BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha yang mempunyai peranan sangat penting dalam pembiayaan. Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar. Oleh karena itu, lembaga pembiayaan juga berperan sebagai salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang perekonomian nasional.1 Salah satu lembaga pembiayaan yang dapat menjadi pilihan masyarakat bisnis adalah modal ventura. Modal ventura adalah usaha yang melakukan pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu (Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan Pasal 1 huruf h Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Modal ventura saat ini dibutuhkan di dalam perekonomian Indonesia contohnya untuk usaha mikro, kecil dan menengah. Bentuk-bentuk usaha tersebut sering sekali mengalami kesulitan dalam pengembangan usahanya, namun mereka
1
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat menerima kredit dari bank karena pada umumnya bentuk-bentuk usaha tersebut belum berbentuk badan hukum. Pasal 4 Perpres No. 9 Tahun 2009 menyebutkan kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura (PMV) meliputi penyertaan saham (equity participation), penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quatie equity participation), dan pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing). Kegiatan-kegiatan usaha tersebut menjadi bentuk-bentuk penyertaan modal yang dipakai oleh PMV di dalam pemberian modal ventura, namun di dalam praktik pelaksanaan modal ventura di Indonesia bentuk-bentuk penyertaan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bentuk penyertaan modal, yaitu penyertaan langsung (direct investment) dan penyertaan tidak langsung (indirect investment).2 Penyertaan langsung adalah pola pembiayaan yang dilakukan oleh PMV dengan cara memberikan pembiayaan langsung kepada Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) yang sudah/akan berbentuk badan hukum dengan bertindak sebagai salah satu pemegang saham di PPU.3 Penyertaan tidak langsung yaitu penyertaan modal oleh PMV pada PPU tidak dalam bentuk modal saham (equity), tetapi dalam bentuk obligasi konversi (convertible bond) atau bagi hasil (profit sharing).4 Obligasi konversi (semi equity financing) diartikan sebagai bentuk pembiayaan yang pada awalnya dalam bentuk
2
Budi Rachmat, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha mikro, kecil dan menengah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 31-33. 3 Ibid., hal. 31 4 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
hutang piutang yang kemudian nantinya dikonversikan menjadi saham.5 Pola pembiayaan bagi hasil (profit and loss sharing) adalah bentuk penyertaan oleh PMV yang didasarkan pada prinsip-prinsip bagi hasil dalam suatu usaha bersama antara PMV dan PPU.6 Namun perlu diingat prinsip bagi hasil yang diterapkan di dalam perjanjian modal ventura berbeda dengan prinsip bagi hasil yang diketahui umumnya di dalam masyarakat. Di dalam perjanjian pembiayaan modal ventura, bagi hasil yang diterapkan adalah prinsip bagi hasil yang ditentukan oleh PMV secara sepihak berdasarkan laporan keuangan PPU. Meskipun ada beberapa bentuk penyertaan modal yang ditawarkan oleh PMV, namun dalam praktiknya bentuk pembiayaan dengan pola bagi hasil yang banyak dilakukan. Dipilihnya bentuk pembiayaan dengan pola bagi hasil ini disebabkan oleh latar belakang kondisi PPU dan faktor keterbatasan dari PMV. PPU pada umumnya merupakan usaha mikro, kecil dan menengah bentuk usahanya sebagian besar usaha perseorangan dan belum berbadan hukum. Dengan bentuk badan usaha yang demikian, PMV tidak mungkin untuk melakukan penyertaan modal dalam bentuk saham atau obligasi konversi. Di sisi lain, PMV juga akan kesulitan mengingat masih adanya keterbatasan-keterbatasan, baik dari segi kemampuan dana maupun dari segi sumber daya manusianya, yang akan ditempatkan pada manajemen PPU.7 Pola bagi hasil inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Pasal 13 ayat 1 Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 menentukan bahwa untuk memperoleh izin usaha, diajukan permohonan kepada menteri dengan 5
Ibid., hal. 34. Ibid., hal. 35. 7 Ibid., hal. 35-36. 6
Universitas Sumatera Utara
melampirkan contoh perjanjian pembiayaan yang diperlukan. Berdasarkan pasal tersebut disimpulkan bahwa kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh PMV dalam bentuk penyertaan modal pada PPU harus dilakukan dengan membuat perjanjian, dan perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk tertulis. Hal ini juga merupakan alat pembuktian yang sah bagi PMV dan PPU dan bahwa kegiatan pembiayaan tersebut benar dilaksanakan. Perjanjian dalam bentuk tertulis (kontrak) merupakan dasar bagi terjadinya penyertaan modal dalam usaha modal ventura. Mengingat yang dibahas di dalam tesis ini adalah pola bagi hasil maka perjanjian yang mendasari terjadinya penyertaan modal dalam hal ini adalah Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Keberadaan modal ventura dalam tatanan bisnis Indonesia diawali dengan dikeluarkannya peraturan yang mengatur tentang lembaga pembiayaan, yakni Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 (Keppres No. 61 Tahun 1988) yang dikeluarkan tanggal 20 Desember 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 yang dikeluarkan tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua peraturan tersebut kemudian dikenal atau disebut dengan Paket Desember 1988. Keppres No. 61 Tahun 1988 kemudian diganti dengan keluarnya Perpres No. 9 Tahun 2009
tentang
Lembaga
Pembiayaan,
sedangkan
Kepmenkeu
No.
1251/KMK.013/1988 ditambah dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.017/1995 (Kepmenkeu
No. 468/KMK.017/1995)
tentang Perubahan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kemudian, pada tahun 1995 keluar
Universitas Sumatera Utara
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 469/KMK.017/1995 (Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995) tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura. Akan tetapi peraturan tersebut tetap mengacu kepada peraturan mengenai lembaga pembiayaan sehingga Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995 menjadi lex spesialis, dan Perpres No. 9 Tahun 2009 dan Kepmenkeu
No.
468/KMK.017/1995 menjadi lex generalis untuk modal ventura. Praktik modal ventura diakui oleh Bank Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-undang Pokok Perbankan. Pengaturan mengenai kredit macet di dalam undang-undang tersebut membenarkan bank untuk menyertakan modalnya ke dalam perusahaan debitur, dengan ketentuan bahwa sampai jangka waktunya berakhir bank tersebut akan menarik kembali penyertaan modal tersebut. Kemiripan inilah yang mendasari bahwa modal ventura diakui oleh Bank Indonesia. Pengawasan dan pembinaan modal ventura dilakukan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia (Pasal 11 Perpres No. 9 Tahun 2009). Hal ini berbeda dengan lembaga pembiayaan lainnya yang pengawasannya dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan dibantu oleh Bank Indonesia. Pengawasan dan pembinaan oleh Menteri Keuangan dilakukan dengan bentuk penyampaian laporan operasional dan laporan keuangan secara tahunan kepada Menteri Keuangan (Pasal 17 Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988). Secara faktual, Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil belum diatur secara tegas dan rinci di dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang menuntut
Universitas Sumatera Utara
adanya kesatuan pemahaman para pihak atas isi dan tujuan perjanjian (Pasal 1320 jo. Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Asas tersebut dijadikan acuan oleh para pihak dalam setiap perjanjian yang dibuat di Indonesia, termasuk dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Selain itu mengingat di dalam praktiknya perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaril, maka isi dan proses pembuatannya juga harus mengacu kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 2004) tentang Jabatan Notaris. Berdasarkan penelitian awal yang diperoleh, PMV umumnya menentukan isi dari perjanjian pembiayaan, termasuk besarnya imbalan jasa bagi hasil, sehingga walaupun kebebasan berkontrak dan ketentuan mengenai akta notaril mendasari perjanjian pembiayaan tersebut, PMV cenderung mendominasi pelaksanaan pembiayaan modal ventura. Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil berbentuk perjanjian standar (baku). PMV menetapkan rancangan perjanjian tersebut terlebih dahulu dan diperlihatkan kepada PPU dan setelah PPU setuju dituangkan dalam bentuk akta di hadapan notaris yang telah dipilih oleh perusahaan tersebut dan selanjutnya ditandatangani oleh para pihak. Hal ini merupakan keuntungan bagi PMV karena PMV dapat menerapkan klausula-klausula yang dikehendakinya, sedangkan bagi PPU perjanjian ini menimbulkan ketidakseimbangan dengan adanya klasula-klausula yang tidak adil dan memberatkannya. Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata memperbolehkan para pihak untuk mengadakan perjanjian standar (baku) karena kepada para pihak tersebut diberikan hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya
Universitas Sumatera Utara
(leave it). Oleh karena itu, setelah PMV menetapkan rancangan perjanjian, PPU memiliki hak untuk menyetujui atau menolak rancangan tersebut, dan akhirnya kebebasan berkontrak tidak terlanggar. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka untuk dapat lebih mengetahui modal ventura dan perjanjian pembiayaan antara PMV dan PPU maka perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membuat penelitian yang berjudul TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk perjanjian antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha? 2. Bagaimanakah kedudukan para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha? 3. Bagaimanakah cara penyelesaian wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Setiap pelaksanaan suatu kegiatan penelitian memiliki tujuan yang akan dicapai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian antara perusahaan modal ventura dengan perusahaan pasangan usaha. 2. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dengan perusahaan pasangan usaha. 3. Untuk mengetahui cara penyelesaian wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dengan perusahaan pasangan usaha.
D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak pada rumusan masalah yang dikemukakan, manfaat dari penelitian ini adalah 1. Secara teoritis a. Sebagai bahan informasi dan tambahan bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan. b. Menambah khasanah kepustakaan, khususnya dalam hukum pembiayaan. 2. Secara praktis a. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pemberian modal ventura.
Universitas Sumatera Utara
b. Sebagai bahan masukan bagi PT. Sarana Sumut Ventura, PMV dan PPU. c. Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran bagi masyarakat tentang pemberian modal ventura sesuai dengan ketentuan mengenai lembaga pembiayaan. d. Sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan peraturan perundangundangan nasional khususnya yang berhubungan dengan pemberian modal ventura.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA, belum pernah ada yang melakukan penelitian ini sebelumnya. Dengan demikian, maka dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.8 Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.9 Konsep mengekspresikan suatu abstraksi yang terbentuk melalui generalisasi dari pengamatan terhadap fenomena (obyek, kejadian, atribut atau proses).10 Otje Salman dan Anton F. Susanto menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat dari berbagai ahli, yaitu teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.11 Penetapan suatu kerangka teori merupakan suatu keharusan dalam penelitian. Hal ini disebabkan, kerangka teori digunakan sebagai landasan berpikir untuk
8
Ensiklopedia Bebas, Wikipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/teori, diakses 6 Januari 2010. 9 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 194. 10 Kerlinger, Definisi Teori, http://www.pdf-search-engine.com/definisi-teori-pdf.html, diakses 6 Januari 2010. 11 H. R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu mengenai pelaksanaan perjanjian bagi hasil perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha. Teori yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak lahir dan berkembang seiring dengan pertumbuhan aliran filsafat yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas. Teori ini sangat mendominasi teori hukum kontrak. Inti permasalahan hukum kontrak lebih tertuju kepada realisasi kebebasan berkontrak. Dalam bidang ekonomi berkembang aliran laissez faire yang dipelopori Adam Smith yang menekankan prinsip nonintervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar, tetapi Adam Smith tidak menolak campur tangan pemerintah hanya dikurangi seminimal mungkin. Pemerintah hanya diperkenankan untuk ikut campur secara minimal, khususnya dengan alasan demi tegaknya keadilan. Campur tangan yang berlebihan yang bersifat distorsif dianggap sebagai pelanggaran akan keadilan.12 Pandangan moral yang membela kebebasan berkontrak ditemukan dalam tulisan filsuf moral terkenal dari Jerman, Immanuel Kant. Menurut Kant, hukum harus ditopang oleh landasan moral, yang disebut sebagai otonomi kehendak (autonomie willens atau autonomy of the will). Otonomi kehendak berkaitan dengan moralitas otonom, yakni kesadaran manusia akan kewajiban yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sangat baik. Berdasarkan rumusan otonomi kehendak itu, Kant merumuskan esensi kontrak. Esensi kontrak adalah bersatunya 2 (dua) kehendak pihak yang satu dengan
12
Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
pihak lainnya. Apa yang diperoleh dari analisis Kant mengenai kontrak adalah suatu hal personal, yakni suatu hak yang hanya berlaku terhadap seseorang dan tidak yang lainnya.13 Doktrin liberalis-individualisme yang berkembang pada abad ke-19 berpengaruh langsung atas kebebasan berkontrak yang berimbas kepada lahirnya paradigma baru hukum kontrak yang timbul dari 2 (dua) dalil di bawah ini: Setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd) Setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang Dalam paradigma baru ini, dalam kontrak timbul 2 (dua) aspek, yaitu pertama, kebebasan (sebanyak mungkin) untuk mengadakan suatu kontrak, dan kedua, kontrak tersebut harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, karena para pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam mengadakan kontrak tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkontrak dan kesucian (sanctity) kontrak menjadi dasar keseluruhan hukum kontrak yang berkembang saat itu. Dengan perkataan lain, orientasi mereka adalah kesucian dan kebebasan berkontrak. Sebagai konsekuensi adanya penekanan kebebasan berkontrak, kemudian dianut pula dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan oleh maksud atau kehendak para pihak. Hal tersebut menjadi prinsip mendasar hukum kontrak yang mengikat untuk dilaksanakan segera begitu mereka telah mencapai kesepakatan. Dengan demikian kebebasan berkontrak di dalam teori hukum kontrak klasik memiliki 2 (dua) gagasan utama, yakni kontrak
13
Ibid., hal. 43-73.
Universitas Sumatera Utara
didasarkan kepada persetujuan dan kontrak sebagai produk kehendak (memilih) bebas.14 Konsep modern kebebasan berkontrak menjadi dasar signifikan dalam leksikon hukum kontrak dan signifikansi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki hak otonomi untuk menentukan bargain mereka sendiri dan menuntut pemenuhan dari apa yang mereka sepakati. Dengan adanya konsensus para pihak, maka timbul kekuatan mengikat kontrak sebagaimana layaknya undang-undang. Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka (cum nexum faciet mancipimque, uti lingua mancouassit, ita jus esto). Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya kontrak (verbindende kracht van de overereenkomst)15, dan menjadi kekuatan yang mengikat Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil yang dapat dilihat dari adanya kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang kemudian menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kebebasan berkontrak merupakan teori universal dan dianut oleh hukum perjanjian di hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggris, teori ini dituangkan dalam berbagai istilah, antara lain Freedom of Contract, Liberty of Contract atau Party Autonomy.16 Di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk 14
Ibid., hal 81-90. Ibid., hal 91-102. 16 Felix S. Subagjo, Perkembangan Azas-azas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis selama 25 Tahun Terakhir, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Perkembangan Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis Indonesia, Jakarta, 18-19 Februari 1993, hal. 5. 15
Universitas Sumatera Utara
Wetboek (BW), terutama pada Pasal 1338 yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun dengan adanya teori ini bukan berarti para pihak dapat seenaknya membuat suatu perjanjian, dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu kontrak dimulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya, yang terutama untuk kontrakkontrak bisnis kerapkali dilakukan secara tertulis.17 Adakalanya, kesepakatan suatu kontrak yang ditandai dengan penandatanganan kontrak dilakukan tidak berdasarkan keinginan salah satu pihak, misalnya karena ada kekhilafan, paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata), untuk hal tersebut harus diingat bahwa masing-masing pihak harus mengalaskan pembuatan perjanjian dengan adanya itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata) dan juga harus sesuai dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata). b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, semua orang cakap (berwenang) membuat kontrak kecuali mereka yang tergolong sebagai berikut yaitu orang yang
17
Munir Fuady (Munir Fuady I), Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
belum dewasa, orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, wanita bersuami, dan orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Tetapi sejak adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 (SEMA RI No. 3 Tahun 1963) maka kedudukan seorang perempuan yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya lagi. Hal ini semakin dipertegas oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) dalam Pasal 31 ayat 1 bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. c. Suatu hal tertentu Hal tertentu adalah hal yang merupakan obyek dari suatu kontrak. Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undagan terhadap obyek tertentu dari suatu kontrak, khususnya jika obyek kontrak tersebut berupa barang, yaitu (1) merupakan barang yang dapat diperdagangkan, (2) pada saat kontrak dibuat, barang telah dapat ditentukan jenisnya, (3) jumlah barang tersebut tidak boleh tertentu, (4) boleh merupakan barang yang akan
Universitas Sumatera Utara
ada di kemudian hari, (5) bukan merupakan barang yang termasuk ke dalam warisan yang belum terbuka.18 d. Suatu sebab yang halal Dalam Pasal 1337 KUH Perdata, dapat ditarik rumusan negatif mengenai pengertian sebab yang halal yaitu sebab yang dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban sosial.19 Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih syarat-syarat sahnya kontrak tersebut yaitu kontrak menjadi batal demi hukum, dapat dibatalkan, tidak dapat dilaksanakan dan/atau mendapat sanksi administratif.20 Kontrak yang dibahas di dalam penelitian ini adalah Perjanjian Modal Ventura. Namun sebelum membahas mengenai Perjanjian Modal Ventura, terlebih dahulu akan dipaparkan pengertian-pengertian mengenai modal ventura itu sendiri. Modal ventura merupakan terjemahan dari terminologi bahasa Inggris yaitu Venture Capital dan dewasa ini istilah modal ventura tersebut telah dipergunakan secara meluas dalam tata hukum pergaulan hukum dan bisnis di Indonesia. Dalam Dictionary of Business Terms disebutkan “Modal ventura adalah suatu sumber pembiayaan yang penting untuk memulai suatu perusahaan yang melibatkan resiko investasi tetapi juga menyimpan potensi keuntungan di atas keuntungan rata-rata dari investasi dalam bentuk lain. Karena itu modal ventura disebut juga sebagai risk capital.” 21
18
Ibid., hal. 37. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 163. 20 Munir Fuady I, op.cit, hal. 36. 21 Munir Fuady (Munir Fuady II), Hukum tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 135. 19
Universitas Sumatera Utara
Menurut Handowo Dipo, modal ventura adalah suatu dana usaha dalam bentuk saham atau pinjaman yang dapat dialihkan menjadi saham. Dana tersebut bersumber dari PMV yang mengharapkan keuntungan dari investasinya tersebut.22 Suharsono Sagir memberikan pengertian modal ventura, yaitu sebagai suatu tindakan masyarakat atau individu pemilik dana yang berani mengambil resiko dalam bentuk investasi atau pemilikan saham dengan ikut serta dalam kegiatan operasional usaha.23 Pihak yang terlibat di dalam modal ventura terbagi 2 (dua) yaitu Perusahaan Modal Ventura (PMV) dan Perusahaan Pasangan Usaha (PPU). Secara yurudis formal Pasal 1 huruf h Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 memberi definisi bahwa PMV (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu PPU (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu. Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 9 Tahun 2009 disebutkan bahwa PMV (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.
22
Handowo Dipo, Sukses Memperoleh Dana Usaha dengan Tinjauan Khusus Modal Ventura, Grafiti, Jakarta, 1993, hal. 10. 23 Ali Ridho, Hukum Dagang tentang Prinsip-prinsip dan Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung, 1992, hal. 317.
Universitas Sumatera Utara
Pada Pasal 1 huruf i Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 disebutkan bahwa PPU adalah perusahaan yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari PMV. Untuk lebih mengkhususkan PPU yang dimaksud di maka perlu diuraikan bahwa yang menjadi PPU di dalam perjanjian yang dibahas dalam tulisan ini adalah usaha mikro, kecil dan menengah. Hal ini disebabkan hanya PPU yang berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah yang menjadi PPU Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil tersebut. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 (UU No. 20 Tahun 2008) tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Pasal 6 ayat 1 usaha mikro yaitu entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Pasal 6 ayat 2 menguraikan yang disebut dengan Usaha Kecil adalah entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah). Sementara itu, yang disebut dengan Usaha Menengah (Pasal 6 ayat 3) adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,- (dua
Universitas Sumatera Utara
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,(lima puluh milyar rupiah). Para pihak di dalam modal ventura diikat dengan suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari adanya kesepakatan antara PMV dan PPU yang isinya memuat persyaratan tertentu24, termasuk jumlah fasilitas dana yang diberikan dan imbalan jasa bagi hasil. Perjanjian inilah yang mendasari kerjasama antara PMV dan PPU dan kemudian melahirkan hak dan kewajiban antara kedua perusahaan tersebut. Menurut Munir Fuady, “Dokumen pokok yang paling penting sebagai bukti adanya kerja sama dalam usaha modal ventura adalah perjanjian modal ventura. Oleh karena itu, di dalam praktik bentuk-bentuk penyertaan modal yang dilakukan PMV ada beberapa macam, maka jenis perjanjiannya pun tergantung pada masingmasing bentuk penyertaan modal mana yang dipilihnya.”25
Syarat-syarat Top of For yang lazim diperjanjikan dalam perjanjian pemberian modal ventura yaitu:26 1. Suku bunga atau besarnya persentase bagi hasil dari modal ventura yang diberikan. 2. Jangka waktu penggunaan modal ventura oleh PPU. 3. Cara-cara pengembalian modal ventura dari PPU kepada PMV. 4. Jaminan atau agunan atas pemberian modal ventura tersebut. 5. biaya yang harus dikeluarkan dan menjadi tanggungan PPU. 6. Asuransi jiwa dan kerugian. 7. Bantuan manajemen atau keikutsertaan pihak PMV ke dalam manajemen/operasional PPU, dan sebagainya termasuk di dalamnya syaratsyarat positive covenant dan negative covenant seperti halnya dengan
24
Sunaryo, op,cit, hal. 28. Munir Fuady II, op.cit, hal. 167. 26 Hasanuddin Rahman, Segi-segi dan Manajemen Modal Ventura, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 119. 25
Universitas Sumatera Utara
pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya dan atau perusahaan leasing (lessor) kepada lessee.
Pola bagi hasil merupakan bentuk penyertaan oleh PMV yang didasarkan pada prinsip-prinsip bagi hasil dalam suatu usaha bersama antara PMV dan PPU27. Perlu diperhatikan bahwa prinsip bagi hasil di dalam perjanjian tersebut berbeda dengan praktik-praktik bagi hasil pada umumnya yang membagi keuntungan dan kerugian secara bersama. Prinsip bagi hasil di dalam perjanjian modal ventura merupakan prinsip pembagian dengan berdasarkan atas perhitungan dari keuntungan (laba) yang diperoleh PPU sebelum atau sesudah pemberian dana. Jadi dapat dikatakan pola bagi hasil di dalam PMV ditentukan oleh PMV itu sendiri. Acapkali dalam praktik pelaksanaan perjanjian modal ventura terdapat prestasi atau kewajiban yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya yang telah dibebankan kepada pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Hal ini disebut dengan wanprestasi (wanprestatie, default). Berkenaan dengan perbuatan wanprestasi, R. Setiawan mengemukakan 3 (tiga) bentuk wanprestasi sebagai berikut:28 a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali b. Terlambat memenuhi prestasi c. Memenuhi prestasi secara tidak baik Menurut R. Setiawan, wanprestasi membawa akibat yang dapat merugikan para pihak yang bersangkutan dalam melakukan perjanjian, oleh karena itu
27 28
Sunaryo, op.cit, hal. 35. R. Setiawan, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
hendaknya para pihak harus mentaati ketentuan yang sudah ditetapkan sebelum perjanjian dilakukan. Sebagai penyelesaian dari adanya wanprestasi, di dalam Pasal 1243 KUH Perdata disebutkan bahwa pihak yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan penggantian biaya, rugi dan bunga. Namun di dalam praktik pembiayaan dengan pola bagi hasil diambil 5 (lima) bentuk penyelesaian wanprestasi, yaitu dengan penyelamatan (restucturing, reconditioning, rescheduling dan injection), take over, penjualan aset PPU, offseting dan legal action. Penyelamatan yang terdiri dari restucturing,
reconditioning,
dan
rescheduling
dilakukan
mengingat
diperbolehkannya upaya penyelamatan kredit bermasalah dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/12/BPPP (SEBI No. 23/12/BPPP) tanggal 28 Februari
1991
tentang
Penggolongan
Kolektibilitas
Aktiva
Produktif
dan
Pembentukan Cadangan atas Aktiva yang Diklasifikasikan dan Upaya Penyelamatan Kredit yang Dapat Dilakukan oleh Bank. Di dalam praktik para pihak menyelesaikan wanprestasi dengan didahului oleh musyawarah. Di dalam musyawarah disebutkan alasan mengapa PPU melakukan wanprestasi dan bentuk penyelesaian yang sesuai untuk permasalahan yang dihadapi oleh PPU sehingga terjadi wanprestasi. Musyawarah biasanya menghasilkan keputusan untuk penyelamatan tersebut di atas yaitu restucturing, reconditioning, rescheduling dan injection. Bentuk penyelesaian ini diambil karena lebih efektif dan efisien bagi PMV sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar dan PMV dapat tetap melaksanakan kegiatan usahanya tanpa terganggu.
Universitas Sumatera Utara
2. Konsepsional Konsepsional merupakan salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsepsi adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. Peranan konsepsional dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realistis.29 Agar menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman mengenai konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan definisi operasional dari konsep yang dipergunakan, yaitu: 1) Modal ventura adalah salah satu bentuk lembaga pembiayaan yang melakukan penyertaan modal dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk membantu usaha yang membutuhkan investasi modal dan kemudian mendapatkan keuntungan dari penyertaan modal tersebut. 2) Perusahaan Modal Ventura (PMV) adalah suatu perusahaan di dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil yang memberikan modal kepada PPU dengan jangka waktu tertentu dan mendapat keuntungan berupa imbalan jasa dan laba dari PPU tersebut sesuai yang diperjanjikan. Adapun yang dimaksud dengan PMV dalam penelitian ini adalah PT. Sarana Sumut Ventura. 3) Perusahaan pasangan usaha (PPU) adalah suatu bentuk usaha yang berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah yang membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya dan menerima suntikan modal dari PMV dengan disertai jaminan terlebih dahulu yang kemudian akan dikembalikan dengan 29
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
melakukan pembayaran imbalan jasa dan laba yang diperolehnya kepada PMV. 4) Bagi hasil yaitu suatu bentuk pemberian imbalan jasa yang diterima PMV sebagai akibat dari adanya pembiayaaan kepada PPU yang didasarkan pada perhitungan dari laporan keuangan PPU yang ditentukan sepihak oleh PMV. 5) Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil adalah suatu perjanjian kerjasama antara PMV dan PPU yang didasari oleh prinsip bagi hasil yang diterapkan di dalam PMV (PT. Sarana Sumut Ventura), di mana PMV terikat untuk memberikan bantuan modal kepada PPU dan PPU terikat untuk memberikan imbalan jasa dan laba yang diperolehnya kepada PMV. 6) Wanprestasi adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan oleh PMV atau PPU yang berupa kesalahan pemenuhan prestasi yang telah diperjanjikan di dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil, baik karena kesengajaan atau kelalaian, yang penyelesaiannya telah dicantumkan dalam perjanjian ataupun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah
Universitas Sumatera Utara
hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.30 Sifat penelitian penulisan ini yaitu deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.31
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT. Sarana Sumut Ventura tepatnya di Jalan Abdullah Lubis No. 62A Medan. Hal ini mengingat PT. Sarana Sumut Ventura memiliki ruang lingkup pemasaran di daerah kota Medan dan sekitarnya, dan perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan di Sumatera Utara yang lingkup kegiatan usahanya hanya pembiayaan modal ventura.
3. Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Berdasarkan kekuatan mengikatnya, bahan hukum untuk memperoleh data terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
30
Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hal. 336. 31 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.32 Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu perjanjian modal ventura antara PT. Sarana Sumut Ventura dan PPU, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perpres No. 9
Tahun
2009
tentang
Lembaga
Pembiayaan,
Kepmenkeu
No.
468/KMK.017/1995 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura, UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer33 yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan obyek penelitian. c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder34, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian. Di samping itu, data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan responden yang berhubungan dengan materi penelitian ini, yaitu
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 55. 33 Ibid., hal. 55. 34 Ibid., hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
a. Direktur PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Bapak Julfizar, S.H. b. Kepala Bagian Legal dan SDM PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Ibu Jumaliati, S.H. c. PPU PT. Sarana Sumut Ventura yang berjumlah 205 (dua ratus lima) PPU, dan yang diambil menjadi responden sebanyak 5 % (lima persen) dari jumlah tersebut yaitu 10 (sepuluh) PPU yang dianggap representatif atau merupakan perwakilan dari seluruh populasi.
4. Metode dan Alat Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier35, yaitu buku-buku, majalah-majalah, tulisan dan karangan ilmiah yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Di samping itu juga digunakan studi dokumentasi yaitu cara memperoleh data melalui pengkajian dan penelaahan terhadap catatan tertulis maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Alat pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu a. studi dokumen, yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teoriteori, buku-buku, hasil penelitian dan dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan.
35
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
b. wawancara dengan responden, yang dilakukan secara langsung dan mendalam, terarah dan sistematis kepada narasumber yaitu sebagai berikut: 1) Direktur PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Bapak Julfizar, S.H. 2) Kepala Bagian Legal dan SDM PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Ibu Jumaliati, S.H. 3) PPU PT. Sarana Sumut Ventura yang berjumlah 205 (dua ratus lima) PPU, dan yang diambil menjadi responden sebanyak 5 % (lima persen) dari jumlah tersebut yaitu 10 (sepuluh) PPU yang dianggap representatif atau merupakan perwakilan dari seluruh populasi.
5. Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.36 Kegiatan
analisis
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menginventarisasi peraturan perundang-perundangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi obyek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian dilakukan penganalisisan secara kualitatif berupa pembahasan, antara berbagai data sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang telah diinventarisir dan pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkretnya, sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika
36
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
berpikir deduktif, yang menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum yang terkait dengan tesis ini dan kemudian dihubungkan dengan Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil.
Universitas Sumatera Utara