BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masyarakat suku Jawa hidup di lingkungan agraris sehingga inti kebudayaan di daerah ini terdiri dari sub budaya tani, baik aktifitas pada lahan sawah, tegal, maupun lahan kering. Berbicara mengenai masyarakat agraris tidak lepas dari masalah tanah sebagai media tanam utama. Oleh karena itu tanah memiliki nilai tersendiri. Dalam masyarakat agraris yang sebagian besar mengandalkan kebutuhan hidupnya dari sektor pertanian, seringkali mencoba melakukan “hubungan batin” dengan tanah yang digelutinya dengan berbagai cara termasuk menyelenggarakan ritual upacara tradisional. Hal ini juga senada dengan pernyataan NielsMulder (1986:48) bahwa bangsa Indonesia, khususnya suku bangsa Jawa memiliki sifat seremonial. Hampir setiap peristiwa yang dianggap penting baik menyangkut segi kehidupan seseorang, keagamaan atau kepercayaan, maupun usaha seseorang dalam mencari penghidupan, pelaksanaannya selalu disertai dengan upacara. Sementara pengertian upacara tradisional menurut Suyono (dalam Herawati, 2004:115) adalah kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku pada masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang bersangkutan. Salah satu upacara tradisional yang berkaitan dengan bidang agraria adalah upacara Bersih Desa.
1
Upacara Bersih Desa dirayakan setahun sekali setelah masa panen padi. Sebab sebagian besar masyarakat petani suku Jawa menganggap padi sebagai tanaman pokok dalam pertanian. Selain itu padi merupakan tanaman yang melambangkan kemakmuran. Untuk mensyukuri kemakmuran tersebut, diselenggarakanlah upacara Bersih Desa sebagai wujud ungkapan terimakasih kepada Tuhan atas pemberian hasil panen. Seiring perkembangan
jaman, di beberapa daerah suku Jawa mulai
meninggalkan tradisi yang merupakan warisan leluhur ini (Ismaryati: 1988). Adanya anggapan kurang modern dan merupakan kegiatan yang syarat akan pemborosan dijadikan alasan oleh beberapa daerah tersebut untuk tidak menyelenggarakan tradisi Bersih Desa lagi. Umumnya daerah tersebut merupakan daerah pinggiran yang sudah mendapat pengaruh budaya dan informasi dari luar sehingga lambat laun mulai mengadopsi budaya kekotaan. Kendati demikian, masih ada daerah-daerah yang tetap menjalankan tradisi leluhur ini. Salah satu daerah yang masih setia melaksanakan upacara tradisi Bersih Desa adalah Dusun Legundi yang ada di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Masyarakat Legundi serta masyarakat lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul mengenal tradisi Bersih Desa dengan istilah Rasulan. Hampir seluruh dusun di Gunungkidul merayakan tradisi tahunan ini.
Meski waktu dan tempat
penyelengaraannya yang berbeda, namun inti dari kegiatan tersebut tetaplah sama, yakni sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
2
Di dusun Legundi tradisi Bersih Desa sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka
dan rutin diadakan setiap tahunnya. Tradisi yang menjadi kebanggaan
penduduk setempat ini berlangsung selama 2 hari. Tempat pelaksanaannya adalah di sekitaran resan dan Balai Dusun. Resan merupakan istilah untuk menyebut pohon besar yang dikeramatkan, karena diyakini sebagai cikal bakal dan penanda lahirnya sebuah dusun.Perayaan Rasulan di dusun Legundi hanya sederhana, namun suasananyasangat meriah dengan adanya pertunjukan seni Jathilan dan wayang kulit serta hadirnya beberapa pedagang
mainan anak dan kuliner yang turut
menyemarakkan perayaan Rasulan. Sebagian besar masyarakat dusun Legundi bekerja sebagai petani. Di dusun ini tidak banyak petani yang memiliki luas lahan pertanian diatas 1 hektare. Sehingga tidak banyak pula hasil panen yang didapatkan. Hasil pertanian yang utama di dusun ini adalah padi. Akan tetapi karena pola tanam di dusun ini hanya sekali dalam setahun maka hasilnya tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sepanjang tahun. Belum lagi dengan adanya gangguan hama dan musim kemarau yang berkepanjangan, merupakan ancaman gagal panen dan kualitas tanaman petani menjadi menurun. Tentunya hal ini menjadi sebuah masalah bagi masyarakat dusun Legundi yang hanya mengandalkan pendapatan dari hasil pertanian. Beberapa keterampilan seperti pertukangan dan pengrajin kayu yang biasanya dimiliki penduduk desa juga jarang dimiliki oleh warga dusun Legundi. Hanya beberapa orang yang memiliki kemampuan nukang, sisanya hanya mampu menjadi
3
laden tukang. Kesempatan masyarakat Legundi untuk meningkatkan pendapatan menjadi sangat terbatas. Sehingga menyebabkan masyarakat dusun Legundi sulit melepaskan diri dari perangkap kemiskinan. Upaya merantau mencari pekerjaan ke kota ternyata juga belum mampu memecahkan masalah kemiskinan di dusun ini. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan kesempatan kerja di kota yang menuntut berbagai syarat seperti bebas buta huruf, tingkat pendidikan dan keterampilan. Dengan melihat kondisi perekonomian di atas dan mengingat bahwa setiap tahunnya warga Legundi merayakan tradisi Rasulan yang membutuhkan banyak biaya, tentu dijumpai beberapa kendala dalam persiapan dan pelaksanaannya. Umumnya kendala yang dialami ada pada bagian pendanaan. Sebab perayaan Rasulan diselenggarakan atas keswadayaan masyarakat setempat. Meski demikian masyarakat tetap menghendaki Rasulan dirayakan sebagaimana yang sudah berjalan di tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat Legundi menganggap tradisi Rasulan sebagai pesta rakyat atau hajat dusun, dimana seluruh biaya operasional pelaksanaannya ditanggung seluruh warga dusun Legundi. Selain itu juga karena Rasulan adalah budaya warisan leluhur, oleh masyarakat pendukungnya tidak mungkin dibiarkan lenyap begitu saja. Untuk itu salah satu upaya memperjuangkan dan menjaga agar tidak punah adalah dengan selalu melaksanakan tradisi Rasulan setiap tahunnya, bagaimanapun keadaan
4
ekonomi penduduknya. Sehingga terlihat masyarakat dihadapkan pada dua permasalahan yakni kewajiban mempertahankan budaya leluhur dan disisi lain masyarakat tidak bisa menolak untuk membayar dan membiayai sebuah tradisi yang sudah menjadi kesepakatan warga untuk selalu dirayakan. Fenomena ini menarik untuk dikaji karena secara tidak langsung menyebabkan masyarakat Legundi menjadi lebih mementingkan tradisi Rasulan daripada mendahulukan pemenuhan kebutuhan primer. Sehingga terjadi kondisi yang tidak serasi antara kebutuhan hidup dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup. B. RUMUSAN MASALAH Dari uraian yang telah kami sampaiakan pada Latar Belakang, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Mengapa masyarakat Legundi masih merayakan tradisi Rasulan hingga saat ini?” C. TUJUAN PENELITIAN 1. Menganalisa dan mendeskripsikan bentuk serta karakteristik tradisi Rasulan. 2. Menganalisa dan mendeskripsikan pandangan masyarakat Legundi dalam memaknai tradisi Rasulan. 3. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi kontribusi pengembangan ilmu Sosiolgi ke depan dari sejumlah temuan atas usaha pemahaman secara lebih mendalam terhadapa pokok permasalahan penelitian.
5
D. TINJAUAN PUSTAKA Sudah banyak karya tulis atau skripsi yang membahas tentang Upacara Bersih Desa. Namun dari sekian banyak karya tulis tersebut, kajian yang membahas secara khusus mengenai Mempertahankan Tradisi Rasulan (Studi Pelaksanaan Tradisi Rasulan Di Tengah Himpitan Ekonomi Oleh Masyarakat Dusun Legundi, Kel. Planjan, Kec. Saptosari, Kab. Gunungkidul) belum pernah ada. Berikut karya tulis yang pernah penulis temukan tentang tradisi Bersih Desa antara lain: Skripsi yang ditulis Andi Iskandar dengan judul “Makna Upacara Merti Bumi Bagi Masyarakat Dusun Tunggul Arum Desa Wonokerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman (1999-2004)”. Penulis merupakan mashasiswa Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2004. Isi dari skripasinya terfokus tentang majna upacara Merti Bumi bagi masyarakat pendukungnya, yang mencakup beberapa aspek keagamaan meliputi nilai ibadah dan nilai dakwah, aspek sosial meliputi interaksi sosial, mengandung makna kegotong-royongan dan kesetiakwanan, aspek hiburan serta aspek ekonomi. Selanjutnya skripsi yang ditulis mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga bernama Sukiman dengan judul skripsi “Upacara Tradisi Bersih Desa di Desa Kartoharjo Karangmojo Magetan Ditinjau Dari Segi Mite”. Isi skripsinya menguraikan tentang mite dalam hubungannya dengan upacara Bersih Desa di desa
6
Kartoharjo Karangmojo Magetan. Mite di sini mengambil peranannya yakni mengungkapkan dan memberikan segala informasi yang berhubungan dengan awal mula terbentuknya desa Kartoharjo sampai latar belakang upacara Bersih Desa dengan segala ritusnya. Skripsi mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Syaiful Umam yang ditulis tahun 1999 dengan judul “Metode Dakwah dalam Menghadapi Tradisi Kebudayaan Jawa (Studi Kasus Tradisi Sedekah Bumi di Desa Karangsari, Kecamatan Kluwak, Kabupaten Pati)” menjadi referensi terakhir bagi penulis. Dalam karya tulisnya Syaiful menjelaskan bahwa dalam tradisi Sedekah Bumi ada Urf Shahih (tradisi baik) dan Urf Fasid (tradisi buruk). Pembahasannya juga meliputi persepsi masyarakat santri dan abangan serta usaha dakwah para da’i dalam menghadapi upacara Sedekah Bumi yang berkembang di Desa Karangsari.
E. KERANGKA KONSEPTUAL E.1. Tindakan Sosial : Rasionalitas Berorientasikan Nilai (Max Weber) Konsep rasionalitas dipilih Weber sebagai titik fokus utama dalam perhatiannya. Konsep ini memegang peran yang sama seperti konsep Solidaritas milik Durkheim, Konflik Kelas milik Karl marx, dan tahap-tahap perkembangan intelektual milik Comte. Weber tidak menempatkan individu pada posisi yang sedemikian ekstrim, melainkan pada kecenderungan tindakan atau pola interaksi
7
individu, karena pada nantinya analisa sosial berhubungan dengan tindakan-tindakan individu.
Pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah pada verstehen (pemahaman subyektif), yakni mereduksi makna subyektif yag berhubungan dengan “kategori interaksi manusia” untuk membedakan dengan pentingnya struktur sosial. Verstehen merupakan metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Untuk memperoleh pemahaman yang sah mengenai tindakan sosial, diperlukan derajat emphaty yang tinggi.
Weber memahami tindakan sosial sebagai tindakan dan pertimbangan yang dilakukan secara sadar dan terpilih. Ada empat macam tindakan rasional yang telah dirumuskanWeber, yakni (1) Rasionalitas Instrumental (2) Rasionalitas Berorientasi Nilai (3) Tindakan Tradisional (4) Tindakan Afektif. Dari empat macam tindakan rasionalitas tersebut kami mengambil rasionalitas Berorientasi Nilai sebagai kerangka konseptual studi ini. Rasionalitas Berorientasi Nilai bersifat bahwa alat-alat hanya merupakan objek pertimbanagan dan perhitungan yang sadar, karena tujuannya berhubungan dengan nilai-nilai individu bersifat absolut dan non-rasional. Dengan demikian pertimbangan rasional mengenai kegunaan dan efisiensi tidak relevan lagi. Individu
8
mempertimbangkan alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada. Rasionalitas merupakan titik pusat untuk menjelaskan sebuah tindakan sosial. Tindakan rasionalitas berkaitan dengan pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Sementara menurut Durkheim, masyarakat yang rasional itu dicirikan oleh pembagian kerja yang rasional berdasarkan pertimbangan atas tujuan yang ingin dicapainya. Dalam Rasionalitas Berorientasi Nilai seseorang tidak dapat menilai apakah cara yang dipilihnya adalah cara yang paling tepat untukk mencapai tujuannya. Tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung sulit dibedakan, sebab tindakan ini digerakkan oleh keyakinan akan nilai perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya. Berkenaan dengan penelitian ini, bahwa tingkah laku masyarakat Legundi dalam merayakan tradisi Rasulan yang tidak menghitungkan pengorbanan bagi mereka sendiri, bertindak sesuai dengan apa yang mereka yakini merupakan kewajiban, kehormatan, panggilan Religius atau hal apapun yang mereka anggap penting. Sepintas pemakaian sesaji dalam tradisi Rasulan menghamburkan materi. Begitu pula pemakian pertunjukkan wayang kulit yang memakan banyak biaya. Fanatisme sering membuat orang tudak memperhitungkan akibat-akibat bagi keluarga, negara, atau keselamatannya sendiri. Aspek-aspek estetika spiritual yang
9
sekaligus menjadi wahana komunikasi gaib antara penghayat kepercayaan dengan Tuhan merupakan aspek yang luar biasa dalam tradisi Bersih Desa.
E.2. Teori W. Robertson Smith Tentang Upacara Bersaji W. Robert Smith merupakan ahli telogi, ahli ilmu pasti, dan ahli ilmu bahasa dan kesusastraan Semit. Atas segudang keahlian yang dimilikinya, ia menjadi Guru Besar dalam Bahasa Arab dan Kesusatraan Arab di Universitas Cambridge. Dari berbagai buku yang berhasil ia karang, sebuah buku yang berhubungan dengan teorinya adalah buku Lectures on Religion of the Semites (1889). Teori yang dikemukakan Smith ini tidak berpangkal pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi, tetapi berpangkal pada upacaranya (dalam Koentjaraningrat : 1987, 67-68). Mengutip pernyataan Smith yang termuat dalam bukunya Koentjaraningrat, bahwa ada tiga gagasan penting yang menambah pengertian kita terhadap azas-azas religi dan agama pada umumnya. Pertama, bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suautu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa khusus. Menurut W.R. Smith dalam banyak agama upacaranya itu tetap, namun latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrin berubah. Kedua, upacara religi atau agama yang bisanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai
10
fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi mereka tidak semata-mata untuk berbakti kepada Tuhan atau dewa, atau untuk meraih kepuasan keagamaan secara pribadi, melainkan juga karena adanya anggapan bahwa dengan melakukan upacara adat adalah suatu kewajiban sosial. Ketiga, bahwa dalam upacara sesaji memiliki fungsi yakni sebagai aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa. Sebab dalam hal ini dewa juga dipandang sebagai anggota komunitas meskipun kedudukannya lebih istimewa bahkan kasat mata. Menurut Smith upacara sesaji ini merupakan upacara yang gembira, meriah, dan keramat. Keterkaitan teori Smith dengan penelitian ini adalah bahwa masyarakat Legundi menggelar tradisi Rasulan yang juga merupakan upacara selamatan berdasarkan nilai sosial. Nilai sosial yang termuat dalam tradisi Rasulan antara lain kebersamaan, kerukunan, dan persatuan antar warga yang kesemuanya itu merupakan suatu keadaan dambaan warga dalam hidup bermasyarakat.
F. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Kualitatif jenis Deskriptif dengan pendekatan Studi Kasus. Dengan metode ini peneliti menggali dan menjelaskan realita yang menjadi objek penelitian. Peneliti berpijak dari realita yang dijumpai di lapangan, yakni suatu tradisi keagamaan yang ada dalam kehidupan keseharian masyarakat Legundi.
Sedangkan untuk memilih informan digunakan
11
teknik Purposive Sampling. Pengertian sampling adalah pilihan peneliti sendiri secara purposive disesuaikan dengan tujuan penelitiannya. Yang menjadi informan hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi yang relevan saja baik peristiwa, manusia, maupun situasi. Kemudian untuk satuan kajian atau unit analisis dalam penelitian ini bersifat perorangan atau individu dalam masyarakat. F.1. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Legundi, Kelurahan Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi ini yaitu di dusun tersebut masih merayakan tradisi Rasulan yang disebabkan beberapa faktor antara lain: a. Masih terdapat pemangku adat yang dijadikan panutan dalam melakukan tradisi Rasulan b. Sesepuh atau yang menjadi pelaku sejarah rasulan masih ada c. Partisipasi dan antusias masyarakat masih tinggi F.2. Teknik Pengumpulan Data F.2.a. Data Primer Observasi (Pengamatan) Dengan metode ini penulis mengamati secara langsung kejadian atau peristiwa yang erat kaitannya dengan perayaan tradisi Rasulan antara
12
lain aktifitas warga pada hari-hari menjelang perayan Rasulan, saat hari H perayaan Rasulan, serta aktifitas sehari-hari warga pasca diadakannya tradisi Rasulan. Pada saat menuliskan laporan hasil penelitian, penulis sempat mengalami kekurangan data sehingga perlu dilakukan observasi lanjutan guna mendapat kelengkapan data. Durasi pada setiap pelaksanaannya berkisar antara satu hingga dua jam. Dengan mentode ini peneliti memperoleh data tentang kegiatan masyarakat Legundi yang berkaitan dengan perayaan tradisi Rasulan. sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menyusun laporan penelitian ini. Interview (Wawancara) Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa penduduk Legundi sebelumnya. Namun pada akhirnya penulis hanya mengambil enam orang untuk dijadikan informan karena enam orang tersebut dianggap dapat memberikan informasi paling mendalam terkait dengan tema penelitian. Enam informan tersebut diambil dari berbagai elemen yakni dari perangkat desa, pemangku adat, panitia, serta warga biasa. Berikut adalah daftar informan utama pada penelitian ini:
13
Tabel I.1 Daftar Nama-nama Informan Utama No. 1.
Nama Supri
2.
Darjadi
3.
Karyanto
4.
Nuryanto
5.
Partini
6.
Kasmi (Sumber: Data primer)
Alasan Pemilihan 1. Adalah kepala dukuh setempat 2. Dipandang mengetahui tentang keadaan sosial, budaya, dan masyarakat dusun Legundi 1. Merupakan tokoh adat setempat (pak Kaum) 2. Dipandang mengetahui seluk beluk tradisi dan sejarah Rasulan. 1. Adalah salah satu panitia sie perlengkapan 2. Dipandang mengetahui tentang bagaimana persiapan hingga pelaksanaan tradisi Rasulan 1. Dahulu beliau pernah menjabat sebagai Bendahara rasulan tahun 2011 2. Informasi yang diberikan beliau dapat dijadikan referensi atau pembanding atas pelaksanaan Rasulan tahun lalu dengan tahun 2012. 1. Adalah ketua PKK sekaligus koordinator panitia konsumsi Rasulan 2012. 2. Beliau dianggap mengetahui tentang kebutuhan dan perlengkapan yang diperlukan selama perayaan Rasulan 1. Adalah Ibu Rumah Tangga (IRT)
Pelaksanaan wawancara dilakukan sejak H-1 (11 Mei 2012) Rasulan dimana peneliti sambil menjalankan kegiatan observasinya. Wawancara dengan Ibu Partini dan Ibu Kasmi dilaksanakan dengan membuat janji atau kesepakatan sebelumnya. Jika tidak demikian tentu sulit mendapatkan waktu untuk wawancara meskipun masyarakat
14
Legundi sangat ramah dan terbuka kepada siapapun termasuk peneliti. Hal ini dikarenakan informan adalah petani, dimana pagi hingga siang mereka pergi ke ngalas (ladang) untuk menggarap lahan pertaniannya. Sehingga wawancara dilakukan setelah informan pulang dari aktivitas meladangnya. Kemudian wawancara kepada informan pria tidak begitu mendapat kesulitan sebab mereka mudah ditemui saat persiapan maupun pelaksaan Rasulan, baik di rumah maupun di Balai Desa. Hal ini juga dikarenakan mereka yang terdaftar sebagai panitia telah meliburkan diri dari aktivitas meladangnya yang telah digantikan oleh istri. Untuk keseluruhan teknis pelaksanaan wawancara dilakukan dengan menggunakan interview guide (pedoman wawancara) agar wawancara terarah dan sistematis. Proses pelaksanaannya dimulai dengan perbincangan santai seputar kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Langkah ini digunakan untuk mendapat jawaban yang sifatnya terbuka sehingga dapat dikembangkan ke pertanyaan yang lebih luas. Selanjutnya digunakanlah depth interview (wawancara mendalam) untuk memperoleh jawaban yang lebih jauh tentang masalah penelitian. Saat menuliskan hasil laporan, peneliti sempat merasa kekurangan data, sehingga perlu melakukan wawancara lanjutan guna melengkapi
15
data penelitian. Wawancara tidak hanya ditujukan kepada informan utama, melainkan juga kepada warga diluar daftar informan utama dan beberapa anggota Paguyuban Manunggal Jaya. Wawancara lanjutan ini dilakukan pada 3 Juni 2012 . Sedangkan wawancara kepada anggota PMJ dilakukan di pertengahan bulan Desember 2012, yakni tanggal 17-18. Dokumentasi Alat kamera
dan
yang digunakan untuk mendokumentasikan data adalah recorder
(perekam).
Untuk
perekaman
peneliti
memanfaatkan alat komunikasi dari handphone karena dinilai lebih praktis dan fleksibel. Meskipun handphone bukan barang yang asing lagi bagi masyarakat Legundi, namun informan justru tidak menyadari bahwa selama wawancara ada proses perekaman. Umumnya masyarakat Legundi mengetahui handphone sebatas alat komunikasi untuk telepon dan mengirim SMS, tidak menyadari bahwa di dalamnya ada fitur perekam. Perekaman ini dilakukan untuk menghindari lupa dalam mencatat hal-hal penting selama wawancara yang dikarenakan intonasi nada pembicaraan
yang
cepat.
Sedangkan
kamera
digunakan
untuk
mengabadikan gambar saat observasi, kerja bakti warga, pelaksanaan Rasulan, dan lain sebagainya.
16
F.2.b. Data Sekunder Data sekunder ini berupa data yang sudah tersedia dalam bentuk jadi seperti data mengenai Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Desa tahun 2011, Data Mata Pencaharian Penduduk (yang dilakukan oleh peneliti), nota belanja panitia konsumsi, daftar donatur Rasulan, serta beberapa foto perayaan Rasulan yang merupakan dokumentasi pribadi milik warga setempat.
F.3. Metode Analisis Data Untuk menganalisa data yang diperoleh selama observasi dan wawancara, maka penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Mengumpulkan seluruh data observasi dan wawancara untuk ditranskip supaya lebih mudah dipelajari. b. Mempelajari dan membaca hasil transkip tersebut berulang-ulang guna memperoleh pemahaman mendalam tentang sebuah kasus. Kemudian menggaris bawahi dan menulis di bagian yang kosong tentang fakta-fakta dan tema-tema yang muncul serta kata kunci yang dapat menangkap esensi dari teks yang dibaca. c. Peneliti menggunakan kertas lain untuk menuliskan kesimpulan sementara yang muncul saat membaca maupun setelah membaca transkip tersebut. pada langkah ini belum dilakukan penyimpulan konseptual sebab penyimpulan
konseptual
secaar
dini
dapat
menghalangi
peneliti
memperoleh pemahaman utuh mengenai realitas yang diteliti.
17
d. Mendaftar tema-tema yang muncul dengan menuliskan di lembaran yang terpisah, kemudian mencoba memikirkan hubungan diantaranya. Lalu menganalisa dengan teori yang sudah dipilih.
18