BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat pendukungnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan dengan arwah para leluhur, juga merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap alam atau lingkungannya dalam arti luas. Hubungan antara alam dan manusia adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena hubungan tersebut memiliki nilai-nilai sakral yang sangat tinggi. Hal ini bisa diungkapkan dengan personifikasi mistik kekuatan alam, yakni kepercayaan pada makhluk gaib, kepercayaan pada dewa pencipta, atau dengan mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial sebagai hubungan antara binatang-binatang, burung-burung, atau kekuatan-kekuatan alam (Keesing, 1992: 131). Kepercayaan seperti inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual ritual, baik ritual keagamaan (religious ceremonies) maupun ritual-ritual adat lainnya, yang dirasakan oleh masyarakat sebagai saat-saat genting, yang bisa membawa bahaya gaib,
kesengsaraan
dan
penyakit
kepada
manusia
maupun
tanaman
(Koentjaraningrat, 1985: 243-246). Pelaksanaan upacara adat maupun ritual keagamaan yang didasari atas adanya kekuatan gaib masih tetap dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat 1
2 di Indonesia, baik berupa ritual kematian, ritual syukuran atau slametan, ritual tolak bala, ritual ruwatan, dan lain sebagainya. Salah satu masyarakat yang masih setia mempertahankan tradisi nenek moyang mereka adalah masyarakat adat Karampuang, yang terdapat di wilayah Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Masyarakat adat yang menetap di perkampungan tua ini masih tetap melestarikan ritual-ritual adat atau ritual-ritual kuno sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, meskipun teknologi dan pola hidup modern telah mulai merambah kawasan ini dan mengancam tradisi-tradisi leluhur mereka. Dalam konsep masyarakat adat Karampuang, kehidupan leluhurnya dan kehidupan nyata merupakan dua kehidupan yang masing-masing secara aktif menjalankan roda kehidupan dalam dua alam yang berbeda tetapi tetap saling berhubungan. Penghubung antara dua alam ini adalah melalui ritual-ritual suci. Mereka beranggapan bahwa dengan kekuatan leluhur yang tetap dikenang dapat menjadi pendorong untuk mampu berbuat, berpikir lebih baik untuk memperbaiki mutu kehidupan. Alasan utama yang ada dalam pikiran mereka adalah apabila warga tidak menjalankan ritual maupun ritual sesuai pesan leluhur maka ancaman kehidupan yang lebih buruk akan terjadi, misalnya kekurangan air, berkurangnya bahan pangan, serta munculnya penyakit yang tidak ada obatnya (Muhannis, 2004; 2-3). Hal ini tertulis dalam Paseng ri Karampuang atau pesan leluhur yang mengatakan bahwa : Tenna solong waede, Tenna loloang raung kajue, Lele saie. Artinya : “Air tak akan mengalir, daun-daun tak akan menghijau, dan penyakit akan merajalela”.
3 Atas dasar pesan inilah masyarakat adat Karampuang memiliki kewajiban untuk melakukan salah satu pesta adat tahunan yang disebut dengan upacara adat Mappogau Hanua atau Mangngade’. Pesta adat ini dilaksanakan setiap tahun oleh warga Karampuang, yakni pada saat musim tanam tiba atau pada saat setelah panen terlaksana, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia yang telah diberikan kepada mereka. Melalui upacara adat Mappogau Hanua, warga Karampuang mengekspresikan penghormatannya kepada leluhur dengan melakukan persembahan di tempat-tempat yang dianggapnya sakral dan bersejarah. persembahan berupa makanan, hasil panen, hewan ternak, dan lain sebagainya, memanfaatkan benda-benda megalitik peninggalan leluhur. Sebagaimana ritual tradisional pada umumnya, upacara adat Mappogau Hanua dilaksanakan oleh pendukungnya untuk menegaskan bahwa masyarakat memiliki sistem nilai yang mengatur tata kehidupannya dalam bermasyarakat. Sistem nilai budaya tersebut merupakan suatu rangkaian konsep-konsep abstrak yang hidup di dalam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat. Sistem nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman sekaligus pendorong sikap dan perilaku manusia dalam hidupnya, sehingga berfungsi sebagai suatu sistem kelakuan yang paling tinggi tingkatannya (Muhannis, 2004: 4-9). Upacara adat ini juga merupakan kontrol sosial (social control) yang mengatur ketertiban pola tingkah laku atau interaksi sosial dalam bermasyarakat dan memiliki landasan emosi yang kuat, yang mengatur tingkah laku keagamaan serta dikaitkan dengan dunia gaib (Budhisantoso, 1984:28). Selain itu, peranan sebuah ritual, baik ritual maupun seremonial, adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka bukan hanya selalu diingatkan tetapi juga dibiasakan
4 untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi
karena ritual-ritual itu selalu
dilakukan secara rutin (menurut skala waktu tertentu). Sehingga perbedaan antara yang bersifat imajinatif dan yang nyata ada menjadi kabur, dan ritual-ritual itu sendiri serta simbol-simbol sucinya bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari jangkauan kenyataan. Tetapi sebaliknya, telah menjadi sebagian aspek kehidupan sehari-hari yang nyata (Suparlan, 1983: XI-XII). Dengan demikian, ritual dapat dilihat sebagai aspek keagamaan, yaitu sebagai arena di mana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi serangkaian metafor dan simbol, maupun dilihat dalam perspektif sosiologis yang menekankan pada aspek kelakuan, yaitu sebagai sesuatu adat atau kebiasaan yang dilakukan secara tetap menurut waktu dan tempat tertentu, dan untuk peristiwa atau keperluan tertentu. Namun, bagaimana doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi rangkaian metafor dan simbol, serta bagaimana simbol-simbol tersebut memiliki nilai-nilai yang dapat mempengaruhi perilaku sebuah masyarakat masih perlu dibuktikan melalui kajian lebih lanjut. B. Rumusan Masalah Mempelajari suatu ritual pada dasarnya mempelajari nilai-nilai yang sangat penting dalam suatu masyarakat. Dalam ritual kita menemukan nilai-nilai masyarakat yang sukar kita amati dalam kehidupan yang biasa, sebab di dalamnya tersimpan nilai pada tingkat yang paling dalam. Di samping itu, kita juga dapat memahami bagaimana masyarakat berpikir akan keberadaan mereka serta
5 hubungan mereka dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial di mana mereka hidup (Turner, 1969:6). Untuk memahami nilai-nilai masyarakat adat Karampuang melalui pengungkapan simbol-simbol upacara adat Mappogau Hanua, maka perlu kiranya merumuskan permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini: 1. Bagaimana prosesi upacara adat Mappogau Hanua dan apa makna simbol-simbol ritual yang terdapat dalamnya? 2. Apa fungsi upacara adat Mappogau Hanua bagi kehidupan masyarakat adat Karampuang, dan nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalamnya? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini pada dasarnya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan atau masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu berusaha mengungkap dan memahami makna yang berada dibalik simbolisme upacara adat Mappogau Hanua sesuai dengan pemaknaan masyarakat setempat. Dengan ditemukannya makna-makna simbolis dalam ritual tersebut maka, setidak-tidaknya, kita dapat mengetahui pandangan hidup, nilai-nilai, serta normanorma yang berlaku di Karampuang. Penelitian ini juga, secara akademis antropologis, dapat memberi manfaat bagi peneliti lainnya yang memerlukan data-data antropologis dalam kajian-kajian berikutnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kita tentang salah satu bagian dari tradisi orang Bugis Karampuang yang ada di daerah Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, yang masih tetap menjaga tradisi nenek moyang mereka. Manfaat lain dari penelitian ini yang mungkin tidak kalah
6 pentingnya adalah bahwa peneltian ini sebisa mungkin dapat menjadi informasi penting bagi siapa saja yang ingin memahami pikiran-pikiran atau gagasangagasan masyarakat Karampuang yang terwujud dalam bentuk simbol-simbol ritual maupun simbol-simbol lain yang terkait dengan keberadaan mereka di tanah Sinjai. D. Kajian Pustaka Kajian mengenai upacara adat di Indonesia, seperti upacara adat yang berkaitan dengan ritual inisiasi, ritual yang berkaitan pertanian, ritual daur hidup, ritual kematian, ritual ruwatan, ritual tolak bala, dan lain sebagainya, bukanlah hal baru dalam wacana ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sudah banyak tulisan-tulisan dan kajian mengenai ritual atau ritual yang telah dilakukan oleh para penelti melalui perspektif dan pendekatan teori yang berbeda-beda. Gatut Murniatmo (1981) misalnya, dalam tulisannya mengenai ritual inisiasi dalam masyarakat jawa, melihat bahwa ritual yang dilaksanankan di Gunung Kidul ini merupakan perwujudan adat istiadat orang Jawa yang masih tetap dilaksanakan sebagai naluri yang tidak bisa ditinggalkan. Menurutnya, hal ini sangat penting, sebab setiap ritual menentukan usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan hidupnya. Ritual perubahan status dianggap sebagai saat-saat kritis yang harus disertai dengan ritual-ritual dan selamatan sebagai sarana menolak bala. Timbulnya anggapan semacam ini karena adanya perasaan takut, cemas, khawatir dan segala sesuatunya yang dipandang seolaholah bersifat rahasia, di samping tidak adanya suatu kepastian tentang hasil dan akibat dari apa yang telah mereka perbuat. Keadaan yang demikian merupakan kekosongan jiwa bagi masyarakat sederhana. Oleh karena itu, suatu cara untuk
7 mengisi kekosongan jiwa adalah melalui kepercayaan (kepada yang gaib). Dengan kepercayaan ini orang mengharapkan untuk memperoleh bimbingan dalam mengambil suatu kepastian tentang akibat perbuatannya, yang mungkin tanpa kepercayaan itu orang tidak akan mampu untuk berbuat sesuatu. Kajian yang serupa namun berbeda juga pernah dilakukan oleh Juniarti Boermansyah (2005), yaitu mengenai ritual sunat atau khitan perempuan (baterang) di kalangan masyarakat Serawai, Bengkulu. Melalui perspektif yang berbeda, Juniarti mencoba memahami ritual sebagai aspek sosial dari sebuah proses ritual daripada aspek mistik sebagaimana tulisan Murniatmo di atas. Ia menunjukkan bahwa prosesi ritual baterang mengindikasikan sebagai prosesi ritual peralihan yang terdiri dari tiga fase, yaitu fase pemisahan dan persiapan subyek ritual (anak perempuan), tahap liminal atau transisi yang ditandai dengan sikap patuh terhadap instruksi pimpinan ritual dan diberikannya nilai-nilai, orientasi, serta tujuan hidup, serta tahap pengintegrasian. Selain itu, kehadiran semua kerabat dekat, kerabat jauh, serta warga sekitar yang ikut terlibat di dalam ritual merupakan bukti yang menunjukkan masih kuatnya solidaritas sosial di Palak Bengkerung. Adapun makna dari pelaksanaan ritual ini adalah sebagai salah satu dari identitas seorang muslim, yaitu ritual peralihan ke status gadis, dan sebagai sebuah proses internalisasi sifat-sifat feminis terhadap perempuan (Juniarti, 2005: 138-140). Meskipun dalam ritual sunatan ini terdapat benda-benda dan alat-alat yang disertakan dalam ritual, namun Juniarti tampaknya tidak terlalu menfokuskan perhatiannya pada simbol-simbol yang muncul dalam ritual baterang. Ia hanya menjelaskan bahwa makna benda-benda yang dipakai dalam ritual ini mengandung harapan-harapan terhadap anak perempuan, dan makna-
8 makna benda-benda ritual tersebut merupakan kelanjutan dari pandangan dan kepercayaan nenek moyang masyarakat Serawai pra-islam di Palak Bengkulung. Kajian simbolisme dalam upacara adat salah satunya dapat di lihat dalam penelitian Yuyun Yuningsih mengenai ritual Nglaksa di daerah Sumedang, Jawa Barat. Di sini, Yuningsih mencoba mengungkap makna simbolik ritual Nglaksa dan peran Tarawangsa yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari prosesi ritual tersebut. Menurutnya, ritual Nglaksa merupakan kegiatan pembuatan makanan yang bernama laksa (semacam lontong), proses pembuatan laksa ini memegang peranan penting dan sentral di dalam ritual. Ritual tersebut menggambarkan tahapan-tahapan kehidupan manusia yang dimulai dari kandungan, lahir, menikah dan mati. Ritual Nglaksa juga dipahami sebagai simbol komunikasi antara manusia dengan dunia atas. Simbol tersebut diwujudkan dalam bentuk material ritualnya, dan perilaku-pelaku ritual, yang dapat dilihat dari ekspresi estetis seni. Bagi masyarakat Rancakalong, ritual Nglaksa merupakan perpaduan antara pengalaman religius dan estetika yang diwujudkan dalam bentuk simbol. Melalui Nglaksa, masyarakat diingatkan kembali pada pengalaman siklus kehidupan manusia dalam bentuk simbol yang menghubungakan kehidupan perseorangan mereka dengan dunia atas, yaitu sebuah tempat Nyi Pohaci (nama lain dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi kesuburan), dan Karuhun (roh-roh nenek moyang) yang berkuasa (Yuningsih, 2005:136). Kaitan upacara adat dengan aspek sosial, ekonomi dan politik, salah satunya dapat ditemukan dalam tulisan Lia Peni Susilowati, di mana ia melakukan penelitian mengenai ritual sedhekah bumi yang dilaksanakan oleh masyarakat Nglambangan, Madiun, terkait dengan kesuburan tanah dan dhayang (roh
9 pelindung). Dalam penelitiannya tersebut, Susilowati menunjukkan bahwa ritual sedhekah bumi dapat dipandang sebagai tindak atau peristiwa rekonstruksi tradisi ritual dari masa silam yang disesuaikan dengan konteks ekonomi, sosial, dan pilitik saat ini. Peristiwa rekonstruksi tersebut melibatkan berbagai agen dan motivasi atau orientasi masing-masing. Bentuk dan proses ritual yang berlangsung juga ditentukan oleh kehadiran agen-agen berikut motivasinya. Oleh karenanya, makna ritual sedhekah bumi bagi partisipan acara tersebut tidak tunggal, melainkan majemuk. Makna tersebut hadir dalam wujud praktik keterlibatan masing-masing agen dan orientasi mereka, yaitu orientasi spiritual, ekonomi, dan politik. Dalam praktiknya, ketiga orientasi ini saling terkait satu sama lain dalam sebuah peristiwa sosial berupa perayaan, yaitu peristiwa ketika berbagai perbedaan disatukan dan dinilai berdasarkan ukuran setempat, yaitu reja’ (Susilowati, 2005: 128-131). Adapun kajian yang secara khusus mengkaji ritual tradisional di Sulawesi Selatan adalah penelitian yang dilakukan oleh Bambang Suwondo (dkk) dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1982). Penelitian ini berfokus pada ritual tradisional sekitar lintasan hidup dari tiga kelompok suku bangsa yang mendiami propinsi Sulawesi Selatan, yakni suku Bugis, suku Mandar, suku Toraja dan suku Makassar. Sampai sekarang, ketiga suku bangsa ini masih ada yang melakukan aktivitas ritual lintasan hidup seperti ritual masa kelahiran bayi, ritual masa kanak-kanak, dan ritual masa dewasa. Ritual tradisional ini merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat penduduknya, khususnya kelompok masyarakat penduduk Sulawesi Selatan yang mempunyai nilai-nilai yang universal.
10 Dalam penelitian ini disebutkan bahwa ritual-ritual tersebut dilaksanakan atas dasar adanya kepercayaan terhadap kekuatan diluar dari kemampuan manusia atau kekuatan supernatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, roh leluhur yang masih dianggap mampu memberikan perlindungan kepada keturunannya, mengatur dan memberi kesejahteraan hidup, bahkan dapat mendatangkan bala bencana. Sistem kepercayaan masyarakat suku Bugis, Mandar, Makassar dan Toraja, merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme, dinamisme dan kepercayaan kepada dewata. Kepercayaan ini masih sangat kuat dalam masyarakat meskipun saat ini mayoritas suku bangsa tersebut, kecuali toraja, telah memeluk agama Islam (Suwondo, dkk, 1982: 36-37). Adanya kepercayaan
tradisional (sinkretisme) dalam masyarakat
Sulawesi Selatan juga dipertegas oleh Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis. Dalam tulisannya tersebut, Pelras menyebutkan adanya dua jenis sinkretisme, yaitu sinkretisme esoterik dan sinkretisme praktis. Sinkretisme esoterik adalah ajaran aliran kepercayaan yang berasal dari periode awal islamisasi, yang disebarkan melalui teks-teks yang sebagain besar lisan oleh para pengikut ajaran tersebut. Adapun sinkretisme praktis yang tersebar luas dan dijalankan secara terbuka meskipun ditentang oleh ajaran Islam ortodoks, memiliki konsep dasar dalam “praktik religi” orang Bugis, misalnya siklus hidup, ritus yang berhubungan dengan pertanian, pembangunan rumah, pembuatan perahu dan penangkapan ikan, serta ritus pengobatan. Praktik-praktik tersebut, menurut Pelras, sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam karena cenderung memperlakukan entitas spiritual (to alusu) maupun entitas gaib (to tenrita) sebagai perantara hubungan manusia dengan Tuhan, namun sebagian penganut sinkretisme praktis menganggap to alusu dan to
11 tenrita sebagai dewata atau roh para leluhur, dan sebagain lagi menganggap kedua entitas tersebut sebagai jin atau malaikat. Praktik religi untuk menghubungkan manusia dengan kedua entitas tersebut terlihat jelas dalam ritual ritual daur hidup, terutama yang berhubungan dengan sebelum dan sesudah kelahiran seorang anak. Landasan utama ritual ini adalah untuk membekali seorang anak dengan kekuatan sumange’ (semangat) yang merupakan sumber energi vital setiap individu. Persembahan lengkap dalam ritual ini yang terdiri dari sajian makanan diperuntukkan bagi makhluk-makhluk halus (to alusu) yang kasatmata (to tenrita). “Unsur-unsur halus” dari sajian yang dipersembahkan diperuntukkan bagi makhluk halus, sedangkan bahan kasarnya merupakan bagian yang akan disantap oleh manusia (Pelras, 2005: 216-221). Masih berkaitan dengan ritual tradisional Sulawesi Selatan, Halilintar Lathief dalam tulisannya mengenai “Bissu: Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis”, memaparkan secara singkat beberapa ritual-ritual ritual yang dilaksanakan oleh para Bissu. Ritual-ritual yang dipimpin oleh Bissu ini bertujuan agar terhindar dari murka para dewata, leluhur atau to tenrita. Sebab, Batara yang bergelar To PatotoE merupakan dewata tertinggi orang Bugis, sang penentu nasib, dan sang pencipta, yang dibantu oleh berbagai dewata yang bertugas di langit, dunia bawah tanah, dan dunia tengah. Sehingga untuk menghindari murka dewata maka para Bissu menanggapinya dalam bentuk berbagai ritual, yang biasanya erat kaitannya dengan kegiatan hajat hidup sehari-hari: misalnya hajatan hidup yang berhubungan dengan pertanian (ritual maddoja bine, mappalili, masillau bosi, manre sipulung) dan lain sebagainya (Lathief, 2004: 96-97). Akan tetapi, baik penelitian yang dilakukan oleh Bambang Suwondo (dkk) maupun tulisan Cristian Pelras dan Halilintar Lathief, tidak ditemukan
12 adanya perhatian khusus terhadap aspek simbolisme yang terdapat dalam ritualritual tradisional yang mereka paparkan. Perhatian mereka hanya berfokus pada deskripsi umum pelaksanaan ritual ritual, alat dan media yang digunakan, pemimpin dan pelaksanan ritual, serta tujuan dilaksanakannya ritual ritual tersebut, sehingga ide-ide, gagasan-gagasan, mapun nilai-nilai yang terkandung dalam ritual-ritual adat dan keagamaan belum terungkap secara utuh. Oleh karena itu perlu adanya kajian lebih mendalam lagi mengenai upacara adat, terutama kajian mengenai simbolisme dalam ritual maupun ritual. Kajian maupun tulisan mengenai
masyarakat adat Karampuang dan
ritual-ritual ritual yang mereka lakukan belum begitu banyak dieksplorasi. Sampai saat ini, peneliti hanya baru menemukan beberapa kajian atau tulisan yang mengupas secara singkat mengenai budaya Karampuang. Basrah (2005) misalnya, dalam kajiannya mengenai Sistem Pengetahuan Lokal (Dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Di Kawasan Hutan Adat Karampuang memperlihatkan bagaimana pengetahuan lokal yang diperoleh masyarakat yang berdasarkan pengalaman langsung (direct experience) terhadap lingkungan di mana mereka hidup sehingga sangat sesuai dengan kondisi dan situasi setempat, serta tidak membutuhkan biaya yang banyak dalam penerapannya. Dalam penelitiannya tersebut, Basrah mengidentifikasi fungsi-fungsi dari sistem pengetahuan lokal di dalam pengeloalaan hutan berbasis masyarakat di kawasan hutan adat Karampuang. Menurutnya, sistem-sistem pengetahuan lokal dapat dianggap sebagai suatu bentuk metode yang paling bermanfaat dan sangat efektif dalam pengaplikasiannya. Selain itu, ada beberapa tulisan lepas yang ditulis oleh Muhannis (pakar budaya Karampuang) dalam berbagai media massa lokal. Dalam tulisan-
13 tulisannya tersebut, Muhannis menjelaskan secara singkat beberapa aspek budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat Karampuang. Tulisannya mengenai rumah adat Karampuang misalnya, Muhannis (2005) memaparkan keunikan rumah adat tersebut dengan melihat simbol-simbol kewanitaan yang melekat pada bangunan rumah dan bagaimana simbol-simbol tersebut berpadu dengan simbol-simbol agama Islam. Ia juga melakukan penelusuran mengenai masuknya Islam ke daerah Karampuang, kesenian tradisional warga Karampuang, serta struktur lembaga adat dan hukum yang berlaku di Karampuang. Adapun tulisannya mengenai upacara adat Mappogau Hanua, Muhannis memang berusaha mencoba memaparkannya secara singkat prosesi pelaksanaan upacara adat tersebut. Akan tetapi, dalam tulisannya ini, Muhannis hanya memaparkan proses dan tahapan ritual, alat-alat serta benda-benda yang digunakan dalam upacara adat Mappogau Hanua, tanpa melakukan analisis lebih lanjut mengenai makna simbol-simbol yang terdapat dalam upacara adat ini. Dengan melihat kajian yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai upacara adat serta kajian mengenai Karampuang di atas, peneliti belum melihat adanya kajian mengenai upacara adat Mappogau Hanua pada masyarakat adat karampuang, khususnya kajian tentang simbolisme dalam ritual tersebut. Oleh karena itu, peneliti akan mengkaji lebih lanjut mengenai upacara adat Mappogau Hanua, terutama menfokuskan kajian pada aspek simbolik dalam ritual, yaitu menemukan makna-makna di balik simbol-simbol ritual dan penggunaanya oleh masyarakat adat karampuang, serta bagaimana simbol-simbol tersebut memiliki nilai-nilai yang berpengaruh dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari.
14 E. Kerangka Teori Upacara adat merupakan salah satu bagian dari tradisi dan kebudayaan suatu masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Suatu kebudayaan, menurut Geertz, adalah suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz, 1992:3). Definisi kebudayaan ini dipahami oleh Geertz dengan menempatkan kebudayaan sebagai serangkaian pengetahuan yang digunakan sebagai strategi untuk menghadapi kehidupan, ia juga menempatkan
aspek-aspek
simbolik
sebagai
penghubung
antara
sistem
pengetahuan manusia dengan kehidupannya. Salah satu manifestasi pengetahuan dan gagasan manusia tentang dunianya ada dalam aktivitas yang berhubungan dengan religi, karena religi merupakan sistem simbol sebagai media bagi manusia untuk berkomunikasi dengan dunianya (Abdullah, 2002:2). Definisi kebudayaan di atas menempatkan simbol sebagai sesuatu yang penting, terutama dalam penelitian mengenai ritual maupun ritual keagamaan lainnya. Sebab pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya dimungkinkan karena adanya proses belajar lewat simbol-simbol, yang kemudian menjadikan kebudayaan sebagai milik suatu masyarakat. Pewarisan kebudayaan di sini dapat terjadi melalui simbol-simbol dalam pertunjukan ritual pada suatu masyarakat. Dengan demikian, penelitian terhadap simbol-simbol dalam ritual semacam
ini
menempatkan
agama
sebagai
fenomena
kultural
dalam
pengungkapannya yang beragam, yaitu dengan cara menyelidiki dimensi kultural
15 dari fenomena agama tersebut, bukan dari dimensi teologis atau normatifnya. Biasanya, cara analisis ini dipersempit hanya mengamati peran agama dengan tekanan pada kebiasaan, peribadatan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial (Dhavamony, 1995: 22/Adam Wolanin, SJ, 1978, 9-10). Berangkat
dari
konsep
kebudayaan
di
atas,
pendekatan
yang
dikembangkan dalam mengkaji simbol-simbol dalam upacara adat Mappogau Hanua di Karampuang ini adalah sebuah pendekatan yang disebut oleh Turner sebagai “prosesual simbologi”, yaitu suatu kajian mengenai bagaimana simbol menggerakkan tindakan sosial dan melalui proses yang bagaimana simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan pribadi. Pendekatan ini, menurut Turner, lebih menitikberatkan dinamika sosial di mana seorang peneliti dapat melihat bagaimana masyarakat menjalankan, melanggar, dan memanipulasi norma-norma dan nilai-nilai yang diungkapkan oleh simbol untuk kepentingan mereka.
Pendekatan
ini
akan
memungkinkan
seorang
peneliti
untuk
mengungkapkan makna-makna simbolik dan selanjutnya mengetahui pikiranpikiran atau ide-ide suatu masyarakat, mengingat bahwa simbol merupakan pedoman bagi kelompok-kelompok, hubungan-hubungan, norma-norma dan kepercayaan masyarakat yang diteliti (Abdullah, 2002:13). Semua simbol maupun unsur-unsur simbolis, merupakan rumusanrumusan yang dapat dilihat melalui pandangan-pandangan, abstraksi-abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diindra, dan merupakan perwujudan-perwujudan konkret dari gagasan-gagasan, sikap-sikap, putusan-putusan,
kerinduan-kerinduan,
atau
keyakinan-keyakinan
(Geertz,
1992:6). Oleh karena itu, simbol merupakan suatu objek, tindakan, peristiwa, dan sifat yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah
16 “makna” dari simbol. Untuk memahami makna dari sebuah simbol, maka seorang peneliti perlu menafsirkan sistem-sistem simbol dan bentuk-bentuknya dalam suatu konteks sosial yang khusus agar mendapatkan sebuah makna yang autentik, sehingga dapat mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut sebagai kebudayaan (Dillistone, 2002:116). Konsep simbol yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah sebagaimana konsep simbol yang dipahami oleh Victor W. Turner, di mana ia menyatakan bahwa simbol adalah : “a thing regarded by general consent as naturally tyifying or representing or recalling something by prossession of analogous qualities or by association in fact or thought” (Turner, 1967:19). Definisi simbol di atas mengindikasikan bahwa simbol-simbol pada dasarnya memberikan gambaran tentang dunia nyata, baik dalam kenyataan maupun pada tingkat ide karena simbol-simbol religius merupakan petunjuk bagi perilaku manusia. Dari sini dipahami bahwa simbol dalam sebuah masyarakat dapat menjadi petunjuk bagi perilaku mereka dan juga sebagai alat bantu yang menggerakkannya sekaligus sebagai ungkapan dari pikiran-pikiran yang menjadi dasar tindakan suatu masyarakat. Meskipun simbol dan tanda sering digunakan dalam arti yang sama dan kadang juga penggunaan kedua istilah itu berubah-ubah, namun bagi Turner, simbol dan tanda tetap mempunyai perbedaan. Menurutnya, perbedaan yang cukup jelas antara simbol dan tanda adalah bahwa simbol itu merangsang perasaan seseorang, sedang tanda tidak mempunyai sifat merangsang. Simbol berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan, sedang tanda tidak berpartisipasi dalam realitas yang ditandakan. Selain itu, perbedaan lain yang
17 membedakan simbol dengan tanda adalah bahwa simbol memiliki ciri khas mulitivokal, memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi atau fonomen, sedang tanda lebih cenderung univokal (Winangun, 1990:19). Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna simbol yang autentik maka Turner menyarankan untuk memperhatikan tiga dimensi arti simbol. Pertama, dimensi eksegetik arti simbol. Dimensi ini meliputi penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti. Penjelasan-penjelasan atau interpretasi harus digolongkan menurut ciri-ciri sosial dan kualifikasi informan. Eksegesisnya meliputi apa yang dikatakan orang tentang simbol-simbol ritual mereka, baik dari interpretasi masing-masing simbol ritual atau pun mengambil dari mitos yang berkembang di kalangan masayrakat. Dimensi kedua dari simbol adalah dimensi operasional. Dimensi ini meliputi tidak hanya penafsiran yang diungkapkan secara verbal, tetapi juga apa yang ditunjukkan pada pengamat atau peneliti. Dalam hal ini, simbol perlu dilihat dalam rangka apa simbol-simbol ini digunakan dan ekspresi-ekspresi apa saja yang muncul sewaktu simbol-simbol tersebut digunakan. Dengan melihat dimensi operasionalnya, orang akan mengenal dalam rangka apa simbol-simbol itu digunakan. Dimensi yang ketiga adalah dimensi posisional. Dalam dimensi ini, selain simbol memiliki banyak arti (multivokal), juga memiliki relasi dengan simbol yang lainnya. Artinya, simbol-simbol itu berasal dari relasinya dengan simbol-simbol yang lain sehingga menjadi bermakna dan relevan (Winangun, 1990:19-20). Ketiga dimensi yang di kemukakan oleh Turner di atas juga sangat bermanfaat dalam melihat dan mengkaji prosesi upacara adat Mappogau Hanua pada masyarakat Karampuang. Dalam hal ini, peneliti akan mencoba
18 memperlihatkan bagaimana masyarakat Karampuang, terutama para pelaku ritual, menginterpretasikan simbol-simbol ritual Mappogau Hanua menurut pandangan mereka sendiri. Akan tetapi, pandangan ini tidak akan dipegang secara kaku, karena ada kemungkinan pada bagian-bagian tertentu memerlukan interpretasi peneliti. Hal ini disebabkan adanya berbagai alasan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan yang kemungkinan tidak dapat mengungkapkannya secara eksplisit. Pendekatan Turner terhadap simbolisme secara keseluruhan, menurut Morris, adalah pendekatan sosiologis, karena dia menegaskan bahwa simbolsimbol Ndembu pada dasarnya mengacu pada kebutuhan-kebutuhan dasar dari eksistensi sosial dan kepada nilai-nilai bersama tempat bergantungnya kehidupan komunal. Untuk memahami hal itu, Turner menegaskan perlunya memperhatikan makna eksegesis simbol atau interpretasi orisinil masyarakat mengenai simbol ritual, sebab makna eksegesis ini dapat memperlihatkan bagaimana suatu simbol dominan mengekspresikan komponen-komponen tatanan sosial dan moral (Morris, 2003: 302). Dengan demikian, pendekatan yang ditawarkan oleh Turner sangat penting dalam melihat bagaimana simbol-simbol ritual dalam upacara adat Mappogau Hanua merefleksikan nilai-nilai maupun norma-norma yang dimiliki dan dianut oleh masyarakat adat Karampuang. Konsep nilai yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Liliweri dengan mengutip pendapat Rokeach bahwa nilai adalah ide-ide tentang apa yang baik, benar, adil, dan merupakan nilai-nilai bersama dalam suatu budaya. Nilai merupakan salah satu unsur dasar pembentukan orientasi budaya dengan melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek, bersih atau kotor, berharga atau tidak berharga, dan baik
19 atau kejam. Nilai cenderung menjadi dasar bagi semua keputusan yang dibuat oleh manusia dan merupakan dasar baginya untuk menilai tindakan yang diperbuat dalam hubungannya dengan manusia lain. Atau dengan kata lain, nilai memberikan pedoman umum bagi perilaku manusia yang membimbing dalam berbagai cara (Liliweri, 2014 : 55). Dengan demikian nilai dapat pula dikatakan sebagai ketentuan yang berlaku dalam rangka interaksi manusia berkenaan dengan aspek-aspek kehidupan yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi terhadap segala sesuatu daripada kelompok tertentu (Rahim, 2011 : 23) Nilai-nilai budaya menurut Liliweri (2014) dibentuk dari beberapa sumber, diantaranya adalah bersumber dari adaptasi dengan lingkungan, faktorfaktor sejarah, evolusi sosial dan ekonomi, pesan-pesan dalam keluarga kepada anak-anaknya, cerita rakyat dalam kebudayaan, tekanan masyarakat melalui pemberian hukuman dan ganjaran, kontak dengan kelompok budaya lain, dan lain sebagainya. Secara tidak disadari, seseorang yang hidup dalam suatu kelompok sosial, telah diajar untuk mengenal dan memahami prinsip-prinsip kehidupan universal yang menjadi nilai yang membimbing perilakunya seperti kejujuran, tanggung jawab, kebenaran, solidaritas, kerja sama, dan lain sebagainya. Prinsipprinsip tersebut dapat dikategorikan sebagai nilai dalam berbagai tipe, yaitu nilainilai pribadi, nilai-nilai keluarga, nilai-nilai sosial-budaya, nilai-nilai material, nilai-nilai spiritual, dan nilai-nilai moral (Liliweri, 2014 : 57) Selain mengungkap nilai dari upacara adat, penelitian ini juga mencoba menelusuri fungsi sosial dari upacara adat Mappogau Hanua itu sendiri. Sebab, setiap upacara adat tentu memiliki efek atau fungsi sosial yang mempengaruhi kehidupan sosial bermasyarakat. Seperti halnya perhatian Turner terhadap fungsi sosial dari ritual terlihat dalam penelitiannya mengenai ritual Ngkula dan
20 Wubang’u dalam masyarakat Ndembu. Di sini, Turner menginterpretasikan fungsi sosial ritual melalui analisa resolusi konflik, di mana ritual menjadi semacam mekanisme pemulihan. Dia melihat adanya konflik mendasar antara masyarakat dan individu, antara kebutuhan terhadap kontrol sosial dan dorongan manusiawi universal yang dibawa sejak lahir, di mana penyaluran dorongan tersebut secara total akan mengakibatkan hancurnya kontrol tersebut. Untuk menjadikan manusia mentaati norma-norma sosial, kekerasan harus dilakukan terhadap dorongan naturalnya ini. Dengan kata lain, ia harus diarahkan kembali. Dengan demikian, Turner menyatakan bahwa ritual peribadatan seperti yang dialami oleh masyarakat Ndembu memiliki sejumlah fungsi sosial, dua diantaranya adalah: (1) ritual itu cenderung mendekatkan jurang yang terbuka antara faksi-faksi yang berbeda dalam desa, karena organisasi ritus menuntut kerjasama di antara anggota-anggota terkemuka dari masing-masing faksi, (2) melalui ritual nilai-nilai masyarakat Ndembu ditegaskan kembali lagi. Dalam hal ini, Turner melihat ritual secara politik memiliki peran integratif dan sebagai bagian dari mekanisme sosial yang memulihkan keseimbangan dan solidaritas kelompok (Morris, 2003: 298-299). Perhatian Turner terhadap fungsi ritual di atas sedikit banyaknya terinspirasi dari metodologi deskripsi Radcliffe-Brown mengenai ritual. RadcliffeBrown memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada solidaritas sosial dalam masyarakat itu. Ia merumuskan bahwa fungsi sosial dari berbagai macam ritual yang ada di pulau Andaman adalah untuk mentrasmisikan disposisi emosional dari satu generasi ke generasi berikutnya di mana masyarakat mempertahankan eksistensinya. Radcliffe-Brown yang dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim kemudian
21 menegaskan bahwa: (1) Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat; (2) tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut; (3) sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya; (4) adat-istiadat ritual adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saatsaat tertentu; (5) ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas sentimen itu dalam jiwa warga masyarkat, dan bertujuan meneruskannya kepada wargawarga dalam generasi berikutnya (Kontjaraningrat, 1987: 176). Apa yang diungkapkan oleh Radcliffe-Brown mengenai fungsi sosial di atas menunjukkan adanya pengaruh atau efek suatu ritual terhadap kebutuhan mutlak dari suatu sistem sosial. Dengan demikian, penelitian ini juga mencoba melihat bagaimana implikasi sosial atau efek dari ritual Mappogau Hanua dalam kehidupan sosial masyarakat adat Karampuang, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini sangat penting karena sampai saat ini masyarakat adat Karampuang masih memegang teguh adat istiadat mereka di bawah kepemimpinan lembaga adat. Sehingga kaitan antara makna simbolis ritual dan fungsi ritual itu sendiri bagi kelangsungan hidup masyarakat Karampuang akan terlihat dengan jelas.
22 F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di dusun Karampuang, Kecamatan Buluppoddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi-Selatan. Lokasi ini dipilih sebagai tempat peneltian karena di dusun inilah upacara adat Mappogau Hanua dilaksanakan oleh masyarakat Karampuang. Adapun waktu penelitian dilaksakan dua kali, yakni pada saat pelaksanaan upacara adat pada bulan September 2006, dan pada bulan Juni s/d Agustus 2007. 2. Penentuan Informan Informan adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi. Untuk mendapat informasi yang mendetail mengenai ritual maka wawancara dilakukan secara mendalam terhadap informan yang mengetahui benar selukbeluk masyarakat dan unsur-unsur kebudayaan yang ingin diketahui. Informan kunci (key informan) yang dapat memberikan petunjuk tentang penelitian ini adalah seorang sesepuh adat (ana’ade’) dengan pertimbangan bahwa dia mengetahui banyak tentang adat istiadat dan kehidupan masyarakat adat Karampuang. Untuk mengetahui ritual secara lebih mendalam dipilih informan lainnya, yaitu para pemangku adat, terutama puang Mangga selaku Ade’/Gella atau pelaksana harian dewan adat dan sebagai juru bicara Arung. Untuk kelengkapan data lainnya, wawancara juga dilakukan terhadap warga setempat yang melaksanakan upacara adat.
23 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu teknik pengamatan terlibat (participan observation) dan wawancara mendalam (indepth interview). Teknik partisipasi-observasi merupakan sebuah teknik dalam mempelajari proses-proses, hubungan antara peneliti dan masyarakat, kejadiankejadian atau peristiwa-peristiwa dalam masyarakat dan strukturnya, dan dalam sebuah konteks di mana masyarakat tersebut berada (Jorgensen,1989:12). Teknik ini dimaksudkan agar peneliti dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan ritual dan mengamati proses pelaksanaanya, dalam hal ini upacara adat Mappogau Hanua. Pada saat ritual atau proses ritual berlangsung, peneliti mengamati berbagai bentuk tindakan atau perbuatan, kata-kata, perasaan-perasan, suasana hati, benda-benda, atau materi yang digunakan dalam ritual tersebut dan mengamati siapa saja yang hadir dan aktif terlibat dalam pelaksanaannya. Pada saat pelaksanaan ritual upacara adat, semua bentuk aktivitas dan benda-benda simbolis yang digunakan dan orang-orang yang melaksanakan ritual tersebut dicatat dan direkam dengan menggunakan alat bantu lain, seperti kamera, tape recorder, dan handycame. Setelah itu, peneliti melakukan wawancara pada waktu-waktu yang tepat guna mendapatkan keterangan atas data-data yang telah dikumpulkan. Pengumpulan data seperti ini berkali-kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin data-data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan diadakannya penelitian ini. Langkah selanjutnya dalam teknik ini adalah menyusun data-data yang
terkumpul
dalam
kategori-kategori
tertentu,
yang
nantinya
akan
memudahkan dalam analisis. Teknik yang kedua adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan kunci atau tokoh adat yang mengetahui banyak
24 tentang adat dan budaya, khususnya budaya Karampuang, untuk menjelaskan arti dari tindakan-tindakan, kata-kata, benda-benda yang digunakan di dalam ritual Mappogau Hanua tersebut. Dalam hal ini, perlu diperhatikan kata-kata atau istilah lokal yang kemungkinan sulit untuk dijelaskan dalam bahasa Indonesia, sehingga peneliti perlu menggunakan atau menjelaskannya dengan kata atau kalimat yang memiliki arti sepadan. Jika terdapat hal-hal khusus lainnya yang muncul dalam penelitian ini akan diklasifikasikan tersendiri untuk kemudian dianalisis. Adapun hasil wawancara yang telah ditraskrip akan diadakan pengecekan ulang oleh informan secara teliti agar data yang terkumpul dapat terjamin kredibilitasnya. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah suatu proses Klasifikasi dan pengelompokan data berdasarkan suatu fenomena yang sama menurut waktu dan tempat analisis data atau proses pengkajian hasil pengamatan, wawancara dan dokumen yang telah terkumpul (Vredenbregt, 1978: 3-4). Penyajian analisis data ini berbentuk deskriktif kualitatif dengan berusaha mendeskripsikan subyek penelitian dan cara mereka bertindak serta berkata-kata. Model analisis data ini melalui tiga tahap, yaitu (1) reduksi data (data reduction), (2) pemaparan data (data display) (3) Verifikasi data (data verification), dengan membuat suatu kesimpulan (inferen) dalam bentuk perbandingan data dan konfontasi data. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa deskripsi terhadap fenomena ritual masyarakat adat. Berkenaan dengan itu digunakan pengamatan terlibat dan mengungkap makna serta fungsi ritual dari sudut pandang masyarakat setempat (sudut emik). Di sini, peneliti dan informan berefleksi terhadap fenomena ritual yakni sikap, ucapan, benda-benda atau materi, dan tindakan ritual
25 sehingga nampak penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran tersebut kemudian direlasikan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk menemukan pemahaman makna dan fungsi ritual secara menyeluruh. Selain itu, hasil penafsiran terhadap simbol-simbol yang didapat dari data-data informan dikaitkan dengan data-data mengenai efek ritual terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat sesuai dengan tujuan dan kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Selanjutnya untuk mengungkapkan makna dan efek atau fungsi sosial ritual dalam kehidupan masyarakat adat Karampuang, digunakan teknik analisis kualitatif etnografi. Melalui teknik ini, secara etnografi, fenomena ritual dideskripsikan secara holistik atau menyeluruh dan mendalam. Analisis ini dilakukan selama dan sesudah penelitian hingga penyelesaian tesis ini. Analisis tersebut disusun dan diklasifikasikan menurut topik dan tema-tema relevan dengan topik penelitian.