BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan Konstitusi yang dibuat tahun 1947, Jepang menjadi sebuah negara yang memiliki keterbatasan besar akan kekuatan militer. Pasal 9 Konstitusi ini kurang lebih menyebutkan bahwa masyarakat Jepang tidak mengakui perang sebagai hak kedaulatan suatu negara dan lebih jauh lagi, menyatakan bahwa “...land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained.”1 Keseluruhan pasal 9 ini merupakan manifestasi dari prinsip kedua yang dijunjung oleh Konstitusi baru Jepang paska perang dunia ke-dua, yaitu pasifisme. Hal ini secara otomatis menghapuskan Jepang dari hak membangun kekuatan militer. Amandemen terhadap pasal 9 kemudian hanya sebatas memperbolehkan pengadaan pasukan pertahanan diri yang disebut Self-Defense Force(SDF). Pasukan ini bukan hanya tidak dapat aktif diluar wilayah Jepang, namun apa yang dapat diperbuatnya di dalam negeri sendiri sangat terbatas. Selain itu, Jepang juga berada dalam aturan dimana dana militer tahunan yang dapat dipergunakan tidak boleh melebihi 1 persen dari jumlah GDP Jepang. Dengan seluruh keterbatasan tersebut, secara umum Jepang menjadi rentan akan ancaman dari sekitarnya. Untuk masalah keamanan, Jepang menggantungkan diri pada aliansinya dengan Amerika Serikat sebagai deteren. Akan tetapi, semakin meningkatnya konflik di dunia internasional dan di kawasan regional Asia Timur memunculkan pertanyaan mengenai sejauh manakah kekuatan deteren Amerika Serikat mampu mempertahankan Jepang dari serangan-serangan langsung yang begitu dekat di depan mata dan membutuhkan gerak pertahanan cepat, seperti invasi China dan misil Korea Utara.
1
K. Kishimoto, Politics in Modern Japan: Development and Organization, 3rd ed., Japan Echo, Tokyo, 1988, p.43
1
Dalam Reuters disebutkan, bahwa pengeluaran militer di Asia telah mencapai 287,4 miliar dolar pada tahun 2012. 2 Angka ini bukan hanya mengalahkan belanja militer NATO, tapi juga mengalahkan biaya pertahanan seluruh kawasan Eropa, memperlihatkan bahwa pengembangan kekuatan militer besar-besaran tengah terjadi di kawasan Asia, khususnya dikawasan Asia Timur. Melihat kondisi regional Asia Timur yang ada, pemerintah Jepang perlu melakukan peningkatan pada program politik kemanannya. Peningkatan tersebut pada akhirnya terlihat dalam rincian National Defense Program Guidelines (NDPG) yang menjadi panduan pertahanan Jepang pada tahun 2010 dengan munculnya konsep Dynamic Defense Force (DDF). 3 Konsep ini memungkinkan Jepang untuk membentuk pasukan SDF yang lebih agresif dan mobilitatif. NDPG 2010 juga memuat rancangan untuk memperkuat maritim dan angkatan udara Jepang untuk menghadapi konflik yang berbentuk serangan dari luar Jepang. Peningkatan kekuatan air dan udara Jepang ini mengindikasikan bahwa Jepang telah bergerak untuk bersikap lebih mandiri dalam mempertahankan wilayah kedaulatannya. Lebih jauh lagi, hal ini juga dapat berarti bahwa Jepang mulai bersikap ofensif dalam pertahanannya. Yang jelas, penguatan militer pada maritim dan udara cenderung menunjukkan kepentingan kearah luar negeri 4. Perubahan politik keamanan Jepang ini menjadi semakin menarik dengan kembalinya Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri Jepang semenjak Desember 2012. Shinzo Abe dikenal sebagai nasionalis yang keras dan cenderung berkeinginan untuk
memperkuat
mengembalikan
Jepang
hard
power
baik
secara
yang
ekonomi
pernah
maupun
dimiliki
militer
Jepang,
dan
termasuk
2
Myra MacDonald, Asia’s Defense Spending Overtakes Europe’s: ISSS (online), 14 Maret 2013, <www.reuters.com/article/2013/03/14/us-security-military-isss-idUSBRE92DOEL20130314> diakses 20 Juni 2013 3 National Defense Program Guidlines for FY 2011 and beyond, p.6, http://www.kantei.go.jp/foreign/decisions/2010/_icsFiles/afieldfile/2012/01/27/ndpg_e.pdf, diakses 19 Juni 2013 4 Robert Farley, How to View Defense Spending in Asia (online), 7 November 2012, <www.thediplomat.com/flashpoints-blog/2012/11/07/how-to-view-defense-spending-in-Asia/> diakses 3 Maret 2013
2
memperkenalkan patriotisme pada kurikulum pelajaran sekolah seperti yang pernah coba dilakukannya saat menjadi perdana menteri pada tahun 2006.5 Setelahnya, LDP dibawah kepemimpinan Abe juga mengajukan proposal amandemen terhadap konstitusi, diantaranya mengenai diubahnya ketentuan yang membatasi hak pertahanan kolektif, juga mengubah nama SDF menjadi National Defense Force.6 Meskipun Dynamic Defense Force sendiri telah dikonsepkan sejak tahun 2010, akan menarik melihat implementasinya pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe, seorang konservatif yang menaikkan anggaran belanja militer Jepang untuk pertama kalinya dalam 11 tahun terakhir.7 Terlebih pada masa sekarang, dimana konflik kawasan Asia Timur tengah mengalami masa-masa tegang, lebih dari tahun 2006 silam saat Abe pertama kali menjabat dan mengalami kegagalan. Dengan demikian, skripsi ini akan membahas mengenai perubahan politik keamanan Jepang yang termuat dalam NDPG 2010 berupa konsep Dynamic Defense Force (sebagai pengganti konsep Basic Defense Force) dan penerapannya selama masa pemerintahan Shinzo Abe sebagai respon terhadap konflik Asia Timur.
B. Rumusan Masalah Pada masa pemerintahannya yang kedua, Shinzo Abe menerapkan banyak kebijakan keamanan yang merupakan isu sensitif di Jepang, dan menjadi salah satu penyebab kegagalan masa jabatannya yang pertama di tahun 2006. Keputusannya
5
Sebastian Maslow, “Yet Another Lost Decade? Whither Japan’s North Korea Policy Under Shinzo Abe”, 15 April 2013, The Asia-Pacific Journal, Vol. 11, Issue 15, No. 3 6 The Asahi Shinbun, EDITORIAL: Why Change the SDF to a national defense force? (online), 30 November 2012,
diakses 23 Juni 2013 7 Martin Fackler, Japan Shift From Pacifism as Anxiety in Region Rises (online), 1 April 2013, , diakses 14 Mei 2013
3
untuk menerapkan konsep Dynamic Defense Force dan membentuk serangkaian kebijakan keamanan baru menimbulkan pertanyaan; Bagaimana pemerintahan Shinzo Abe dapat menerapkan politik keamanan Dynamic Defense Force sebagai respon terhadap Konflik Asia Timur? Hal ini akan dilihat dari kekuatan politik dan legitimasi Shinzo Abe pada masa pemerintahannya yang kedua di tahun 2013, yang didapatnya dari dukungan partai politik terutama Liberal Democratic Party dan dukungan dari masyarakat Jepang.
C. Landasan Konseptual Pertanyaan yang telah diajukan diatas akan dijawab dengan melihat sistem politik yang berlaku di Jepang. Sistem politik ini akan menjelaskan bagaimana hubungan antar badan pemerintahan dalam sistem parlementer yang berlaku di Jepang, terutama hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Kemudian, akan dapat dilihat bagaimana perdana menteri mempertahankan posisi dan perannya dalam pemerintahan, termasuk dukungan yang diperlukan oleh perdana menteri baik dari partai politik maupun publik. Sistem politik di Jepang, sama dengan keamanannya, didasarkan atas Konstitusi 1947 yang dibuat paska Perang Dunia II oleh Supreme Allied Command Force. Sistem tersebut menganut dasar demokrasi dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan tiga badan yang berdiri secara terpisah yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri, yang secara berdampingan melakukan check and balance terhadap performa masing-masing pihak. 8 Sementara legislatif berhak mengangkat perdana menteri, eksekutif berhak pula membubarkan parlemen.
8
Kishimoto, p.44
4
Chart 1.1. Sistem pemerintahan Jepang (sumber : Web Japan, Government, , diakses 26 Juni 2013)
Dalam sistem politik yang memiliki tiga cabang berbeda tersebut, ada satu peran yang memiliki andil maupun pengaruh pada ketiganya, yakni perdana menteri. Berdasarkan konstitusi saat ini, perdana menteri memiliki kekuatan yang lebih besar dan luas dibandingkan era Meiji. Pada dasarnya, dengan memiliki kemampuan untuk membentuk dan memimpin kabinet, perdana menteri memiliki kekuasaan besar dalam bidang eksekutif. Sebagai pemimpin dari partai yang menguasai parlemen, perdana menteri memiliki kekuatan atas badan legislatif. Dan karena memiliki wewenang untuk menunjuk hakim, perdana menteri memiliki pengaruh dalam badan judikatif. 9 Dengan kata lain, perdana menteri memiliki pengaruh pada semua cabang pemerintahan. Selain itu, dengan terhapusnya kekuatan-kekuatan pada masa sebelum perang termasuk kekuatan kekaisaran, genro, dan privy council, perdana menteri memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menentukan arah kebijakan Jepang.
9
Kishimoto, p. 70
5
Perdana menteri, berperan sebagai kepala pemerintahan, merupakan sosok yang penting karena menjadi wajah bagi pemerintahan. Namun, Jepang menganut sistem parlementer, dan dalam sistem parlementer, pada dasarnya kekuasaan berada di tangan parlemen. Mengapa demikian? Pertama, parlemen memiliki hak untuk mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri.10 Dengan kata lain, parlemen memiliki wewenang untuk “memecat” perdana menteri dari jabatannya apabila perdana menteri tersebut dirasa tidak lagi mampu ataupun gagal dalam kepemimpinannya. Berdasarkan hal ini, parlemen memiliki kekuasaan untuk menentukan arah pemerintahan dengan memutuskan perdana menteri mana yang sebaiknya di biarkan menjabat dan perdana menteri mana yang sebaiknya diturunkan. Kedua, parlemen memiliki kekuatan legislatif. Artinya, parlemen memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan mana yang boleh dilaksanakan dan kebijakan mana yang harus diurungkan. Dengan wewenang yang demikian, parlemen memiliki kekuasaan untuk menentukan arah kebijakan Jepang, baik untuk urusan domestik maupun urusan dalam negeri. Kedua hal inilah yang merupakan kekuatan utama milik parlemen, yang membuatnya memiliki kekuasaan amat tinggi dalam pemerintahan. Parlemen Jepang, yang disebut National Diet terdiri dari dua kamar, yakni majelis
tinggi
(House
of
Councillors)
dan
majelis
rendah
(House
of
Representatives). Secara konstitusi, National Diet merupakan “sole law-making organ of the state” dan “the highest organ of state power” (pasal 41). 11 Kebijakan maupun undang-undang harus melalui parlemen untuk dapat disahkan. Untuk itu, diperlukan persetujuan mayoritas dari kedua majelis, yang terdiri dari perwakilan partai politik maupun independen. Sistem persetujuan mayoritas seperti ini 10
Prime Minister of Japan and His Cabinet, Fundamental Structure of the Government of Japan, http://www.kantei.go.jp/foreign/constitution_and-government_of_japan/fundamental_e.html, diakses 5April 2013 11 Kishimoto, p. 51
6
menciptakan keadaan dimana kekuasaan suatu partai politik ditentukan oleh besar kecilnya jumlah kekuatan mereka di kursi parlemen. Dalam sistem parlementer ini, kekuasaan berada di tangan partai mayoritas. Atau, dalam kasus dimana ada dua partai terbesar yang memiliki jumlah perwakilan sama, maka kekuasaan berada di tangan koalisi terbesar. Semakin besar jumlah perwakilan suatu partai di parlemen, semakin besar persentase suara yang mereka dapatkan dalam sesi-sesi parlemen. Maka, akan semakin besar pula kekuasaan partai tersebut dalam pemerintahan, karena besarnya jumlah suara mempengaruhi keberhasilan partai untuk menentukan arah kebijakan pemerintah sesuai dengan agenda, kepentingan, dan ideologi mereka. Sistem politik parlementer yang semacam ini memberikan kekuatan yang besar pada partai mayoritas untuk membentuk kebijakan yang mereka inginkan. Pada dasarnya, perdana menteri di Jepang dipilih oleh parlemen, sehingga sudah pasti bahwa kandidat dari partai mayoritas-lah yang akan memegang kepemimpinan. Hal ini menyebabkan kebijakan yang diambil oleh perdana menteri pada dasarnya merupakan kebijakan yang diambil oleh partainya. Selama eksekutif mengeluarkan kebijakan yang sesuai dan disetujui oleh kekuatan mayoritas, yaitu partai terbesar dan koalisinya, maka kebijakan itu hampir pasti dapat dimenangkan. 12 Dengan kata lain, meskipun pembuatan kebijakan berada di tangan perdana menteri dan kabinetnya, perumusannya justru lebih tepat terjadi di dalam tubuh partai mayoritas itu sendiri, dimana pembuat kebijakan harus berusaha menyatukan suara faksi-faksi di dalam partai itu sendiri. Dalam hal ini, meskipun sempat terganjal beberapa tahun yang lalu, Liberal Democratic Party (LDP) berhasil mengukuhkan kembali posisinya sebagai partai terbesar di Jepang, memegang kursi mayoritas di kedua tingkat majelis.
12
Hans H. Baerwald, ‘The Diet and Foreign Policy’, dalam Robert A. Scalapino (ed.), The Foreign Policy of Modern Japan, University of California Press, Barkeley, 1977, p. 37
7
Melihat bahwa partai terbesarlah yang memegang kekuasaan di parlemen, maka sangat penting bagi perdana menteri untuk mendapatkan dukungan dari partai tersebut. Dukungan dari partai memiliki dua arti besar. Pertama, kebijakan yang dibuat eksekutif akan lebih mudah diloloskan oleh parlemen karena mendapatkan persetujuaxxn dari partai mayoritas. Terlebih apabila jumlah suara partai mayoritas dan koalisnya dapat mencapai 2/3 dari jumlah suara total. Maka, kebijakan dapat diloloskan tanpa perlu direpotkan oleh partai-partai oposisi. Kedua, kemungkinan munculnya mosi tidak percaya ataupun desakan untuk mundur bagi perdana menteri akan semakin kecil, menciptakan masa pemerintahan yang lebih lama dan lebih stabil. Agar seorang pemimpin dapat mempertahankan kekuasaanya, pemimpin tersebut membutuhkan legitimasi. Ada banyak pendapat dan deskripsi mengenai legitimasi. Rousseau menyebutkan dalam Social Contract bahwa pemerintah dapat dikatakan sah atau legitimate apabila pemerintahan tersebut memiliki hak untuk memerintah.13 “Hak” ini, apabila ditilik dari pendapat David Easton, merupakan “pemberian” dari rakyat. David Easton menyebutkan bahwa legitimasi merupakan keyakinan dari masyarakat bahwa menerima dan mematuhi pihak berwenang, atau pemerintah, adalah tindakan yang benar dan pantas untuk dilakukan.14 Melihat pendapat-pendapat yang ada, dapat disimpulkan bahwa legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan oleh publik kepada pemerintahan yang berlaku. Ditilik dari deskripsi tersebut, maka legitimasi yang dimiliki oleh pemerintah di dapatkan dari rakyat. Dalam sistem parlementer, anggota parlemen terdiri dari perwakilan partai politik yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, parlemen pada dasarnya mewakili wewenang rakyat untuk memberikan legitimasi kepada pemimpin pemerintahan. Bagaimanapun, dukungan rakyat terhadap perdana menteri ataupun pemerintahan ditunjukkan melalui dukungan suara mereka 13 14
M.J. Vinod, M. Deshpande, Contemporary Political Theory, PHI Learning Pvd. Ltd., New Delhi, 2013, p. 148 M.J. Vinod, p. 149
8
terhadap partai politik. Dalam sistem seperti ini, maka legitimasi diberikan lewat banyaknya jumlah suara dukungan mereka terhadap partai yang memerintah. Maka, bagi perdana menteri, besarnya tingkatan legitimasi yang dimilikinya ditentukan oleh besarnya kekuasaan partai politik pendukungnya—dalam hal ini partai mayoritas—yang ditentukan oleh dukungan publik lewat pemilihan umum. Berdasarkan hal ini, penting bagi perdana menteri untuk terus mempertahankan dukungan dari partai maupun publik. Dukungan publik akan meningkatkan kekuasaan partai dalam parlemen, dan dukungan partai akan mengamankan posisi perdana menteri dari jabatannya. Pemimpin yang memperoleh legitimasi tinggi tidak perlu lagi menghadapi ketakutan akan diturunkan sebelum masa akhir jabatannya ataupun kalah dalam pemilu. 15 Parlemen Jepang menganut sistem dua tingkat majelis. Dalam sistem yang demikian, legitimasi tinggi yang disebutkan diatas baru dapat ditetapkan setelah masa pemilu dua tingkat majelis selesai. Perdana Menteri seharusnya memiliki masa jabatan selama empat tahun. Namun, apabila partai mayoritas kehilangan pendukung dan tidak mampu menguasai suara mayoritas di dua tingat majelis dalam pemilu, masa pemerintahan perdana menteri di masa itu tidak akan bertahan lama. Semenjak tahun 2006, hal ini telah terjadi dalam tubuh pemerintahan Jepang, dimana perdana menteri terus berganti-ganti setiap tahun, sebagian besar disebabkan oleh menurunnya dukungan publik sehingga dukungan suara di parlemen juga berkurang, dan desakan dari partai politik sendiri mulai bermunculan. Dengan demikian, apabila perdana menteri memiliki dukungan dari parlemen yang menguasai dua tingkat majelis, maka perdana menteri tersebut memiliki tingkat legitimasi yang tinggi. Legitimasi yang tinggi memberikan kekuatan bagi perdana menteri untuk membentuk rezim dan menjalankan kebijakan yang diinginkannya dengan lebih leluasa.
15
M.J. Vinod, p. 16
9
Maka, Perdana Menteri Shinzo Abe memiliki keuntungan dalam menjalankan kebijakannya, selama dia dapat menyatukan opini di dalam partai itu sendiri dan mempertahankan kontrol atas kabinetnya. Namun, output atau kebijakan tersebut haruslah diambil secara hati-hati. Seperti yang tertera pada bagan diatas, rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi, dan memiliki hak untuk menetapkan anggota parlemen dalam pemilihan umum. Artinya, rakyat memegang kendali atas keadaan parlemen; partai manakah yang menjadi mayoritas dan berkuasa atas parlemen. Sehingga, pembuat kebijakan tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang sembarangan, yang dapat menurunkan popularitasnya dimata publik. Hal ini sempat terjadi pada masa pemerintahan Shinzo Abe yang pertama, dimana secara singkat, Abe mengundurkan diri dari pemerintahannya setelah kebijakannya yang dirasa terlalu agresif dan dukungan terhadap administrasinya merosot. 16 Karenanya, pembuat kebijakan harus berhati-hati, dan menggunakan opini publik atas kebijakannya sebagai input untuk perkembangan kebijakan tersebut. Dalam penerapan konsep Dynamic Defense Force, kebijakan kemanan yang diambil terbentuk sebagai rangkaian kebijakan yang diambil dan diterapkan sedikit demi sedikit, sehingga perdana menteri dapat melihat sejauh mana penerimaan rakyat terhadap kebijakan keamanan yang diambil dan diterapkan. Hal ini krusial, karena kebijakan keamanan merupakan hal yang sensitif di Jepang, dan pembuat kebijakan harus membuat keputusan dengan cerdas, mempertimbangkan kultur masyarakat Jepang paska Perang Dunia II yang mengacu pada pasifisme dalam Konstitusi 1947, sehingga kebijakan dalam hal peningkatan keamanan—atau kebijakan keamanan apapun—merupakan isu yang sensitif. Singkatnya, sistem perpolitikan di Jepang mengatur bahwa penentu arah kebijakan Jepang adalah eksekutif yang membuat dan menjalankan kebijakan, dan parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Dengan kata lain, kekuatan 16
BBC News, Profile: Shinzo Abe, 17 Desember 2012, , diakses 4 Juni 2013
10
tersebut berada di tangan kabinet dan partai yang memegang suara mayoritas dan menguasai dua tingkat parlemen. Kekuatan perdana menteri ditentukan oleh seberapa besar dukungan yang dimiliki oleh perdana menteri atas dua lembaga tersebut. Selain itu, seberapa besar dukungan publik terhadap pemerintahannya akan berdampak langsung pada pemilu yang menentukan kekuasaan partai di parlemen. Berdasarkan ini, akan dilihat bagaimana Abe memiliki peluang yang lebih baik dalam menerapkan konsep Dynamic Defense Force sebagai kebijakan yang sesuai untuk merespon kondisi regional Asia Timur dengan melihat kecenderungan dukungan partai dan publik pada masa pemerintahannya yang kedua. D. Argumen Utama Pada masa pemerintahannya yang kedua, Shinzo Abe memiliki pendekatan yang lebih agresif dalam hal pertahanan dan keamanan Jepang daripada perdana menteri pendahulunya. Tindakan yang lebih agresif ini dilakukan untuk merespon kondisi regional Asia Timur yang dibandingkan masa sebelumnya, mengalami kenaikan intensitas. Agresifitas ini ditunjukkan lewat rangkaian kebijakan sebagai penerapan terhadap konsep keamanan Dynamic Defense Force, seperti peningkatan dana militer yang belum pernah dilakukan dalam satu dekade terakhir, ataupun penerapan pertahanan misil tiga lapis di ibu kota. Meskipun tindakan tersebut bersinggungan dengan prinsip pasifisme Jepang dan merupakan tindakan yang termasuk dalam isu sensitif bagi masyarakat, Shinzo Abe tidak kehilangan popularitasnya. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahannya yang kedua ini, Abe memiliki lehitimasi yang cukup tinggi, bersumber dari kekuasaan LDP sebagai partai mayoritas maupun tingkat dukungan publik yang disebabkan meningkatnya kekhawatiran publik terhadap China dan Korea Utara. Dengan demikian pemerintahan Abe masih dapat menjalankan agenda keamanannya, selama berhatihati untuk tetap memperhatikan opini publik masyarakat Jepang.
11
E. Jangkauan Penelitian Skripsi ini akan memiliki kurun waktu yang dipusatkan semenjak tahun 2006 pada masa pemerintahan Shinzo Abe yang pertama, hingga pada masa pemerintahan Shinzo Abe yang kedua pada tahun 2013 yang masih berjalan. Dalam kurun waktu tersebut, akan dilihat perubahan kondisi keamanan di Asia Timur dan perubahan konsep pertahanan di Jepang, termasuk perubahan status Self Defense Agency dan munculnya konsep Dynamic Defense Force serta penerapannya yang difokuskan pada masa pemerintahan Shinzo Abe yang kedua semenjak Desember 2012.
F. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif berupa pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka, baik pustaka literatur yang terdiri dari buku, jurnal, serta artikel, maupun pustaka online. Adapun data-data yang diperoleh tersebut akan dikompilasikan, dievaluasi maupun dianalisa untuk kemudian dituliskan dalam skripsi sebagai hasil dari penelitian yang elaboratif.
G. Organisasi Penulisan Skripsi ini dibagi menjadi empat bab, dimana bab I akan menjelaskan Pendahuluan dan berisi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, jangkauan penelitian, metode penelitian, dan organisasi penulisan. Selanjutnya pada bab ke-II akan dibagi menjadi empat sub bab. Yang pertama akan memaparkan sejarah politik keamanan Jepang paska pembentukan konstitusi 1947 sebelum dibentuknya NDPG tahun 2010. Sub bab kedua akan membahas postur pertahanan Jepang pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe 12
yang pertama pada tahun 2006. Berikutnya sub bab ketiga akan membahas mengenai NDPG 2010 dan Dynamic Defense Force dan penerapannya sebelum masa pemerintahan Shinzo Abe yang kedua. Sub-bab terakhir akan mengulas mengenai kebijakan pertahanan yang dikeluarkan oleh Shinzo Abe pada masa pemerintahannya yang kedua di tahun 2012 dan 2013 sebagai penerapan terhadap konsep Dynamic Defense Force sebagai respon terhadap kondisi regional Asia Timur. Bab III kemudian akan berisi ulasan menjawab mengapa Perdana Menteri Shinzo Abe dapat mengeluarkan kebijakan pertahanan yang cukup agresif tanpa kehilangan popularitasnya dimata rakyat. Dengan kata lain, bab ini akan membahas sumber legitimasi yang dimiliki oleh Shinzo Abe pada masa pemerintahannya yang kedua ini, dimulai dari dukungan kekuatan LDP sebagai partai mayoritas, tingkat penerimaan publik yang baik terhadap Abe serta pandangan publik terhadap ancaman bagi Jepang. Yang terakhir, akan dibahas mengenai kondisi regional Asia Timur dan bagaimana kondisi tersebut mempengaruhi politik domestik Jepang, teerutama terkait dengan kebijakan pertahanan yang dikeluarkan oleh Shinzo Abe. Bab terakhir, yaitu bab IV akan menutup skripsi ini dengan kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan.
13