BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keputusan ekonomi biasanya didasarkan atas informasi yang tersedia bagi para pengambil keputusan. Untuk memperoleh manfaat yang terbaik, para pengguna harus memiliki informasi ekonomi yang relevan dan handal. Kebutuhan akan informasi keuangan yang relevan dan handal ini menciptakan permintaan akan jasa akuntansi dan audit. Auditor melaksanakan proses audit agar laporan keuangan bebas dari salah saji yang material. Proses audit merupakan salah satu pelayanan assurance. Jasa assurance merupakan jasa profesional independen yang meningkatkan kualitas (misalnya, reliabilitas dan relevansi) informasi, atau lingkungan konteksnya bagi para pengambil keputusan (Dan et al, 2002:9). Auditor harus mengumpulkan bukti yang berkaitan dengan setiap tujuan khusus ketika melaksanakan prosedur audit. Dari data yang terkumpul itulah, auditor akan dapat membuat kesimpulan apakah ada asersi manajemen yang salah saji atau tidak. Kesimpulan mengenai masing-masing asersi digabungkan sebagai dasar untuk memberikan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan. Salah satu keputusan mengenai bukti apa yang harus dikumpulkan dan berapa banyak adalah melalui penentuan prosedur audit yang akan digunakan (Indarto , 2011:1).
1
2
Fakta yang terjadi dilapangan terdapat beberapa auditor yang melakukan pengurangan kualitas audit. Pengurangan kualitas audit sering disebut sebagai Reduced Audit Quality (RAQ), yang berarti kegagalan auditor untuk melengkapi langkah program
audit yang dilakukan secara sengaja. Salah satu contoh
pengurangan kualitas audit adalah penghentian prematur atas prosedur audit. Penghentian prematur atas prosedur audit dapat disebabkan oleh faktor karakteristik personal dari auditor serta faktor situasional saat melakukan audit. Penelitian ini akan berfokus pada faktor situasional saat melakukan audit yaitu time pressure (tekanan waktu ) dan ketersediaan bukti audit (Indarto ,2011:1 ). Penghentian prematur atas prosedur audit menurut Weningtyas, dkk (2006) adalah tindakan penghentian terhadap prosedur audit atau tidak melengkapi langkah prosedur audit yang disyaratkan tetapi auditor berani mengungkapkan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Pada penelitian Hyatt (2001:2) menjabarkan mengapa auditor melakukan premature sign-off : 1. Langkah audit yang dianggap tidak perlu 2. Langkah audit yang tidak dimengerti 3. Klien dikenakan tekanan tenggat waktu 4. Kemalasan atau kebosanan dengan pekerjaan yang membosankan Salah satu fakta yang menganggu tekanan waktu dalam mengaudit yang dilakukan oleh auditor yaitu kasus PT.Muzatek Jaya yang dipaparkan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Samsuar Said dalam siaran pers yang diterima hukumonline.com tanggal 28 Maret 2007 adalah kasus
3
pelanggaran oleh seorang Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan. Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004. Fakta lainnya yang dipaparkan oleh anggota Dewan Pengurus Ikatan Komite Audit
Indonesia
(IKAI)
Setiawan
Kriswanto
yang
diberitakan
dalam
akuntanonline.com pada tanggal 15 February 2013 adalah kasus komite audit yang tidak mempunyai cukup waktu dalam mengaudit. Banyaknya temuan berulang dan informasi yang tidak diungkap emiten dalam laporan tahunan (LT) ini ditenggarai minimnya waktu yang diberikan manajemen kepada komite audit dalam memeriksa laporan tahunan sebelum diserahkan kepada regulator industri masing masing emiten atau perusahaan publik. Menurut Setiawan Kriswanto, komite selama ini hanya diberi waktu seminggu untuk melihat dan mengevaluasi laporan tahunan yang dibuat manajemen. Fakta lainnya lagi adalah kasus dana kampanye pemilihan legislatif tahun 2009 yang dilansir detiknews oleh Elvan Dany Sutrisno pada tanggal 02 Juli 2009 bahwa terdapat partai politik yang melakukan manipulasi dana kampanye. Salah satu yang membuat pelaporan dana kampanye tidak valid dan rawan manipulasi menurut Adnan, waktu yang ditetapkan KPU terlalu pendek sehingga audit dana
4
kampanye terkesan serabutan. Waktu audit yang diberikan hanya satu bulan sehingga audit dana kampanye hasilnya sia-sia karena tidak memenuhi prinsip dasarnya yaitu keterbukaan atau tidak transparansi sehingga terdapat laporan dana kampanye dari beberapa partai politik yang memiliki salah saji yang material dalam mencatatnya setelah diperiksa oleh ICW. Fakta kedua yang mengganggu ketersediaan bukti audit yang dilakukan oleh auditor adalah kasus PT.Telkom yang diberitakan dalam bumn.go.id oleh Rizal tanggal 3 Desember 2003 dimana KAP Haryanto Sahari menolak sebagai first layer yang menjadi acuan KAP Eddy Pianto dan rekan untuk melakukan audit sebelumnya karena KAP Eddy pianto meminta izin untuk melihat filling form 20-F dan ditolak oleh PT. Telkom maka KAP HS menolak memberikan hasil audit sebelumnya kepada KAP EP. Perlakuan KAP HS menyebabkan kerugian langsung beberapa pihak salah satunya pihak KAP EP. KAP EP menjadi tidak memiliki kecukupan bukti auditnya karena keterbatan waktu yang mereka punya sehingga hasil auditnya pun ditolak. Kejadian ini membuat indeks harga saham gabungan PT.Telkom merosot dan merugikan negara. Kedudukan KAP EP merupakan korban yang dilakukan oleh KAP HS. Fakta lainnya seperti yang telah dipaparkan oleh wakil ketua BPK Hasan Bisri yang diterima akuntanonline.com pada tanggal 10 Oktober 2013 dimana terdapat banyaknya rekayasa akuntansi yang dilakukan BUMN yang tidak berhasil diungkap akuntan publik (AP) saat melakukan audit laporan keuangan, karena BUMN tersebut tak memberikan data-data keuangan secara lengkap. Penyebabnya adalah karena AP memiliki rasa sungkan untuk mengumpulkan dan
5
meminta data kepada BUMN. Selain itu, dari evaluasi BPK atas AP yang melakukan audit laporan keuagan BUMN terlihat tidak terlalu memperhatikan kepatuhan akan perundang- undangan, tapi hanya melihat kesesuaian penyajian laporan keuangan dengan SAK (Standar Akuntansi Keuangan). SPAP (Standar Profesonal Akuntan Publik) tidak terlalu concern dengan masalah kepatuhan. Praktik penghentian prematur atas prosedur audit banyak dilakukan oleh auditor terutama dalam kondisi time pressure (tekanan waktu) ( Coram, et al., 2004). Time pressure terdiri dari dua dimensi, yaitu time budget pressure dan time deadline pressure (Dezoort dan Lord,1997). Timbulnya time budget pressure disebabkan oleh adanya jumlah waktu yang telah dialokasikan dalam melengkapi tugas audit tertentu, sedangkan munculnya time deadline pressure disebabkan adanya kebutuhan untuk melengkapi tugas audit berdasarkan pedoman waktu tertentu. Pada praktiknya hal ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi seorang auditor dalam melaksanakan pekerjaannya. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Candrawiansah (2012) yaitu menguji prioritas prosedur audit yang dihentikan secara prematur serta menguji apakah time pressure, dan independensi memiliki dampak terhadap keputusan untuk melak ukan penghentian prematur. Perbedaan penelitian ini terdapat pada beberapa hal. Pertama, penelitian ini menginvestigasi apakah variabel time pressure, dan ketersediaan bukti audit yang dilakukan di Kantor Akuntan Publik berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.
6
Kedua, perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya terletak dalam sampel penelitian. Sampel penelitian ini adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di wilayah Bandung, Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Alasan peneliti menggunakan sampel ini karena Kantor Akuntan Publik yang terletak di wilayah tersebut umumnya bertaraf regional. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “PENGARUH TIME PRESSURE, DAN KETERSEDIAAN BUKTI AUDIT TERHADAP PENGHENTIAN PREMATUR ATAS PROSEDUR AUDIT”. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian yang telah dilakukan diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh time pressure/ tekanan waktu terhadap terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit 2. Bagaimana pengaruh ketersediaan bukti audit terhadap terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang pengaruh time pressure, dan ketersediaan bukti audit terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh time pressure/ tekanan waktu terhadap terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit.
7
2. Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bukti audit terhadap terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit. 1.4 Kegunaan Penelitian Dengan dilakukannnya penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan manfaat diantaranya sebagai berikut : 1.4.1 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi : 1. Bagi Penulis Diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruh time pressure dan ketersediaan bukti audit terhadap penghentian prematur atas prosedur audit dan bisa membandingkan antara teori yang dipelajari dengan praktik yang sesungguhnya secara nyata yang diterapkan pada perusahaan yang terkait. 2. Bagi Pembaca Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan referensi bagi penelitian sejenis 3. Bagi Perusahaan Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada perusahaan/ Kantor Akuntan Publik (KAP) khususnya kepada auditor untuk mengetahui sejauh mana pengaruh time pressure dan ketersediaan bukti audit terhadap penghentian prematur atas prosedur audit sehingga dengan pemahaman terhadap prosedur audit yang
8
akan dilakukan tersebut maka auditor akan dapat memiliki kualitas jasa audit yang baik.
1.4.2
Kegunaan Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menjadi tambahan referensi atau
rujukan mengenai pengaruh time pressure/tekanan waktu dan ketersediaan bukti audit terhadap penghentian prematur atas prosedur audit dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan disamping itu, penelitian tersebut dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu akuntansi. Penelitian ini, diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan yang berarti bagi studistudi yang berkaitan dengan time pressure, ketersediaan bukti audit dan prosedur audit. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kantor Akuntan Publik (KAP) di wilayah Bandung, Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang. Sedangkan waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai dengan Agustus 2014.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konstruktif Variabel Penelitian 2.1.1 Pengertian Auditing Menurut Arens, et al (2012:24) auditing adalah : “Auditing is the accoumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person.”
Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah : “Proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.
Definisi auditing menurut Messier, dkk, seperti yang dialihbahasakan oleh Nuri Hinduan (2006:16) adalah : “Audit (auditing) adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh, mempelajari, dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif yang berhubungan dengan asersi atas tindakan dan peristiwa ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dan menetapkan kriteria serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihakpihak yang berkepentingan”.
Dari beberapa penjelasan sebelumnya memberikan pernyataan bahwa dalam melakukan kegiatan auditing, dilakukan tindakan-tindakan mengumpulkan,
10
mempelajari, mengevaluasi, menentukan, dan melaporkan. Proses audit harus dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen. 2.1.2 Pengertian Kantor Akuntan Publik Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 2011 mengenai akuntan publik menyatakan bahwa : “Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan berdsarkan ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini”. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2001:20000,1) mendefinisikan Kantor Akuntan Publik sebagai berikut : “Suatu bentuk organisasi Akuntan Publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha di bidang pemberian jasa profesional dalam praktik Akuntan Publik.” Berdasarkan Undang-Undang dan Ikatan akuntan Indonesia diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah suatu badan usaha yang didirikan dan memiliki izin dari Menteri Keuangan sebagai tempat atau wadah bagi akuntan publik untuk melakukan pekerjaan dan penugasan di bidang pemberian jasa profesional dalam praktik Akuntan Publik.
11
2.1.3 Tinjauan Profesi Akuntan Publik Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 17 Tahun 2008,akuntan adalah: 1. “Akuntan adalah seseorang yang berhak menyandang gelar atau sebutan akuntan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.
Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.”
Profesi akuntan publik dikenal masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi pemakai informasi laporan keuangan. Timbul dan berkembangnya profesi ini sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan. Akuntan Publik merupakan pihak ketiga independen untuk menilai kehandalan laporan keuangan yang disajikan manajemen untuk para pemakai. Profesi akuntan publik di Indonesia mengalamai perkembangan yang signifikan sejak awal tahun 70an, sejalan dengan semakin banyaknya investasi dan perusahaan di Indonesia. 2.1.4 Standar Auditing 2.1.4.1 Standar Umum Standar auditing menurut Standar Profesional Akuntan Publik yang telah disahkan dan ditetapkan oleh IAI (2001: 150.2) sebagai berikut : a. Audit harus dilakukan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
12
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib mengggunakan kemahiran profesionalnya
dengan
cermat
dan
seksama. 2.1.4.2
Standar Pekerjaan Lapangan Standar pekerjaan lapangan yang telah ditetapkan dan disahkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia sebagai berikut : a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menetukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 2.1.4.3
Standar Pelaporan Standar pelaporan yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia sebagai berikut : a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. b. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang didalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan
13
keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit. d. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa penyataan demikian tidak dapat diberikan, jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya. 2.1.5 Tipe Auditor Ada beberapa jenis auditor dewasa ini yang berpraktik Menurut Mulyadi (2002:29). Jenis yang paling umum adalah auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor intern. 1. Auditor Independen Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Profesi auditor independen memperoleh honorarium dari kliennya dalam menjalankan keahliannya, namun auditor independen harus independen, tidak memihak kepada kliennya.
14
2. Auditor pemerintah. Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintah atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Auditor yang bekerja di instansi pemerintah pada umumnya di Indonesia terbagi menjadi dua bagian yaitu auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternal dan auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal pemerintah. 3. Auditor Intern. Auditor intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organiasai, menentukan efisiensi dan efektifitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. Dari penjelasan diatas mengenai tipe-tipe auditor, maka dapat disimpulkan bahwa auditor memiliki tipe yang berbeda yaitu auditor sebagai (1) auditor independen yang mana auditor tidak boleh memihak kepada pihak atau klien selama penugasan audit dilakukan, (2) auditor pemerintah dimana auditor yang bekerja di instansi pemerintah baik sebagai auditor eksternal pemerintah yaitu
15
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sebagai auditor internal pemerintah yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), (3) auditor internal dimana auditor bertugas pada suatu perusahaan guna menilai efektifitas dan efisiensi dari suatu organisasi serta membantu manajemen perusahaan.
2.1.6 Hirarki Auditor Menurut Mulyadi (2002: 33) umumnya hirarki auditor dalam perikatan audit di dalam Kantor Akuntan Publik dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
Sumber : Halim (1997:15) Gambar 2.1 Berdasarkan susunan tabel di atas mengenai hirarki auditor dalam suatu Kantor Akuntan Publik (KAP) yaitu sebagai berikut : 1. Partner (rekan) Partner menduduki jabatan tertinggi dalam pemeriksaan audit yang bertanggungjawab atas hubungan dengan klien, bertanggungjawab secara menyeluruh mengenai auditing, menandatangani laporan audit dan
16
management letter, dan bertanggungjawab terhadap penagihan fee audit dari klien. 2. Manajer Manajer bertindak sebagai pengawas audit yang bertugas untuk membantu auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit, me-review kertas kerja, laporan audit, dan management letter. 3. Auditor senior Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit, bertanggungjawab untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana, bertugas untuk mengarahkan dan me-review pekerjaan auditor junior. 4. Auditor junior Auditor junior melaksanakan prosedur audit secara rinci, membuat kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang dilaksanakan. Dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai auditor junior, seorang auditor harus belajar secara rinci mengenai pekerjaan audit. Auditor junior sering juga disebut dengan asisten auditor. Dengan adanya hirarki auditor, maka sesama bagian dari hirarki seperti auditor junior yang melakukan prosedur audit secara rinci dapat dikoreksi pekerjaan dan hasil auditnya oleh auditor senior, untuk pekerjaan auditor senior pun dapat dikoreksi oleh manajer apabila terdapat kesalahan dalam melakukan penugasan maupun pemeriksaan audit. Hirarki auditor di KAP dalam penugasan audit sangatlah jelas dan sesuai dengan tingkatan yang ada didalamnya.
17
Karakteristik hirarki dalam KAP membantu meningkatkan kompetensi dalam memberikan layanan yang lebih baik bagi klien. 2.1.7 Tipe Audit Akuntan publik melakukan tiga jenis audit menurut Arens, et al (2008:16) yang diterjemahkan oleh Herman Wibowo yaitu sebagai berikut : 1. Audit operasional (operational audit) Audit operasional dilaksanakan untuk mengevaluasi efisiensi dan efektifitas setiap bagian dari prosedur dan metode organisasi operasi. 2. Audit ketaatan (compliance audit) Audit ketaatan dilaksanakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit atau klien telah mengikuti prosedur, aturan, atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi. 3. Audit laporan keuangan (financial statement audit) Audit laporan keuangan dilaksanakan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan seperti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Jenis-jenis audit dibuat karena semakin kompleksnya perusahaan baik itu perusahaan besar, perusahaan kecil, dan perusahaan menengah. Maka dari itu perusahaan bisa memilih untuk melakukan jenis audit yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
18
2.1.8 Tipe Pendapat Auditor Menurut Halim (1997:63) tipe pendapat auditor dibagikan menjadi 5 tipe pendapat yaitu : 1.
Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelas.
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tetapi terdapat keadaan atau kondisi tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan. 3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion) Pendapat ini diberikan jika tidak ada bukti kompeten yang cukup, adanya pembatasan lingkup audit yang material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan, auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dan prinsip akuntansi yang berlaku umum yang berdampak material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan.
19
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengen prinsip akuntansi yang berlaku umum. 5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclamer opinion) Pernyataan auditor untuk tidak memberikan pendapat ini layak diberikan apabila ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun kondisi terrtentu, dan auditor tidak independen terhadap klien. 2.1.9
Prosedur Audit Prosedur audit menurut Arens (2012:195) adalah : “An audit procedure is the detailed instruction that explains the audit evidence to be obtained during the audit”. Maksud dari pernyataan diatas bahwa prosedur audit merupakan instruksi
yang menjelaskan bukti audit yang harus diperoleh selama audit. Prosedur audit menurut Sunarto (2003:94) adalah : “Tindakan yang dilakukan atau metode dan teknik yang digunakan oleh auditor untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Prosedur bisa diterapkan pada data akuntansi ataupun pada proses untuk mendapatkan dan mengevaluasi informasi penguat”. Bukti audit diperoleh auditor melalui penerapan prosedur auditing. Pemilihan prosedur dilakukan saat tahap perencanaan audit. Pemilihan prosedur auditing mempertimbangkan efektivitas potensial prosedur dalam memenuhi tujuan spesifik audit, dan biaya untuk melaksanakan prosedur tersebut ( Halim,
20
1997:151). Menurut (Rahayu, 2013:135-137) terdapat 10 jenis-jenis prosedur auditing yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi penguat yaitu sebagai berikut : 1. Inspeksi (Inspecting) Meliputi penelitian secara cermat atau pemeriksaan atas dokumen dan catatan secara detail, dan pemeriksaan fisik atas aktiva berwujud. Prosedur ini dilakukan secara luas dalam auditing. Digunakan untuk memperoleh
dan
menilai
bottom-up
and
top-down
evidence.
Menginspeksi dokumen merupakan sarana untuk menilai documentary evidence. Misal: menilai keabsahan faktur prosedur inspeksi dilakukan auditor dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa dokumen atau aktiva berwujud mendukung representasi manajemen yang dinyatakan dalam laporan keuangan. 2. Konfirmasi (Confirming) Suatu bentuk pengajuan pertanyaan yang memungkinkan auditor untuk memperoleh
informasi
secara
langsung
dari
sumbernya
yang
independen. Menghasilkan confirmation evidence (bottom-up evidence). Merupakan penerimaan jawaban lisan atau tertulis pihak ketiga independen yang memverifikasi akurasi informasi yang diminta oleh auditor. Permintaan konfirmasi diajukan auditor pada klien, selanjutnya klien meminta pihak ketiga utnuk menjawab langsung kepada auditor.
21
3. Wawancara atau pengajuan pertanyaan (Inquiring) Pengajuan pertanyaan (lisan/tertulis) oleh auditor. Dilakukan kepada pihak intern (manajemen) atau ekstern (lawyer). Menghasilkan oral evidence atau written representation. Pengajuan pertanyaan dapat dilakukan terhadap karyawan, manajer, dan penasehat hukum klien. Wawancara yang dilakukan dengan manajer akan dapat menghasilkan berbagai informasi seperti tingkat penerimaan kembali piutang dan perputaran persediaan. Melalui wawancara dengan penasehat hukum klien, auditor dapat memperoleh informasi mengenai ada tidaknya kewajiban bersyarat klien. 4. Perhitungan (Counting) Merupakan prosedur perhitungan atas aktiva berwujud, yaitu kas, dan persediaan yang ada dalam perusahaan. Maka bukti yang dihasilkan berupa bukti fisik. Prosedur ini juga banyak dipakai dalam pemeriksaan kelengkapan dokumen-dokumen yang bernomor urut cetak. 5. Pengusutan (Tracing) Penelusuran untuk menentukan apakah transaksi telah dicatat dengan benar. Auditor melakukan pengusutan dengan cara melihat dokumen sumber kemudian mengecek pengolahan data yang terkandung dalam dokumen tersebut sampai ke buku besar. Pengusutan dapat dilakukan dalam pengujian transaksi maupun pengujian akun dalam neraca. Arah pengujian : dokumen
catatan.
22
Contoh prosedur pengusutan adalah pada pemeriksaan transaksi pembelian barang, pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa surat permintaan barang dari gudang kemudian dilanjutkan dengan surat order pembelian, faktur pembelian, laporan penerimaan barang, pos utang dalam buku pembantu utang, saldo pada buku besar utang dan persediaan. 6. Penelusuran (Vouching) Memperoleh dan menginspeksi dokumen yang digunakan sebagai dasar pencatatan untuk menentukan validitas dan kecermatan pencatatan. Arah pengujian : catatan
dokumen.
Merupakan kebalikan arah dengan prosedur pengusutan. Jika prosedur pengusutan searah atau sejalan dengan proses akuntansi, maka prosedur ini pertama kali melihat catatan akuntansi kemudian menelusurinya sampai ke dokumen sumber. 7. Observasi (Observing) Mengamati pelaksanaan suatu aktivitas/proses. Observasi merupakan prosedur pemeriksaan yang digunakan auditor untuk melihat atau mengamati
suatu
pelaksanaan
kegiatan.
Misalnya:
mengamati
penghitungan persediaan akhir serta mengamati apakah pegawai melaksanakan tugas sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. Subjek : personel, prosedur, dan proses
23
Memungkinkan auditor memperoleh pengetahuan langsung atas aktivitas tertentu dalam bentuk physical evidence. Melalui observasi auditor akan memperoleh bukti visual atau bukti fisik mengenai pelaksanaan suatu kegiatan. 8. Penghitungan kembali (Reperforming) Mengulang kembali penghitungan dan rekonsiliasi yang telah dibuat oleh klien. Prosedur ini dilakukan untuk memeriksa ketelitian penghitungan yang dilakukan oleh klien. Seperti, menghitung kembali penjumlahan,
perkalian,
depresiasi,
bunga
dan
sebagainya.
Menghasilkan mathematical evidence. 9. Prosedur Analitis (Analytical Procedure) Studi dan perbandingan hubungan diantara data. Meliputi pengguaan rasio-rasio,
analisa,
pembandingan-pembandingan,
model-model
matematik dan statistik (regresi). Prosedur
analitis
bertujuan
untuk
membantu
auditor
dalam
merencanakan sifat, saat dan luas prosedur audit. Memperoleh bukti suatu asersi sebagai suatu pengujian substantif dan menelaah secara menyuluruh informasi keuangan pada tahap akhir audit. Menghasilkan analytical evidence. 10. Computer-Assisted Audit Techniques (CAATs) Prosedur pengumpulan bukti audit dengan menggunakan program software untuk membantu auditor dalam melaksanakan prosedurprosedur audit tertentu bagi klien yang catatan akuntansinya telah
24
terintegrasi dengan menggunakan sistem yang telah dikomputerisasi (computerized). Teknik yang dilakukan adalah sama dengan prosedur analitis yaitu dengan melakukan penghitungan dan pembandingan (analytical procedures), dimana sebelumnya adalah dengan pemilihan sampel input data. Misalnya : memilih sampel untuk piutang usaha guna melakukan konfirmasi pada pelanggan. Selain itu teknik yang dilakukan adalah dengan cara memasukkan test data ke dalam program klien untuk menilai efektivitas internal control komputer klien. 2.1.10
Penghentian Prematur atas Prosedur Audit/Premature Sign Off Sesuai dengan standar auditing (IAI,2001) bahwa untuk menghasilkan
laporan audit yang berkualitas maka auditor harus melaksanakan beberapa prosedur audit. Prosedur audit merupakan serangkaian langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam melaksanakan audit. Menurut Shapeero (2003) pengertian penghentian prematur atas prosedur audit yaitu : “A premature audit sign-off occurs when an auditor documents the completion of a required procedure that is not covered by other audit procedures, without performing the work or nothing the omissiion of the procedure”. Maksud dari kutipan diatas adalah penghentian prematur atas prosedur audit terjadi ketika auditor mendokumentasikan prosedur audit yang diperlukan
25
pada saat prosedur tidak tercakup oleh prosedur audit yang lain, tanpa melakukan pekerjaan atau mencatat kelalaian prosedur. Menurut Qianhua (2010:40) pengertian penghentian prematur atas prosedur audit adalah : “A premature sign off defined as signing off the required audit step(s) without completing the work or not noting the omission of the work and these steps are not covered by other audit procedures. A premature sign off affects the quality of an internal audit and can also impact an external audit if the external auditor relies upon the work of the internal audit department”. Maksud dari pernyataan diatas adalah terjadinya ketidaklengkapan terhadap langkah-langkah audit/prosedur audit dalam suatu prosedur audit. Penghentian prematur atas prosedur ini mempengaruhi kualitas audit internal dan juga dapat berdampak audit eksternal jika auditor eksternal bergantung pada pekerjaan departemen audit internal . Terkadang auditor menemukan bahwa prosedur audit yang penting tidak dilakukan selama penugasan (omitted procedures / prosedur yg diabaikan). Sebagai contoh, penilaian horisontal dapat menentukan bahwa auditor tidak melakukan penghitungan uji persediaan yang memadai untuk mendukung pendapatnya atas laporan keuangan. SAS no.46, Consideration Of Omitted Procedures After The Report Date (AU 390), mengharuskan auditor untuk melakukan pekerjaan tambahan. Sebagai contoh, auditor harus melakukan penghitungan uji tambahan atas persediaan, jika pekerjaan tambahan ini tidak
26
dilakukan, maka auditor mungkin tidak dapat mendukung pendapat dan, jika dituntut, bisa disalahkan karena telah melanggar undang-undang kriminal. SAS no.46 dikeluarkan karena kualitas program penelaahan AICPA (Dan et al, 2002: 120). Raghunatan (1991) menyatakan : “ Audit personnel signing-off on audit program steps before completing one or more of required audit procedure”. Maksud dari kutipan tersebut adalah penghentian atas prosedur audit oleh auditor dilakukan ketika langkah-langkah program/prosedur audit yang diperlukan tidak dilanjutkan. Sehingga dapat dinyatakan dalam hal ini auditor tidak melengkapi langkah prosedur audit yang disyaratkan tetapi auditor berani mengungkapkan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Hyatt (2001:2) juga menyatakan : “The most common reason given for premature sign-off was time budget pressure. Other reasons given, in order of descending frequency, were (1) the audit step was considered unnecessary, (2) the audit step was not understood, (3) client-imposed deadline pressure, and (4) laziness or boredom with tedious work”.
Maksud dari kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa alasan yang paling umum dilakukannya penghentian prematur atas prosedur audit adalah tekanan anggaran waktu . Alasan lain yang diberikan dalam urutan frekuensi sampai yang rendah yaitu ( 1 ) langkah audit yang dianggap tidak perlu, ( 2 ) langkah audit
27
yang tidak dimengerti , ( 3 ) klien dikenakan tekanan tenggat waktu , dan ( 4 ) kemalasan atau kebosanan dengan pekerjaan yang membosankan. Kaplan (1995) juga menyatakan : “Posited that another reason premature sign-off occurs is because the organizational culture in public accounting firms does not sufficiently discourage the behavior. Although audit firms have incentives to perform high-quality audits, they also face increasing pressures to perform audits more efficiently”. Maksud dari kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa alasan lain auditor melakukan penghentian prematur atas prosedur audit yaitu karena terjadinya budaya organisasi di perusahaan akuntan publik yang tidak cukup mencegah perilaku seorang auditornya. Meskipun perusahaan audit memiliki insentif untuk melakukan audit berkualitas tinggi, mereka juga menghadapi peningkatan tekanan untuk melakukan audit lebih efisien. Menurut Alderman and Deitrick (1982) menjelaskna bahwa : “They found that 31% of the auditors believed that premature sign-off occurred in their office and more importantly, this undesirable behaviour occurred when the auditors believed that the step was unnecessary to the audit”. Maksud dari kutipan diatas menjelaskan bahwa mereka menemukan bahwa 31% dari auditor percaya bahwa premature sign-off terjadi di kantor mereka dan yang lebih penting, perilaku yang tidak diinginkan ini terjadi ketika auditor percaya bahwa langkah itu tidak perlu daudit. Agar menepati anggaran waktu yang telah ditetapkan, ada kemungkinan bagi auditor
untuk
melakukan
pengabaian
terhadap
prosedur
audit
bahkan
28
pemberhentian prosedur audit. Semakin besar pressure terhadap waktu pengerjaan audit, semakin besar pula kecenderungan untuk melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. 2.1.11
Time Pressure Menurut Amalia, dkk (2009) time pressure merupakan keadaan dimana
auditor dituntut untuk mempertimbangkan faktor ekonomi (waktu dan biaya) di dalam menentukan jumlah dan kompetensi bukti audit yang dikumpulkan. Jika dengan memeriksa jumlah bukti yang lebih sedikit dapat diperoleh keyakinan yang sama tingginya dengan pemeriksaan terhadap keseluruhan bukti, auditor memilih untuk memeriksa jumlah bukti yang lebih sedikit berdasarkan pertimbangan ekonomi biaya dan manfaat. Menurut Sunarto (2003:87) dijelaskan bahwa auditor bekerja dalam batasan biaya tertentu sehingga harus mengupayakan agar bisa memeperoleh bukti kompeten yang cukup dalam waktu pemeriksaan yang wajar pula. Auditor tidak jarang dihadapkan pada situasi untuk menentukan apakah tambahan waktu dan biaya akan menghasilkan manfaat yang sepadan berupa diperoleh nya bukti yang meyakinkan. Dalam
melaksanakan
proses
audit,
auditor
harus
dapat
mempertimbangkan biaya dan waktu yang tersedia. Pertimbangan tersebut menimbulkan time pressure/tekanan waktu. Jika waktu yang dialokasikan tidak cukup, auditor akan bekerja cepat, sehingga hanya melaksanakan sebagian prosedur audit yang disyaratkan (Waggoner dan Cashel, 1991).
29
Menurut DeZoort (1998) mayoritas penelitian tekanan waktu dalam mengaudit telah difokuskan pada evaluasi dampak yang timbul dari time pressure, menunjukkan keprihatinan mendominasi dengan efektivitas audit. Sebagian besar pekerjaan menunjukkan time pressure dapat mengakibatkan penghentian prematur prosedur audit dan perilaku underreporting. 1. Time Budget Pressure Unsur lain dari perencanaan auditor adalah penyusunan anggaran waktu (time budget), yang secara sederhana menetapkan pedoman mengenai jumlah jam untuk masing-masing bagian audit (Dan et al, 2002:474). Menurut Alderman, et al (1990:37) time budget didefinisikan sebagai berikut : “Time budget is an element of planning used by auditors which simply establishes guidelines in number of hours for each section of the audit”. Maksud kutipan tersebut menjelaskan bahwa time budget adalah suatu bagian dari perencanaan yang digunakan oleh auditor yang menetapkan panduan dalam satuan waktu jam untuk setiap seksi dari audit. Jumlah jam harus dialokasikan dengan persiapan dari skedul kerja yang menunjukkan siapa yang melaksanakan serta apa dan berapa lama hal tersebut dilakukan. Kemudian total jam tersebut dianggarkan pada kategori utama prosedur audit dan disusun dalam bentuk skedul mingguan.
30
Sedangkan menurut Meigs, et al (1992:133), time budget mempunyai definisi sebagai berikut : “A time budget for an audit is constructed by estimating the time required for each step in the audit program”. Berdasarkan definisi diatas, time budget didefinisikan sebagai waktu yang dianggarkan untuk melaksanakan langkah-langkah dalam setiap program audit. Time budget (anggaran waktu), apabila digunakan dengan secara tepat, dapat memiliki sejumlah manfaat. Anggaran tersebut memberikan metode yang efisien untuk menjadwal staf, memberikan pedoman kepentingan relatif tentang berbagai bidang audit, memberikan insentif kepada staf audit untuk bekerja secara efisien, dan bertindak sebagai alat untuk menentukan honor audit. Akan tetapi, anggaran waktu yang digunakan secara tidak benar dapat merugikan. Time budget (anggaran waktu) merupakan suatu pedoman, tetapi tidak absolut. Jika auditor menyimpang dari program audit apabila terjadi perubahan kondisi, auditor mungkin juga terpaksa menyimpang dari time budget. Auditor terkadang merasa mendapat tekanan untuk memenuhi time budget guna menunjukkan efisiensinya sebagai auditor dan membantu mengevaluasi kinerjanya. Akan tetapi, begitu saja mengikuti time budget juga tidak tepat. Tujuan utama dari audit adalah untuk menyatakan pendapat sesuai dengan standar auditing yang diterima umum, bukan untuk memenuhi time budget ( Dan et al, 2002:474-475).
31
Pengertian time budget pressure menurut DeZoort (1998) dalam jurnalnya, yaitu : “ Time budget pressure is a relatively chronic, pervasive form of pressure that arises from limitations on the resources allocable to perform tasks. Resources are limited for a variety of reasons, including profitability concerns, personnel limitations and fee constraints”.
Maksud dari kutipan tersebut adalah time budget pressure (tekanan anggaran waktu) merupakan bentuk tekanan yang muncul dari keterbatasan pada sumber daya dapat dialokasikan untuk melakukan dan menyelesaikan tugas audit. sumber daya yang terbatas untuk berbagai situasi, termasuk masalah profitabilitas, keterbatasan personil, dan kendala biaya. Margheim, et al (2005:24) menyatakan bahwa :
“Budget related time pressure can only occur when the budgeted amount of time is less than total available time and the auditor has the ability to respond to the pressure by completing the work on their personal time and underreporting the amount of time spent on the audit task”.
Maksud dari kutipan tersebut adalah anggaran yang terkait dengan tekanan waktu hanya dapat terjadi bila jumlah waktu yang dianggarkan kurang dari jumlah waktu yang tersedia dan auditor memiliki kemampuan untuk menanggapi tekanan dengan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan waktu yang ia punya dan tidak melaporkan jumlah waktu yang dihabiskan untuk tugas audit. Sedangkan menurut Kelley (2005) time budget pressure diartikan sebagai:
32
“Budget related time pressure can only occur when the budgeted amount of time is less than total available time”. Dari penjelasan di atas, time budget pressure merupakan suatu kondisi yang terjadi dimana jumlah waktu yang dianggarkan kurang dari waktu yang telah tersedia untuk menyelesaikan prosedur audit yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, seorang auditor
tersebut
mendapat
tekanan untuk
menyelesaikan
pekerjaannya secara tepat waktu. Menurut Alderman and Deitrick (1982) terdapat dampak negatif dari time budget pressure yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Narrowed scopes Reudced work on certain procedures Reliance on lower quality evidence Premature audit sign-offs Omission of some audit procedures Perilaku dibawah tekanan dapat berpengaruh terhadap kualitas audit. Ada
yang secara langsung berpengaruh pada penurunan kualitas audit dan ada yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap penurunan kualitas audit. Perilaku dibawah tekanan yang dapat berpengaruh secara langsung pada penurunan kualitas audit menurut Kelley dan Margheim (1990) adalah : 1. Premature signing-off on an audit program step 2. Reducing the maount of weak performed on audit step below what the auditor would consider reasonable 3. Making superficial review of client’s document 4. Accepting weak client’s explanation
33
2. Time Deadline Pressure Menurut DeZoort (1998) Time Deadline Pressure adalah : “ Time deadlines, on the other hand, are acute pressures characterized by the existence of spesific targets for task completion. In auditing, deadline pressure may come from within the accounting firm, from the client, or from third parties such as regulators”.
Maksud dari kutipan tersebut adalah bahwa batas waktu adalah tekanan akut ditandai dengan adanya target spesifik untuk menyelesaikan tugas. Dalam audit, tekanan batas waktu dapat berasal dari kantor akuntan publik, dari klien, atau dari pihak ketiga. Sifat tak terduga dari batas waktu dapat membuat para auditor lebih sulit untuk mengelola waktu dari pada anggaran, yang dapat diantisipasi dan ditangani dengan cara strategis. Menurut Margheim (2005:24) Time Deadline Pressure adalah : “Time deadline pressure occurs when auditors are pressured to complete audit tasks in the total available time before a deadline for completion of the task is reached. In this case, the task completion point is established rather than the number of hours to be used in completing the task”.
Maksud dari kutipan sebelumnya bahwa tekanan batasan waktu terjadi ketika auditor ditekan untuk menyelesaikan tugas audit dalam total waktu yang tersedia sebelum batas waktu untuk menyelesaikan tugas tercapai. Dalam hal ini, titik penyelesaian tugas sudah ditetapkan daripada jumlah jam yang akan digunakan dalam menyelesaikan tugas.
34
2.1.12 Bukti Audit Arens, Elder & Beasley (2012:24) mendefinisikan bukti audit sebagai berikut : “ Evidence is any information used by the auditor to determine whether the information being audited is stated in accordance with the established criteria”. Maksud dari definisi diatas adalah setiap informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi kuantitatif yang sedang diaudit disajikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Standar pekerjaan lapangan ketiga dalam pernyataan Standar Auditing No.7 (PSA No.7) berbunyi : “Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan auditan”. 2.1.12.1
Sifat Bukti Audit
Sifat bukti audit mencakup catatan akuntansi yang mendasari (underlying accounting data) dan semua informasi lain yang tersedia yang mendukung atau menguatkan (colaborating information) (Rahayu, 2013:122&123).
35
1. Bukti Pendukung Laporan Keuangan ( Data Akuntansi) - Jurnal-jurnal - Buku besar dan buku pembantu - Pedoman akuntansi - Memorandum dan catatan-catatan informal ( worksheets, perhitunganperhitungan, dan rekonsiliasi) 2. Bukti Penguat (Colaborating Evidence) - Dokumen-dokumen - Konfirmasi dan pernyataan tertulis lainnya - Informasi yang dipeorleh melalui pengajuan pertanyaan (inquiry), pengamatan (observation), Inspeksi (inspection), dan pemeriksaan fisik (physcical examination) - Informasi lain yang dikembangkan oleh auditor 2.1.12.2
Tipe Bukti Audit
Pengetahuan auditor secara pribadi dan langsung yang diperoleh melalui inspeksi
fisik
pengamatan,
perhitungan,
dan
inspeksi,
lebih
bersifat
menyimpulkan daripada bukti yang bersifat meyakinkan. Menurut Konrath (2002:114&115) ada enam tipe bukti audit, yaitu : 1. Physical Evidence Terdiri atas segala sesuatu yang bisa dihitung, dipelihara, diobservasi atau diinspeksi dan terutama berguna untuk meendukung tujuan eksitensi atau keberadaan. Contohnya adalah bukti-bukti fisik yang diperoleh dari kas
36
opname, observaasi dari perhitungan fisik persediaan, pemeriksaan fisik surat berharga dan inventarisasi aset tetap. 2. Evidence Obtain Through Confirmation Bukti yang diperoleh mengenai eksistensi, kepemilikan atau penilaian langsung dari pihak ketiga diluar klien. Contohnya jawaban konfirmasi piutang, hutang,konfirmasi dari penasihat hukum klien. 3. Documentary Evidence Terdiri atas catatan-catatan akuntansi dan seluruh dokumen pendukung transaksi. Contohnya faktur pembelian, copy faktur penjualan, journal voucher, general ledger. 4. Mathematical Evidence Merupakan perhitungan, perhitungan kembali dan rekonsiliasi yang dilakukan auditor. Contoh rekonsiliasi misalnya pemeriksaan rekonsiliasi bank, rekonsiliasi saldo piutang usaha dan utang menurut buku besar dan sub buku besar. 5. Analytical Evidence Bukti yang diperoleh melalui penelaahan analitis terhadap informasi keuangan klien. Penelaahan analitis ini harus dilakukan pada waktu membuat perencanaan audit,sebelum melakukan substantive test dan pada akhir pekerjaan lapangan. Prosedur analitis bisa dilakukan dalam bentuk : Trend analysis yaitu membandingkan angka-angka laporan keuangan tahun berjalan dengan tahun-tahun sebelumnya dan menyelidiki kenaikan/penurunan yang signifikan baik dalam jumlah rupiah maupun
37
persentase, common size analysis, dan ratio analysis misal menghitung rasio likuiditas, rasio probabilitas, rasio leverange dan rasio manajemen aset. 6. Hearsay Evidence Merupakan bukti dalam bentuk jawaban lisan dari klien atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan auditor. Misal pertanyaan auditor mengenai pengendalian internal. Test ketaatan atau test of recorder transactions adalah tes terhadap bukti-bukti pembukuan yang mendukung transaksi yang dicatat perusahaan untuk mengetahui apakah setiap transaksi yang terjadi sudah diproses dan dicatat sesuai dengan sistem dan prosedur yang ditetapkan manajemen. 2.1.12.3
Kompetensi Bukti Audit
Kompetensi bukti yang berupa data akuntansi maupun informasi penguat merupakan aspek penting dari standar pekerjaan laporan ketiga. Keandalan data akuntansi berhubungan langsung dengan efektivitas pengendalian intern klien. Pengendalian intern klien yang kuat akan menciptakan ketelitian dan keandalan catatan-catatan keuangan ( Sunarto, 2003:88) Kompetensi merupakan ukuran kualitas bukti audit. Untuk dapat dikatakan kompeten bukti audit terlepas dari bentuknya harus sah dan relevan. Bukti dianggap kompeten jika memberikan infomasi yang relevan dan handal. Terdapat faktor-faktor yang menentukan kompetensi bukti audit (Rahayu, 2013:118) yaitu :
38
1.
Relevan. Relevansi bukti diukur dari sejauh mana faedahnya bagi tujuan audit yang sedang diuji. Sebagai contoh, pengamatan fisik atas persediaan oleh auditor dalam pelaksanaan audit relevan untuk menentukan keberadaan persediaan, tapi tidak relevan dengan penentuan kepemilikan persediaan.
2. Sumber Bukti. Pada umumnyan bukti audit mengenai efektivitas desain dan operasi pengendalian yang diperoleh langsung oleh auditor dengan jalan pengamatan memberikan keyakinan lebih besar dibanding daripada melalui permintaan keterangan. Sumber informasi sangat berpengaruh terhadap kompetensi bukti audit. Kesahihan sumber bukti itu terdiri dari independensi pemberi informasi, efektivitas internal kontrol klien, diperoleh secara langsung oleh auditor, dan kualifikasi pemberi informasi. 3.
Ketepatan Waktu (Timeliness). Ketepatan waktu berhubungan dengan kapan bukti itu diperoleh atau tanggal pemakaian bukti. Ketepatan waktu sangat penting terutama dalam verifikasi aktiva lancar, utang lancar, dan laporan laba rugi. Hasilnya akan digunakan untuk mengetahui apakah cut off atau pisah batas telah dilakukan secara cepat. Bukti yang dipeorleh lebih dekat dengan tanggal neraca lebih kompeten dan memiliki tingkat keyakinan lebih tinggi daripada bukti yang diperoleh jauh dari tanggal neraca untuk saldo akun-akun neraca.
4.
Tingkat Objektivitas. Bukti yang bersifat obyektif lebih dapat diandalkan (reliable) dari pada bukti subyektif. Dalam melakukan penelaahan bukti
39
yang bersifat subyektif, misalnya perkiraan manajemen auditor harus mampu mempertimbangkan kualifikasi dan integritas individu pembuat estimasi dan menentukan ketepatan proses pembuatan keputusan dalam membuat judgement. 2.1.12.4
Ketersediaan/Kecukupan Bukti Audit
Audit yang dilakukan auditor independen bertujuan untuk memperoleh bukti audit kompeten yang cukup untuk digunakan sebagai dasar memadai dalam merumuskan pendapatnya. Bukti audit yang diperoleh harus cukup bagi auditor untuk merumuskan kesimpulan tentang validitas asersi individual yang terkandung dalam komponen laporan keuangan. Kecukupan adalah
ukuran
jumlah bukti audit ( Rahayu, 2013:121). Jumlah dan jenis bukti audit yang dibutuhkan auditor adalah sebagai berikut : 1. Memerlukan pertimbangan profesional auditor setelah mempelajari keadaan yang dihadapi. Dalam banyak hal auditor independen lebih mengandalkan bukti yang bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada bukti yang bersifat meyakinkan (convincing evidence). 2. Dipengaruhi oleh risiko salah saji. Semakin besar salah saji semakin banyak bukti audit yang kemungkinan diperlukan untuk memenuhi pengujian audit. Jumlah bukti audit terpengaruh oleh risiko salah saji material bagi saldo akun atau kelompok transaksi, dan terpengaruh oleh risiko salah saji material.
40
3. Dipengaruhi kualitas bukti audit. semakin tinggi kualitas bukti semakin sedikit bukti yang diperlukan untuk memenuhi pengujian audit. pertimbangan auditor dalam menentukan cukup tidaknya bukti audit. Pertimbangan auditor dalam menentukan cukup tidaknya bukti audit : a. Materialitas dan Risiko - Lebih banyak bukti diperlukan untuk akun-akun yang material - Lebih banyak bukti diperlukan untuk akun-akun yang risiko salah sajinya lebih tinggi. Misal : internal control lemah maka risiko akan tinggi. b. Faktor Ekonomi Auditor bekerja dalam batas-batas pertimbangan ekonomi, agar secara ekonomi bermanfaat, pendapatnya harus dirumuskan dalam jangka waktu yang pantas dan dengan biaya yang masuk akal. Auditor harus memutuskan dengan menggunakan pertimbangan profesionalnya, apakah bukti audit yang tersedia baginya dengan batasan waktu dan biaya, cukup memadai untuk membenarkan pernyataan pendapatnya. c. Ukuran dan Karakteristik Populasi Ukuran populasi berkenaan dengan banyaknya items di dalam populasi. Semakin besar populasi, semakin banyak bukti yang diperlukan. Karakteristik populasi berkenaan dengan homogenitas items yang membentuk populasi. Populasi yang itemsnya bervariasi memerlukan sampel yang lebih besar. Auditor memerlukan lebih banyak sampel
41
dan informasi yang lebih kuat atau mendukung atas populasi yang bervariasi anggotanya daripada populasi yang seragam. 2.1.12.5
Evaluasi Bukti Audit
Dalam menilai bukti audit, auditor harus mempertimbangkan apakah tujuan audit tertentu telah dicapai. Auditor harus secara mendalam mencari bukti audit dan tidak memihak dalam mengevaluasinya. Dalam mengevaluasi bukti audit, auditor harus tetap objektif dan tidak boleh membiarkan evaluasi atas bukti dibiaskan oleh pertimbangan lainnya. 2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1
Hubungan Antara Time Pressure Dengan Penghentian Prematur Atas Prosedur Audit Dalam melakukan suatu proses audit, seorang auditor harus dapat
mempertimbangkan biaya dan waktu. Auditor memiliki keterbatasan sumber daya yang digunakan untuk memperoleh bukti yang diperlukan sebagai dasar yang memadai untuk memberika pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Pelaksanaan audit menghadapai kendala waktu dan biaya dalam menghimpun bukti audit. auditor harus memperhitungkan apakah setiap tambahan biaya dan waktu untuk menghimpun bukti audit seimbang dengan keuntungan atau manfaat yang
diperoleh
(Halim,1997:142).
melalui
kuantitas
dan
kualitas
bukti
yang
dihimpun
42
Goma (2005) menyatakan bahwa: “Behavioral studies examining the effect of time pressure in auditing environments indicate that audit performance deteriorates due to time pressure through narrowed scopes, reduced work on certain audit procedures, reliance on lower quality evidence, premature audit sign-offs, and omission of some audit procedures”.
Maksud dari pernyataan diatas adalah studi perilaku memeriksa efek dari tekanan waktu dalam lingkungan audit menunjukkan bahwa audit kinerja memburuk karena tekanan saat melalui lingkup yang menyempit, mengurangi pekerjaan pada prosedur audit tertentu, ketergantungan pada kualiats bukti-bukti yang lebih rendah, penghentian prematur atas prosedur audit , dan penghilangan beberapa prosedur audit. Menurut DeZoort(1998) menyatakan bahwa : “Researchers to date have emphasized the deleterious effects of time constraints in audit practice in general and specifically on audit quality. These negative effects include, for example, premature sign-off on procedures, underreporting time, feelings of failure, burnout, job dissatisfaction, and undesired turnover”.
Bedasarkan kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat efek buruk dari keterbatasan waktu dalam suatu praktek audit secara umum maupun khusus terhadap suatu kualitas audit yang dihasilkan. Efek negatif tersebut seperti: penghentian prematur atas prosedur audit, waktu pengauditan yang tidak dilaporkan, perasaan gagal, kelelahan, ketidakpuasan kerja , dan turnover yang tidak diinginkan.
43
Auditor dituntut untuk dapat menyelesaikan prosedur audit yang disyaratkan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai dengan batasan waktu penugasan dan menghasilkan laporan tepat pada waktunya. Time pressure yang diberikan oleh Kantor Akuntan Publik
kepada auditornya bertujuan untuk
mengurangi biaya audit (Weningtyas dkk, 2006). Jika auditor semakin cepat dalam menyelesaikan tugas audit, maka biaya pelaksanaan penugasan audit akan semakin sedikit/kecil. Keadaan demikian memberikan kemungkinan auditor melakukan tingkat penghentian prematur atas prosedur audit. Tetapi, dengan keterbatasan waktu yang telah ditetapkan untuk auditor dalam tugas auditnya, auditor harus dapat menyelesaikan prosedur audit yang disyaratkan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. 2.2.2
Hubungan Antara Ketersediaan Bukti Audit Dengan Penghentian Prematur Atas Prosedur Audit Tujuan audit laporan keuangan adalah untuk memberikan pendapat ata
skewajaran laporan keuangan klien. Untuk mendasari pemberian pendapat tersebut, auditor harus memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti yang mendukung laporan keuangan tersebut. Dengan demikian, pekerjaan audit adalah pekerjaan mengumpulkan atau memeproleh dan mengevaluais bukti tersebut (Halim, 1997:140). Pada umumnya dalam melakukan audit, auditor mencakup perolehan dan evaluasi bukti menggunakan prosedur-prosedur seperti pemeriksaan catatan dan konfirmasi untuk menguji kewajaran penyajian laporan keuangan. Untuk dapat
44
melakukan tugas ini secara efektif dan efisien auditor harus memahami secara mendalam aspek penting dari bukti audit, termasuk memahami bagaimana bukti audit berkaitan dengan asersi laporan keuangan dan laporan auditor,kecukupan dan kompetensi audit, prosedur audit, dan dokumentasi bukti. Bahan bukti digunakan untuk menguatkan atau menyangkal asersi manajemen. Bukti yang dikumpulkan dari prosedur audit digunakan untuk menentukan kewajaran laporan keuangan dan jenis laporan audit yang diterbitkan (Rahayu, 2013:117). Dalam penentuan cukup atau tidaknya ketersediaan bukti audit yang harus dikumpulkan oleh auditor, pertimbangan profesional auditor memegang peranan yang penting. (Halim,1997) menjelaskan dimensi-dimensi dalam ketersediaan bukti yang dapat mempengaruhi penghentian prematur atas prosedur audit, hal ini tercermin dari : 1.
Tinggi atau rendahya tingkat materialitas ketersediaan bukti audit Ada hubungan terbalik antara tingkat materialitas dan kuantitas bukti audit yang diperlukan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin banyak kuantitas bukti yang diperlukan. Sebaliknya, jika tingkat materialitas tinggi, maka kuantitas bukti yang diperlukan sedikit. Rendahnya salah saji yang dapat ditoleransi menuntut auditor untuk menghimpun lebih banyak bukti sehingga auditor yakin tidak ada salah saji material yang terjadi.
45
2.
Tinggi atau rendahnya risiko audit Ada hubungan terbalik antara risiko audit dengan jumlah bukti yang diperlukan untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan. Rendahnya risiko audit berarti juga tingginya tingkat kepastian yang diyakini auditor mengenai ketepatan pendapatnya. Tingginya tingkat kepastian tersebut menuntut auditor untuk menghimpun bukti yang lebih banyak. Semakin rendah tingkat risiko audit yangdapat diterima auditor, semakin banyak kuantitas bukti yang diperlukan. Hubungan terbalik juga ada anatara risiko deteksi dengan jumlah bukti yang diperlukan. Semakin rendah tingkat risiko deteksi yang dapat diterima auditor, semakin banyak bukti yang diperlukan. Sebaliknya ada hubungan searah antara risiko bawaan dan risiko pengendalian dengan kuantitas bukti yang diperlukan. Semakin tinggi tingkat risiko bawaan, semakin banyak bukti yang diperlukan. Semakin tinggi tingkat risiko pengendalian, semakin banyak bukti yang diperlukan.
3.
Faktor-Faktor Ekonomi (Tekanan waktu atau biaya) Auditor memiliki keterbatasan sumber daya yang digunakan untuk memperoleh bukti yang diperlukan sebagai dasar yang memadai untuk memberika pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Pelaksanaan audit menghadapai kendala waktu dan biaya dalam menghimpun bukti audit. Auditor harus memperhitungkan apakah
46
setiap tambahan biaya dan waktu untuk menghimpun bukti audit seimbang dengan keuntungan atau manfaat yang diperoleh melalui kuantitas dan kualitas bukti yang dihimpun. 4.
Perbedaan karakteristik populasi Pengumpulan bukti audit dan pemeriksaan tehadap bukti audit dilakukan atas dasar sampling. Ada hubungan searah anatar besar populasi dengan besar sampling yang harus diambil dari populasi tersebut. Semakin besar populaisnya semakin besar pula jumlah sampel bukti audit yang harus diambil dari populasinya. Sebaliknya, semakin kecil populasi semakin kecil junlah sampel bukti audit yang diambil dari populasi.
Dari empat dimensi diatas dapat dinyatakan jumlah dan jenis bukti audit yang dibutuhkan oleh auditor untuk mendukung pendapatnya, haruslah dipertimbangkan secara profesional setelah mempelajari dengan teliti keadaan yang dihadapinya. Jumlah ketersediaan bukti audit yang tidak sesuai atas keadaan yang dihadapi auditor memberikan peluang bagi auditor untuk melakukan penghentian prematur atas prosedur audit, karena adanya batas waktu dan anggaran yang dihadapinya, sehingga menimbulkan pengurangan atas kualitas audit.
47
2.3
Hipotesis Penelitian
Time Pressure (X1)
Penghentian Prematur Atas Prosedur Audit (Y)
Ketersediaan Bukti Audit (X2)
H1 : Time pressure memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. H2 : Ketersediaan bukti audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. H3 : Time pressure dan Ketersediaan bukti audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit