KEKERASAN NEGARA DALAM KUMPULAN CERPEN PENEMBAK MISTERIUS KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
Oleh: Erisyah Putra¹ 180110080026
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2012
ABSTRAK Skripsi Ini berjudul “Kekerasan Negara dalam Kumpulan Cerpen Penembak Misterius Karya Seno Gumira Ajidarma”. Pembahasan difokuskan pada bagaimana kumpulan cerpen ini menggambarkan kenyataan yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra konsep Ian Watt dan berfokus kepada sosiologi karya. Pengunaan teori ini terdiri dari pengumpulan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius. Peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam kumpulan cerpen itu merupakan cermninan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru. Dalam unsur-unsur tersebut peneliti menganalisis hal yang berkaitan satu sama lain. Hasil analisis memperlihatkan bahwa dalam cerpen-cerpen Penembak Misterius, Kekerasan dijalankan atas alasan keamanan negara. Aparat pemerintah digunakan untuk menjalankan kekerasan itu. Kekerasan yang dilakukan menghasilkan dampak terhadap masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka mengalami ketakutan dan ketidakpercayaan kepada penguasa Orde Baru. Kata kunci: sosiologi sastra, Orde Baru, cerita pendek, kekerasan
ABSTRACT This skripsi entitled "The State Hardenesses of Penembak Misterius Short Story collection by Seno Gumira Ajidarma". The Solution focuss on how this short story collection show the fact which happened in Orde Baru period. The Theory which is used in this research is sociology of literature theory which focuss to masterpiece sociology. This utilizing Theory consist of roundup the events which happened in mysterious shooter’s short story collection, the events which contained in that short story collection, adaptable with the events which happened in Orde Baru period. In that elements, the writer have analyzed the things which connected to each other. The Result of the analysis showed that in mysterious shooter’s short story, the hardeness and the situation of Orde Baru society become the core of in its narrating. The Hardeness which happened is running plane and conducting by arbiter of Orde Baru Soeharto, that hardeness is agreed on and conducting with the reason of state security. The Governmental agencies are used to conducting that hardeness. The hardeness which being conduct are effective to descendants the degrees of the crime, but the community that experiencing the indirect and also the direct of the hardeness are caused by the fear and incredulity to arbiter of Orde Baru. They become a system victim that applicable by Orde Baru. Keyword: sociology literature, Orde Baru, short story, hardeness
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Abrams (1976:31) mengungkapkan, “seni seperti sebuah cermin”. Karya sastra merupakan salah satu bentuk seni yang dihasilkan oleh pengarang. Karya sastra hadir sebagai imitasi ataupun sebagai proses kreatif pengarang yang bertitik pangkal pada kenyataan dari kehidupan nyata semesta (universe) untuk menciptakan sesuatu yang baru. Seni yang diciptakan oleh para pengarang bukan hanya menceritakan keindahan atau percintaan melainkan juga kritik terhadap ketidakadilan maupun penyalahgunaan kekuasaan penguasa terhadap masyarakat. Penciptaan karya sastra yang dilakukan oleh para pengarang merupakan penyampaian kegelisahan yang dirasakannya. Kegelisahan itu dituangkan menjadi dunia baru dalam tulisan-tulisan yang dihasilkan. Dunia imajinasi yang diciptakan pengarang menjadi sarana untuk menyampaikan pendapat ataupun kritikan terhadap ketidakadilan ataupun penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan penguasa. Tujuan pengarang menyampaikan hal itu adalah untuk membuat sadar masyarakat akan keadaan yang terjadi, serta jawaban yang mungkin saja tidak pernah didapatkan dari kenyataan yang ada. Dalam kaitan ini, karya sastra dengan peristiwa sejarah dapat mempunyai hubungan timbal balik; karya sastra menjadi saksi dan diilhami oleh zaman ataupun sebaliknya, karya sastra itu dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah zamannya dengan membentuk sebuah opini publik. Karya sastra yang dihasilkan para pengarang di antaranya adalah prosa. Prosa menurut Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2004:2) adalah cerita naratif yang bersifat imajinatif, tetapi isinya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramakan hubungan-hubungan antarmanusia. Salah satu jenis prosa adalah cerita pendek (cerpen). Sarwadi (1979:6) menyatakan bahwa cerpen adalah salah satu jenis prosa yang bersifat singkat, padat, yang satu unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok. Hal ini mengakibatkan jumlah tokoh dan pengembangan perilakunya terbatas dan keseluruhan ceritanya memberikan kesan tunggal. Cerpen menjadi sebuah sarana yang digunakan oleh
pengarang untuk menyampaikan kegelisahan yang dirasakannya. Sekalipun kegelisahan itu berupa kritik terhadap penguasa yang bertindak semena-mena terhadap kekuasaan yang dimilikinya ataupun terhadap masyarakat yang telah banyak mengalami
kemunduran
dan
melupakan
jatidirinya.
Karya-karya
yang
menggambarkan itu dapat ditemukan dalam karya para pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, Muchtar Lubis, A.A Navis, Umar Kayam, dan Seno Gumira Ajidarma. Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya akan disingkat SGA) adalah salah satu pengarang yang mengangkat peristiwa faktual masa Orde Baru ke dalam karyanya. Secara konsisten, pengarang yang juga seorang wartawan ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa sosial politik ke dalam karya-karyanya seperti peristiwa pembunuhan misterius terhadap para gali atau “gabungan anak-anak liar” pada tahun 1980-an, insiden di Dili pada 1991, pembunuhan ala ninja 1997, peristiwa Mei 1998, ataupun peristiwa peperangan di Aceh yang semuanya bernuansakan kekerasan. Halhal tersebut, dalam situasi pemerintahan Orde Baru berkuasa, tidak akan bisa diberitakan sebagai karya jurnalistik sehingga SGA memilih mempergunakan wahana sastra untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa tersebut. Salah satu antologi cerpennya yang berjudul Penembak Misterius (selanjutnya akan disingkat PM) adalah buku kumpulan cerpen yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1993 dan telah mengalami empat kali cetak ulang. Antologi ini terdiri dari lima belas cerpen yang pernah dimuat pada beberapa majalah dan koran antara tahun 1984 hingga 1991. Antologi PM muncul pada era Orde Baru berkuasa. Antologi ini menceritakan masa Orde Baru dengan pemerintahan dan kekuasaan yang menjadi bagian perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu kisah yang diceritakan dalam antologi tersebut adalah “Penembak(an) Misterius”. Kisah tentang pembunuhan para kriminal yang sering meresahkan masyarakat sekitar tahun 1980-an awal menjadi salah satu kisah yang terdapat dalam antologi PM. Para pembunuhnya tidak jelas siapa, meski disinyalir yang melakukan eksekusi itu adalah aparat keamanan. Peristiwa itu disebut dengan
istilah “petrus” atau penembak misterius. Usaha ini dilakukan sebagai shock therapy atas kejahatan yang merajalela saat itu. Sikap pemerintah Orde baru itu merupakan bentuk “perang” terhadap kejahatan. Militer terjun langsung walaupun masih secara tersembunyi, yang semestinya kejahatan merupakan urusan polisi dan lembaga peradilan. Pernyataan “perang” itu muncul dalam bentuk pembinasaan “tersembunyi” yang berlangsung dari awal 1983 hingga awal 1985, yang konon menelan lebih dari 10.000 jiwa (Tempo, 21 Mei 1994, hlm: 27). Penguasa kala itu bukan hanya melakukan kekerasan secara fisik yang dapat dirasakan masyarakat. Ada juga kekerasan secara batin dengan peraturan-peraturan yang dipaksakan untuk dapat mengukuhkan kekuasan penguasa kala itu. Hukum hanya sebagai formalitas yang harus tunduk pada penguasa kala itu, sehingga hanya sedikit orang yang berani memberitakan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Dengan munculnya pelarangan pers, maka SGA menggunakan wahana sastra untuk menggambarkan apa yang terjadi pada masa Orde Baru agar diketahui khalayak. Jiwa SGA yang juga seorang wartawan serasa tidak hilang dalam penceritaan dalam karyanya yang aktual. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan Sosiologi Sastra Ian Watt yang akan mengupas tentang gambaran sosial politik antara masyarakat dan penguasa yang digambarkan dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma.
2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, (1) mengetahui bagaimana kekerasan yang dilakukan penguasa Orde Baru dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma, (2) mengetahui akibat kekerasan yang dilakukan penguasa dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma.
3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sosiologi sastra Ian Watt sebagai landasan yang akan berfokus kepada sosiologi karya dalam menganalisis kumpulan cerpen Penembak Misterius. Menurut pandangan ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
B. Kerangka Penelitian 1. Sosiologi Sastra Swingewood (dalam Faruk, 1999:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat. Sosiologi juga berupaya menjawab bagaimana masyarakat, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Sosiologi juga berkaitan dengan proses perubahan sosial, yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner. Segala sesuatu dalam kehidupan saling terikat untuk saling dipengaruhi oleh apa yang ada di sekitarnya, termasuk sastra. Wellek dan Warren (1989:109) menyatakan bahwa sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subyektif manusia. Sastra dan masyarakat menjadi dua hal yang saling berkaitan karena karya sastra mendapatkan sumber ide dan diproduksi dari berbagai realitas dalam masyarakat. Realitas yang ada di dalam karya sastra merupakan suatu sudut pandang pengarang untuk mengingkari atau meluruskan atas realitas yang terjadi di masyarakat Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
2. Kekuasaan dan Kekerasan 2.1 Kekuasaan Kekuasaan adalah salah satu konsep yang sering dibahas dalam ilmu politik (Budiarjo, 1984). Hal ini disebabkan tujuan dari politik adalah kekuasaan atau menguasai, hal ini selalu menjadi perdebatan yang hangat, karena proses untuk mendapatkan kekuasaan begitu banyak macam cara dari persuasif sampai dengan kekerasan dilakukan dalam menggapai kekuasaan. Menurut Budiarjo (1984:9), Kekuasaan adalah kemampuan pelaku untuk memengaruhi pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku menjadi sesuai keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Pengertian di atas, pelaku dapat diartikan sebagai individu, kelompok, ataupun kolektivitas. Contoh: jika A adalah yang mempunyai kekuaasaan kepada B, dan A menyebabkan B melakukan sesuai dengan keinginan A, maka B telah telah terkena politik oleh A yang mungkin apa yang dilakukan B tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain definisi kekuasaan seperti yang di atas, ada pula yang mendefinisikan bahwa kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk menetapkan (secara mutlak) alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-alternatif memilih bagi pelaku lain (Budiarjo,1984:10). Definisi tersebut adalah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana, kekuasaan dengan kesempatan yang tersedia bagi manusia untuk menentukan tingkah lakunya dengan memilih dari berbagai alternatif. Dalam kenyataannya pelaku kedua tidak mengikuti keinginan dari pelaku pertama maka mendapatkan sanksi, contoh sanksi adalah dipecat dari jabatanya, disita harta bendanya, “diusir” dari negerinya, dan lain sebagainya.
2.2 Kekerasan Kekerasan menurut KBBI (2004:550), adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988:5), mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan sengaja untuk mencederai secara fisik
ataupun secara verbal. Dari kedua definisi itu dapat kita tarik kesatuan bahwa kekerasan adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang secara sengaja yang menyebabkan kerusakan (mencederai) orang lain secara fisik ataupun verbal dengan sengaja. Ruang lingkup kekerasan nonfisik tidak mempunyai batasan yang jelas seperti kekerasan fisik yang bisa kita lihat secara visual. Contoh jika pelaku A bebicara dengan kata yang menyakitkan kepada B, dan B merasa tersakiti perasaanya, maka A dapat dikatakan telah melakukan kekerasan nonfisik, walaupun A tidak merasa telah melakukan kekerasan atau menyakiti B. Para ahli berpendapat bahwa kekerasan berasal dari konsep animale rationale yang berarti manusia adalah binatang yang memiliki rasio. Konsep ini memberi pengertian bahwa manusia melakukan kekerasan karena agresivitas binatang yang ada pada dirinya. Dalam pembahasan perilaku manusia Arendt (dalam Pitaloka, 2010:68) berpendapat, bahwa kekerasan cenderung timbul akibat kerentanan terhadap provokasi. Kondisi ini mengarahkan manusia kepada insting frustasi yang memicu sebuah ‘pelepasan energi’ dengan dahsyat dan menimbulkan bahaya besar. Hal ini menjadikan manusia ‘binatang’ dari binatang.
2.3 Abdi Negara antara Kekuasaan dan Kekerasan Arendt (dalam Pitaloka, 2010:29) memberikan contoh tentang perbuatan Eichmann—tokoh penting dalan rezim Nazi—terutama perannya sebagai kepala arsitek dan eksekutor pada final solution dalam pembantain massal terhadap kaum Yahudi. Dalam pemahaman Arendt, Eichmann bersedia untuk bergabung dalam program pembantai akibat dari kegagalannya dalam berpikir dan menilai. Secara psikologis, Eichmann adalah manusia normal. Namun, jika ditelaah dari sisi kesadaran nurani, Eichmann bertindak tanpa berpikir, menjalankan perintah tanpa memandang kembali berbagai akibat yang timbul bagi sasarannya. Dimensi kemanusiaan dari aktivitas tersebut tidak ada sehingga pembantaian kaum Yahudi
menjadi identik dengan berbagai peranan birokratik yang mengabaikan tanggung jawab (Pitaloka, 2010:30). Eichmann tidak mampu menilai secara kritis meskipun dapat melihat dengan jelas ketidakberdayaan korbannya. Bukan sebuah penampakan kebencian yang menjadikan Eichmann terlibat dalam pembantaian massal, tapi yang melatarbelakangi tindakannya adalah ketiadaan imajinatif. Kapasitas itu mampu membuat individu lebih manusiawi dan dapat bertindak berdasarkan moral dan aktivitas bermakna. Eichmann telah gagal dalam melatih kapasitas berpikir, yang sesungguhnya dapat membangun kesadaran terhadap kedurjanaan tindakannya. Kegagalan dalam diri Eichmaann memperlihatkan keterkaitan antara kedurjanaan politik dan kegagalan berpikir dan ketumpulan nurani (Pitaloka, 2010:30). Arendt (dalam Pitaloka, 2010:30) melihat sikap yang diperlihatkan Eichmann sebagai dampak diterapkannya kekerasan dalam suatu sistem politik masyarakat. Bagaimana mungkin individu yang biasanya patuh terhadap hukum melakukan kejahatan?. Perilaku Eichmann sebenaranya tipikal perilaku orang-orang pada masa kekuasaan Nazi yang tidak menggunakan penilaian menuruti setiap perintah dari pemimpin mereka. Mereka hanya membabi-buta melakukan aksi kekejaman dan kebiadaban. Akibatnya, kekejaman menjadi sesuatu yang dianggap wajar karena jika mereka mengungkapkan kebenaran, mereka justru dianggap salah.
3. Pembahasan 3.1 Kekerasan Negara Dalam Kumpulan Cerpen Penembak Misterius Dalam cerpen “Keroncong Pembunuhan” politik menggunakan pembunuh bayaran untuk melenyapkan orang yang tidak lagi dianggap penting dan mengacam kekuasaan serta keamanan negara. Hal itu tercermin dalam kutipan cerpen “Keroncong Pembunuhan” di bawah ini. “apa maumu?” “katakan kesalahannya.”
“Ia pengkhianat, Ia menjelek-jelekan nama bangsa dan negara kita di luar negeri” “Cuma itu?” “Ia meresahkan masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang tidak benar” “lantas?” “kamu mau apa? Aku tidak tahu banyak.” “Aku ingin tahu, apakah semua itu merupakan alasan yang cukup untuk membunuhnya?” “itu bukan urusanmu, ini politik” (KP, 2007:12). Pembunuhan yang dilakukan penguasa melalui pembunuh bayaran kepada masyarakatnya merupakan kekerasan negara. Perencanaan pembunuhan di atas merupakan kekerasan negara yang merupakan kekerasan fisik dengan menghilangkan nyawa orang lain. Kekerasan yang dilakukan negara, sering kali beralasan bahwa hal yang dilakukan itu adalah untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakatnya. Kekerasan itu juga terjadi pada negeri ini Indonesia. Pada tahun 1980-an pembunuhan terhadap orang-orang yang meresahkan juga terjadi, orangorang itu terbunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya yang dikenal dengan sebutan pembunuh misterius atau “petrus”. Kejahatan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru menghasilkan kejahatan yang dilakukan oleh penegak hukum. Abdi negara digunakan sebagai alat untuk meneror maupun membunuh orang yang belum tentu bersalah. Kekerasan negara itu menciptakan ketakutan, dan menekan masyarakat untuk menerima sistem yang diberlakukan. Keputusan yang diambil oleh penguasa Orde Baru tersebut juga menjadikan abdi negara hanya menjadi alat untuk melaksanakan perintah. Hal ini disebabkan perintah yang diberikan oleh penguasa adalah sebuah kewajiban yang harus diselesaikan dengan baik apapun resikonya. Operasi Petrus digelar pemerintah untuk menanggulangi kejahatan yang merebak pada saat itu. Angka kejahatan dari laporan tahun 1982 mencapai 223.768 kasus dengan penyelesaian 99.297 kasus. Kejahatan ini terjadi di tengah angka populasi nasional sekitar 146 ribu jiwa. Laksamana Sudomo menggulirkan operasi pemberantasan kejahatan dengan sandi Operasi Clurit. Operasi ini diumumkan setelah ia
melakukan rapat dengan Kapolri Letjen (Pol) Anton Sudjarwo, Wapangkowilhan II Marsekal Muda Atmodjo, Kadapol VII Metro Jaya Brigjen (Pol) Drs. R. Sudjoko, Pangdam V/Jaya Mayjen Try Sutrisno dan Wagub DKI HAKI Chourmain di Jakarta pada 19 Januari 1983. Operasi ini lantas diikuti oleh daerah lain. (majalah Detik, 21 27 Mei 2012:38) Para petinggi kekuasaan di bawah penguasa saat itu seakan tidak berpikir apa yang mereka lakukan. Mereka hanya menjalankan perintah penguasa kala itu. Mereka hanya beralasan menjalankan perintah untuk membunuh orang-orang bertato itu. Indonesia sendiri merupakan negara hukum dan mempunyai perundang-undangan, sehingga apa yang dilakukan penguasa dan abdi negara itu merupakan kesalahan besar untuk menciptakan keamanan semu seperti itu. Masyarakat akan dibingungkan apakah harus menerima atau menolak atas perilaku penguasa kala itu. Aksi militer yang dijalankan menimbulkan banyak dampak. Hal itu digambarkan dala cerpen “Grhhh!”. Aksi militer dalam menumpas kejahatan yang dilakukan para zombi atau mayat hidup hanya ampuh dengan rudal. Rudal yang diluncurkan yang bermaksud untuk menghancurkan mayat hidup itu memang berhasil, tetapi kota tempat mayat hidup itu berada hancur dan penuh puing-puing seperti perang. Ibu kota seperti terlanda perang. Reruntuhan puing merata di mana-mana. inilah akibat rudal yang diobral. Namun zombi terus bermunculan (Grhhh!, 2007:33). Penggunaan rudal tersebut memang bisa menghancurkan mayat hidup itu, tetapi bukan hanya mayat-mayat hidup yang hancur, melainkan masyarakat juga menjadi korban kehilangan harta mereka. Penggunaan aksi militer ini merupakan tidakan kekerasan negara kepada masyarakatnya. Walau hal itu bisa mengatasi masalah atas mayat hidup, tetapi ketakutan dan kengerian juga dirasakan oleh masyarakat lainnya. Penguasa mengabaikan akibat yang akan terjadi setelah operasi itu selesai. Kebudayaan kekerasan yang diciptakan akan menjadi budaya yang akan diteruskan
masa berikutnya, secara langsung maupun tidak langsung. Petrus bukanlah cara yang terbaik untuk menciptakan keamanan, masih banyak cara yang dapat dilakukan, dengan menegakan UUD dan abdi negara yang disiplin menjadi salah satu jalan keluar menciptakan keamanan di masyarakat.
3.2 Dampak Kekerasan Negara terhadap Masyarakat pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Penembak Misterius. Kekerasan yang dilakukan negara pada dasarnya dalam rangka menciptakan keamanan dan kenyamanan masyarakat. Akan tetapi, kekerasan yang telah dilakukan negara menimbulkan dampak lain terhadap masyarakat. Dampak yang dirasakan masyarakat berbeda-beda, dapat berupa teror atas kekerasan yang dilakukan negara ataupun berupa afirmasi (penegasan) atas kekerasan negara itu sendiri. Pada subbab ini akan dibahas tentang teror yang dialami akibat kekerasan yang dilakukan negara. Dalam cerpen “Bunyi Hujan di Atas Genting” masyarakat yang mengalami teror direpresentasikan melalui tokoh Aku (Sawitri). Tokoh aku mengalami tekanan terhadap dirinya, tekanan yang berawal dari kematian orang-orang bertato. Mayatmayat bertato itu selalu ditemukan ketika hujan behenti. Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting (BHAG, 2007:13). Peristiwa kematian orang-orang bertato itu merenggut banyak korban. Orangorang bertato yang masih hidup melarikan diri agar terhindar dari kematian oleh orang-orang yang tidak pernah diketahui atau dikenal dengan “petrus”. Petrus itu sendiri telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya merupakan operasi yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru untuk menangani orang-orang yang meresahkan masyarakat. Orang-orang yang bertato yang masih hidup dan menghilang juga merupakan bentuk ketakutan dari “petrus”.
Fence merupakan salah satu anggota Prems yang berhasil lolos. Untuk menghindari operasi petrus, Fence terpaksa lari ke sejumlah daerah hingga akhirnya ke negeri jiran, Malaysia. Di sana ia bekerja sebagai TKI. Begitu kondisi di Tanah Air dirasa aman, ia pun pulang pada 1985. Setelah tiba di Jakarta ia mendapat informasi, dari sekitar 100-an anggota Prems, yang tersisa hanya sekitar 15 orang termasuk Fence (dalam majalah Detik Online, 27 Februari - 4 Maret 2012:16) Masyarakat yang berada dalam kekuasaaan Orde Baru tidak dapat melawan maupun menghentikan operasi tersebut. Walau sebagai terapi kejut kepada aksi preman yang marak terjadi kala itu, bukan berarti bahwa senjata Polisi dan Tentara bisa digunakan secara langsung kepada masyarakat tanpa alasan dan bukti yang jelas. Pembunuh terhadap mereka bukan hanya menghilangkan nyawa, tetapi juga membuat kerugian bagi masyarakat lainnya. Perjalanan operasi itu memang mendapatkan hasil. Kejahatan yang disebabkan para preman berkurang. Dalam cerpen “Grhhh!” terdapat hubungan antara penguasa dan abdi negara yang dipaksa untuk menjalankan perintah penguasa. Penguasa dalam cerpen ini adalah komandan, dan keputusan komandan dalam cerpen ini adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Walaupun bawahannya, Reserse Sarman, telah mencoba mengajukan pendapat, Komandan hanya mau melaksanakan sesuai keinginannya yaitu menggunakan rudal (aksi militer). Akibat keputusan yang diambil oleh komandan adalah kota bagaikan dilanda perang, banyak puing-puing berserakan akibat rudal. “Komandan! Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius yang legendaris di Lubang besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!” “tembak dengan rudal!” “maaf Komandan! Itu tidak menyelesaikan masalah!” Zombi itu mendekat dan membalikan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dari ruangan lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding. “Bintara Sarman! Kamu membantah perintah komandan?” (Grhhh!, 2007:35).
Kekerasan negara yang menjadi jawaban dalam mengatasi masalah keamanan menjadi ciri kedua cerpen di atas. Kekerasan juga menjadi bagian dari pemerintahan Orde Baru. Soeharto dan para petinggi keamanan negara menggelar operasi celurit untuk mengatasai masalah keamanan masyarakat. Mereka sebagai penguasa hanya merencanakan dan abdi negara yang menjalankan. Abdi negara yang mendapatkan resiko atas rencana yang mereka buat. Bukan hanya abdi negara, akan tetapi masyarakat yang mendapatkan resiko menjadi korban. Mantan preman Anton Medan memberi kesaksian, pada era 1982 – 1983, teman-temannya sesame preman habis dibunuh. ”Waktu petrus muncul, semua habis. Preman Jakarta yang memiliki nama, 90 persen habis. Efektif sih, tapi cara tidak benar,” kata Anton Medan (Majalah Detik Online, 27 Februari-4 Maret 2012:16). Pendapat di atas dapat disimpulkan “petrus” bukanlah cara yang benar untuk menciptakan keamanan dan mengurangi kejahatan. Undang-undang yang berlaku di Indonesia sudah mengatur tentang hukum yang berlaku bagi tentang siapa saja yang melakukan kejahatan serta hukuman yang dapat disanksikan. Pembunuhan sebagai hukuman tanpa bukti yang jelas, menjadikan “petrus” sebagai kejahatan itu sendiri dan pelakunya adalah penguasa yaitu Orde Baru.
C. Simpulan Kumpulan cerpen Penembak Misterius pada umumnya menggambarkan kekerasan antara para tokoh, kekerasan sebagai individu hingga kekerasan negara. Kekerasan negara merupakan pokok pembahasan dalam penelitian ini. Dalam kumpulan cerpen ini para tokoh menghadapi berbagai macam kekerasan, dan kekerasan yang dilakukan penguasa menjadikannya kekerasan negara, kekerasan negara menjadi sebuah sistem yang diambil ataupun dituruti oleh aparat negara maupun masyarakat yang berada di dalamnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh negara mempunyai dampak yang berbedabeda. Dampak tersebut dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat berkurang. Orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat juga berkurang. Berkurangnya bukan karena mereka sadar karena memang yang dianggap meresahkan telah tewas seperti representasi operasi “petrus”. Kekerasan “petrus” digunakan sebagai contoh terhadap orang-orang yang mencoba merusak keamanan. Dampak dari kekerasan tersebut beragam. Ada masyarakat yang mengalami teror akibat kekerasan tersebut. Mereka takut diri mereka menjadi korban atau mereka ketakutan kehilangan orang yang mereka sayangi. Ada masyarakat yang mengakui (afirmatif) yang bahagia akibat hilangnya para penjahat. Hal itu merupakan dampak nyata dari kekerasan yang dilakukan penguasa. Daftar Sumber Abrams, M.H.1976. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Sarwadi. 1979. Cerpen Kontemporer dalam Sastra Indonesia Modern. Yogyakart: Institut Keguruaan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pitaloka, Rieke Diah. 2010. Banalitas Kekerasan. Depok: Koekoesan Ajidarma, Seno Gumira. 1993. Penembak Misterius (edisi 2007 oleh penerbit Galang Press). Jakarta:Grafiti. Budiarjo, Miriam, dkk. 1984. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. ¹Erisyah Putra, adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, telah menyelesaikan studi pada tanggal 19 Juli 2012