BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sistem demokrasi merupakan sistem yang menempatkan rakyat sebagai
objek pemerintahan, dimana rakyat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam suatu pemerintahan dan dilibatkan secara kolektif dalam penentuan kebijakan di suatu negara. Demokrasi merupakan teori sistem politik yang mengasumsikan bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan atas negara, yang memerintah sekaligus yang diperintah, melalui pemilihan pelaksana negara. Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi dan merupakan hal yang banyak dipelajari terutama dalam kaitannya dengan perkembangan negara-negara berkembang. Secara konseptual, partisipasi politik berarti kegiatan seseorang ataupun sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pimpinan negara dan kebijakan pemerintah. Rakyat yang melakukan
partisipasi
politik
didasari
asumsi
bahwa
kepentingan
dan
kebutuhannya akan tersalurkan atau setidaknya dapat diperhatikan. Dewasa ini, partispasi politik hanya diartikan sebatas pemberian suara pada pemilu, namun sebenarnya bentuk dari partisipasi politik sangatlah beragam dan dapat diwujudkan melalui diskusi politik, kampanye, ikut serta dalam partai politik, protes, demonstrasi, bahkan tindak kekerasan yang ditujukan kepada pemerintah dalam penyampaian aspirasi. Pemberian suara dalam pemilihan umum merupakan partisipasi politik aktif yang paling banyak dilakukan warga negara.
Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dimana rakyat mempunyai hak untuk ikut serta dalam proses pemerintahan dan berhak menentukan siapa saja yang akan menjadi pemimpin yang nantinya akan menentukan kebijakan umum. Keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan diwujudkan melalui adanya penyelenggaraan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi dalam menentukan wakil-wakilnya baik yang akan duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Perwujudan pemilu juga sebagai sarana bagi rakyat untuk ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Mirriam Budiarjo (2008) menyatakan bahwa pemilihan umum dianggap sebagai lambang, dan juga sekaligus tolak ukur dari sistem demokrasi. Indonesia pertama kali melaksanakan pemilu pada tahun 1955, dan hingga tahun 2009, Indonesia telah melaksanakan sepuluh kali pemilu. Tercatat Indonesia melaksanakan pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,1997, 1999, 2004 dan yang terakhir pada tahun 2009. Dari Pemilu tahun 1999 yang diadakan pada masa orde baru, Joko J. Prihatmoko dalam bukunya yang berjudul “Mendemokratiskan pemilu”, menuliskan bahwa selama masa orde baru, tidak ada pendidikan politik atau peningkatan kualitas pemilihan, kemudian, perilaku memilih masyarakat indonesia masih tradisional dengan dipengaruhi oleh ikatan emosional dan kharisma tokoh. 1 Pada pemilu tahun 2004, di Indonesia untuk pertama kalinya diadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Bila pada tahun-tahun sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan 1
Joko J. Prihatmoko. Mendemokratiskan pemilu, dari sistem sampai elemen teknis. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Hlm. 47.
Rakyat (MPR), maka pada tahun 2004, untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presidennya. Pada tahun 2004, tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung, tetapi untuk pertama kalinya juga, rakyat Indonesia memilih langsung anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada pemilu-pemilu sebelum tahun 2004, untuk menentukan anggota DPR, pemilih hanya memilih partai politik (parpol) saja. Lalu, parpol yang akan menentukan siapa-siapa saja yang akan menjabat sebagai anggota DPR. Namun, pada tahun 2004, pemilih tidak hanya bisa memilih parpol, tetapi juga bisa langsung memilih orang per orang. Adanya perubahan sistem pada pemilu tahun 2004 tentu saja mempunyai konsekuensi terhadap perubahan perilaku pemilih. Jika sebelumnya, para pemilih hanya memperhatikan parpol saja, dengan adanya perubahan sistem ini, para pemilih juga bisa memperhatikan orang-orang yang dicalonkan oleh parpol tersebut. Dari enam kali pemilu yang dilaksanakan semasa orde baru, Golongan Karya (golkar) selalu memperoleh suara terbanyak, diikuti oleh Pertai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang keduanya memperoleh suara sedikit. Disini terlihat kedua partai tersebut mengikuti pemilu hanya sebagai pelengkap sistem demokrasi yang mensyaratkan adanya lebih dari satu partai. Pada saat itu, pola-pola perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya biasanya lebih didasarkan pada politik aliran, seperti agama, suku, ideologi dan sebagainya. Dapat terlihat pada masa itu kajian mengenai perilaku pemilih belum banyak muncul dan diminati. Hal ini berbeda dengan di negaranegara maju seperti Amerika, dimana kajian menenai perilaku pemilih sudah banyak diminati dan berkembang.
Selama ini pemilu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling demokratis dalam membentuk suatu pemerintahan yang baik. Melalui pemilu yang jujur, adil, dan bebas, secara langsung rakyat dapat melakukan sirkulasi penggantian elit pemerintahan dengan jalan damai tanpa merusak tatanan dan aturan main yang telah disepakati bersama. Selain itu, pemilu juga mempunyai fungsi untuk membentuk suatu pemerintahan yang mempunyai legitimasi dari rakyatnya, memilih dan membentuk lembaga-lembaga perwakilan bagi warga negaranya dan yag terakhir adalah untuk memberikan pendidikan politik bagi warga negara 2. Dengan demikian pemilu merupakan jalan yang paling baik dan aman
dibandingkan
dengan
cara-cara
kekerasan
massa.
Namun
pada
kenyataannya, menciptakan pemilu yang jujur, adil dan bebas sangat sulit untuk dilakukan, mengingat terdapatnya berbagai kepentingan politik untuk berebut kekuasaan. Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu kedua yang dilaksanakan setelah masa orde baru dan diikuti oleh banyak partai politik. Tercatat ada 24 partai politik yang bertarung untuk memperebutkan kursi DPR, DPRD propinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten. Perolehan suara pada pemilu tahun 2004 memperlihatkan bahwa perilaku pemilih dalam memilih partai politik mengalami pergeseran yang berarti, dimana pada pemilu-pemilu sebelumnya, perilaku pemilih didasari pada kesamaan aliran, agama, suku, maupun ideologi. Maka pada tahun 2004 dengan munculnya sejumlah partai-partai baru seperti PKS, PDS, dan Demokrat, pemilih mempunyai pilihan yang beragam dengan ideologi yang beragam pula. Munculnya partai-partai baru tersebut yang memperoleh suara diatas 5% 3
2
Arbi Sanit. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1997 http://www.komunitasdemokrasi.or.id/printerfriendly.php?id=184_0_8_0.Diakses 24 September 2010. Pukul 16.08 WIB.
3
memperlihatkan bahwa terjadi pergeseran perilaku pemilih yang mulai mengalihkan pilihan tradisionalnya dari PPP, Golkar, PDI, PKB, PAN, PBB kepada partai-partai lain. Pada tahun 2009 Indonesia kembali melaksanakan pemilu, pemilu legislatif yang diadakan pada 9 april 2009 diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi, maupun
pusat. Pemilu kali ini diikuti oleh 38 partai nasional, terkecuali di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pemilu legislatif dalam memilih anggota DPR di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diikuti empat puluh empat (44) partai yang terdiri dari tiga puluh delapan (38) partai nasional ditambah dengan enam (6) partai lokal. Dengan demikian warga Aceh dihadapkan kepada dua pilihan saat melakukan pencontrengan 9 April. Pada kertas suara DPR-RI mereka disodorkan pilihan caleg dari 38 partai nasional, sedangkan untuk DPRA/DPRK mereka bisa memilih satu dari 44 partai, terdiri atas 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keenam partai lokal tersebut adalah Enam partai lokal yakni Partai Aceh Aman Seujahtera (nomor urut 35), Partai Daulat Atjeh (36), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37), Partai Rakyat Aceh (38), Partai Aceh (39), dan Partai Bersatu Atjeh (40) harus bertarung dengan partai nasional yang telah berpengalaman mengikuti pemilu sebelumnya. Kehadiran 6 partai lokal dalam pemilu legislatif 2009 di Nanggroe Aceh Darussalam ini didasarkan pada
kesepakatan antara pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia yang menghasilkan amnesti kepada anggota GAM diikuti dengan pemberian hak pemulihan ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu pemulihan hak politik tersebut
adalah
mengenai
pembentukan
partai
politik
lokal.
Memorandum
of
Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, mengarah kepada kesediaan pihak GAM melepaskan tuntutan menjadikan untuk menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, yang berarti pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun dalam kesepakatan tersebut GAM menuntut dibukanya peluang untuk membentuk partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Tuntutan tersebut telah dipenuhi dan pemerintah Aceh telah mengeluarkan peraturan tentang partai politik lokal tersebut didalam undang-undang pemerintahan Aceh. Perjanjian perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM Tgl 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, menghasilkan poin-poin yang dituangkan kedalam Nota Kesepamahan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) yang merupakan basis politik lahirnya partai politik lokal di Aceh. MoU Helsinki Bagian I : Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.Sub Bagian I.2 : Partisipasi Politik Poin. I.2.1 : “…. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak penandatangan nota ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai-partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR.” 4 MoU memberikan ruang demokrasi bagi masyarakat Aceh, khususnya kesempatan untuk mendirikan partai politik lokal. Alasan GAM meminta adanya partai politik lokal di Aceh adalah dalam rangka solusi demokratis. Bachtiar 4
Undang-Undang RI NO. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dan Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka Tahun 2006. Bandung: Fokus Media 2006.
Abdullah, juru bicara GAM yang aktif dalam perundingan Helsinski mengungkapkan bahwa pembentukan partai lokal merupakan hak politik GAM dan hak dasar warga Aceh. Selama konflik, hak politik bangsa Aceh telah dinafikan. Ia mengatakan, partai lokal itu adalah wadah bagi semua masyarakat Aceh untuk menyalurkan aspirasi politiknya 5. Secara umum, tujuan dibentuknya partai politik lokal adalah untuk melindungi, memperjuangkan hak ekonomi, sosial, budaya, dan bahasa kelompok masyarakat tertentu. Dengan partai politik lokal, maka akan memberikan kesempatan yang besar bagi terciptanya partisipasi politik masyarakat daerah dalam memperjuangkan hak-hak mereka 6. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 7, politik lokal merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/ Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/ walikota dan wakil walikota. Dalam pasal 78 Bab XI UU Nomor 11 Tahun 2006 itu disebutkan tujuan umum partai lokal adalah adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
5
Majalah Tempo, edisi 08/XXXIV/18-24 April 2005 dalam Moch. Nurhasim “ Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka” 6 Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Jakarta, 2006 hlm 49. 7 Undang-Undang RI NO. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Ibid.,hlm 58-61.
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. Sedangkan tujuan khusus Partai Politik Lokal adalah meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh. Partai lokal berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat, dan partisipasi politik rakyat. Proses perdamaian sejak tahun 2005 telah mentransformasi Aceh dari medan perang menjadi arena pertarungan politik , setelah sukses dengan eksperimen calon independen dalam Pemilihan Kepala Daerah 2006, dalam Pemilu 2009, Aceh memelopori lahirnya partai politik lokal bertarung bersama 38 partai nasional untuk memperebutkan kursi DPRK dan DPRA. Dalam pemilu legislatif 2009 yang telah berlangsung di Aceh dominasi partai nasional runtuh oleh gebrakan partai lokal. Mendulangnya suara Partai Demokrat, PDIP, dan Golkar sebagai tiga besar perolehan suara nasional, tidak berlaku di NAD, yang muncul justru kemenangan partai lokal. Untuk ruang lingkup DPRA yang memperebutkan 69 kursi, Partai Aceh tercatat berhasil mendapatkan 33 kursi (48%) mengungguli Partai-partai nasional lainnya, Partai Demokrat memperoleh 10 kursi, Partai Golkar (8), PAN (5), PKS (4), PPP (3), PDA, PDI-P, PKPI, PBB, PKB dan Partai Patriot masing-masing satu kursi. Pada Pemilu 2004 misalnya, Partai Golkar meraih 12 kursi di DPR Aceh, PPP juga menduduki 12 kursi, PAN mendapat sembilan kursi, PKS, PBB, dan PBR masing-masing memiliki delapan
kursi, Partai Demokrat mendapat enam kursi, dan gabungan partai lain yang membentuk satu fraksi dengan enam kursi. 8 Kemunculan partai politik lokal pada pemilu 2009 berimplikasi terhadap perolehan suara partai-partai nasional, ada yang mengalami peningkatan jumlah kursi dan ada partai yang mengalami penurunan yang cukup drastis. Sedangkan untuk ruang lingkup DPRK secara keseluruhan, Partai Aceh juga berhasil meraih 235 kursi melewati Partai nasional lain seperti Partai Demokrat yang hanya memperoleh 77 kursi saja. Namun, untuk DPRK Banda Aceh, Partai nasional yaitu partai Demokrat dinyatakan sebagai peraih suara terbanyak dan berhak atas delapan kursi, disusul Partai Aceh (PA) enam kursi, PKS lima kursi, Partai Golkar, dan PDA masing-masing mendapat tiga kursi, serta PAN dua kursi. Sedangkan PPP, PBB, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), masingmasing mendapat satu kursi 9. Melihat fenomena diatas, maka dapat kita pahami bahwa sebenarnya, kemunculan partai politik lokal di NAD berimplikasi terhadap perilaku pemilih. Perilaku pemilih Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum melalui serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih,apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y. 10 Berkaitan dengan hal ini pilihan seseorang tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya variabel pendidikan. Affan Gafar menyebutkan bahwa karakteristik sosial yang salah satunya adalah pendidikan
8
http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_sumatra&id=8754&sub=Artikel&page=14. Di akses 24 September 2010. 17.01 WIB. 9 http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/kursi-dprk-banda-aceh-aceh-besar-dansingkil-ditetapkan.html. Diakses 13 Maret 2010. Pukul 12.24 WIB 10 Ibid,. Hlm 185-186.
akan mempengaruhi perilaku pemilih. Sejumlah ilmuan yang meneliti mengenai perilaku pemlih di Amerika memiliki temuan-temuan yang beraneka ragam terhadap pengaruh antara pendidikan dengan perilaku pemilih. Affan Gafar misalnya, hasil penelitiannya di desa Brobanti menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara pendidikan dan perilaku pemilih, tetapi pengaruh tersebut sangat lemah 11. Sedangkan Raymond Wolfinger dan Steven Rosenstone mendapatkan kesimpulan dari penelitiannya bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi pilihan seseorang untuk ikut memilih atau tidak dalam pemilihan umum. Seseorang dengan pendidikan menengah hingga tinggi rata-rata memutuskan untuk ikut dalam pemilu, sebaliknya seseorang dengan pendidikan yang rendah cendrung tinggal dirumah mereka dan tidak tertarik untuk memilih. 12 Aspek pendidikan mampu membuat masyarakat memiliki pandangan yang luas terhadap dunia politik, perbedaan diantara masyarakat yang berpendidikan tinggi maupun rendah terlihat dari sikap dan perilaku mereka. Pendidikan akan memberikan kepercayaan diri bagi masyarakat untuk mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang pada akhirnya akan membawa masyarakat kepada partisipasi politik dalam level yang tinggi 13. Perilaku pemilih merupakan topik yang menarik untuk di
teliti terkait
dengan studinya yang masih sedikit dilakukan di NAD. Lokasi yang peneliti pilih pada penelitian ini adalah di Kopelma Darussalam, yaitu sebuah kelurahan yang terletak di kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Di lokasi ini, terdapat tingkatan pendidikan yang heterogen, Untuk itu peneliti tertarik untuk melihat 11
Afan Gafar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Jojgakarta: Gadjah Mada University Pres1992. Hlm. 165-166. 12 Raymond E. Wolfinger and Seven J. Rosenstone. Who Votes?, dalam George C. Edwards. Government In America, People, Politics, and Policy. United States: Addison-Wesley Educational Publisher Inc. 1997. Hlm.250-252. 13 M. Margaret Conway, dalam Gitelson, Dudley, and Dubnick. American Government. USA: Houghton Milfin Company, 1996. Hlm 132.
bagaiman perilaku pemilih di Kelurahan Kopelma Darussalam meliputi pertimbangan-pertimbangan apa saja yang dilakukan pemilih dengan latar belakang tingkat pendidikan yang berbeda-beda ini dalam menentukan pilihannya pada pemilu DPRK Banda Aceh Tahun 2009.
1.2
Perumusan Masalah Melalui uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah: Bagaimana Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Perilaku Pemilih Masyarakat Kelurahan Kopelma Darussalam Pada Pemilihan Umum Anggota DPRK Banda Aceh Tahun 2009?
1.3
Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk Mengetahui apakah ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap perilaku pemilih pada pemilu anggota DPRK Banda Aceh Tahun 2009. 2. Untuk mengidentifikasi perilaku pemilih di kelurahan Kopelma Darussalam Kecamatan Kota Banda Aceh pada pemilu anggota DPRK Banda Aceh tahun 2009.
1.4
Manfaat penelitian 1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis dalam melihat fenomena politik yang terjadi di masyarakat.
2. Secara
teoritis,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi untuk menambah khazanah keilmuan, mengembangkan konsep maupun teori yang berhubungan dengan perilaku pemilh. 3. Menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang perilaku pemilih dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.5
Kerangka Teori 1.5.1 Prilaku Pemilih Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam
pemungutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (voting Behavior). Harold F. Gosnell memberikan batasan sebagai berikut: Pemungutan suara adalah proses dimana seseorang anggota masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan. 14 Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka ikut berpartisipasi dalam politik. Secara sederhana voting behavior bisa didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum melalui serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y. 15 Menurut Affan Gaffar, dalam menganalisis voting behavior dan untuk menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan
14
Harold. F. Gosnell, Voting, dalam Edwin R.A Salignan dan Alvin Johnson. Encyclopedia of Social Science, Vol. 15, New York: The Macmillan Co., 1934. Hlm 287. 15 Ibid,. Hlm 185-186.
sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan, yaitu Mazhab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan mazhab Michigan yang dikenal dengan pendekatan psikologis 16. Selain itu terdapat pula pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapatkan oleh orang tersebut. 17
1.5.1.1 Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh ahli ilmu politik dan sosiologi. Mereka memandang bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat hirarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan kelompok orang yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Para pendukung mazhab ini percaya bahwa masyarakat telah tersusun sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosialnya, maka memahami karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku politik individu. Secara singkat, aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. Dengan kata lain, latar belakang seseorang atau sekelompok orang atas dasar jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, pekerjaan, ideologi bahkan daerah asal menjadi independent variabel terhadap keputusannya untuk memberikan suara pada saat pemilihan. Untuk itu,
16
Afan Gafar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Jojgakarta: Gadjah Mada University Pres1992. Hlm. 4-9. 17 Ramlan surbakti, Ibid,. Hlm 187.
pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok okupasi dan sebagainya. Maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan ataupunkelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku pemilih. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok ini memiliki pengaruh terhadap pembentukan sikap dan orientasi seseorang. Secara umum, karakteristik sosial menjadi dasar bagi tindakan kelompok dalam melakukan partisipasi tertentu mamperlihatkan hubungan yang lebih berarti dengan hasil suara dan bebarapa aspek partisipasi politik.18 Karakteristik sosial tersebut menurut Afan Gaffar dikategorikan kedalam beberapa indikator yaitu: (a) pendidikan, (b) Jabatan/ pekerjaan, (c) jenis kelamin, (d) Usia. 19 Menurut Afan Gafar, Seymor Martin Lipset yang juga pelopor dari pendekatan sosiologis memberikan perhatiannya pada karakteristik sosial terutama status dan pekerjaan dalam memahami perilaku pemilih. Bagi Lipset, pemilu tidak lain adalah suatu cara untuk mengekspresikan perjuangan kelas, karena partai adalah dasar utama dari kelas bawah, kelas menengah ataupun kelas atas. 20
1.5.1.2 Pendekatan Psikologis Munculnya pendekatan psikologis merupkan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi-terutama konsep sikap dan sosialisasi-untuk 18
August Campbell dkk. The American Voter. Unbridged Edition. Chicago : university of chicago press. 1976. Hlm 475. 19 Lihat Affan gafar, Opcit,. Hlm.5 20 Ibid,.
menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan psikologis, para pemilih (di AS) menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologi yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis. pendekatan psikologis mensyarakatkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri. Menurut pendekatan sosial psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu atau tema dan orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut (misalnya lemah hingga kuat). Menurut Philip Converse yang dikutip oleh Afan Gaffar, mengartikan identifikasi partai sebagai keyakinan yang diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar selama masa dewasa. 21 Lalu, yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isuisu apa saja yang diangkat oleh parpol tersebut. Sedangkan, yang dimaksud orientasi kandidat adalah siapa yang mewakili parpol tersebut. Menurut pendekatan sosial psikologis, tiga faktor itulah (identifikasi partai, orientasi tema dan orientasi kandidat) yang akan menentukan perilaku memilih. 22
21
Afan gaffar., ibid,. Hlm 10. Lihat Charles Prysby & Carmine Scavo. American Voting Behavior in Presidentian Election : 1972 to 1992, 1993, Washingon DC, American Political Ascience Association. 22
1.5.1.3 Pendekatan Rasional Intisari teori pilihan rasional (rational choice theory) adalah bahwa ketika dihadapkan pada beberapa jenis tindakan, orang biasanya melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan memberikan hasil yang terbaik (Elster 1998a: 22). Pilihan rasional muncul sebagai bagian revolusi behavioral dalam ilmu politik Amerika tahun 1950an dan 1960an yang sebenarnya berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dan menggunakan metode empiris. Dia telah menjadi pendekatan dominan terhadap ilmu politik, setidaknya di AS. Namun pilihan rasional bersumber dari metodologi ilmu ekonomi, berkebalikan dengan para behavioralis yang bersumber dari sosiologi dan psikologi (Barry 1970). 23 Kemudian, Seiring perkembangannya, muncul pendekatan rational choice dalam menganalisa prilaku pemilih, Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Kegiatan memilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi 24, Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalanpersoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih
23
David Marsh dan Gaerry Stoker. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik. Nusa media, bandung : 2002. Hlm 76-77. 24 Ramlan Surbakti, Op.Cit.,,Hlm.146.
terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional 25. Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi, program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan ataupun kebiasaan, dan tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangannnya yang logis. 26 Dalam studi perilaku pemilih, konsep orientasi tidak hanya sekedar orientasi isu dan orientasi kandidat. Konsep orientasi itu sendiri menurut Almond dan Verba mengacu pada aspek-aspek dan obyek yang dibakukan serta hubungan antar keduanya, termasuk : a. Orientasi Kognitif : Pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outpunya. b. Orientasi afektif: Perasaaan terhadap sistempolitik, perananya, para aktor dan penampilannya, c. Orientasi evaluatif : Keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standart nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. 27 Gitelson, Dudley, dan Dubnick dalam buku mereka yang berjudul “American Goverment” 28 menyebutkan, bahwa yang mempengaruhi pemilih Amerika dalam menentukan pilihannya adalah : (1) Isu yang concern terhadap 25
Asep Ridwan dalam Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 4,no 1, 2004 “ Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia”. Jakarta 2004. Hlm.38-39. 26 Ibid,. 27 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Budaya Politik : Tingkah Laku Politik Dan Demokrasi Di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara, 1984. Hlm 16. 28 Gielson, Dudley, Dubnick. American Goverment, Fourth Edition .Houghton Mifflin Company, USA: 1996. Hlm.207-209.
permasalahan
lokal, nasional, dan negara. Misalnya pada pemilu 1992,
masyarakat lebih memilih Clinton karena isu negara dan ekonomi yang dibawanya serta isu penggusuran, kriminal, obat-obatan terlarang, pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. (2) Image kandidat, yaitu kandidat yang ditampilkan harus berkualitas dan mempunyai pengalaman dalam kepemimpinan. Selain itu bagaimana seorang kandidat harus menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang jujur, terpercaya, dan dekat dengan masyarakat, yang hal ini biada disebut para analis sebagai analisis psikologi. (3) Identifikasi partai, yaitu keyakinan terhadap suatu partai, walaupun pemilih tidak mengetahui tentang kandidat yang dicalonkan, namun label partai menjadi keyakinan bagi pemilih. (4) Tinjauan kembali para pemilih, yaitu keadaan ketika para pemilih meinjau kinerja masa lalu suatu partai. Artinya pemilih meninjau track record untuk memprediksikan masa depan. (5) Dukungan kelompok, bentuk dukungan kelompok dicontohkan dengan dukungan para intelektual kepada Clinton. Selain itu, kelompok-kelompok seperti orang-orang miskin, katolik, liberal, dan serikat buruh juga mendukung Clinton. Artinya, secara tidak langsung, suatu kelompok tertentu dengan dukungan terhadap kandidat tertentu, maka anggota dari kelompok tersebut akan mendukung kandidat yang didukung oleh kelompoknya. Lebih lajut, Muhamad Asfar dalam bukunya yang berjudul “Pemilu dan Perilaku Pemilih” mengklasifikasikan pemilih kedalam tiga jenis, yaitu 29: •
Pemilih Rasional Pemilih dalam hal ini menutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dengan program kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut melalui kinerja partai atau kontestan dimasa lampau, dengan tawaran program
29
Muhamad Asfar. Pemilu dan Perilaku Pemilih 1995-2004. Jakarta: Pustaka Eureka, 2006. Hlm 137.
yang diberikan sang calon atau partai politik dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang terpenting bagi pemilh jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya. •
Pemilih kritis Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu, pertama,
jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai mana ataupun kontestan pemilu mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua bisa terjadi sebalikanya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu, baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat. •
Pemilih Tradisional Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih jenis ini sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye, dan mereka memiliki loyalitas
yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang dikatakan oleh seorang caleg maupun partai politik merupakan kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. •
Pemilih Skeptis Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi
terhadap sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah maupun negara ini.
1.5.2 Pengertian Pendidikan Dari beberapa teori diatas yang menjelaskan mengenai orientasi pemiliih dalam menjatuhkan pilihannya, maka dapat kita lihat bahwa semua pertimbanganpertimbangan yang dilakukan pemilih dalam menjatuhkan pilihannya tidak terlepas dari aspek pendidikan. Bahwa pendekatan-pendekatan seperti pendekatan sosiologis, psikologis maupun pilihan rasional memiliki keterkaitan dengan latar belakang pendidikan seseorang. Taufik Abdullah menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan seseorang, baik itu kemampuan jasmani dan rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah, dan dalam masyarakat agar dengan kemampuan tersebut dapat mempertahankan, mengembangkan kelangsungan hidup masyarakat. 30
30
Taufik Abdulah. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rajawali,1987. Hlm 327.
Pendidikan didapatkan tidak terbatas hanya dari sekolah-sekolah formal saja, melainkan dapat dilaksanakan di lingkungan keluarga pula. Hal tersebut diuraikan oleh S. Sudarmi, dimana pendidikan memiliki tiga bentuk yaitu 31: •
Pendidikan formal yaitu pendidikan yang kita kenal dengan pendidikan di sekolah yang diatur bertingkat dengan syarat-syarat yang jelas.
•
Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang teratur dan sadar tetapi tidak perlu mengikuti aturan yang ketat dan tetap.
•
Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dengan pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sejak lahir sampai mati, didalam pergaulan sehari-hari.
Uraian dari S. Sudarmi tersebut, lebih lanjut lagi dapat dijabarkan bahwa pendidikan formal merupakan suatu aktivitas yang terorganisir , diatur bertingkat, dan dengan syarat-syarat yang jelas untuk mengembangkan pengetahuan dan kepribadian seseorang yang diperoleh melalui lembaga-lembaga pendidikan formal seperti SD, SLTP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan non formal juga bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan seseorang dalam bidang tertentu dan membangun kepribadian, namun tidak perlu mengikuti aturan yang ketat dan tetap, dimana pendidikan seperti ini didapatkan melalui kursuskursus dalam hal tertentu. Lain pula halnya dengan pendidikan informal yang dapat dijelaskan sebagai proses yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberikan hasil yang berpengaruh kepada pembangunan pengetahuan, dan kepribadian seseorang yang didapatkan melalui pergaulan, maupun pengalaman sehari-hari. 31
S. Sudarmi. Pendidikan Non Formal Dalam Rangka Pembangunan Sumber Tenaga Manusia Usia Muda. Jakarta: LP3ES. Hlm 45.
Dalam hubungannya dengan perilaku pemilih, Samuel J. Dan Eldersvelt menyatakan bahwa masyarakat yang pendidikannya rendah memiliki motivasi yang rendah pula dalam memilih 32. Hal ini diperkuat oleh Thomas E. Canavaugh bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan sekolah dasar memiliki motivasi yang rendah dalam memilih (motivasi memilh hanya 59%), seseorang dengan tingkat pendidikan sekolah menengah memiliki motivasi sebesar 72%, dan seseorang yang pendidikannya sarjana memiliki motivasi yang sangat tinggi dalam memilih yaitu sebesar 85%. 33 menurut Bernard R. Berelson dkk34 , masyarakat yang demokratis haruslah mengetahui dengan baik mengenai kondisi perpolitikan disekitarnya, isu apa yang sedang berkembang, bagaimana sejarahnya, keterhubungannya dengan fakta yang terjadi, untuk apa suatu partai politik didirikan dan apa pengaruh dari hadirnya partai politk tersebut. Disinilah pendidikan dibutuhkan, pendidikan dibutuhkan bagi pemilih untuk melihat situasi politik yang ada, menilai kampanye yang dilakukan suatu partai politik, sehingga ia dapat menentukan pilihannya secara rasional. Berbeda dengan masyarakat yang berpendidikan rendah sehingga cenderung memilih berdasarkan ikatan emosional kepada kandidat, partai maupun social group tertentu. Maka dalam penelitian ini, penulis mengasumsikan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi pilihan politik seseorang, dimana pendidikan merupakan faktor penting sebagai alat untuk membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap seorang calon anggota legislatif maupun suatu partai politik sehingga pada akhirnya orang tersebut dapat menentukan pilihannya.
32
Samuel J. Dan Eldersvelt. Political Parties In American Society. New York: Basic Book Inc., 1982. Hlm 338-339. 33 Thomas E. Canavaugh dalam Samuel J. Dan Eldersvelt.,Ibid. 34 Bernard R. Barelson dkk, dalam Peter Woll. American Goverment, Reading And Cases. USA: Litlle, Brown, and Company, 1984. Hlm 212-214.
1.6
PERUMUSAN HIPOTESIS Berdasarkan kerangka teori yang telah saya uraikan diatas, maka yang
menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: ”Faktor tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku pemilih masyarakat kelurahan Kopelma Darussalam pada pemilu anggota DRPK Banda Aceh tahun 2009”.
1.7
DEFINISI KONSEP Adapun definisi konsep yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1.7.1 Perilaku Pemilih Perilaku memilih didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam
pemilihan umum melalui serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y. Pilihanpilihan tersebut didasari oleh pertimbangan-pertimbanagn yang terlebih dahulu dilakukan seorang pemilih, pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan terhadap visi, misi, track recod Caleg/ Partai Politik, kharisma, maupun kedekatan dengan Caleg/ Partai Politik tertentu.
1.7.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimaksud didalam penelitian ini adalah pendidikan terakhir responden yang kemudian akan diklasifikasikan kedalam tingkatantingkatan berupa rendah, sedang maupun tinggi.
1.8
DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional yaitu unsur yang sangat membantu komunikasi antar
penelitian, yang merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur. Dengan membaca definisi operasional dalam suatu penelitian, seorang peneliti akan mengetahui pengukuran variabel sehingga dapat mengetahui baik buruknya pengukuran tersebut. Maka, definisi operasional dalam penelitian ini adalah: 1.
Variabel Bebas (X)
Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan yang diukur melalui indikator-indikator berikut: Rendah
: SD – SMP
Sedang
: SMA
Tinggi
: Sarjana D3, S1, S2 dan Sederajat
2.
Variabel Terikat (Y)
Yang menjadi variabel terikat adalah perilaku pemilih, yaitu pertimbanganpertimbangan yang pemilih lakukan dalam memilih seorang Caleg/ Partai Politik tertentu, meliputi pertimbangan terhadap visi, misi, track recod Caleg/ Partai Politik, kharisma, maupun kedekatan dengan Caleg/ Partai Politik tertentu.
1.9
METODOLOGI PENELITIAN 1.9.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif,
yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk, mengetahui hubungan antar variabel, dan dianalisa secara kuantitatif dengan menampilkan tabel-tabel dan kemudian dideskripsikan. 35
35
Mardalis, Metode Penelitian, Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Hlm. 26.
1.9.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di kelurahan Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1.9.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan cara: kuisioner yang berisi pertanyaan dan kemudian diberikan kepada responden untuk dijawab secara tertulis, hasil kuisioner tersebut akan dituangkan kedalam angka-angka maupun koding, tabel-tabel, dan analisa statistik, serta kesimpulan penelitian.
1.9.4 Populasi dan Sampel Penelitian 1.9.4.1 Populasi Populasi merupakan keseluruhan dari objek yang akan diteliti. Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat kelurahan Darussalam yang sudah berumur 17 tahun atau yang sudah menikah dan terdaftar sebagai pemilh di kelurahan tersebut yaitu berjumlah 2.949. namun dari jumlah tersebut, yang menggunakan hak pilihnya hanya sebanyak 1.655 orang. 36 Maka, jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 1.655 Orang dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1: Rincian Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan
Jumlah
Rendah
275 Orang
Sedang
421 Orang
Tinggi
959 Orang
Sumber: Diolah berdasarkan data di Kantor Kecamatan Syiah Kuala 36
Kantor Kelurahan Kopelma Darussalam, 5 September 2010.
1.9.4.2 Sampel Sampel merupakan sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini, digunakan rumus Taro Yamane: n=
N N. d2 + 1 .................... 37
n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi d2 = Presisi ( Tingkat kesalahan penarikan sampel ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%) n=
1.655 1.655 x 0,01 + 1
n=
1.655 17,55
n = 94 Orang
Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 94 orang dari Total populasi 1.655 orang. Dikarenakan terdapat tingkatan pendidikan responden yang berbedabeda, penarikan sampel dilakukan peneliti secara Stratified Sampling 38 yaitu teknik pengambilan sampel yang dipergunakan jika unit-unit elementer dari populasi tidak seragam (heterogen) dalam hungannya dengan variabel yang akan
37
Jalaludin Rahmat,. Metode Penelitian Komunikasi . Bandung: Remaja Rodaskarya. 1995. Hlm.82 38 Sutrisno Hadi. Statistik. Yogyakarta: ANDI, 200. Hlm 225.
diteliti. Maka penentuan sampel di tiap tingkatan pendidikan hingga memenuhi jumlah 94 orang memperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2: Sebaran Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden. Tingkat Pendidikan Rendah
Rumus Sampel
sampel 16 Orang
275 X 94 = 15,6 1655
Sedang
24 Orang
421 X 94 = 23,9
Tinggi
1655 959
54 Orang X 94 = 54,4
1655 Jumlah
94 Orang
1.9.5 Teknik Analisis Data Untuk mengetahui korelasi antar variabel dengan tujuan pembuktian benar-tidak nya hipotesis, maka peneliti menggunakan analisa Deskriptif Kuantitatif menggunakan alat uji statistik SPSS. Data-data akan disajikan kedalam tabel-tabel frekuensi dan tabel silang (Crosstabs) yang nantinya akan dianalisa untuk melihat ada-tidaknya hubungan antara variabel X (Tingkat Pendidikan) dan Variabel Y (Perilaku Pemilih). Analisa dilakukan dengan mengkombinasikan antara hasil penelitian dalam bentuk data-data dengan hasil wawancara yang telah dilakukan selama masa penyebaran kuisioner.
1.10 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : PENDAHULUAN BAB I ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, perumusan hipotesis, definisi konsep, definisi operasional metede penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Pada bab ini digambarkan secara umum tentang lokasi penelitian.
BAB III : PENYAJIAN dan ANALISIS DATA Bab III ini berisi penyajian dan analisis data Deskriptif kuantitatif yang diperoleh dari lapangan yaitu dari jawaban pada kuisioner yang telah diberikan kepada responden serta hasil wawancara yang dituangkan kedalam tabel-tabel.
BAB IV : PENUTUP BAB IV ini berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian serta berisi saran-saran yang bersangkutan dengan penelitian ini.