BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil, maka kita juga harus membicarakan hukum formilnya atau yang biasa disebut dengan Criminal justice system (pelaksanaan dari hukum pidana itu sendiri). Dengan demikian hukum disini merupakan sebuah sitim yang jika salah satu organ tersebut tidak berfungsi, maka semua organ yang melingkupinya akan menjadi “mati”. Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Usaha-usaha ini dilakukan demi untuk mencapai tujuan dari peradilan pidana.1 Dalam mencapai tujuan peradilan pidana mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistim dimana masing-masing petugas hukum tersebut harus berhubungan secara fungsional. Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum acara pidana. Namun sayang, nampaknya hal ini hanya banyak mengatur tentang perlindungan tersangka atau terdakwa. Hal inilah yang diatur dalam hukum materiil (KUHAP) di Indonesia. Tersangka maupun terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab
1
Adang dan Yesmil, 2009, Sistim Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran. Jakarta. Hal. 28 Mardjono Reksodipoetra mengatakan, bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
tersendiri. Perlindungan yang demikian besar kepada tersangka atau terdakwa seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana termasuk dalam hal ini adalah pelapor. Contoh tersebut terjadi pada pengungkapan keterangan Susno Duadji. Sebagai mantan pejabat yang langsung menyidik kasus mafia majak tersebut, dia mengetahui detail tentang kasus penyelewengan pajak oleh Gayus Tambunan. Belum lagi tuntas penanganan kasus-kasus yang diungkapkannya, beliau sendiri sudah diberondong oleh 2 (dua) kasus dengan status tersangka pada Oktober 2010 lalu dan harus mendekam di Mako Brimob Kelapa Dua. Terlepas dari terbukti atau tidak kasus yang disangkakan kepadanya, namun logika terbalik dengan mendahulukan proses hukum terhadap Susno Duadji dan tidak pada kasus yang diungkap beliau, semakin mengukuhkan adanya dugaan kriminalisasi dan retaliasi (balas dendam) terhadap whistle blower.2 Tak hanya itu, permohonan uji matriil terhadap pasal 10 (2) Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diajukan oleh Susno Duadji kepada Makamah Konstitusi pada tanggal 3 september 2010, ditolak seluruhnya oleh Makamah Konstitusi karena Mahkamah menilai permohonan pemohon tidak terbukti dan beralasan hukum.3 Kasus ini merupakan akibat dari kurangnya perhatian oleh Negara mengenai perlindungan terhadap pelapor. Hal ini memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia. Meski telah diundangkanya undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, namun nampaknya masih terdapat banyak kelemahan dalam undang-undang ini yang mengakibatkan saksi maupun pelapor tidak bisa mendapatkan perlindungan yang layak dan maksimal. 2
Muhammad Helmy Hakim, “Dilema Sang Peniup Peluit, http:/www dilema-peniup-peluit_files, 27 Desember 2010. 3 Liputan6.com, http://goedang.com/search/konten?keys= MK Tolak Permohonan susno, 26 Desember 2010.
Apabila kita ingin mengembalikan proses penegakan hukum ke dalam jalurnya semula maka sudah saatnya diberikan perhatian yang lebih besar pada pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan, selain tersangka atau terdakwa dan aparat penegak hukum. Berdasarkan pada asas equality before the law , yang merupakan syarat suatu negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pelapor diberikan sejumlah hak yang akan memberikan perlindungan padanya. Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem peradilan kita berkaitan dengan keterbatasan perlindungan bagi seorang pelapor. Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban sebagai pelapor
yang sebelumnya terserak-serak dalam beberapa peraturan. Namun
demikian dalam prateknya undang-undang ini dinilai belum maksimal. Undang-undang ini tidak membedakan secara tegas syarat seorang saksi dan syarat seorang pelapor. Namun demikian meskipun tidak secara tegas disebutkan bahwa pelapor juga termasuk dalam perlindungan Undang-undang ini, Penulis berkeyakinan bahwa pelapor sudah termasuk dalam tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam pengertian saksi yang menyatakan bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.”4 Pengertian saksi dalam undang-undang ini lebih maju dibandingkan dengan pengertian saksi yang ada dalam KUHAP karena berupaya mencoba memasukan atau memperluas perlindungan terhadap orang-orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang
4
Lihat pasal 1 (1) Undang-undang No. 13 tahun 2006
masih bersetatus pelapor5 atau pengadu. Peranan pelapor sangat penting, terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan extra ordinary crime, yang penangananya juga membutuhkan extra ordinary action. Adakalanya seorang
pelapor
itu memang murni dalam pengertian
pengadu yang tidak terlibat langsung dalam proses tindak pidana. Misalnya, seseorang yang mengetahui atau menemukan keberadaan dokumen atau data dari perbuatan pidana. Ada pula pelapor ini adalah seseorang yang juga menjadi korban dari tindak pidana yang telah terjadi. Kemudian ada pula pelapor yang sekaligus pelaku tindak pidana (wistleblower)6 Seorang pelapor sangat perlu bila diberikan perlindungan hukum yang pantas terhadapnya karena telah memberikan informasi penting terhadap suatu tindak pidana terutama untuk tindak pidana yang sulit dibuktikan. Belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan pelapor. Yang ada adalah mekanisme yang sangat ringkas sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa:7 “Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan” Namun kemudian timbul pertanyaan dengan siapa pelapor ini akan bernegosiasi dan seberapa banyak keringanan hukuman yang akan dijatuhkan, Kemudian bagaimana peran LPSK ataupun lembaga penegak hukum yang lain dapat memainkan perannya saat bernegosiasi dengan pelapor ini. Tentunya pelapor yang seperti ini akan memilih diam daripada harus melapor kemudian tidak ada jaminan baginya untuk tidak dihukum atas laporan yang telah ia sampaikan. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika 5
Tentang perlindungan terhadap pelapor sendiri telah lebih awal diatur dalam pasal 31 UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat diajukan dalam sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya 6 Secara terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia whistleblower adalah “peniup peluit” maksudnya adalah orangorang yang memberi peringatan kepada publik, namun secara umum pengertian whistleblower adalah pelapor, pengadu atau orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, maladministrasi maupun tindak pidana. 7 Lihat pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh pemerintah merupakan kebutuhan dalam kerangka penegakan hukum (pidana) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip “Good Governance ” yakni tegaknya supremasi hukum.8 Peran serta lembaga LPSK selama ini dalam memberikan perlindungan terhadap pelapor perkara pidana dapat dijadikan tolak ukur seberapa kuat undang-undang ini mampu melindungi para pelapor perkara pidana. Di tengah-tengah keterbatasan aturan, seharusnya LPSK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan khusus menurut UU dapat membuat terobosan-terobosan yang dapat menciptakan iklim bagi terciptanya integrasi sistem dan mekanisme perlindungan saksi maupun pelapor di Indonesia. Hal lain yang menjadi permasalahan dalam Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini adalah pembatasan mengenai kategori tindak pidana yang menjadi ruang lingkup kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam pasal Undang -Undang No.13 tahun 2006 dikatakan :9 (1) Seorang Saksi dan Korban berhak: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan dukungan kemanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan; 8
Krisna Harahap, 2006, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, PT.Grafitri, Bandung, hal. 24
9
Lihat pasal 5 Undang-undang No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
i. Mendapat identitas baru; j. Mendapat tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana di maksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Yang dimaksud kasus - kasus tertentu dalam ayat dua (2) ini, antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yag mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya”10 Jika kita memandang dari sebuah situasi yang dianggap membahayakan atau tidak, Kita tahu bahwa ada tindak pidana seperti pembalakan liar (illegal logging), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ataupun kejahatan pers, dimana saksi dan korbannya tidak jarang mendapatkan ancaman yang sangat berat dari pelaku tindak pidana. Kemudian dapat kita pertanyakan mengenai peran lembaga LPSK itu sendiri. Bagaimana ketika tindak pidana tersebut terjadi di sebuah daerah yang jauh dari tempat LPSK didirikan, karena dalam pasal 11 undang-undang no. 13 tahun 2006 ayat 2 (dua) dikatakan bahwa lembaga LPSK berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. Meskipun pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan,pada faktanya sejak Undang-undang ini diundangkan sampai dengan sekarang,belum ada pernah ada lembaga perwakilan yang dimaksud. Mengenai mekanisme pembentukan lebaga tersebutpun tidak jelas, kemudian siapasiapa yang akan menduduki lembaga perwakilan yang dimaksud, apakah diambil dari anggota LPSK pusat ataukah dipilih lagi dari setiap daerah. Kemudian berapa lama lembaga perwakilan
10
Lihat Pada bagian Penjelasan pasal 5 Undang-undang no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
tersebut bisa terbentuk dan saksi maupun pelapornya harus menunggu untuk mendapatkan perlindungan hukum. Pada Undang-undang No.13 tahun 2006 dikatakan :11 Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: a. b. c. d.
Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/ Korban; Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban. Bila kita melihat ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa persyaratan yang diajukan oleh UU
ini sangat berlapis. Sehingga bisa dipastikan, akan sangat sedikit saksi maupun pelapor yang tercakup dalam program perlindungan saksi dan korban. Pada dasarnya ketentuan pada pasal 28 ini sudah cukup efektif diberikan kepada saksi dan korban ( pelapor ) tindak pidana, tanpa membatasi perlindungan terhadap kasusu-kasus tertentu. Ketentuan pembatasan atau kategori tindak pidana yang berhak mendapatkan perlindungan dalam undang-undang ini berlapis dan membingungkan. Jika memang perlindungan ini hanya diperuntukkan untuk kasus yang meliputi Organized Crime atau kejahatan terorganisir, pembatasan ini juga seolah berarti ada penggolongan tindak pidana yang bobotnya cukup berat sehingga saksi dan korbannya harus dilindungi, dan ada tindak pidana yang bobotnya dianggap ringan sehingga saksi dan korbannya tidak perlu dilindungi. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul: Perlindungan Hukum bagi Pelapor Tindak Pidana Dalam Perspekif Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. B. Rumusan Masalah
11
Lihat pasal 28 Undang –undang No.13 tahun 2006
Berdasarkan uraian di atas, memandang perlu untuk dirumuskan permasalahan yang akan menjadi analisis hukum berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban , yaitu sebagai berikut: 1. Kriteria Pelapor yang seperti apa yang mendapat perlindungan dalam perspektif Undangundang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 2. Kriteria Tindak Pidana seperti apa yang pelapornya mendapat perlindungan hukum dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Pelapor Tindak Pidana dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kriteria pelapor yang mendapat perlindungan hukum dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Untuk mengetahui kriteria tindak pidana yang pelapornya mendapat perlindungan hukum dalam perspektif
Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan korban. 3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan kepada pelapor tindak pidana dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 Tentang Perindungan Saksi dan Koban. D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan tugas akhir ini adalah : 1) Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran untuk perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum serta mengetahui lebih mendalam mengenai jaminan perlindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana. 2) Praktis a. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang perlindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana sehingga diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana. b. Bagi Aparat Hukum/ Praktisi Hukum Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana bagi kalangan praktisi di wilayah hukum pidana terutama berkaitan dengan perlindungan pelapor dalam perkara pidana. c. Bagi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta sumber referensi berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana. d. Bagi Penulis Untuk memperdalam, menguasai dan juga menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perlindungan hukum bagi pelapor perkara pidana. Selain itu bagi penulis sebagai syarat meraih gelar Strata Satu (S1).
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan menelusuri buku-buku dan tulisan-tulisan yang terkait dengan permasalahan. Adapun jenis penelitian yuridis dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis terhadap asas hukum.12 2.
Sumber Data Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan penulisan ini adalah dengan melakukan
studi kepustakaan, yaitu melakukan kajian terhadap bahan-bahan yang merupakan data sekunder (data yang tidak diperoleh langsung dari sumber utama, melainkan dari sumber yang berupa tulisan). Penulis menggunakan bahan kajian perpustakaan antara lain:13 a). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif) atau sumber data yang berupa peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dianut antara lain Undang-Undang serta peraturan-peraturan lain yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun bahan hukum primer yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari : 1. UUD 1945 2. Undang-udang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 4. Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
12
Soerjono Soekamto, dalam Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta: 1986 menyebutkan bahwa jenis penelitian hukum normative ada 5 (lima) macam, yaitu: a. Menarik azas hukum; b. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan; c. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan; d. Perbandingan hukum; e. Sejarah hukum. 13 Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 47-57
5. PP No. 57 tahun 2003 tentang Tata Cara Khusus Perlindungan Bagi Pelapor dan Tindak Pidana Pencucian Uang. 6. PP No. 2 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat 7. PP No. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Tindak Pidana Terorisme. 8. PP No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b). Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tetang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. atau sumber data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari buku, makalah, artikel yang berkaiatan dengan permasalahan yang diteliti. c). Bahan-bahan Tertier, yaitu sumber hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain-lain.14 Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang dipakai berupa Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Ensiklopedi. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan ini untuk memperoleh bahan dan data penulisan skripsi ini, peneliti mencari serta mengumpulkan dari media cetak, internet, jurnal, buku-buku literatur, perundangundangan, dan catatan-catatan lain yang terkait dengan obyek penulisan guna memperoleh landasan teoritis. 4. Metode Analisa Data
14
Ibid. hal. 47
Setelah data keseluruhan terkumpul, maka selanjutnya data tersebut akan dianalisa dangan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Deskriptif artinya penelitian yang berusaha mengambarkan dan menginterprestasikan kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau kecenderungan yang berkembang. Dan penelitian Kualitatif artinya penelitian yang menyajikan data tidak berupa angka-angka, melainkan bentuk kata-kata dan gambar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian Deskriptif Kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan secara menyeluruh bagaimana bentuk perlindungan bagi Pelapor Tindak Pidana menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
yang
dibuat dalam bentuk penulisan hukum atau skripsi dengan melakukan penelusuran data kepustakaan berupa sumber-sumber literatur yang berkenaan dengan masalah jaminan pelindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana. E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan rangkaian penulisan ini, maka penulis akan membuat suatu sistematika penulisan dengan tujuan untuk memberikan landasan yang dapat ditelusuri secara maksimal, sehingga mempermudah dalam pembahasan. Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 (empat) bab dan masing-masing terdiri dari sub bab. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan yang muncul mengenai perlindungan terhadap korban Tindak Pidana dalam perspektif Undang-undang No 13 tahun 2006 tentang perlindungn saksi dan korban. Pada bab ini juga akan membahas mengenai
tujuan penulisan, kegunaan penulisan, serta metode penulisan dan sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis memaparkan secara teoritis mengenai uraian doktrin, pendapat para pakar, kajian yuridis serta bahan-bahan kerangka teori yang akan dipakai penulis untuk mendukung analisa terhadap permasalahan mengenai kriteria pelapor dan tindak pidana yang dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban beserta bentuk-bentuk perlindungan yang terdapat dalam Undang-undang No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. BAB III: PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan yang diteliti yang disertai dengan analisa deskriptif kualitatif. Adapun kosentrasi pembahasan terletak pada kriteria pelapor dan tindak pidana yang saksinya mendapat perlindungan serta bentuk perlindungan yang diberikan terhadap pelapor tindak pidana dalam perspektif undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlidungsn saksi dan korban. BAB IV: PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran yang perlu dijawab atas permasalahan yang ada dan mencari penyelesaiannya.