BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal Program Pemberantasan Penyakit menitik beratkan kegiatan pada upaya mencegah berjangkitnya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mengurangi akibat buruk dari penyakit menular maupun tidak menular. Penyakit menular masih menjadi masalah prioritas dalam pembangunan kesehatan masyarakat
di
Indonesia.
Dalam
daftar
Sistem
Pencapaian
Minimum
(SK MENKES No.145710, 2003) sejumlah penyakit menular dicantumkan sebagai masalah yang wajib menjadi prioritas oleh daerah. Masalah penyakit menular masih memprihatinkan, beberapa jenis penyakit bahkan menunjukkan kecenderungan meningkat dan belum berhasil diatasi seperti TB paru, malaria, dan demam berdarah dengue. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Haemorraghic Fever merupakan suatu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan, penyakit tersebut penyebarannya sangat cepat dan sering menimbulkan kejadian luar biasa /wabah, sehingga menyebabkan banyak penderita yang sakit bahkan sampai meninggal. DBD selain berdampak langsung terhadap kesehatan, juga dapat mengakibatkan masalah lain seperti masalah keluarga, sosial maupun ekonomi (Depkes, 2007). Menurut Amarasinghe, dkk (2011) dari tahun 1960-2010 terjadi peningkatan kasus DBD secara drastis di 22 negara di Afrika. Hal tersebut terkait
1
2
dengan factor genitik dari host dan vektornya. Penelitian oleh Vanwambeke, dkk (2006) menemukan bahwa pola menularan DBD bervariasi dan berpola sesuai dengan geografis daerahnya. Disambping hal tersebut dikatakan juga bahwa faktor determinan yang penting dalam infeksi virus DBD adalah lokasi pemukiman dan lingkungan pemukiman (termasuk irigasi dan halaman rumah). Permasalahan utama penyakit DBD secara umum adalah bahwa 2,5 sampai 3 milyar orang berisiko terserang penyakit ini, Aedes aegypti adalah vektor epidemi utama, penyebaran penyakit mulai menyerang daerah perkotaan hingga daerah pinggiran/pedesaan. Diperkirakan terdapat 5 sampai 10 juta kasus per tahun, 50.000 kasus menuntut perawatan di Rumah Sakit, dan 90 % menyerang anak-anak di bawah 15 tahun. Rata-rata angka kematian (Case Fatality Rate/ CFR) mencapai 5 %, secara epidemis bersifat siklis (terulang pada jangka waktu tertentu), dan belum ditemukan vaksin pencegahnya (Depkes RI, 2000). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, hal ini tampak dari kenyataan yang ada, bahwa seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD. Hal ini disebabkan oleh virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum di seluruh Indonesia. Di Indonesia, dari waktu ke waktu penyakit DBD cenderung meningkat jumlah penderitanya dan semakin menyebar luas. Angka kesakitan DBD secara nasional adalah 18,25 per 10.000 penduduk dengan kematian sebesar 2,5 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2007 Incident Rate (IR) DBD yakni 71,8 per
3
100.000 penduduk, dengan CFR 0,86. Tahun 2008, IR 95,2 per 100.000 penduduk, CFR 0,86 %. Tahun 2009, IR 67 per 100.000 penduduk, CFR 0,87 %. Tahun 2010, IR 64,9 per 100.000 penduduk, CFR 0,89 %. (Depkes RI, 2011). Data tersebut menujukkan bahwa angka kejadian DBD berfluktuasi tahun 2008 terjadi peningkatan yang drastis kemudian terjadi penurunan secara perlahan pada tahun 2009 sampai 2010. Penurunan kasus DBD tersebut ternyata diikuti dengan peningkatan angka kematian kasus tersebut yaitu dari 0,87% tahun 2009 menjadi 0,89% pada tahun 2010. Perkembangan kasus BDB di daerah Bali tahun 2007 mencapai 6,375, dengn jumlah kematian 14 orang. Tahun 2008, mencapai 6.266 dengan jumlah kematian 19 orang.
Tahun 2009, mencapai 5.810 dengan jumlah kematian
9 orang dan tahun 2010 mencapai 10.864 kasus dengan jumlah kematian 31 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian DBD berfluktuasi, terjadi peningkatan yang tajam pada tahun 2010 sebanyak 10.864 kasus. Angka kematian akibat DBD juga meningkat tajam pada tahun 2010 yaitu 31 orang. Hal ini menunjukkan belum berhasilnya upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, tahun 2008 untuk Kecamatan Mengwi sebanyak 230 kasus, Kecamatan Abiansemal sebanyak 365 kasus. Kecamatan Petang sebanyak 5 kasus, Kecamatan Kuta Utara sebanyak 321, tahun 2009 untuk Kecamatan Mengwi sebanyak 349 kasus, Kecamatan Abiansemal sebanyak 123 kasus, Kecamatan Kuta Selatan sebanyak 222 kasus, Kecamatan Kuta sebanyak 424 kasus, Kecamatan Petang sebanyak 14 kasus,
4
Kecamatan Kuta Utara sebanyak 332 kasus, tahun 2010 untuk Kecamatan Mengwi sebanyak 981 kasus, Kecamatan Abiansemal sebanyak 519 kasus, Kecamatan Kuta Selatan sebanyak 661 kasus, Kecamatan Kuta sebanyak 510 kasus, Kecamatan Petang sebanyak 33 kasus, Kecamatan Kuta Utara sebanyak 743 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, 2011).
Data tersebut
menunjukkan bahwa kasus BDB telah menyebar ke seluruh wilayah Kabupaten Badung dengan jumlah kasus yang cukup banyak di setiap wilayah tersebut. Angka kejadian DBD di Puskesmas Kuta Utara menunjukkan peningkatan dan penyebaran yang meluas ke seluruh wilayah kerja puskesmas tersebut. Di UPT Puskesmas Kuta Utara dilaporkan dari tahun 2008 sebanyak 321 kasus dengan perincian: Kelurahan Kerobokan Kelod 32 kasus, Kelurahan Kerobokan 64 kasus, Kelurahan Kerobokan Kaja 47 kasus, Desa Dalung 114 kasus, Desa Cangu 43 kasus, Desa Tibubeneng 21 kasus, tahun 2009 sebanyak 332 kasus dengan perincian: Kelurahan Kerobokan Kelod 39 kasus, Kelurahan Kerobokan 60 kasus, Kelurahan Kerobokan Kaja 34 kasus, Desa Dalung 52 kasus, Desa Canggu 29 kasus, Desa Tibubeneng 18 kasus, tahun 2010 sebanyak 743 kasus dengan perincian: Kelurahan Kerobokan Kelod
43 kasus, kelurahan
Kerobokan 225 kasus, Kelurahan Kerobokan Kaja 38 kasus, Desa Dalung 285 kasus, Desa Canggu 97 kasus, Desa Tibubeneng 55 kasus. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapat vektor
5
nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 1995). Lingkungan biologik yang mempengaruhi penularan penyakit DBD ialah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah dan halamannya, banyak tanaman hias sebagai tempat hinggap, istirahat dan juga menambah umur nyamuk (Chaya I, 2003). Penyebab masih tingginya angka kesakitan DBD adalah angka bebas jentik (ABJ) masih rendah.
Angka ini sebagai indikator keberhasilan
program pemberantasan DBD yang ternyata belum mencapai hasil yang optimal, pemberantasan sarang nyamuk yang merupakan upaya efektif untuk pencegahan DBD belum dilaksanakan secara optimal, mobilitas penduduk yang tinggi mempunyai andil terhadap pnyebarluasan penyakit DBD (Juanda, 2005). Berbagai
upaya
penanggulangan
penyakit
DBD
telah
dilakukan
pemerintah namun tampaknya berbagai upaya tersebut belum memberikan hasil memuaskan, hal ini diakibatkan oleh berbagai faktor, misalnya program yang bersifat parsial, sesaat, sporadik, kurang sistemis dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat luas. Penelitian yang dilakukan oleh Suyasa, Adiputra dan Redi Aryanta( 2009) di Puskesmas I Denpasar Selatan terkait hubungan faktor lingkungan dan perilaku masyarakat
terhadap keberadaan vektor DBD,
menemukan bahwa tingginya vektor DBD sangat berhubungan dengan kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, keberadaan pasar, tempat ibadah, keberadaan pot, saluran air hujan, keberadaan kontainer dan kebiasaan menggantung pakaian.
6
Penelitian yag dilakukan oleh Santoso dan Budiyanto (2008) di Padang terkait perilaku pencegahan DBD didapatkan bahwa 48,3% pengetahuan reponden terhadap DBD adalah rendah. Penelitian terhadap sikap didapatkan bahwa 50,2% responden mempunyai sikap negatif terhadap pencegahan DBD. Perilaku responden dalam penanganan DBD didapatkan bahwa
45,7% responden
berperilaku masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh program P2 DBD. Penelitian dari Mahardika (2009) di Jogyakarta menemukan bahwa beberapa perilaku berkaitan dengan masih tingginya jumlah vektor DBD yakni; rendahnya kebiasaan penduduk dalam: membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, menguras tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas, membuang sampah pada tempatnya dan membakarnya, menggantung pakaian, dan perilaku penggunaan lotion anti nyamuk. Hasil survey pendahuluan di Desa Tibubeneng tanggal 1 sampai dengan 4 Juni 2011 melalui wawancara dan pengamatan diketahui bahwa perilaku ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan sangat berpotensi mendukung terjadinya penyakit DBD, didapat berbagai data mengenai perilaku dan kondisi lingkungan yang belum mendukung kesehatan dan 10 ibu rumah tangga pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap penyakit DBD masih kurang. Desa Tibubeneng berpenduduk 9.967 orang dengan 2.422 kepala keluarga, 30 persennya merupakan penduduk pendatang. Perilaku pencegahan DBD pada penduduk pendatang dengan penduduk asli tampak bervariasi. Dari 10 KK yang diobservasi didapatkan
7
bahwa 4 KK merupakan pendatang dan perilakunya kurang baik, 6 KK merupakan penduduk asli dan perilaku pencegahan DBD-nya baik. Desa Tibubeneng, dilalui oleh lintasan jalan kabupaten Tabanan (Tanah Lot), merupakan wilayah semiurban. Mobilitas penduduknya cukup tinggi untuk bekerja. Sebagian besar keluarga memiliki tanaman hias di pekarangan rumah, situasi seperti ini sangat menguntungkan nyamuk penyebar DBD sebagai tempat beristirahat. Informasi dari Dasa Wisma, kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) hanya dilakukan dalam lingkungan rumah saja, belum melakukan pemantauan jentik berkala (PJB) di luar lingkungan rumah, termasuk tempattempat umum, tempat penampungan air alami. DBD merupakan penyakit tropik infeksi menular yang disebabkan oleh virus dengue melalui perantara nyamuk ae aegypti.
Kasus DBD senantisa
meningkat dan kejadiannya terus berulang. Kabupaten Badung merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sangat rentan dengan issue penyakit DBD. Masih tingginya angka kejadian DBD di Kabupaten Badung, khususnya di wilayah UPT Puskesmas Kuta Utara menjadi bukti bahwa upaya pencegahan DBD perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Upaya pemberantasan DBD telah dilakukan melalui berbagai program P2M dan pemberdayaan masyarakat, namun hingga saat ini belum cukup efektif dapat mengurangi insiden DBD. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan pencegahan masih kurang.
8
1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah hubungan sosiodemografi masyarakat
terhadap perilaku
pencegahan Demam Berdarah Dengue di Desa Tibubeneng Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung ?
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Untuk mengetahui hubungan pendidikan terhadap perilaku pencegahan Demam Berdarah Dengue di Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. 1.3.2. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan terhadap perilaku pencegahan Demam Berdarah Dengue di Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. 1.3.3. Untuk mengetahui hubungan status tinggal terhadap perilaku pencegahan Demam Berdarah Dengue di Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.
1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Menambah khasanah pengembangan teori dan konsep ilmu keperawatan terutama dalam perawatan komunitas khususnya didalam menghadapi kejadian DBD. Data yang ditemukan dapat digunakan sebagai informasi dalam pengembangan pemahaman hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan DBD.
9
1.4.2 Praktis Dari penelitian ini diharapkan akan menemukan gambaran tentang faktor karakteristik,
pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat dalam
menghadapi kejadian DBD. Data tentang karakteristik akan berguna dalam memberikan gambaran terkait kelompok yang tepat sebagai sasaran edukasi.
Data tentang pengetahuan, sikap dan perilaku akan dapat
digunakan untuk merancang pola pembelajaran didalam menghadapi kejadian DBD pada masyarakat di Desa Tibubeneng Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Utara.