BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tapi siapakah dia yang merasa begitu suci, sehingga berani menghakimi betapa ibu Mbak Wid yang menjadi pelacur itu penuh dengan dosa? Seperti juga siapakah dia yang merasa tak mempunyai dosa, jika berani menghakimi para orang tua bayi-bayi tunadaksa yang membuang anaknya ke tong sampah, ke tepi kali atau meletakkannya begitu saja di pintu pagar Rumah Asuh Sejati? (Seno Gumira Ajidarma, 2004)
Novel Biola tak Berdawai—yang selanjutnya disingkat BTB—karya Seno Gumira Ajidarma merupakan salah satu karya yang secara implisit menggambarkan pertarungan batin perempuan ketika ditindas oleh praktik sosial yang selama ini berjalan. Novel tersebut diadaptasi dari film dengan judul yang sama, yang rilis di tahun 2003. Meski tidak jauh berbeda dari versi filmnya, novel BTBbisa dikatakan merupakan pengembangan dari film yang dibintangi Ria Irawan dan Nicholas Saputra tersebut. Dalam novel ini, terdapat dua cerita yang meskipun tidak berkorelasi secara langsung, tetapi kemudian dapat melebur dalam satu kesatuan ide. Cerita pertama berkisah tentang perempuan yang mengasuh anak tuna daksa beserta problematikanya, sedangkan cerita kedua merupakan cerita sisipan yang bersumber dari cerita Mahabharata. Cerita Mahabharata yang muncul
bukan hanya sebatas asesoris semata, melainkan sebagai suatu wujud tafsir baru dari Seno, sebagai upaya untuk mensinergikan cerita utama dengan cerita sisipan. Kedua cerita tersebut berkorelasi dalam satu pemikiran tunggal yang kemudian mengarah pada pemikiran feminisme. Dalam narasi ceritanya, perempuanperempuan yang menjadi tokoh adalah perempuan-perempuan yang mampu mengendalikan dirinya—atau lebih tepatnya rahimnya—sebagai upaya untuk melakukan resistensi terhadap budaya patriarkal yang selama ini membelenggu perempuan. Keseluruhan narasi menghadirkan kesan perbandingan antara kedudukan
Renjani-Mbak
Wid
dengan
tokoh-tokoh
perempuan
dalam
Mahabharata seperti Gandari-Drupadi. Citra perempuan tertindasyang kemudian bangkit dan melawan budaya patriarki dengan cara yang berbeda sangat kental meciptakan dialektika antarperistiwa. Apa yang dilakukan Seno dalam BTB sebenarnya sudah dilakukan dalam cerita bersambungnya yang dimuat dalam harian Kompas dengan judul “Kitab Omong
Kosong”—yang
kemudian
dibukukan.
Dalam
KOK—singkatan
penulisan untuk Kitab Omong Kosong, Seno seolah meluluhlantakkan narasi dominan Wiracarita Ramayana. Sebagaimana yang disampaikan Purwaningsih dalam tesisnya, sebagai novel Indonesia post-modern, KOK memiliki karakteristik bentuk yang berbeda dari novel konvensional lain yaitu pencampuradukan antara dunia wayang dan fiksi imajinasi pengarang. Simpang siur dalam plotnya menjadi semacam kumpulan mozaik kutipan yang diikat menjadi teks Kitab Omong Kosong yang berciri metafiksi (2008:160).
Walmiki sebagai pengarang atau pengumpul cerita Ramayana sengaja dimunculkan dalam novelsebagai tokoh yang ikut masuk ke dalam alur cerita. Rama yang selama ini dipahami sebagai sosok bijak penuh keteladanan, dibalikkan oleh Seno menjadi tokoh yang gamang dan sadis karena telah mempertanyakan kesucian Sinta pascapembebasan atas penculikan yang dilakukan Rahwana. Seno menghadirkan wacana tandingan bagi dominasi patriarkal yang selama ini melingkupi interpretasi terhadap kisah Ramayana. Secara intrinsik dan ekstrinsik, wacana feminisme kemudian terinklusi di dalamnya. Wacana partikular yang berusaha membebaskan perempuan dari opresi sistem kelaki-lakian. Tokoh Sinta ditempeli tafsiran baru sebagai perempuan yang ditindas oleh suaminya sendiri. Dalam bangun kultural masyarakat, perempuan selalu mendapatkan tekanan sebagai akibat penerapan sistem patriarki dari berbagai aspek. Mulai dari aspek fisik, psikis, pendidikan, bahasa, bahkan tubuh perempuan sendiri sudah menerima konstruksi-konstruksi sosial bentukan budaya. Tubuh perempuan mulai dikonstruksi melalui modus kecantikan dengan memberikan stadardisasi terhadap mata, bibir, bentuk tubuh, dan warna kulit. Perempuan harus menerima konstruksi dan standar tersebut sebagai suatu bentuk kodrat alamiah yang wajar. Bahkan, rahim perempuan pun tak luput dari konstruksi budaya. Perempuan diwajibkan untuk bereproduksi sesuai dengan kodrat dan sistem
sosial yang berlaku. Perempuan harus mau dibuahi, hamil, melahirkan, lalu merawat dan menyusui anaknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di
masyarakat sebagai suatu ketetapan mutlak yang harus mereka terima. Akan tetapi, apakah hal semacam itu sesuai dengan keinginan perempuan itu sendiri? Apakah perempuan memang menginginkan suatu proses reproduksi yang bisa jadi membatasi mereka? Apakah perempuan memang menginginkan suatu proses persalinan yang menyakitkan dan mempertaruhkan hidup mereka sendiri? Atau jangan-jangan proses reproduksi adalah suatu dalih bagi sistem kultural tertentu untuk tetap menempatkan perempuan pada posisi yang teropresi. Sistem patriarki bersumber dari kebudayaan dan agama. Bahkan “Tuhan” saja tidak sungkan untuk ikut mengopresi perempuan melalui proses kehamilan yang “Dia” ciptakan sendiri. Dalam Kitab Kejadian 3:16 (via www.jesoes.com), Dia berfirman kepada perempuan: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak, dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu, namun engkau akan berahi pada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Apakah begitu berdosanya Hawa dan keturunannya sehingga pantas menerima hukuman yang begitu kejam oleh Tuhan? Inilah yang menjadi dilema besar bagi perempuan dalam proses kehamilan yang dialaminya sebagai suatu keniscayaan. Hal sanada juga diungkapkan Katjasungkana (1996:126), bahwa reproduksi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kemampuan perempuan untuk mereproduksi kembali keturunan, melalui serangkaian proses yang meliputi masa haid, hamil, melahirkan, menyusui sampai menopause. Dalam kenyataannya, pelaksanaan fungsi reproduksi itu ditentukan oleh
konstruksi sosial tentang seks perempuan. Hal inilah yang menjadikan proses kehamilan menjadi dilematis bagi perempuan. Dari masa ke masa, perempuan selalu mengalami dilema berkaitan dengan proses reproduksi yang mereka alami. Ketika perempuan mengalami proses kehamilan, rasa berat ketika mengandung dan melahirkan menjadi risiko mutlak yang harus mereka hadapi. Manakala di dalam rumah tangga belum juga ada tanda-tanda proses reproduksi, perempuan justru menjadi tumpuan kesalahan. Seorang istri kerap disudutkan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab bila dalam pernikahan belum juga dikaruniai keturunan (Musbikin, 2005:8). Sebutan “mandul” selalu dilekatkan kepada seorang istri. Dalam konteks mistis Jawa, hal tersebut sejalan dengan asumsi Hilden Greetz (1983:89) yang menyatakan bahwa karena biasanya yang mencari dukun adalah wanita, jelaslah bahwa kemandulan itu umumnya dilemparkan pada kaum wanita. Hal ini yang kemudian menciptakan suatu mitos bahwa perempuan harus hamil—atau dapat hamil—agar tidak disudutkan oleh asumsi sosial yang terkonstruksi secara manipulatif. Ketika perempuan hamil, secara fisik ia melemah. Akan tetapi, ketika perempuan tidak dapat/tidak mau hamil, perempuan akan dianggap bukan sebagai perempuan sejati. Padahal dalam masyarakat, khususnya Jawa, dikenal adanya adagium banyak anak banyak rejeki. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa rahim perempuan diposisikan sebagai alat melegitimasi opresi terhadap perempuan itu sendiri.
Dalam Quran surat Ali Imran ayat 40, dikisahkan Nabi Zakaria berdoa di dalam keputusasaannya, dengan bunyi kalimat yang pretensius. Ia berkata: Ya, Tuhanku. Bagaimana aku bisa mendapatkan anak, sedangkan aku telah sangat tua dan istrikupun seorang yang mandul?” Kisahtendensius yang luar biasa. Tatkalasepasang suami istri belum dikaruniai anak, secara serampangan perempuan dikatakan mandul. Tuduhan itu telah dilemparkan bahkan jauh sebelum ilmu kedokteran berkembang seperti saat ini. Dalam penggalan lirik salah satu lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama yang berjudul Mandul, kita dapat melihat betapa sang istri dituntut meminta maaf kepada suaminya karena ia mandul dan merasa tidak dapat membahagiakan suami melalui aktivitas prokreasi dalam rangka melanjutkan garis keturunan. Superioritas laki-laki juga muncul pada bagian reffrain yang dinyanyikan sang suami,”cintaku padamu tak akan pudar, walau seumur hidupmu dalam kemandulan”. Padahal secara keseluruhan lirik lagu tersebut tidak menjelaskan apakah ketidakberhasilan perkembangbiakan sepasang suami istri itu disebabkan oleh kemandulan istri dan bukan sang suami. Artinya, tidak ada alasan logis yang dapat mengarahkan kita kepada kesimpulan yang pasti bahwa kesedihan suami istri itu memang disebabkan oleh tokoh istri yang mandul. Betapapun, tetap ada kemungkinan bahwa ketidakberhasilan upaya memperoleh keturunan itu juga bersumber dari kemandulan suami. Lagu tersebut populer sejak pertama dipublikasikan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa mindset bangsa Indonesia memang seperti itu dalam
menyikapi
kemandulan.
Kemandulan
adalah
tanggung
jawab
istri.
Ketidakberhasilan pasangan suami istri dalam upaya memperoleh keturunan senantiasa diasumsikan sebagai bentuk kegagalan istri. Istri dianggap sebagai sumber kekurangan tersebut. Perempuan diwajibkan hamil sesuai dengan konstruksi pikiran masyarakat patriarki yang sangat menyudutkan perempuan. Perempuan seolah kehilangan hak atas dirinya. Rahim yang semestinya menjadi milik perempuan, kemudian dikonstruksi oleh lembaga sosial dan agama sebagai upaya untuk menempatkan perempuan ke dalam posisi yang tidak-sadarDiri. Kehamilan—dengan berbagai resiko dan penderitaannya—adalah “wajib” dialami oleh perempuan. Beratnya resiko kehamilan yang harus ditanggung oleh seorang ibu mengantarkan kita pertanyaan yang patut untuk diutarakan: siapakah yang berhak mengatur atau menolak kehamilan? Istri, suami, suami istri, atau bahkan negara? (Hamdanah, 2007:119-120). Dalam rangka penguatan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, istri memiliki kewenangan untuk menentukan apakah ia bersedia untuk hamil atau tidak. Ia bahkan memiliki hak prerogatif untuk menentukan berapa anak yang diinginkannya atau bahkan alat kontrasepsi apa yang ingin digunakan, atau malah mungkin tidak menggunakan alat kontrasepsi demi alasan-alasan tertentu. Sejatinya, diri perempuanlah yang berhak atas diri mereka sendiri. Bukan suami mereka, bukan pula kebudayaan yang mengharuskan mereka untuk tunduk pada aturan yang melemahkan posisi mereka. Dalam proses itu, perempuan selalu mengalami perang batin antara keinginan mereka sendiri dan konstruksi
sosial yang menghegemoni pikiran mereka. BTB telah mampu merekam pergolakan batin perempuan dalam mendobrak mitos kehamilan yang diciptakan oleh konstruksi tersebut. Novel ini menggambarkan betapa rahim perempuan justru dimanfaatkan untuk mereproduksi dominasi laki-laki atas perempuan. Proses reproduksi digambarkan sebagai suatu hal yang dilematis. Seno, penulisnya, mampu menghadirkan wacana kehamilan sebagai suatu mitos yang terus saja digemakan oleh budaya normatif dari masa ke masa. Meskipun demikian, Seno selanjutnya juga menampakkan bahwa pada titik tertentu, perempuan ternyata mampu mengendalikan rahimnya sendiri sebagai salah satu upaya untuk membongkar mitos kehamilan.Kemapanan Seno sebagai seorang penulis dan jurnalis memang tidak perlu diragukan lagi. Sederet penghargaan telah ia terima, termasuk diantaranya Sea Write Awards (1987), Dinny O'Hearn Prize for Literary (1997), serta Khatulistiwa Literary Awards tahun 2004 dan 2005.Tahun 2012 pria yang lahir di Boston pada 19 Juni 1958 itu juga mendapatkan AchmadBakrieAwards, namun dia menolak menerimanya. Menurut Melanie Budianta (dikutip dari Antara.com), misiSeno tidak lepas untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan, solidaritas terhadap orang yang terpinggirkan, perjuangan yang sifatnya kemanusiaan, tetapi dengan cara yang berbeda. Jadi, apa yang dilakukan Seno dalam BTBsebenarnya merupakan suatu kritik sekaligus pembelaan terhadap kaum perempuan yang distruktur oleh sistem sosial, yang selanjutnya menciptakan suatu mitos bagi perempuan,
khususnya berkaitan dengan mitos kehamilan. Menurut Andy Fuller, Seno dimasukkan sebagai pengarang posmodernisme dengan ciri khas metafiksinya. Posmodernisme tentu sangat identik dengan wacana tandingan terhadap kemapanan. Sebagaimana yang ia sampaikan, posmodernisme berkaitan baik dengan poskolonialisme maupun dengan feminisme (36:2011). Dalam keduanya wacana
tersebut,
posmodernisme
berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
berdampingan dengan segala yang memiliki narasi yang direpresentasikan oleh yang lainnya, melalui tindakan “tulisan balasan kepada yang berkuasa” (yakni yang merepresentasikan paradigma dominan). Jadi, melalui novelnya, Seno berusaha menghadirkan paradigma tandingan untuk melawan sistem kultural dan spiritual yang sangat memihak pada budaya patriarki. Di dalam novel BTB, tokoh Renjani menduduki peran paling signifikan. Renjani digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengasingkan diri dari dunia luar akibat trauma masa lalu yang dideritanya. Karena pernah mengalami perkosaan dari guru tarinya, Renjani kemudian lebih memilih tinggal di sudut kota Yogyakarta dan merawat anak-anak tunadaksa sebagai suatu bentuk pelarian. Permasalahan utama yang dihadirkan di sini bukan karena Renjani pernah diperkosa, melainkan karena dia pernah melakukan aborsi yang akhirnya meninggalkan penyakit yang di akhir cerita justru merenggut nyawanya sendiri. Di sini digambarkan bahwa rahim perempuan seolah menjadi kutukan bagi dirinya sendiri ketika laki-laki telah menyentuhnya.
Di dalam proses reproduksi, terutama karena perkosaan, perempuan menduduki kursi pesakitan yang paling menyedihkan. Perempuan harus menanggung derita berkepanjangan, apalagi jika sampai hamil. Ia harus mengandung anak yang tidak dikehendakinya dan menirima kenyataan bahwa anak
tersebut
lahir
tanpa
seorang
pun
yang
mengaku
sebagai
ayahnya.Pemerkosaan terhadap perempuan meninggalkan derita yang tak berkesudahan. Hal ini berkaitan dengan perbedaan kesadaran reproduksi antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang diungkapkan Tongbahwa “kesadaran reproduksi”
laki-laki
berbeda
dengan
“kesadaran
reproduksi”
perempuan(2010:213). Berbeda paling tidak dalam tiga cara. Pertama, perempuan mengalami proses prokreasi sebagai suatu gerakan yang terusmenerus terjadi di dalam tubuhnya. Kedua, perempuan, dan bukan laki-laki, harus melakukan kerja reproduksi fundamental—mengandung dan melahirkan.… Ketiga, keterkaitan perempuan dengan anaknya sudah jelas—ia tahu pada saat kelahiran anaknya adalah darah dagingnya. Sebaliknya, keterkaitan laki-laki dengan anaknya tidak jelas. Ketiga hal di atas menjadikan perempuan menanggung beban atas proses reproduksi yang (tidak) diinginkannya. Jika seorang anak perempuan Jawa hamil di luar perkawinan, semua pihak yang bersangkutan akan menjadi malu karenanya, malu yang dapat tak dapat ditutup-tutupi kecuali sebelum bayi lahir dia dikawinkan (Geertz, 1983:74). Dengan “penyelamatan” tersebut, hal itu tidak terlalu merupakan skandal. Terang bahwa di dalam proses perkosaan yang
mengakibatkan perempuan hamil, perempuanlah yang menanggung penderitaan ganda. Dari kebiadaban pemerkosa dan juga dari stigma masyarakat. Tesis ini akan mengupas novel BTB karya Seno Gumira Ajidarma dengan menggunakan konsep yang relevan dari Simone de Beauvoir. Konsep yang digunakan adalah konsep yang berkaitan dengan mitos kehamilan dan upaya pembongkarannya. Kehamilan tidak dipandang sebagai suatu proses alamiah, melainkan sebagai suatu konstruksi sosial yang dibangun. Hamil bukanlah perkara biologis. Hamil adalah praktik sosial yang diletakkan dalam kerangka sosial (Prabosmoro, 2007:89). Jadi, berdasarkan keterangan di atas, dapat didefinisikan mengenai mitos kehamilan. Mitos kehamilan adalah suatu konstruksi sosial terhadap kehamilan perempuan yang didefinisikan sebagai suatu kodrat bagi perempuan. Perempuan harus menikah, harus mengandung dan melahirkan anak yang sehat, kemudian merawat serta menyusuinya. Kesemuanya itu sejatinya hanyalah mitos yang dibangun oleh sistem sosial tertentu yang berupaya melemahkan posisi perempuan. Pada tesis ini akan dibahas mengenenai penggambaran pengarang dalam novel BTB yang berusaha mengungkapkan bagaimana kehamilan ditempatkan bukan sebagai suatu proses biologis, melainkan sebagai suatu praktik sosial. Penggambaran tersebut muncul melalui pemikiran dan tindakan para tokohnya.
1.2 Rumusan Masalah Setelah memahami bahwa selama ini kehamilan dibangun atas dasar suatu konstruksi sosial tertentu, yang tujuannya adalah untuk melemahkan posisi perempuan, penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan novel BTBkarya Seno Gumira Ajidarma dalam usaha naratifnya untuk membongkar mitos kehamilan
dalam
masyarakat.
Usaha
pembongkaran
itu
tampak
dari
penggambaran tokoh-tokohnya dalam menyikapi permasalahan kehidupannya. Di samping itu, tesis ini mengkomparasi dua cerita dalam novel, yaitu cerita yang bersumber dari Mahabharata dan cerita tentang Renjani. Kemunculan kisah Mahabharata tentu bukan tanpa pretensi. Selain
itu,
dalam
novel
juga
ditemukan
ambiguitas
ideologi
pengarangnya. Di satu sisi, Seno menunjukkan kekuatan perempuan, tetapi di sisi lain, Seno mematikan tokoh Renjani pada akhir ceritanya. Apa yang sebenarnya hendak disampaikan Seno?Inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dengan demikian, fokus pertanyaan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. bagaimanakah bentuk pembongkaran mitos kehamilan yang ada dalam novel BTB? 2. bagaimana kedudukan sisipan cerita Mahabharata di dalam cerita inti BTBdalam membangun satu ideologi guna membongkar mitos kehamilan? 3. seperti apa ideologi pengarang di dalam ambiguitasnya terhadap tokoh Renjani yang di satu sisi dikuatkan dan di sisi lain dimatikan pada akhir cerita?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjabarkan mitos-mitos kehamilan yang sengaja dibongkar oleh Seno dalam novelnya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk merekonstruksi kembali tubuh perempuan yang selama ini dikonstruksi oleh praktik sosial. Dengan begitu, tubuh perempuan (secara spesifik rahim) kemudian dapat didudukkan pada posisi sejatinya sebagai hak perempuan atas dirinya.
1.4 Manfaat Penelitian Penilitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk memperkaya penelitian sastra yang berkaitan dengan kajian feminisme. Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi dunia pengkajian sastra. Adapun manfaat praktisnya, yaitu diharapkan penelitian ini mampu membuka pemahaman pembaca, khususnya perempuan untuk memahami konstruksi yang selama ini diciptakan oleh sistem patriarki yang mengurung perempuan dalam sebuah mitos ganjil berkaitan dengan rahim dan proses reproduksi. Dengan memahami konstruksi yang membelenggunya, diharapkan agar perempuan kemudian dapat mengatasinya dan membebaskan diri sebagai
suatu upaya untuk memperjuangkan gerakan feminisme secara lebih luas dan lebih konstruktif.
1.5 Tinjauan Pustaka Berdasarkan data yang terhimpun, novel BTB pernah dikaji dalam bentuk tesis dengan judul Citra Perempuan dalam Novel Biola tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma: Tinjauan Sosiofeminis, yang ditulis oleh Anipudin di tahun 2009. Tesis tersebut bertujuan untuk mengetahui citra perempuan, yang meliputi citra diri dan sosial. Citra diri berkaitan dengan aspek psikis dan fisik, sedangkan citra sosial berkaitan dengan keluarga dan masyarakat. Citra fisik yang ditemukan adalah cantik, pekerja sosial, perempuan panti asuhan dan PSK, sedangkan citra psikisnya yaitu penyayang, penyabar, cerdas dan mandiri. Tesis ini juga berupaya membongkar ideologi yang membentuk pencitraan perempuan dalam novel, sehingga dapat diketahui potensi perempuan. Hasilnya adalah citra perempuan mengalami ketegangan, ingin maju dan ingin keluar dari kebodohan. Kajian dalam tesis tersebut relatif masih sangat sederhana, karena pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan yang lebar cakupannya. Terlebih peneliti hanya melakukan deskripsi tanpa adanya analisis yang mendalam terhadap karya. Data yang dikaji juga hanya berasal dari cerita utama (Renjani dan Mbak Wid). Peneliti mengabaikan cerita sisipan yang berasal dari cerita Mahabharata. Padahal cerita Mahabharata merupakan tafsir baru dari Seno dan sangat signifikan di dalam membentuk keseluruhan ide cerita.
Berbeda dengan tesis sebelumnya, tesis ini akan menukik lebih dalam ke esensi yang ingin disampaikan Seno dalam novelnya. Novel tersebut memang sangat implisit di dalam menuangkan gagasannya, sehingga dapat memunculkan penelitian-penelitian yang diversif, salah satunya adalah dengan mengasumsikan bahwa novel karya Seno ini memuat ide pembongkaran mitos kehamilan, seperti yang akan dikupas dalam tesis ini. Selain itu, di tahun 2007 juga ada penelitian dari Hamdanah yang memiliki korelasi dengan tesis ini. Hamdanah mengkaji tentang pandangan ulama-ulama Jember-Jawa Timur tentang hak-hak reproduksi perempuan. Di dalamnya terungkap bahwa masih banyak ulama (baik yang laki-laki maupun yang perempuan) yang bersikap arogan terhadap perempuan. Mereka beranggapan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan secara absolut. Oleh karena itu, laki-laki (dalam hal ini suami) memiliki hak mutlak untuk mengatur istrinya, mulai dari aktivitas seksual hingga ke proses reproduksi, termasuk berapa anak yang diinginkan dan alat kontrasepsi apa yang harus digunakan. Meskipun demikian, ada juga beberapa ulama yang berpikiran terbuka dengan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk terlibat aktif, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Beberapa ulama berpendapat bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan segala macam hal yang berkaitan dengan proses reproduksinya. Penelitian tersebut sangat membantu tesis ini guna memberikan referensi empiris tentang diskriminasi hak-hak reproduksi perempuan yang “dilegalkan” oleh lembaga agama.
Selain itu, tesis ini juga merujuk pada tesis sebelumnya yaituEksistensi Perempuan dalam Karya Sastra: Kajian kritik sastra feminis terhadap novel Ny. Talis karya Budi Darma, yang dikerjakan Srimarlina di tahun 2009. Tesis ini hadir bermula dari munculnya perbedaan eksistensi perempuan dalam novel Ny. Talis dengan realita kehidupan sehari-hari. Tubuh perempuan menjadi hal yang sangat dilematis bagi perempuan itu sendiri. Masalah tubuh perempuan sebagai wujud eksistensinya meliputi tubuh sebagai situasi dan tubuh sebagai identitas perempuan. Akhirnya kemudian disimpulkan bahwa para tokoh mampu mewujudkan eksistensinya dengan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan kemandirian ekonomi. Tesis termaksud memiliki korelasi yang kuat dengan tesis ini. Selain sama-sama menggunakan teori Simone de Beauvoir, situasi dan kondisi yang terjadi di dalam karya tidak jauh berbeda diantara keduanya. Visi dan misi serupa juga muncul dalam tesis Citra Perempuan Jawa dalam Novel Wanita di Jantung Jakarta Karya Korrie Layun Rampan: Kajian Kritik Sastra Feminis yang disusun oleh Muayyadah Riyadina di tahun 2009. Latar belakang yang muncul dalam tesis ini adalah ketidakadilan gender dalam karya sastra. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya patriarki Jawa. Tujuannya untuk mengungkapkan citra perempuan Jawa yang selama ini ditempatkan begitu rendah dan terpojok. Tokoh utama dalam novel Wanita di Jantung Jakarta, Sumarsih, diketahui adalah seorang perempuan Jawa yang berpikiran dan maju jika dilihat dari tingkat pendidikan dan kiprahnya di ruang publik. Hal ini menjadikan Sumarsih memiliki kemandirian ekonomi. Kemandirian ekonomi
Sumarsih kemudian dibenturkan dengan budaya patriarki Jawa yang menabukan eksistensi perempuan di ranah publik. Dengan demikian perempuan mengalami beban ganda. Sebagai perempuan yang bekerja di ranah domestik (tetap sebagai ibu rumah tangga) dan perempuan yang juga bekerja di ranah publik (bekerja di luar rumah). Tesis tersebut sangat bermanfaat untuk memberikan referensi tentang kebudayaan masyarakat Jawa yang dirasa begitu patriarkal. Pemerolehan pemahaman patrialkal jawa dirasa benar berguna sebagai acuan tesis ini berkaitan dengan kedudukan perempuan Jawa dan relasinya dengan profesi. Karya ilmiah lain yang juga turut menajdi rujukan dalam penelitian ini adalah tesis La Ode Gusman Nasiru (2014) yang berjudul Redefinisi Perempuan Cantik dalam Cerpen Ratih Kumala dan Agus Noor. Tesis tersebut berkiblat pada teori mitos kecantikan dan segala problematikanya. Cantik merupakan suatu hal yang relatif dan nisbi.Budaya patriarkallah yang kemudian memberikan standardisasi terhadap kecantikan perempuan. Pengarang (Ratih Kumala dan Agus Noor) dalam cerpennya berusaha untuk memberikan definisi baru terhadap cantik, dengan mengerucutkan cantik hanya berdasar pada tahi lalat dan kaki perempuan. Di sini muncul ambiguitas. Ketika pengarang berusaha membongkar mitos kecantikan, pengarang justru terjebak pada standar-standar baru yang ingin dibangun. Cantik bukan lagi perkara wajah dan tubuh, tetapi hanya tahi lalat dan kaki. Intinya, seberapa besar usaha manusia, dia tidak akan pernah bisa terbebas dari mitos. Setiap mitos yang dibongkar, justru hanya merelokasi manusia ke dalam mitos yang baru.
Hal utama yang menjadi perbedaan dengan tesis ini adalah relativitas objek. Antara cantik dan hamil. Cantik adalah perkara nisbi. Lalu bagaimana dengan hamil? Hamil bukan perkara nisbi. Hamil adalah perkara definitif. Jelas. Hamil atau tidak hamil itu nyata berbeda. Tidak ada unsur relativitas yang memberikan sudut pandang aneka rupa, sebagaimana dalam memandang kriteria cantik. Jadi, istilah mitos kemudian menjadi berbeda manakala entitas yang diusung adalah dua hal yang berbeda. Cantik dan hamil.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Konstruksi Tubuh Perempuan Dalam kehidupan sosial, tubuh perempuan merupakan suatu hal yang sangat riskan mengalami diskriminasi dari budaya normatif. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadikan munculnya suatu konstruksi sosial yang secara hegemonik kemudian melemahkan posisi perempuan. Beauvoir menyadari bahwa tubuh mengalami ekspos dan penekanan dari konstruk tertentu yang tidak dapat begitu saja dihindari oleh tubuh(via Prabasmoro, 2007:60). Tubuh tidak dipandang semata-mata dalam kerangka fisiologis atau biologis. Biologi menawarkan pada masyarakat fakta, yang kemudian oleh masyarakat diinterpretasi sesuai dengan kebutuhannya sendiri(Beauvoir via Tong, 2010:263). Dengan merujuk pada pembedaan secara biologis, perempuan kemudian dikenal (dianggap) lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa dan lain-lain. Itu
merupakan konsep gender yang berasal dari hasil konstruksi sosial dan kultural, bukan kodrati atau alami (PSI, 2010:43). Penis digambarakan sebagai sesuatu yang lurus, rapi, kering dan bersih, sementara vagina adalah objek, yang basah, yang berdarah, yang tidak jelas bentuknya, yang digambarkan sebagai sesuatu yang memalukan (Prabasmoro, 2007:81). Ini merupakan suatu konstruksi sosial yang menempatkan tubuh perempuan pada posisi yang abjek dan rendah. Bahkan, rahim perempuan sendiri tidak luput dari proses konstruksi sosial yang pada akhirnya semakin mendiskreditkan perempuan dari posisi agungnya. Rahim dan seluruh tubuh perempuan tidak lagi berdiri sebagai sesuatu yang alami, melainkan sudah dibentuk sedemikian rupa oleh konstruksi kultural. Seperti yang dikemukakan Prabasmoro (2007:22), bahwa mengalami menstruasi, berpayudara, mempunyai rahim adalah takdir dan tidak dapat dinegosiasikan. Pemikiran bahwa bekerja di luar rumah atau mencari uang adalah tugas laki-laki sementara bekerja di rumah adalah tugas perempuan adalah konstruksi gender dan bukan merupakan takdir, karena itu dapat dinegosiasikan. Dengan demikian, kenyataan bahwa perempuan memiliki rahim, sehingga dianggap lemah dan hanya boleh bekerja di rumah adalah suatu jebakan sosial yang justru menenggelamkan perempuan dalam keterbelakangan. Tidak hanya di dalam proses reproduksi, di dalam lembaga perkawinan pun perempuan juga mendapat konstruksi manipulatif dari sistem kultural dan tafsir agama. Perkawinan menawarkan perempuan kenyamanan, ketenangan,
dan keamanan, tetapi perkawinan juga merampok perempuan atas kesempatan untuk menjadi hebat (Beauvoir via Tong, 2010: 269). Ia kemudian mempertegas bahwa perkawinan telah menciptakan kehidupan sehari-hari yang disamarkan, sehingga tampak lebih baik dari yang sesungguhnya, yaitu kehidupan yang tidak berambisi dan tidak mengandung hasrat, hari-hari tak bertujuan yang terus-menerus diulangi tanpa batas, hidup yang berlalu dengan perlahan menuju kematian tanpa mempertanyakan tujuannya. Sepertihalnya Beauvoir, tokoh utama dalam BTB—Renjani dan Mbak Wid—juga merupakan perempuan yang menolak lembaga perkawinan. Perkawinan—yang membuat perempuan berperan sebagai istri—dan kehamilan—yang berimplikasi menjadi peran “ibu”—dinilai sangat membatasi perempuan dalam kehidupannya. Sebagaimana yang diungkapkan Tong (2010:270), bahwa menjadi istri dan menjadi ibu, dalam pandangan Beauvoir, adalah dua peran feminin yang membatasi kebebasan perempuan.
1.6.2 Mitos Kehamilan Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa pembatasan-pembatasan terhadap perempuan sengaja dibangun oleh sistem sosial, kultural, dan agama sebagai upaya untuk memperkokoh budaya patriarkal. Perempuan terus saja dibodohi atau dibodohkan dengan mitos-mitos yang sejatinya membelenggu perempuan. “Mitos” di sini tidak diartikan secara normatif sebagaimana
pengertian mitos secara leksikal, seperti dikutip dari KBBI edisi keempat, bahwa mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu; mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut. Mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mitos yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada pengertian mitos menurut Barthes (2007:324), bahwa mitos adalah wicara yang dijustifikasikan
secara
berlebihan.
Wacana-wacana
berkaitan
dengan
“kewajiban” menikah, “keharusan” hamil terus saja digaungkan oleh masyarakat normatif sebagai suatu bentuk kebenaran mutlak. Hal inilah yang disebut mitos. Mitos kehamilan tidak muncul begitu saja, melainkan “dititipkan” melalui peran serta sosial, kultural, dan tafsir agama. Mitos memiliki hubungan sebab-akibat yang bersifat artifisial, semu, tetapi hubungan tersebut muncul perlahan-lahan (Barthes, 2007:326). Mitos kehamilan tidak bersifat alami, melainkan buatan atau artifisial. Mitos yang artifisial atau yang kultural tersebut kemudian ditempatkan pada posisi yang seolah-olah alami.Sejalan dengan pemikiran Prabasmoro (2007:10) yang menyatakan bahwa kita lupa yang alamiah itu sesungguhnya kultural. Pengalamiahan sering kali menutup pintu untuk kita berpikir kritis. Manipulasi dalam mitos kehamilan memang ditujukan agar perempuan tidak lagi bersifat kritis. Agar perempuan menerima satu “ketetapan” yang dianggap “mutlak” sebagai sesuatu yang wajar atau alami. Mitos kehamilan muncul sebagai upaya untuk meniadakan ke-Diri-an perempuan dan menjadikan dirinya lupa tujuan
kehamilan yang sesungguhnya. Mitos merancukan tujuan yang sejati dari kehamilan. Mitos adalah wicara yang dicuri dan dipulihkan (Barthes,2007:318). Hanya saja, wicara dipulihkan tidak lagi benar-benar merupakan wicara yang dicuri, karena ketika wicara itu dikembalikan hal itu tidak dikembalikan persis pada tempatnya. Masyarakat normatif yang patriarkal telah mengambil esensi kehamilan dan kemudian mengembalikan lagi dengan posisi dan esensi yang berbeda. Esensi yang semakin menyudutkan perempuan pada posisi yang tidak setara. Sementara itu, Gamble mendefinisikan mitos sebagai usaha untuk menyembunyikan kondisi-kondisi yang riil (2010:363). Ada semacam mitosyang berkembang di masyarakat bahwa semakin banyak anak maka akan semakin banyak rejeki. Padahal yang terjadi justru kebalikannya. Semakin banyak proses reproduksi dan gestasi yang terjadi (bagi perempuan), semakin sedikit kesempatan yang ada bagi perempuan untuk menggali potensi intelektual dan potensi ekonomi yang dimiliki. Perempuan seharusnya dapat bekerja sebagai upaya membatu finansial keluarga, tetapi karena proses gestasi yang terus-menerus diupayakan oleh suatu paradigma kultural “normatif”, hal tersebut menjadi mustahil terjadi. Semakin sedikit perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat (Tong, 2010:106).
Perempuan hanya disibukkan dengan proses produksi biologis tanpa diberi kesempatan untuk hadir dalam proses produksi ekonomi. Senyatanya, ketika perempuan hadir di ranah publik, apakah itu dalam proses produksi ekonomi atau proses produksi sosial, perempuan memiliki kapasitas untuk berhasil. Itulah yang menjadi ancaman bagi dominasi patriarkal. Dari sini semakin jelas, sebagaimana pernyataan Prabasmoro, bahwa hamil adalah praktik sosial yang diletakkan dalam kerangka sosial. Hamil bukan sekadar perkara biologis, tetapi hamil ditempatkan sebagai modus dominasi maskulin terhadap perempuan. Hamil menjauhkan perempuan dari swadaya ekonomi. Dalam kenyataannya, kekuatan ekonomi perempuanlah yang menghindarkan mereka dari opresi laki-laki. Hal ini senada dengan pemikiran Beauvoir (dalam Tong 2010:275) yang menyatakan bahwa salah satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi. Dengan mengalami proses gestasi yang manipulatif, perempuan akan jauh dari kemandirian (khususnya di bidang ekonomi). Seorang peneliti feminis yang melakukan penelitian terhadap melihat pandangan ulama di kota Jember berkaitan dengan reproduksi perempuan juga mengungkapkan hal yang seirama. Hamdanah (2007:119) menyatakan bahwa dari aspek sosial-ekonomi, kehamilan remaja akan menghambat pendidikan yang dapat dicapai, kerena sekolah tidak mau menampung, sehingga berpengaruh terhadap posisi ekonomi di kemudian hari, dan menyebabkan rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan. Secara garis besar dapat
ditarik satu benang merah bahwa proses kehamilan—di usia berapapun—sangat membatasi kemandirian ekonomi perempuan. Perempuan mulai didefinisikan sebagai alat reproduksi manusia. Baik sistem sosial, kultural, maupun agama, sama-sama menempatkan perempuan seoalah-olah sebagai objek atau sekadar wadah. Padahal perempuan sejatinya adalah subjek dan memiliki hak penuh atas dirinya. Tubuh bukanlah sematamata wadah, dan rahim bukanlah sekadar kontainer bagi manusia baru (Prabasmoro, 2007:82). Jika selama ini rahim dipandang sebagai suatu alat (layaknya wadah) maka pemahaman tersebut telah mematikan eksistensi perempuan sebagai subjek yang memiliki peran dan hak yang sama dengan laki-laki dalam proses reproduksi.Perempuan akan dipojokkan pada posisi “Liyan”, bukan “Diri”. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “lakilaki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya (Tong, 2010:262). Penggambaran tentang ke-Liyan-an reproduksi perempuan juga dipatenkan dalam proses reproduksi itu sendiri. Sebagaimana Beauvoir menggambarkannya, bahwa sperma, yang melaluinya hidup sang jantan ditransendensi dalam Liyan, pada saat yang sama menjadi sesuatu yang asing baginya dan terpisah dari tubuhnya, sehingga sang jantan menemukan kembali individualitasnya dalam keadaan tidak terusik ketika ditransendensi. Telur,
sebaliknya, mulai memisahkan diri dari tubuh perempuan ketika sudah sangat matang, muncul dari folikel dan jatuh ke dalam oviduct, tetapi jika telur dibuahi oleh gamet dari luar, telur itu akan menempel kembali melalui implantasi di dalam uterus. Setelah dirudapaksa, perempuan kemudian dialienasi—ia menjadi sebagian dari dirinya, Liyan dari dirinya sendiri (Tong, 2010:263). Gambaran tersebut semakin mengukuhkan bahwa sistem biologi juga tidak luput dari tafsir yang sifatnya mengobjektifikasi perempuan. Proses kehamilan yang manipulatif adalah salah satu cara bagi laki-laki untuk mensubordinasi perempuan. Perempuan memiliki ovarium dan uterus. Kekhususan ini justru memenjarakannya dalam subjektifitasnya, melingkupinya dalam batasan-batasan sifat alaminya (Beauvoir 2003:viii). Ia menekankan bahwa kehamilan mengalienasi perempuan dari dirinya sendiri, dan hal itu menyulitkan perempuan dalam menentukan arah takdirnya tanpa terganggu (Tong, 2010:270). Terlebih apabila kehamilan tersebut bukan merupakan kehamilan yang diinginkan, apalagi akibat perkosaan. Hal demikian akan sangat mengasinkan perempuan dari takdirnya. Untuk memutus rantai penderitaan, perempuan akan memilih jalur aborsi. Dilihat dari dimensi gender, tindakan aborsi atas kehamilan yang tidak diinginkan disebabkan oleh, a) lakilaki yang melakukan hubungan seks, tetapi sebagian besar tidak mau bertanggung jawab atas akibatnya, b) perempuan mempercayai pasangannya sehingga terbuai bujukan bahwa hubungan seks adalah tanda cinta, c) mempunyai pengalaman hubungan seks karena pengaruh dari kelompok
(Supriadi, 2001:77). Jadi, dari perspektif ini, aborsi adalah hal terbaik yang harus dilakukan perempuan atas perkosaan. Dengan aborsi, perempuan tidak lagi menanggung derita akibat kebiadaban laki-laki. Perempuan mampu menempatkan sosoknya sebagai Diri dan bukan Liyan yang terus menerima opresi dari budaya “normatif” yang patriarkal. Proses menjadikan perempuan sebagai Liyan, selalu dikukuhkan oleh masyarakat melalui berbagai macam modus, salah satunya adalah mitos kehamilan. Modus tersebut kemudian dilanggengkan dengan praktik sosial dan penafsiran teks agama yang salah. Praktik sosial yang selama ini berjalan, memunculkan ketimpangan yang besar sebagai wujud abjeksi terhadap perempuan. Kehamilan bagi perempuan memang menjadi suatu hal yang sangat dilematis.Sewaktu perempuan mengalami proses kehamilan, ia akan terbatasi dalam proses produksi ekonomi. Akan tetapi, ketika di dalam rumah tangga belum juga dikaruniai anak, perempuan juga yang menjadi tumpuan kesalahan. Sebagaimana yang diungkapkan Musbikin (2005:8), seorang istri kerap kali disudutkan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab bila dalam pernikahan belum juga dikaruniai keturunan. Sebutan “mandul” selalu dilekatkan pada seorang istri. Pernyataan tersebut sejalan dengan pemikiran Prabasmoro (2007:9-10) yang menyatakan bahwa kemampuan hamil tidak semata-mata persoalan biologis yang dapat dijelaskan secara ilmiah, melainkan memiliki maknamakna kultural dan sosial. Seorang perempuan yang secara biologis tidak dapat
hamil dan mempuanyai anak, misalnya secara kultural dan sosial sering kali dianggap “bukan perempuan sejati”. Padahal kemandulan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sang istri saja. Laki-laki sebenarnya juga memiliki peluang yang sama untuk mengalami disfungsi organ seksual. Meskipun demikian, perempuan (khususnya Jawa) “diwajibkan” patuh dengan asumsi tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan Mohammad Hakimi (2001:18) bahwa menurut tradisi Jawa, perempuan dibatasi oleh tradisi keperempuanan ideal yang mengutamakan nilai-nilai kepatuhan dan ketaatan. Kepatuhan perempuan Jawa terhadap kultur sosialnya inilah yang menjadikan perempuan terusmenerus “rela” diobjektifikasi oleh kepentingan patriarki. Kesalahan tafsir teks agama juga demikian kuat mengukuhkan sistem patriarki. Ketidakadilan gender justru sering muncul dari interpretasi kalangan mufasir, misalnya sosialisasi bahwa kaum pria itu pemimpin, punya hak istimewa terhadap wanita, sehingga kaum prialah yang memberi justifikasi bahwa dunia wanita berada di sektor domestik saja (Subhan via Hamdanah, 2007:18). Pandangan inferior bahwa perempuan adalah makhluk lemah juga disebarkan dengan legitimasi atas nama agama. Hal tersebut tentu sangat tidak tepat. Fitrah laki-laki sebagai pemimpin, sebagaimana yang tertuang dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 34, tidak lantas membuat laki-laki berhak mendominasi perempuan dari berbagai aspek. Kondisi perempuan yang belum dapat (belum mau) hamil tidak dapat dijadikan alasan untuk menjustifikasi mereka sebagai istri yang mandul.
Justifikasi ini seringkali tidak adil karena laki-laki pada akhirnya memilih menceraikan perempuan. Pernikahan pun tidak serta-merta membuat laki-laki berkuasa penuh atas apa yang ada pada perempuan, tak terkecuali rahim mereka. Penafsiran yang sangat patriarki ini sangat tergantung dari referensi penafsirannya. Seharusnya laki-laki dapat melihat citra kepemimpinan dirinya yang tercermin dari sosok Nabi Muhammad, yang adil dan sangat manusiawi terhadap siapapun, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Akan tetapi, jika lakilaki memandang citra pemimpin lewat sosok raja-raja Jawa atau Soeharto yang menjadi presiden terlama Indonesia misalnya, maka laki-laki akan menjadi pemimpin yang otoriter, feodal, dan sangat egosentris. Beauvoir mengungkapkan begitu banyak problematika dan dilema perempuan dalam menghadapi kehidupan. Lalu apa yang ditawarkan Beauvoir sebagai solusi bagi ketertindasan perempuan? Dalam menjelaskan teorinya tentang perempuan, Beauvoir mengacu pada teori eksistensialisme Sartre. Sartre menyatakan bahwa ada tiga modus “Ada” pada manusia, yaitu ada pada dirinya (etre en soir), ada bagi dirinya (etre pour soir) dan ada untuk orang lain (etre pour les autres). Filsafat Sartre yang paling dekat dengan feminisme adalah etre pour les autres,(Tong, 2008:21). Dengan memosisikan diri sebagai subjek yang terlibat dalam proses produksi publik, perempuan dapat menegaskan posisinya menjadi ada bagi orang lain. Dengan begitu, proses produksi pada ranah publik yang secara aplikatif mengarah kepada dimensi ekonomi menjadi sangat penting bagi perempuan.
Beauvoir
menekankan
pada
kemandirian
finansial.
Beauvoir
menyatakan bahwa kebebasan ekonomi kunci bagi kebebasan perempuan. Motherhood dan pernikahan membuat perempuan menjadi tidak bahagia. Bekerja sendiri akan membuat perempuan mampu menjaga independensinya (Moi, 1990:69-70). Dengan memusatkan pada dirinya sendiri, tanpa tergantung pada laki-laki, khususnya secara finansial, perempuan akan sanggup membebaskan dirinya dari tekanan. Jika perempuanmandiri secara ekonomi, aktif, produktif tidak bergantung pada laki-laki, perempuan tidak perlu menunggu persetujuan laki-laki untuk melakukan sesuatu. Dengan penghasilan sendiri, perempuanmemiliki perluang untuk melakukan aktivitas di luar rumah, meruntuhkan tembok rumah yang menghambatnya menjelajahi dunia dan menciptakan rencana proyek yang sesuai dengan kebutuhannya (Beauvoir, 2003: II/579). Penjelasan itu sejalan dengan apa yang disampaikan Tong (2010:281). Seperti Sartre, Beauvoir yakin bahwa salah satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi. Jadi, meskipun seakan-akan Beauvoir menekankan pada eksistensi diri, tetapi wujud eksistensi diri tersebut akan mengada melalui kekuatan dan kemandirian ekonomi. Persis layaknya yang disampaikan Tong (2010:82), bahwa ketika Beauvoir meminta perempuan untuk mentransendensi pembatas imanensi mereka, ia tidak sedang meminta perempuan untuk menegasi diri, melainkan untuk melepaskan semua beban
yang menghambat kemajuan mereka menuju Diri yang autentik. Diri yang autentik inilah yang termanifestasi melalui kebebasan finansial. Meskipun menekankan pada kebebasan ekonomi perempuan, filsuf ini tidak semata-mata memandang bahwa akar ketertindasan perempuan adalah faktor ekonomi. Hal ini sejalan dengan kritiknya terhadap pemikiran sosialis yang beranggapan bahwa solusi bagi ketertindasan perempuan adalah melalui jalan sosialis. Tong melihat bahwa pernyataan Beauvoir muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran feminis sosial yang menurutnya perubahan dari kapitalisme ke sosialis tidak akan secara otomatis mengubah relasi perempuan dan laki-laki. Perempuan akan sangat mungkin menjadi liyan dalam masyarakat sosialis, sepertihalnya dalam masyarakat kapitalis, karena akar ketertindasan perempuan adalah bukan sekadar faktor ekonomi, tetapi lebih utama adalah faktor ontologis (226:98). Lalu faktor ontologis seperti apa yang dimaksud oleh Beauvoir? Faktor ontologis termaksud termanifestasi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Ekonomi adalah hal penting, tetapi bukan satu-satunya yang terpenting. Sebagaimana yang disampaikan Beauvoir (2003:580/II), bahwa perempuan pertama-tama bisa melakukan pembebasan tubuhnya dari belenggu nilai-nilai patriarki jika perempuan mandiri secara ekonomi. Beauvoir yakin jika saatnya tiba dan revolusi sosial terjadi, budaya patriarki dengan sendirinya hilang. Namun, kemandirian ini akan efektif jika disokong oleh kesetaraan perempuan dan laki-laki secara sosial, budaya dan politik.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan dua objek penelitian. Pertama, objek formal. Objek formal dalam penelitian ini adalah konsep mitos kehamilan dan usaha untuk mendobraknya. Konsep ini berkaitan dengan konsep tubuh seperti yang dikembangkan oleh Beauvoir. Tubuh perempuan selalu mengalami konstruksi dari sistem patriarki. Kedua, objek material. Adapun objek material adalah novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma. Berbagai macam peristiwa dan pemikiran tokoh-tokohnya yang mengarah pada sisi teoritis yang berkaitan dengan
mitos
kehamilan
beserta
usaha
untuk
membongkarnya
dan
problematika di dalamnya akan dianalisis secara mendalam.
1.7.2 Data dan Sumber Data Data yang akan dijadikan korpus berupa tuturan-tuturan dari tokoh dan narator dalam novel BTB. Sumber data dalam tesis ini berupa novel BTB karya Seno Gumira Ajidarma terbitan Andal Krida Nusantara, Jakarta, tahun 2004. Contoh data yang berupa tuturan akan disajikan seperti berikut: Mbak Wid, perempuan 40 tahun yang selalu berbaju putih dengan sikap dingin penuh penalaran di pagi hari dan berbaju hitam penuh kepercayaan mistik di malam hari. Dan Ibuku, perempuan 30 tahun yang selalu berkain kebaya, tetapi tidak pernah menggelung rambutnya. Keduanya tidak menikah, keduanya tidak punya anak, dan setiap hari perempuan itu bergulat dengan hidup matinya anak-anak tunadaksa (hal. 53).
1.7.3 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif naratif. Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992), komponen-komponen analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan beserta verifikasi. Reduksi data merupakan usaha seorang peneliti untuk memilih data, memusatkan, menyederhanakan, dan membuang data yang tidak perlu. Dengan demikian, pada penelitian ini, data-data yang disajikan merupakan data-data yang sudah direduksi (dipusatkan dan disederhanakan), yang kemudian disajikan secara naratif dan jika perlu akan dilengkapi dengan tabel (matriks data). Setelah data dianalisis, kemudian ditarik simpulan dari analisis yang sudah dilakukan. Simpulan tersebut kemudian diverifikasi untuk menemukan validitas simpulan.
1.7.4 Sistematika Penulisan Bangunan utama tesis ini akan dibagi menjadi lima bab yang terdiri atas beberapa pembagian garis besar pembahasan. Bab I berisi pendahuluan dengan memuat tentang latar belakang penelitian, landasan teori yang digunakan, tinjauan pustaka yang meng-cover penelitian-penelitian terdahulu yang sejalan dengan penelitian ini, serta metodologi penelitian.
Bab II berisi pembahasan atau analisis tentang bentuk pembongkaran mitos kehamilan yang direpresentasikan dalam peristiwa-peristiwa di dalamnya. Bab III berisi kajian tentang korelasi antara cerita wayang yang dibangun oleh pengarang dengan cerita inti sebagai wujud sinergi pemikiran feminisme. Bab IV berisikan tentang pembahasan mengenai bagaimana pemikiran pengarang dalam ambiguitasnya ketika mematikan tokoh utama pada akhir cerita. Adapun bab V berisi penutup yang memuat kesimpulan peneltian dan saran yang dapat peneliti sampaikan berkaitan dengan tesis ini.