomi amerika serikat. Sejumlah analisa dibuat untuk menjelaskan substansi persoalan terutama pada aspek sebab dan akibat krisis bagi ekonomi dunia. Sebagian besar penjelasan krisis ini bertumpu pada kesalahan aktor/subjek ekonomi baik pada level individu, berupa laju spekulasi di pasar finansial yang tak terkontrol, maupun institusi, pada kesalahan kebijakan ekonomi sebelum krisis. Lebih lanjut, Sektor financial dilihat seolah-olah terpisah dari keseluruhan system ekonomi produktif (produksi barang dan jasa). Sehingga kemacetan atau keruntuhan sektor finansial terisolasi dari dinamika ekonomi produktif. Berangkat dari hal ini, penulis hendak mendorong penelitian yang menganalisa krisis financial dari sudut pandang dinamika sektor ekonomi riil. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan problem krisis secara lebih mendasar yaitu pada aspek kontradiksi internal mode produksi kapitalisme. Penulis berupaya untuk menjelaskan krisis finansial 2008 berdasarkan ekonomi-politik Marxisme. Analisa Marx yang mendasarkan diri pada
3
kontradiksi internal kapitalisme yang mewujud pada produksi surplus value di satu sisi dan akumulasi capital
disisi lain justru menjadi akar krisis itu
sendiri. Adapun finansialisasi ekonomi wajib diposisikan secara kritis terhadap akumulasi capital. Sehingga krisis finansial akan dipahami sebagai realitas
historis
dari
perkembangan
produksi
kapitalisme
sekaligus
manifestasi dari krisis sistemik dalam mode produksinya..Akumulasi kapital adalah proses paling esensial dari mode produksi kapitalisme. Dalam proses itu kapital secara sistemik bergeser pada kondisi overakumulasi. Pada konteks inilah krisis kapitalisme dimulai sebagai suatu kontradiksi. Krisis ekonomi kemudian akan berhadapan dengan 3 tendensi umum yakni, tendensi kejatuhan tingkat profit, konsumsi lemah, dan politik kelas pekerja yang kuat dan terorganisir ( profit squeeze) sebagai hambatan internalnya untuk keluar dari masalah overakumulasi. Setiap periode krisis kapitalisme memiliki tendensi yang khas akibat perkembangan dari perubahan perubahan objektif pada kekuatan produksi. Dengan demikian, penulis berupaya melakukan komparasi dan survey umum atas relevansi dan kontekstualisasi masingmasing teori krisis Marx sekaligus meletakan posisi teoritis analisa ekonomipolitik Marxian untuk menjelaskan krisis finansial AS 2008. Sejarah kapitalisme di AS secara unik melahirkan keberhasilan luar biasa sektor ekonomi financial. Dalam beberapa decade terakhir, terutama di tahun 1990-an dan decade 2000-an, aktifitas ekonomi AS bergerak pada arah integrasi dan transaksi financial yang terhubung ke seluruh dunia. Jual beli saham, mata uang asing, hutang atau kredit telah menjadi dinamika utama
4
ekonomi diluar ekonomi berbasis produksi barang dan jasa. Realitas ini tentu saja berhasil menarik banyak riset dan observasi dari sejumlah kalangan. Dengan begitu, penelitian tesis ini akan beranjak dari factor-faktor yang memicu suburnya transaksi financial atau finansialisasi ekonomi AS. Sehingga, kasus utama yang akan diteliti adalah situasi ekonomi-politik AS yang sekaligus menjadi pusat dan penyebar krisis tersebut ke Negara-negara lain. Penulis akan menerapkan 2 teori umum menyangkut krisis ekonomi dalam Marxime. teori kejatuhan tendensial tingkat laba (the tendency of the falling rate of profit), dan teori konsumsi kurang (underconsumption), Kesemua teori ini nantinya akan diletakan kedalam satu kerangka umum yakni Overakumulasi (Overaccumulation). Menurut Marx, produksi nilai lebih (surplus value) yang diakselerasi oleh hukum besi kompetisi antar kapitalis akan bermuara pada devalusi atau penurunan nilai capital dalam bentuk overakumulasi. Krisis financial dapat ditarik dari eksposisi Marx tentang relasi antara system kredit (financial) dan basis moneter yaitu funngsi uang terhadap proses akumulasi. Terdapat hubungan dialektis dan kontradiktif yang mengemuka antara nilai uang disatu sisi dengan nilai komoditas yang tercipta dari akumulasi, atau dinamika sector ekonomi riil. Penulis akan banyak menguraikan analisa ini dengan pendekatan yang dilakukan oleh David Harvey terhadap analisa capital Marx mengenai krisis financial.2 Berbeda dengan analisa kerja (labour), nilai, proses produksi dan sirkulasi 2
Krisis financial dalam analisa Marx ditemukan dalam potongan-potongan analisa yang terkesan “berserakan” dalam 3 karyanya yakni, grundrisse, Capital volume 2 dan 3. Harvey berupaya menyatukannya dalam karya monumentalnya,The Limits To Capital.
5
komoditas, teori krisis dalam dalam karya Marx tidak dituliskan secara sistematis dan utuh. Hal inilah yang membuka banyak ruang terhadap interpretasi krisis yang berbeda-beda. Apakah krisis muncul dari level produksi komoditas, padaa sirkulasi komoditas atau bahkan pada dinamika sistem finansial itu sendiri.
1.2. Rumusan Masalah Finansialisasi
adalah
fenomena
yang
tidak
terhindarkan
dari
perkembangan kapitalisme. Skema neoliberalisme yang memacu liberaralisasi di segala sektor termasuk sektor keuangan merupakan unit analisa pokok untuk memahami peningkatan massif sektor financial selama dasawarsa terakhir. Meledaknya krisis financial di AS wajib dianalisa dari berbagai perspektif sehingga akar penyebabnya bisa ditemukan. Penelitian ini beruapaya untuk memotret dan menganalisa krisis financial AS dalam kerangka tradisi ekonomi-politik Marxist. Adapun rumusan masalah yang akan diangkat adalah : 1. Mengapa krisis ekonomi dalam tubuh kapitalisme terjadi secara periodic terutama dalam kaitannya dengan finansialisasi dan krisis financial tahun 2008? 2. Bagaimanakah perbandingan relevansi teoritis 3 teori krisis dalam Marxisme untuk menjelaskan periodisasi krisis kapitalisme?
6
1.3. Telaah Pustaka Kajian dan literature yang membahas krisis ekonomi global 2008 dari perspektif Marxist sudah cukup banyak. Secara umum kesemua analisa yang hadir bertolak dari dinamika internal proses akumulasi kapitalisme kontemporer. Kapitalisme sebagai sistem yang dinamis dilihat sebagai realitas dan sistem yang adapted dan progresif dalam proses perkembangannya. Finansialisasi ekonomi dan krisis ekonomi 2008 adalah periode historis lain dari kapitalisme. Namun begitu, tradisis teori Marxist dibelah oleh 3 macam pendekatan dalam menjelaskan krisis ekonoi AS dan global 2008. Perpektif pertama berasal dari tradisi teori kejatuhan tendensial tingkat laba (the tendency of the falling rate profit). Pendekatan ini didorong oleh sejumlah penulis Marxist yang meyakini krisis ekonomi 2008 adalah hasil dari kontradiksi produksi nilai lebih yang semakin mutakhir dan berkembang oleh hukum besi kompetisi dan melahirkan tendensi kejatuhan tingkat laba. Krisis tercipta dari ranah produksi. Analisa tersebut dapat ditemukan dalam karya Chris Harman, Zombie Capitalism : Global Crisis and the Relevance of Marx, 2010, Andre Kliman,the Great Recession : the Failure of Capitalist Production, 2011, atau pada Micahel Roberts, the Great Recession, Profit Cycles, economic crisis : a Marxist view, 2012. Ketiganya disatukan oleh hipotesa bahwa kapitalisme mengalami krisis porfitabilitas dalam jangka panjang sejak 1945. Pendekatan kedua, adalah analisa underconsumption atau
konsumsi
kurang. Perspektif ini melihat krisis 2008 sebagai hasil dari stagnasi ekonomi
7
sejak decade 1970-an dan tekanan turun upah pekerja yang kemudian berkonsekuensi pada melemahnya permintaan. Kondisi ini lalu membuka peluang bagi finansialisasi ekonomi AS untuk dijadikan sebagai medium baru akumulasi capital. Karya John Bellamy Foster dan Harry Magdoff, the Great Financial Crisis : Causes and Consequences,2010 atau pada penulis Monthly Review lain yaitu Robert Mcchesney bersma Foster, the Endless Crisis, 2014. Perlu diingat bahwa tradisi Monthly Review beranjak relasi akumulasi capital dengan fenomena Monopoly Capitalism atau Kapitalisme Monopoli.3 Dan ketiga, adalah pandangan yang melihat krisis 2008 sebagai krisis neoliberalisme atau finansialisasi ekonomi sebagai periode khas dari proses akumulasi capital. Umumnya mereka melihat peran dan konsolidasi Negara dalam memfasilitasi finansialisasi. Misalnya pada karya, Gerard Dumenil dan Dominique Levy, the Crisis of Neoliberalism, 2011, dan Leo Panitch dan Sam Gindin, the Making of Global Capitalism ; the Political Economy of American Empire,2012. Sementara
itu,
penulis
sendiri
akan
mengintegrasikan
analisa
Underconsumption dengan konsep overakumulasi yang dielaborasi oleh David Harvey, dalam karya monumentalnya, The Limits To Capital, 1982. Dimana ia mengeksplorasi kontradiksi sistem financial dan basis moneternya terhadap akumulasi capital. Hal ini diharapkan dapat membentuk analisa spesifik untuk menjelaskan pintu awal finansialisasi ekonomi dan krisis financial yang terjadi. Dengan demikian, krsisi financial dan krisis 3
Hubungan antara keduanya menjadi salah satu polemic di kalangan ekonomi-politik Marxist. Monthly review dianggap berherak terlalu jauh dari hukum umum kompetisi pasar menuju oligarki atau monopoli kapitalisme.
8
kapitalisme dipahami secara integral. Sebagai kesatuan utuh antara kontradiksi di sector ekonomi riil dan sector financial.
1.4. Kerangka Konseptual 1. Akumulasi Kapital Dan Teori Krisis Dalam Marxisme Hambatatan terbesar bagi kapitalisme adalah dirinya sendiri. Satusatunya penghalang bagi kapitalisme adalah capital itu sendiri. Darisana akan dijumpai bagaimana model resproduksi capital justru melapangkan jalan bagi terjadinya krisis ekonomi. Secara sederhana krisis ekonomi digambarkan sebagai kondisi dimana tidak tersedianya kebutuhankebutuhan dasar ekonomi bagi masyarakat. semakin menyusutnya kuantitas barang dan jasa beserta eliminasi pada keberadaan alat-alat produksi. Krisis dapat ditimbulkan oleh perubahan mendadak atau interupsi terhadap aktiftas produksi, dimana yang paling umum dikenali adalah akibat dari bencana alam, kekeringan panjang, banjir, epidemic, atau perang yang berkepanjangan. Dalam konteks tersebut krisis merupakan normalitas yang diterima sebagai kondisi objektif yang tak terelakan. Namun anomaly mulai Nampak ketika banyak kebutuhan ekonomi tidak terpenuhi sementara disaat yang bersamaan tersedia alatalat produksi yang justru menjadi “tidak produktif”. Sebagaimana yang ditulis oleh Marx : There are not too many neccessties of life produced, in proportion to the existing population. Quite the reverse. Too little is produced to decently and humanly satisfy the wants of the great mass. There are not too many means of production produced to employ the 9
able-bodied portion of the population . quite the reverse…On the other hand, too many means of labour and necessities of life produced at times to permit of their serving as means for the exploitation of labourers at a certain rate of profit…Not too much wealth is produced. But at times too much wealth is produced in capitalistic, self-contradictory forms.4
Krisis
ekonomi
direfleksikan
oleh
fenomena
yang
disebut
overakumulasi (overaccumulation).5 Peristiwa ini dijelaskan sebagai suatu kondisi profit yang tak dapat diinvestasikan kembali dalam sector ekonomi produktif. Secara umum manifestasinya ada dua, pertama penyimpanan capital (capital hoarding),kedua kapital ditanamkan dalam arena financial (biasanya dalam bentuk spekulasi).6Overakumulasi disimpulkan sebagai titik awal kontradiksi kapitalisme yang merujuk pada anomaly hubungan antara nilai guna dan nilai tukar (use value-exchange value). Komoditas pada kondisi tertentu diproduksi dalam jumlah sangat berlimpah melampaui jumlah permintaan dan atau kebutuhan. Nilai tukar dalam kasus ini muncul sebagai unsur dominan terhadap nilai gunanya. Sebagai konsekuensi jumlah komoditas tidak mampu diserap secara proporsional oleh pasar lalu menuntun pada penurunan tingkat profit. Capital apakah ia dalam bentuk pabrik, peralatan, uang, dan buruh kehilangan potensi ekonominya. Ketidakmampuan capital merealisasikan tingkat profit yang 4
Marx, Karl, Capital 3, Chapter 15, tersedia di https://www.Marxists.org/archive/Marx/works/1894-c3/ch15.htm 5 Overakumulasi (overaccumulation) juga dijelaskan sebagai capital yang tak bergerak (idle).menurut Marx capital harus selalu bergerak atau in motion agar dapat menopang penciptaan profit secara konstan. 6 David Harvey dalam Benjamin kunkel, http://www.lrb.co.uk/v33/n03/benjamin-kunkel/howmuch-is-too-much. atau untuk lebih detail lihat pembahasan Harvey, dalam Limits to Capital (2006)
10
diharapkan oleh Marx disebut sebagai Overakumulasi. Peristiwa ini kemudian menjadi asal muasal atau sumber krisis ekonomi dalam kapitalisme. Overakumulasi menurut Marx dihasilkan oleh mekanisme internal dari mode produksi kapitalisme. Tendensi tersebut tidak muncul secara eksternal
sebagaimana
yang disimpulkan
dalam tradisi
ekonomi
mainstream atau arus utama. Menurut john maynard Keynes kemajuan ekonomi terbentur oleh keadaan psikologis pengusaha atau kapitalis yang pada keadaan tertentu lebih memilih menyimpan kapitalnya (umunya disebut sebagai hoarding atau saving-glut) daripada diinvestasikan kembali karena
khawatir
prospek
bisnis
yang
tidak
menguntungkan.
Overakumulasi juga dapat lahir secara eksternal oleh kebijakan pemerintah yang tidak tepat pada bidang moneter berupa pengendalian tingkat suku bunga atau jumlah uang yang beredar di pasar. Kelemahan regulasi dan peran Bank Sentral diletakan dalam posisi utama kerangka analisa. Perspektif semacam ini dipegang dan digunakan oleh kelompok monetarist atau neo klasik. Dalam lingkup kalangan Marxist terdapat sejumlah teori krisis yang digunakan untuk menginvetigasi kegagalan kapitalisme atau krisis yang dideranya. Beberapa teori ini muncul dan berbeda akibat interpretasi baru terhadap gejala dan kondisi khas kapitalisme yang tampak dan berkembang dalam periode tertentu. Namun secara keseluruhan memiliki garis langsung dengan sejumlah analisa yang dibuat oleh karl Marx baik
11
dalam das capital maupun pada tulisan-tulisannya yang lain. Kerangka dasar dari analisa ekonomi Marx bahwa tinjauan ekonomi mutlak perlu ditempatkan pada basis utamanya yaitu analisa komoditas. Komoditas sebagai unit fundamental dalam ekonomi kapitalisme harus mendapatkan perhatian serius berupa upaya untuk menelusuri apa yang membangun komoditas, bagaimana nilai komoditas dihasilkan, hingga pada produksi dan sirkulasi komoditas dalam skala yang lebih luas. Pada prinsispnya Marx meyakini bahwa kontradiksi umum pada kehadiran nilai dan nilai guna dalam komoditas beserta relasinya dengan kerja buruh dan uang punya pengaruh signifikan dalam menentukan stabilitas sekaligus krisis dalam tubuh kapitalisme itu sendiri. Dilain pihak pendapat ini sendiri sangat berbeda dengan yang diyakini oleh sejumlah ekonom neo-klasik atau yang beraliran ekonomi pasar. Marx menyatakan : Crises are thus reasoned out of existence here by forgetting or denying the first elements of capitalist production : the existence of the product as a commodity, the duplication of the commodity and money, the consequent separation which takes palce in the exchange of commodities and finally the relation of money or commodities to wage- labour.7 Berikut ini sejumlah teori tersebut akan dipaparkan secara singkat. Teori krisis yang dirumuskan oleh Marx dalam pandangan sejumlah pemikir dan aktifis Marxis cenderung berbeda. Selain itu Marx sendiri seolah tidak menunjukan sentralitas satu teori krisisnya terhadap teori krisisnya yang lain. Untuk pembahasan ambivalensi dari teori krisis Marx 7
Marx, Karl, Theories of Surplus Values, Chappter 17, tersedia di https://www.Marxists.org/archive/Marx/works/1863/theories-surplus-value/ch17.htm
12
ini sendiri akan dibahas di bagian akhir dari bab ini. Setidaknya ada 3 teori krisis Marx yang umum digunakan oleh kelompok Marxian, yaitu, 1) theory of profit squeeze, 2) the tendency of the rate of profit to fall (kecenderungan umum dimana tingkat laba akan menurun), 3) theory of underconsumption (tingkat konsumsi dalam masyarakat yang merosot). A. Theory of Tendency of The Rate of Profit To Fall (Kecenderungan Tingkat Profit Yang Akan Jatuh) Dari ketiga teori krisis yang dirumuskan oleh karl Marx, teori kecenderungan tingkat profit yang menurun dianggap lebih valid dan konsisten dengan garis besar pemikiran ekonomi-politik Marx dalam tulisan-tulisannya. Secara umum teori ini menyatakan bahwa pada periode tertentu proses produksi kapitalisme akan merosost akibat logika akumulasi capital itu sendiri. Sebagai system yang progresif, kapitalisme cenderung akan terus mendorong perubahan model produksi terutama pada bagaimana melipatgandakan akumulasi lewat pembaharuan aspek teknis yakni penggunaan teknologi atau mesin baru. Tingkat profit yang tinggi adalah motif terbesar dari tiap kapitalis. Hal ini hanya dapat diperoleh lewat perluasan investasi yang mampu menghasilkan tingkat profit yang tinggi. Sehingga tingkat profit merupakan tujuan akhir sekaligus motif awal dari akumulasi. Mengutip Marx, “The rate of profit is the motive power of capitalist production”8 Pengeluaran untuk teknologi yang semakin canggih dan bahan atau
8
Marx, Karl, Capital III,hal.259
13
material yang lebih banyak dalam produksi kapitalisme adalah konsekuensi logis dari upaya kapitalis untuk bertahan dalam kompetisi pasar sekaligus menjangkau level maksimal tingkat profit. Namun begitu, langkah ini justru menimbulkan masalah. Menurut Marx, satu-satunya sumber nilai adalah living labour yang berasal dari buruh atau pekerja. Penggunaan mesin tentu saja secara otomatis dan gradual menekan jumlah buruh yang dipekerjakan. Dengan demikian, surplus value atau nilai lebih yang selama ini direproduksi oleh tenagakerja buruh yang terkandung dalam komoditas juga ikut tereduksi yang pada gilirannya akan diikuti oleh penurunan rata-rata atau tingkat profit. Fenomena ini merupakan tendensi inheren dari mekanisme produksi kapitalisme. Setiap kapitalis terutama yang terkategori sebagai kapitalis besar mengarah pada upaya meningkatkan akumulasi capital yang berujung pada profit lewat efisiensi kerja yang basisnya adalah teknologi atau mesin baru, biasa juga disebut sebagai dead labour. Tetapi disisi lain langkah ini mendorong pengurangan jumlah buruh, yang biasa juga disebut sebagai living labour yang justru menjadi hambatan dan kontardiksi baru bagi kapitalisme itu sendiri. Jadi analisa atas kapitalisme wajib menimbang relasi antara keberadaan dan fungsi teknologi
atau
perubahan-perubahan
kekuatan
masyarakat kapiatlis dengan tenag-kerja dari buruh.
14
produktif
dalam
Dalam sirkuit capital Marx, , M—C—M’ atau dengan deskripsi lebih lanjut, M--C-(CV+CC)-P-C’-M’,9 maka interupsi terjadi pada P atau proses produksi,dimana jumlah capital konstan cenderung naik dan capital variable justru cenderung berkurang. Produksi nilai lebih pada C’ menjadi berkurang sejak capital variable adalah satu-satunya sumber nilai lebih. Interupsi terjadi persis pada jantung produksinya. Sehingga krisis kapitalisme eksis pada unit paling dasarnya yakni kombinasi antara kapital konstan dan kapital variabel. Untuk memahami bagimana relasi tersebut dapat menggiring kapitalisme pada tingkat profit yang cenderung merosot maka perlu diawali oleh analisa dari sejumlah komponen dasar dalam produksi komoditas kapitalisme. Dalam konteks teori krisis ini Marx memperkenalkan konsep rate of profit atau tingkat profit dalam capital III. Rate of profit adalah rasio dari profit terhadap total capital yang diinvestasikan pada siklus reproduksi tertentu. Rate of profit sendiri sering digambarkan sebagai peningkatan dari organic composition of capital, yaitu rasio dari nilai bahan-bahan atau material dan capital konstan yang ditambahkan dalam produksi suatu komoditas terhadap nilai dari tenaga-kerja atau capital variable yang digunakan dalam membuat komoditas tersebut. Jika profit, juga disebut sebagai surplus value,dilambangkan s lalu capital konstan adalah c dan capital variable
9
M=money (uang), C=commodity (komoditas), CV=Capital variable (buruh), CC= Capital Constant (mesin,alat,dll), P=production (produksi), C’=produced commodity (komoditas yang diproduksi), M’=profit money (profit dalam bentuk uang)
15
v, maka persamaannya akan menjadi tingkat atau rata-rata profit (r), menjadi S/(C+V).10 Secara umum ada 6 argumen dasar dari teori tentang kecenderungan rata-rata profit yang menurun : 1) Adanya kekuatan-kekuatan instrinsik pada proses akumulasi capital yang cenderung menaikan tingkat komposisi organic capital. 2) Ketika komposisi organic capital bertambah, ada kecenderungan bagi rata-rata profit untuk jatuh kecuali tingkat eksploitasi (tingkat penambahan nilai lebih) juga ikut meningkat secara seimbang untuk mentralisir kenaikan komposisi organic capital (atau jug oleh factor lain yang mengintervensi dalam fungsi yang sama atau counter-balancer) 3) Dalam jangka panjang, kenaikan pada tingkat eksploitasi tidak dapat
secara
meneyeluruh
menjadi
counter-blancer
bagi
pertambahan komposisi capital organic, dengan demikian tendensi rata-rata profit untuk jatuh menjadi pasti. 4) Pada kondisi dimana penurunan rata-rata profit tidak lagi bisa diatasi maka krisis ekonomi pun terjadi. Kapitalis dengan kekuatan capital kecil menghilang dari lingkaran bisnis karena bangkrut yang diikuti oleh mandeknya investasi akibat ketiadaan
10
Wright, Erik Olin, ALTERNATIVE PERSPECTIVES IN MARXIST THEORY OF ACCUMULATION AND CRISIS, Journal of Critical Sociology, diakses dari http://cnqzu.com/library/To%20Organize/Misc%20Stuff%20From%20The%20Deepweb/books/N ew%20folder/wright.pdf
16
modal yang cukup. Periode tersebut selanjutnya ditandai oleh semakin menurunnya jumlah permintaan secara keseluruhan (aggregate demand) dan selanjutnya menyisakan kondisi dimana overproduksi. 5) Kontadiksi pada krisis ini selanjutnya akan berfungsi sebagai kondisi baru yang potensial untuk menciptakan akumulasi baru yang lebih menguntungkan. 6) Ketika tendensi krisis masyarakat kapitalis berubah menjadi fenomena yang disebut sebagai bussines cycle (siklus bisnis), tendensi lain juga hadir yakni silus bisnis akan menjadi lebih parah dengan segera.11 Keenam proposisi ini secara prinsipil menjadi landasan pokok dalam melihat tendensi krisis structural kapitalisme berdasarkan kontradiksi umum
atas progresifitas produksi
kelas
kapitalis.
Apa
yang
direfleksikan tadi jelas menyisakan kesimpulan utama yang selalu dikatakan oleh Marx mengenai kontradiksi inheren dalam produksi kapitalisme. Hubungan antara akumulasi capital dan pengejaran tingkat profit adalah paradoks. Marx menulis, : "The specific feature about it is that it uses the existing value of capital as a means of increasing this value to the utmost. The methods by which it accomplishes this include the fall of the rate of profit, depreciation of existing capital, and development of the productive forces of labour at the expense of already created productive forces".12
11 12
Wright, erik olin,ibid Marx, Karl, Capital III,hal 249
17
Peningkatan produktifitas demi akumulasi capital dalam teori ini adalah niscaya. Kompetisi antar kapitalis dalam tingkat lebih jauh bahkan akan menjadi sesuatu yang destruktif bagi kapitalis lain. Berlawanan dengan asumsi umum bahwa tindakan rasiona tiap pelakul demi kepentingan pribadi dapat berujung pada kebaikan umum. Marx,menyatakan, : Under competition, the increasing minimum of capital required with the increase in productivity for the successful operation of an independent industrial establishment, assumes the following aspect: as soon as the new, more expensive equipment has become universally established, smaller capitals are henceforth excluded from this industry.13 Penggunaan mesin-mesin yang lebih produktif dan efisien akan menjadi substitusi sempurna dari peran buruh-buruh manual. Kondisi tersebut pada gilirannya menghasilkan fenomena yang Marx sebut reserved army of labour. Bukan hanya pada tingkat nasional atau Negara tapi perlahan dan pasti berubah sebagai fenomena global atau global reserved arny of labour. Cadangan pengangguran masal oleh kapitalisme berfungsi untuk menjaga tekanan turun pada tingkat upah. Sebuah langkah yang sangat signifikan untuk terus memelihara akumulasi capital secara konstan. Tidaklah sulit untuk menemukan kondisi demikian pada saat ini. Dengan demikian, teori mengenai tingkat profit yang terus jatuh berupaya menjelaskan bahwa akumulasi capital yang progresif hanya 13
Capital Vol. III Part III, The Law of the Tendency of the Rate of Profit to Fall, diakses dari https://www.Marxists.org/archive/Marx/works/1894-c3/ch15.htm
18
akan bermuara pada kebangkrutan para kapitalis pada satu sisi, selain ledakan krisis dan daya konsumsi masyarakat yang semakin parah. Tetapi apakah kapitalis tidak menyadari hal ini? Menurut Marx mereka sangat menyadarinya namun tidak punya pilihan lain kecuali mengimplementasikannya. No capitalist ever voluntarily introduces a new method of production, no matter how much more productive it may be, and how much it may increase the rate of surplus value, so long as it reduces the rate of profit. Yet every such new method of production cheapens the commodities. Hence, the capitalist sells them originally above their prices of production, or, perhaps, above their value. He pockets the difference between their costs of production and the market prices of the same commodities produced at higher costs of production. He can do this, because the average labour time required socially for the production of these latter commodities is higher than the labour time required for the new methods of production. His method of production stands above the social average. But competition makes it general and subject to the general law. There follows a fall in the rate of profit—perhaps first in this sphere of production, and eventually it achieves a balance with the rest—which is, therefore, wholly independent of the will of the capitalist.14
B. Theory of Underconsumption (Teori Merosotnya Konsumsi) Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa Marx seolah-oleh tidak menunjukkan konsistensi teoritis pada teori krisis kapitalisme yang ia rumuskan. Marx lalu berpindah dari analisa pada kemajuan teknis kapiatlisme dan penurunan rata-rata profit ke akar krisis yang berpusat pada tingkat konsusmsi yang merosot. Teori ini umunya disebut sebagai theory of underconsumption. Kuantitas produksi
14
Capital Vol. III Part III, The Law of the Tendency of the Rate of Profit to Fall, diakses dari https://www.Marxists.org/archive/Marx/works/1894-c3/ch15.htm
19
kapitalis yang anarkis serta tanpa batas dan disertai dengan tingkat upah yang kecil pada glirannya akan mengarah pada konsumsi barang yang melemah dan berujung pada krisis. Kontradiksi ini melahirkan jumlah keseluruhan permintaan (demand) semakin
menyusut
sehingga
komoditas yang diproduksi tidak dapat terserap seluruhnya baik oleh kapitalis maupun terutama oleh kelas pekerja Marx menyatakan Always remains the poverty and restricted consumption of the masses as compared to the tendency of capitalist production to develop the productive forces in such a way, that only the absolutre power of consumption of the entire society would be their limit.15 Dalam sirkuit capital Marx, , M—C—M’ atau dengan deskripsi lebih lanjut M--C-(CV+CC)-P-C’-M’, maka interupsi terjadi pada transisi dari C’ menuju M’ atau pada proses sirkulasi komoditas lewat konsumsi atau pertukaran. Lemahnya tingkat upah akan mendorong tekanan turun atau gangguan pada tahap realisasi profit,penciptaan profit di ranah sirkulasi. Marx beralih dari analisanya yang berpusat pada mekanisme dan watak akumulasi capital ke aspek lain yakni kekuatan konsumsi. Ekonomi hanya dapat stabil jika relasi antara penjualan dan pembelian bergerak dalam grafik seimbang dan terjadi terus menerus. Masalah akan timbul jika terdapat interupsi pada daya beli atau konsumsi. Fenomena ini meruapakan sesuatu yang sangat wajar terjadi. Probabilitasnya bahkan cukup besar jika melihat produksi kapitalis
15
Capital Vol. III Part V, Division of Profit into Interest and Profit of Enterprise. Interest-Bearing Capital, diakses dari https://www.Marxists.org/archive/Marx/works/1894-c3/ch30.htm
20
yang tanpa limit dan tekanan pada besaran upah para pekerja. Teori underconsumption digunakan oleh sejumlah figure ekonom ternama, yang paling terkenal tentu saja paul sweezy dalam karyanya monopoly capitalism. Ekonomi-politik yang dirintis oleh sweezy dan yang lainnya,khususnya dari lingkaran majalah ekonomi sosialis monthly review, memperoleh perhatian serius sebagai salah satu upaya dalam menggunakan analisa Marx sekaligus mendorong interpretasi ulang terhadap relevansi ekonomi Marx dengan situasi dan gejala khas kapitalisme kontemporer. Kesulitan dalam menciptakan stabilitas jumlah permintaan dinilai sebagai sesuatu yang niscaya terlebih dalam keadaan yang ditandai oleh kompetisi atau rivalitas antar kapitalis. Persaingan tersebut pada gilirannya akan menggiring akuisisi atau pengambilalihan perusahaan kecil oleh sejumlah perusahaan besar. Konsekuensi yang dapat muncul yaitu control dan manipulasi harga yang sangat rentan terjadi serta kecenderungan untuk meningkatkan ekspolitasi pekerja lewat politik upah. Menurut erik olin wright, setidaknya terdapat 4 gagasan utama dari teori underconsumption dalam mengenali gejala krisis kapitalisme, yaitu : 1) Terdapat tendensi umum dalam masyarakat kapitalis untuk terjadinya kenaikan absolute pada tingkat nilai lebih. Disamping itu, lewat
peningkatan
produktifitas
juga
kecenderungan kenaikan pada tingkat nilai lebih.
21
akan
mendorong
2) Terdapat kontradiksi inheren dalam masyarakat kapiatlis antara kondisi produksi nilai lebih dan kondisi realisasi nilai lebih. Agar realisasi nilai lebih tidak menjadi masalah maka pertumbuhan pada jumlah keseluruhan permintaan (demand) harus terjadi dalam taraf yang sama dengan pertumbuhan produktifitas dan nilai lebih. Ini akan selalu menjadi masalah bagi kapitalis sejak tiap dari mereka akan selalu berupaya meminimalisir pengeluaran mereka untuk gaji buruh. 3) Ketidakmampuan kapitalis untuk merealisasikan seluruh nilai lebih yang diproduksi dirasakan oleh kapitalis dalam bentuk kejatuhan pada rata-rata tingkat profit actual (actual rate of profit). Hal tersebut menuntunn
pada
pengurangtan
investasi,
kebangkrutan,
pengangguran,dll. Kondisi ini hanya bisa diatasi jika terdapat jumlah permintaan baru dalam jumlah besar, misalnya Negara dapat terlibat untuk mengembalikan realisasi nilai lebih. 4) Kecenderungan
underconsumption
terjadi
disemua
tahap
perkembangan capitalis, namun ia menjadi lebih akut dan beralih sebagai sumber krisis ekonomi serius hanya pada tahap kapitalisme monopoli.16 Tidak tersedianya permintaan (demand) yang proporsional dalam tahap perkembangan kapitalisme akan memaksa kapitalis untuk mencari jalan keluarnya. Dengan kata lain, menciptakan counter 16
Wright, Erik Olin, Loc.cit
22
tendency. Pertama, adalah dengan mendorong lahirnya unproductive demand atau permintaan yang tidak berasal dari penghasilan yang berbasis pada produksi. Secara sederhana diartikan sebagai bentuk konsumsi barang atau jasa yang tanpa kerja-kerja produktif sehingga ia hanya berasal dari hutang. Pada konteks ini pemerintah dapat mengintervensi ekonomi lewat pemberian kredit atau kebijakan dengan garis Keynesian. Disisi lain juga pihak swasta dapat menciptakan belanja lewat kartu kredit atau hutang dengan bunga. Langkah ini dianggap dapat mengisi selisih atau kesenjangan yang terbangun antara produksi barang dan konsumsinya. Atau antara produksi nilai lebih dengan realisasi nilai lebih. Yang kedua ialah kemunculan fonomena kapitalisme monopoli. Semakin tersentralisirnya capital maka jumlah dan kerja kapitalis akan lebih efisien. Kapitalis dapat mengurangi investasinya atau pengeluaran pada ekspansi produksi atau kenaikan pada komposisi capital organic lalu sumber profit dapat ditaktisi perolehannya lewat control dan monopoli harga pada ranah sirkulasi komoditas. C. Teori Profit Squeeze Teori profit squeeze terutama berkembang pada decade 197-an sebagai respon untuk menjelaskan resesi dunia atau krisis pertumbuhan 1970-an. Sandaran utama teori ini justru pada ranah politik kelas yang menjadi konsekuensi logis dari antagonisme atau pertentangan hubungan produksi antara kelas kapitalis dan pekerja. Gerakan kelas
23
pekerja yang massif dan terkonsolidasi membuka posisi tawar tinggi kelas pekerja terhadap bagian (share) mereka dalam distribusi kesejahteraan. Tekanan turun lalu mengemuka pada tingkat profit industrialisasi,
sehingga
memperlambat
laju
akumulasi
capital.
Penjelasan ini sedikit berbeda dari analisa yang disediakan oleh underconsumption atau tendensi kejatuhan tingkat laba (faling rate of profit). Jika keduanya memperlihatkan proses akumulasi yang kontradiktif secara inheren dalam produksi kapitalisme maka teori profit squeeze “keluar” dari skema tersebut. Proses akumulasi yang lemah justru dipicu oleh politik kelas pekerja atau dalam istilah yang lebih umum yakni perjuangan kelas. Jika digambarkan dalam sirkuit capital Marx, M—C—M’ atau dengan deskripsi lebih lanjut M--C(CV+CC)-P-C’-M’, maka gangguan akumulasi terletak pada tahap P (produksi) dimana capital variable (CV) bernilai tinggi (gaji tinggi) mempengaruhi nilai lebih pada komoditas (C’) menjadi berkurang sehingga berpengaruh pada tingkat profit. Oleh karena itu, gangguan akumulasi tidak terletak pada mekanisme produksi berupa kenaikan komposisi kapital organik atau pada krisis realisasi profit dalam ranah pertukaran komoditas di pasar. Politik dan perjuangan kelas dianggap sebagai faktor determinan untuk mempengaruhi serta memeperlemah proses akumulasi. Apabila dibandingkan dengan 2 teori sebelumnya, teori profit queeze mengambil rute berlawanan dari penyebab utama munculnya krisis.
24
Dalam teori kejatuhan tendensial tingkat laba dan underconsumption kegagalan
reproduksi
kemerosotan
profit,
akumulasi yang
pada
capital konteks
akan ini
bermuara menjadi
pada akibat
(consequences) dan melahirkan overakumulasi. Namun begitu teori profit Squeeze bergerak terbalik. Kemerosostan profit justru menjadi penyebab (causes) yang kemudian melahirkan situasi umum krisis atau overakumulasi.17 Sehingga interpretasi gangguan akumulasi capital ada di level politik atau perjuangan kelas pekerja. . Pendukung teori profit squeeze menolak tendensi analisa bahwa akumulasi kapital dan dinamika produksi menjadi kerangka dasar munculnya segala bentuk krisis internal kapitalisme.
2. Definisi Dan Ruang Lingkup Finansialisasi Sektor financial yang semakin kuat merefleksiakan bahwa ekonomi dunia kini tidak bisa hanya dipahami dari aspek ekonomi produktif atau riil saja. Perkembangan financial mendorong ekonomi bergerak di jalur ekonomi non produktif seperti pasar saham dan jual beli asset-aset keuangan. Dalam perspektif Marxist, sebagai sebuah system akumulasi, kapitalisme sangat tergantung pada perluasan produksi komoditas. Sementara itu, finansialisasi tidak dianggap sebagaiu hal primer mengingat fungsinya hanya sebatas untuk mengumpulkan, menghimpun, dan mengkonsolidasikan capital. Yang unik dari karakter kapitalisme periode
17
Clarke, Simon, Mrax’s Theory Of Crisis,hal.47, Palgrave Macmillan, 1993
25
sekarang adalah justru aspek financial tel;ah sampai pada taraf yang sangat istemewa bahkan terus diperluas. Perkembangan yang sedemikian besar biasanya
dalam
berbagai
literature
dipahami
sebagai
finansialisasi.18ekonomi dunia sekarang banyak ditopang oleh stabilitas nilai mata uang, kepemilikan modal fiktif dalam bentuk obligasi, hingga penguasaan atas asset-aset perusahaan. Proses ini banyak terjadi di Negara maju dimana korporasi raksasa dan lembaga investasi internasional berada. Namun begitu, cakupan operasi dan dampak yang ditimbulkannya sangat luas bahkan dapat mencapai skala global. Semakin terintegrasinya ekonomi dunia secara otomatis membuka jalan sekaligus memuluskan aliran capital. Internasionalisasi modal adalah dampak nyata dari semakin berjayanya kapitalisme financial disamping invasi sektor produktif yang juga terjadi di banyak tempat. Bagi Epstein (2005:3), finansialisasi berarti peran yang semakin meningkat dari motif-motif financial, pasar financial, actor-aktor
dan institusi financial dalam operasi ekonomi domestic
maupun internasional. Stockhammer (2004:720) menawarkan sebuah ulasan menyangkut finansialisasi, yaitu, suatu istilah muncul dewasa ini, yang melingkupi cakupan luas dari fenomena meliputi globalisasi pasar financial, revolusi penyebaran nilai, dan peningkatan pendapatan dari
18
Ben fine, financialization as neoliberalism, economic transitions to neoliberalism in middleincome countries, edited by Alfred Saad Filho and Galip L. Yalman, published by routledge,2010,Hal 13
26
investasi financial. Focus utamanya terletak pada perubahan internal struktur kekuasaan perusahaan.19 Finasialisasi telah dan sedang berekembang sangat massif. Kekuatan finansialisasi bahkan melahirkan sejumlah implikasi serius pada sektor ekonomi riil. Padahal, secara umum sektor keuangan pada dasarnya merupakan jembatan menuju ekonomi produktif. Instrument kredit dari bank misalnya digunakan untuk menggerakkan produksi barang dan jasa. Setiap pinjaman atau kredit dihimpun agar stabilitas ekonomi dan tingkat pendapatan dapat terus terjaga. Dengan demikian tugas sektor financial hanya sebatas memfasilitasi sirkulasi dan produksi komoditas nyata. Namun begitu, dalam era neoliberal fungsi sektor financial bergerak ke arah yang sangat radikal. Terjadi pergeseran signifikan dimana finasialisasi menjadi sangat spekulatif. Profit diperoleh lewat perjudian tentang prospek dan garfik niali asset-aset perusahaan (diterjemahkan dalam bentuk obligasi atau saham) yang cenderung fluktuatif atau naik turun. Finansialisasi secara historis telah dianalisa sejak lama oleh banyak ahli ekonomi-politik. Salah satu yang paling terkemuka adalah ekonom Marxist asal Austria yaitu Rudolf hilferding. Hilferding menuliskan analisa kapitalisme yang cukup kontributif dan menjadi landasan umum bagi kajian lanjutan atas perkembangan baru kapitalisme disektor keuangan. Sebagian besar gagasannya ditulis sekitar tahun 1905 di vienna
19
Ibid.
27
lalu diterbitkan pada tahun 1910 di jerman. Analisanya terutama mengarah pada perkembangan internal Negara-negara kapitalis maju. Salah satu elemen utama dari analisa hilferding adalah kemunculan joint stock company (perusahaan saham gabungan) sebagai bentuk baru organisasi kapitalistik modern. Suatu perusahaan saham gabungan merupakan koalisi dari beberapa kapitalis yang memiliki bersama dan berbagi profit dan control terhadap perusahaan berdasarkan jumlah kepemikikan saham.20 Lewat bentuk barunya ini, sebuah perusahaan kapitalis bergerak meninggalkan tradisinya yang biasanya dikuasai dan dikontrol oleh individu. Perusahaan individual hanya dapat berkembang lewat investasi dan reproduksi profit yang dibatasi oleh level kekayaan seorang individu kapitalis. Joint stock company mampu mengumpulkan modal dari sejumlah pemilik saham sehingga memungkinkan pembesaran modal kedalam satu modal yang kuat. Pada konteks ini terjadilah konsentrasi dan sentralisasi capital ditangan para pemegang saham terutama pemilik saham raksasa atau yang lebih besar. Dengan kata lain ekonomi mulai ditandai oleh keberadaan dan pemusatan capital pada segelintir kapitalis besar yang dapat melahirkan monopoli. Selanjutnya, hilferding melangkah pada analisa yang mendudukkan bank sebagai actor penting bagi perkembangan kapitalisme tersebut. Peran bank umumnya terlihat pada aktifitas mengumpulkan capital yang meliputi tabungan, deposito, maupun modal lainnya. Lalu capital ini akan
20
Brewer, Anthony, Mrxist Theories of Imperialism, hal.91, Routledge, 1990, London
28
dipinjamkan
untuk
sektor
ekonomi
yang
dinilai
produktif
dan
menguntungkan. Menurutnya jerman pada masa itu diwarnai oleh pengaruh dan peran bank yang cukup menonjol. Bank dapat bertindak juga sekaligus atas nama konsumen dengan membeli, menjual, dan bahkan menyimpan saham sendiri.21 Hal ini ternyata menghasilkan posisi tawar tersendiri bagi bank. Dengan sumber daya keuangannya yang melimpah bank secara leluasa mampu mengelola dan meminjamkannya kepada pihak yang dianggap kredibel dan menguntungkan. Bahkan menurut hilferding, pada gilirannya bank ikut mempromosikan kartelisasi dan penggabungan (merger) antar perusahaan dengan tujuan menghindari peminjaman gagal. Transformasi kapitalisme ini dalam konsep hilferding disebut sebagai finance capital, yang menjadi kontibusi penting dalam analisa ekonomipolitik Marxian. Sebagaimana telah diketahui, Marx sendiri membagi 3 jenis capital, pertama adalah industrial capital yang mengacu pada perusahaan yang bergerak dibidang produksi barang, kedua adalah financial capital yang merujuk pada produksi capital lewat bank atau usaha sejenisnya yang berhubungan dengan pengelolaan uang, dan ketiga yaitu commercial capital, dihasilkan lewat aktifitas perdagangan barang tanpa memproduksinya.
Sedangkan
finance
capital
menurut
pemaparan
hilferding berupa produk dari fusi atau penggabungan capital industrial dan capital financial yang diproses lewat peran atau perantara bank.
21
Ibid.
29
Bank punya peran penting terhadap peningkatan skala industrialisasi lewat modal yang ia investasikan. Selain sebagai respon atas perdagangan yang mengalami tren penurunan akibat control pembelian dan penjualan oleh mekanisme monopoli dalam pasar, kombinasi capital dari industry dan bank adalah ruang baru yang sangat produktif. Hilferding menyatakan : An ever-increasing part of the capital of industry does not belong to industrialist who use it. They are able to dispose over capital only through the banks, which represent the owners. On the other side, tha banks have to invest an ever-increasing part of their in industry, and in this way they become to a greater and greater extent industrial capitalist. I call bank capital, tha is, capital in money form which is actually transformed in this way into industrial capital, finance capital.22
Pada dasarnya, analisa Hilferding atas capital financial lebih mengarah pada ekspansi akumulasi lewat konsentrasi dan sentralisasi capital. Kapitalisme pada gilirannya akan membentuk suatu rantai besar monopoli ekonomi yang dicerminkan oleh inegrasi kapitalis industrial dan kapitalis financial. Sementara itu, sebagaimana yang direkonstruksi oleh Harvey, sistem financial menurut Marx perlu diposisikan pada poros akumulasi capital dan upaya realisasinya dalam pengambangan produksi lewat sirkuit capital.
22
Hilferding, Op.cit
30
3. Sistem Finansial Dan Krisis Finansial Menurut Marx Aspek financial dalam ekonomi politik Marxist merujuk pada system kredit dan relasinya dengan basis moneter, yaitu fungsi dan nilai uang. Keduanya juga ikut diwarnai oleh peran dan eksistensi pemerintah berikut Bank Sentral. System kredit menurut Marx ditemukan dalam 2 bentuk, pertama, kapital yang menghasilkan bunga ( interest-bearing capital). Capital ini berfungsi untuk mendorong ekspansi produksi dan menjamin kelangsungan produksi yang lebih stabil. Kedua adalah capital-fiktif (fictious capital), capital yang dilahirkan bukan dari kerja rill atau produksi actual komoditas. Nilai capital-fiktif berasal dari ekspektasi, harapan, atau prediksi tentang aliran pendapatan di masa depan pada suatu investasi. Sistem kredit adalah medium bagi sirkulasi capital. Peredaran dan produksi nilai lebih dalam akumulasi capital yang massif salah satunya disyaratkan oleh kontribusi sistem kredit. Capital financial (saham, derivative, surat hutang Negara) dan interest-bearing capital (pinjaman untuk produksi) berperan untuk menopang harmonisasi produksi komoditas dan realisasi profit pada tahap pertukaran atau konsumsi. Sehingga, sistem kredit atau financial bagi Marx tak dapat dipisahkan dari proses akumulasi capital. Namun begitu, relasi diantara keduanya berjalan secara dialektis. Kontradiksi fungsi uang atau finasialisasi ekonomi yang progresif terhadap dinamika akumulasi capital pada gilirannya dapat membuka celah krisis. Marx, menyatakan : If the credit system appears as the principal lever of overproduction…and excessive speculation in commerce, this is
31
simply because the reproduction process, which is elastic by nature, is now forced to its most extreme limit; and this is because a great part of the social capital is applied by those who are not its owners and who therefore proceed quite unlike owners who, when they function themselves, anxiously weigh the limits of their private capital. This only goes to show how the valorization of capital founded on the antithetical character of capitalist production permits actual free development only up to a certain point, which is constantly broken by the credit system. The credit system hence accelerates the material development of the productive forces and the creation of the world market . . . At the same time, credit accelerates the violent outbreaks of this contradiction, crises, and with these the elements of dissolution of the old mode of production.23
Meski
sistem
kredit
mampu
memepengaruhi
ekspansi
pasar,
peningkatan konsumsi, penambahan investasi, dan gairah pasar financial, pada situasi tertentu ia akan berubah sebagai pmeicu utama krisis ekonomi. Sistem kredit menjadi kontra-produktif ketika proses akumulasi dan kredit bergerak saling mendahului. Marx, menyatakan “ credit suspends the barriers to the realization of capital only by raising them to their most general form “24, secara umum penggunaan kredit cenderung menciptakan masalah yang lebih buruk secara jangka panjang karena ia hanya dapat menyelesaikan masalah pada tahap pertukaran komoditas, bukan pada Produksi. Euphoria pasar financial dan spekulasinya ikut berpotensi mengancam stabilitas harga dan produksi komoditas. Harvey mengelaborasi Marx dengan menyatakan : On the surface, at least, the credit system contains the potential to straddle the antagonisms between production and consumption, between production and realization,between present uses and future labour, between production and distribution. It also provides means to arbritrate 23 24
Mrax, Karl, Capital III, Hal. Marx, Karl, Grundrisse, hal. 623.
32
between the individual and the class interest of capitalist and so contain the forces making for crises.25
Sistem kredit dan basis moneternya merefleksikan antagonism nilai yang mewujud pada fungsi uang dan akumulasi capital. Komoditas dan uang pada keadaan tertentu menjalankan peran serupa. Uang dapat menjadi komoditas itu sendiri, atau memiliki nilai tukar. Ia lalu bersifat independen terhadap nilai komoditas actual. Menjadikan proses sirkulasi capital ambivalen dan paradoksal. Marx menyatakan, : Its’s a basic principle of capitalist production that money , as an independent form of value, stands in opposition to commodities…..in times of squeeze, when credit contracts or ceases entirely, money suddenly stands out as the only means of payment and true existence of value in absolute opposition to all other commodities…therefore, the value of commodities is sacrificed for the purpose of safeguarding the fantastic and independent existence of this value in oney…for a few millions in money, many millions in commodities must therefore be sacrificed. This is inevitable under capitalist production and constitutes one of its beauties.26
Dengan demikian, analisa atas krisis financial dapat ditelusuri dari mekanisme internal kapitalisme itu sendiri. Logika dan proses akumulasi capital menciptakan ruang kontradiksi ketika berhadapan dengan sistem financial dan basis moneternya. Disini proses sirkulasi capital memegang peran krusial untuk menjelaskan kelahiran krisis financial.
1.5. Hipotesis Krisis financial global 2008 adalah salah satu periode historis kontradiksi akumulasi capital dalam kapitalisme. Realitas yang mengemuka adalah 25 26
Harvey, david, the limits to capital Marx, Karl, Capital 3, hal.516
33
Overakumulasi yang mendorong pada stagnasi ekonomi dan tampilnya finasialisasi ekonomi sebagai arena baru bagi produksi profit. Finansialisasi ekonomi bersifat rapuh, tidak stabil dan temporal. Krisis financial pada prinsipnya mengemuka sebagai kontradiksi antara akumulasi capital terhadap system kredit dan basis moneternya. Dilain pihak teori krisis dalam Marxisme mampu menjelaskan periodisasi krisis berdasarkan perubahan-perubahan objektif perkembangan produksi dan bentuk kapitalisme kontemporer.
1.6. Metode Penelitian Sebagai pertimbangan untuk mendapatkan hasil investigasi penelitian yang lebih dalam, pengerjaan tesis penelitian ini akan menggunakan “Pendekatan Kualitatif”. Sebagaimana yang digambarkan oleh Cassel dan Simon, metode kualitatif merupakan metode penelitian ilmu sosial yang berusaha melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat makna dari gejala yang terjadi dalam konteks sosial. Metode kualitatif menekankan pentingnya penggalian datadata melalui sumber-sumber tertulis dan terucapkan. Harapan dari setiap penelitian
kualitatif
adalah
berusaha
untuk
mendapatkan
data-data
menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti.27 1.6.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam riset penelitian ini ialah dengan mengumpulan beberapa data yang berasal dari bahan-bahan penting baik primer maupaun sekunder yang menyediakan banyak catatan dan laporan 27
R. Bogdan and SJ Tylor (eds), Introduction to Qualiative Research Methods,New York, Wiley, 1975.
34
mengenai krisis finasial 2008 . Dokumen-dokumen yang dimaksud berupa buku, artikel, jurnal, berita di koran, dokumen resmi, serta data lain yang menunjang penelitian ini. Selanjutnya bahan-bahan yang terkumpul akan diklasifikasikan untuk menunjang kebutuhan bahan-bahan per bab tesis ini.
1.6.2. Teknik Analisa Data Berbagai data yang terkumpul dan tersusun akan dianalisis sesuai dengan kerangka pikir penelitian. Secara komprehensif data itu menjadi kebutuhan penting untuk
melihat saling keterkaitan antara beberapa
variable penting yang menjadi fokus unit analisis yang dipilih.
Sesuai
kerangka pikir penelitian ini, analisis data secara kualitatif mengarah pada penelusuran 3 pokok variable yakni data yang menyangkut penerapan model ekonomi neoliberal yang berbasis finansialisasi di AS dan krisis yang terjadi, lalu analisa dengan perspektif Marxian baik dari karl Marx maupun para pemikir Marxian sesudahnya, dan terakhir analisis data yang kan menjawab bagaimana dari sejumlah data yang diolah dan diinterpretasikan yang bermuara pada hipotesis bahwa krisis finasial adalah krisis structuralkapitalisme.
1.7. Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 2 menyajikan periodisasi krisis ekonomi yang banyak dicatat sebagai krisis parah
35
kapitalisme. Selanjutnya peristiwa krisis tersebut akan dianalisa lewa pendekatan Marxist. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesinambungan dan koherensi teoritis dengan pembahasan di bab selanjutnya. Pada Bab 3, krisis ekonomi global 2008 akan dianalisa dengan teori kejatuhan tendensial tingkat laba. Termasuk, kritik atasnya. Pada sub bab berikutnya, sejarah finansialisasi akan diulas berdasarkan relasi dialketis antara Negara dan akumulasi capital atau ekonomi. Adapun Bab 4 adalah bab kedua analisa dimana penulis memaparkan relasi antara kontradiksi financial terhadap krisis ekonomi di sector riil. Disini akan diutarakan interpretasi Marxian mengenai kontradiksi sistem financial dan relasi dialektisnya terhadap akumulasi capital di ranah produksi komoditas.
36