BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.4 Hal ini ditegaskan dalam Pasal
1 ayat 3 UUD NRI 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi diseluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai sistem5 dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaanya dilengkapi dengan kewenangankewenangan dalam bidang penegakan hukum.6 Penegakan hukum menempati posisi yang strategis dalam pembangunan hukum, lebih-lebih di dalam suatu negara hukum. Menurut Jeremy Bentham, penegakan hukum adalah sentral bagi perlindungan hak azasi manusia. Dalam 4
O. Notohamidjo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,1999), h.27, mengemukakan bahwa “ciri-ciri negara hukum dalam arti materiil adalah (a) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; (b) Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan; (c) Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas legalitas); (d) Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak; (e) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 5 Wishu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), h.7. Buku ini merupakan terjamahan dari buku Lawrence M.Friedman yaitu American Law on Introduction, Second Edition. Dalam bukunya tersebut Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum itu terdiri dari Struktur, substansi dan budaya hukum. Struktur dari budaya hukum terdiri dari unsur dan jumlah dan ukuran pengadilan dan yurisdiksinya dengan kata lain struktur ini berkaitan dengan bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi Dagang Federal, apa yang boleh dilakukan oleh presiden, prosedur yang diikuti oleh departemen kepolisian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan substansi adalah norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Sementara budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,pikiran,serta harapan. 6 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjuan Sosiologis,(Jakarta : BPHN, 1983), h.55. Penegakan hukum adalah proses untuk menguwujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataaan, yang dumaksud dengan keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum.
1
2
penegakan hukum dibutuhkan instrumen penggeraknya yang meliputi unsur Kepolisian,
Kejaksaan,
Komisi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
(selanjutnya disebut KPK), dan Badan Peradilan, di samping penasehat hukum (Advokat atau Pengacara).7 Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal sampai sekarang adalah tindak pidana korupsi. Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum antara lain adalah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menyikapi fenomena ini, pemerintah yang silih berganti selalu menjadikan kalimat pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatannya. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extraordinary crime8 (kejahatan luar biasa). Sebagai extraordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu negara dan bangsa.
7
Chaerudin.dkk, Tindak Pidana Korupsi; Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), h.87. 8 Elwi Daniel, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Depok: PT Rajagrafido Persada,2012), h.61. Korupsi tetap merupakan Extra Ordinary Crime. Dasarnya adalah konsideran menimbang dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang peberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Yang perlu digarisbawahi dalam konsideren menimbang tersebut adalah Korupsi merupakan keajahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, sehingga sangat wajar dalam undang-undang pemberantasan korupsi juga dimungkinkan seorang koruptor dihukum mati (pasal 2 ayat 2 Undang-undang Tipikor). Hal mana hukuman mati juga bisa diterapkan untuk kejahatan Extra Ordinary Crime yang lain misalnya genosida. Selanjutnya Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar bahwa korupsi di Indonesia secara yuridis telah dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa.
3
Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara9 atau pejabat negara10. Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dimana penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Namun dalam hal salah satu pihaknya negara atau pejabat negara, penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya, sehingga kondisi demikian asas Equality Before the Law11 akan dibuktikan kebohongannya, dan
9
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pengertian Penyelenggara Negara adalah Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian di dalam pasal 2 Undang-undang yang sama penyelenggara negara yaitu; pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dan kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 10 Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat negara lainnya ditentukan oleh Undang-undang, sedangkan dalam pasal 11 ayat 1 dijelaskan lebih lanjut yang termasuk kedalam pejabat negara adalah Presiden dan wakil presiden, Ketua/Wakil ketua dan amggota Majalis Permusyawaratan Rakyat, Ketua/Wakil ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua/Wakil Ketua dan Hakim Agung serta Ketua/Wakil ketuadan Hakim pada semua Badan Peradilan, Ketua/Wakil ketua dan Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan, Menteri dan jabatan setingkat menteri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. 11 P.A.F. Lamintang,KUHP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. (Bandung,:Sinar Baru, 1984) h.31, mengemukakan bahwa : “Perlakuan yang sama terhadap setiap orang di depan hukum atau gelijkeheid van ieder voor de wet. Ini berarti bahwa hukum acara pidana tidak mengenal apa yang disebut “forum privilegiatum”atau perlakuan khusus bagi pelaku-pelaku tertentu daru suatu tindak pidana, karena harus dipandang sebagai mempunyai sifat-sifat yang lain dari sifat-sifat yang dimiliki oleh rakyat pada umumnya, misalnya sifat karena jabatannya.
4
hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindaklanjuti secara selektif dan menampakkan
diskriminasi
secara
terbuka,
resistensi
terhadap
agenda
pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan lembaga negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.12 Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah negara, pejabat negara ataupun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Harkristuti Harkrisnowo menyatakan baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut samasama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut yaitu dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya, Sedangkan pelaku tindak pidana 12
Romli Atmasasmita. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. (Jakarta: Komisi Yudisial.,2008), h. 116
5
jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata dan bukan individu melainkan negara, sehingga publik kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi, demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah karena kasat matanya tindak pidana jalanan.13 Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika dikaitkan dengan reformasi. Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah: a) Amandemen UUD 1945; b) Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI; c) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM); d) Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); e) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi); f) Mewujudkan kebebasan pers; dan
13
Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia,(Yogyakarta: Cipta Karya, 2009), h 67.
6
g) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 14 Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu agenda yang harus direalisasikan oleh pemegang kekuasaan pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum
maupun
pemberantasan
korupsi
merupakan
hal
yang
sangat
menggelisahkan kehidupan bangsa dan negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agendaagenda yang lain. Barda Nawawi Arief ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.15 Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan. Sebagaimana dikatakan olehnya, sistem peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses menegakkan hukum. Jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”
14
karena
“kekuasaan
kehakiman”
pada
dasarnya
merupakan
Sekretariat Jenderal MPR. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.(Jakarta: MPR RI, 2003) 15 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). h.157.
7
“kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa “Sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).16 Kejaksaan RI merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki kedudukan
sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan
merupakan salah satu
subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia.17
Tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Dalam perkara pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik dan melakukan penuntutan terhadap perkara tersebut. Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.18 Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, salah satu poinnya 16
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), h.20. 17 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana; Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di beberapa Negara (Yogyakarta: Pusaka Yustisia, 2013),h.147, Dalam prespektif sistem peradilan pidana, proses kekuasaan penegakan hukum dibidang hukum pidana mencakup seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana yang dilakukan melalui kekuasaan penyidikan oleh kepolisian, kekuasaan penuntutan oleh kejaksaan kekuasaan mengadili oleh pengadilan dan kekuasaan pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan 18 Yeswil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, dan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h.64, kejaksaan memiliki tugas pokok menyaring kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penunututan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan
8
mengatur bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 284 ayat (2), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang
tertentu
salah
satunya
adalah
undang-undang
tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Agar adanya kesatuan pendapat maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP pada Pasal 17 disebutkan bahwa penyidik menurut ketentuan khusus sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat berwenang
lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena kelambanan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi penegak hukum yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi, maka eksekutif dan legislatif membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK19. KPK adalah salah satu lembaga negara baru yang dibentuk dengan semangat reformasi20 hukum dalam penegakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dibentuk melalui
19
Surachmin, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.136 Sutikno Martokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Mandar Maju, 2000), h.189, Reformasi secara gramatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan mempersatukan kembali, secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the games) kearah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamika berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) dan penatan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien dan berkeadilan sosial (reconstructing the new regime). 20
9
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK, merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak Pidana Korupsi. KPK berwenang menindak siapapun yang dipersangkakan melakukan tindak Pidana Korupsi. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa , KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang berwenang untuk melakukan penanganan kasus-kasus korupsi tertentu seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yaitu: (a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. (b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat (c) Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).21 KPK sebagai lembaga baru yang notabene aparaturnya mengambil dari instansi penegak hukum
21
Evi Hertanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h.70.
10
yang telah ada,22 tentu akan mengalami ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya, dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika lembaga tersebut melakukan pembenahan didasari dari pengalamannya. Dengan kata lain segala kelemahan lembaga tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di dalam pelaksanaan tugasnya. Disisi lain dengan aparaturnya yang terbatas dan pertimbangan biaya yang sangat besar, keberadaan KPK tidak sampai ke daerah-daerah. Hal ini jelas dapat menghambat tugas pemberantasan korupsi secara menyeluruh yang akan dilakukan oleh KPK. KPK dalam pelaksanaan tugasnya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi.23 Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan akan tetapi hal ini diatur juga di dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan, adanya Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu
22
Johan Budi, KPK Butuh 80 Penyidik Independen (m.hukumomline.com/berita/baca/ lf505c32fa1e25a/kpk-butuh-80-penyidik-independen, diakses pada 11 Maret 2015, Pukul 15.30 WIB), Menjelaskan, bahwa pada Pasal 45 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Ia tidak menampik jika KUHAP terdapat klausula khusus mengeanai penyidik, yakin yang terdapat pada Pasal 1 KUHAP yang meyebutkan bahwa, penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. 23 KPK Krisis Tenaga Penyidik, 14 Oktober 2014 (www.kpk.go.id/berita.berita-sub2243kpk-krisis-tenaga-penyidik diakses pada Tanggal 13 Maret Pukul 12.00), KPK hanya memiliki 60 Penyidik, itu sangat jauh dari target KPK sejak berdiri yakni 300 Penyidik
11
mempunyai hubungan koordinasi24, baik dalam penanganan perkara korupsi, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis. Kendala lainnya terlihat dengan adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial review oleh pelaku korupsi. Judicial review mengenai Pasal 6 huruf c UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan 25 yang ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum 26 menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan
dalam
pemberlakuannya”,
sebab
kewenangan
penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan adalah sudah merupakan tugas kejaksaan sebagai 24
Hendra Nugraha Pelaksanaan Tugas Supervisi Oleh KPK terhadap Instansi yang Berwenang Melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, Bandung, 2009, h.4, Berkaitan dengan kordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan instansi yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, maka KPK diberikan tugas supervise yakni berwenang melakukan pengawasan, penelitian, dan penelahan terhadap instansi yang berwenang sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf b dan pasal 8 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. 25 Binziad Kadafi, Prospektif Hukum ala Mahkamah Konstitusi: Catatan terhadap putusan MK Nomor 069/PUU-II tentang Yudicila Review UU KPK, Jurnal Hukum JANTERA edisi Juni 2005-Korupsi, h.5. 26 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Djambatan, 2001), h.70, Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mangutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
12
bagian dari sistem peradilan pidana tetapi dengan adanya KPK menimbulkan dualisme kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Persoalan yang timbul dan menjadi pertanyaan yang sangat mendasar pada suatu penyusunan draft Rancangan Undang-Undang KPK adalah apakah masih relevan untuk membentuk KPK, karena lembaga penegakan hukum untuk tujuan yang sama sudah ada sejak lama, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Apalagi pengambilalihan wewenang oleh KPK27 terhadap kewengan yang dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan merupakan hal yang baru dalan sistem peradilan di Indonesia. Mekanisme kewenangan KPK yang dianut oleh Indonesia sangat berbeda apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Hongkong, Malaysia, Singapura. KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan di negara tetangga hal tersebut hanya dilakukan sebatas kewenangan untuk melakukan penyelidikan, karena tugas dan wewenang penuntutan tetap dimiliki oleh pihak Kejaksaan.28 Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
27
DI INDONESIA
Ihza Mahendra, Mencari Keadilan (Yogyakarta: Pusaka Belajar, 2002), h.22, Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak kepolisian atau kejaksaan dengan prinsip trigger mechanisme dan take over mechanism sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan 10 Undang-undang KPK. Pengambilalihan wewenang ini dapat juga dilakukan jika terdapat indikasi unwillingness dari institusi terkait dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Indikasi unwillingness tersebut berdasarkan pasa pasal 9 Undang-undang KPK, yaitu: (i) adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti, (ii) adanya unsur nepotisme yang melindungi pelaku nepotisme, (iii) proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut, (iv) adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif, (v) alasan-alasan lain yang meyebabkan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan. 28 Romli Atmasasmita.Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Percetakan Negara RI, 2002), h.18-19.
13
(KAJIAN TENTANG KEWENANGAN PENUNTUTAN YANG DI MILIKI KPK DAN KEJAKSAAN ).
2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih
beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain: 1.
Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelesaian Tindak Pidana Korupsi jika dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan?
2.
Bagaimana perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di beberapa negara di dunia?
3.
Tujuan Penulisan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi
ini, antara lain: 1.
Untuk mengetahui eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelesaian tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan.
2.
Untuk mengetahui perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di beberapa Negara di dunia.
14
4.
Manfaat Penulisan
1.
Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai penegakan tindak pidana korupsi dalam kajian tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai Penegakan tindak pidana korupsi, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas.
2.
Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama dalam hal penegakan hukum
tindak
pidana korupsi, jika dikaitkan dengan kewenangan Komisi Pemberatasan Korupsi
(KPK)
dikaitkan
dengan
kewenangan
kejaksaan,
dan
membandingankannya dengan beberapa negara di dunia serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, dalam hal pembentukan dan penerapan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi agar lebih baik di kemudian hari.
5.
Keaslian Penulisan Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan
skripsi berjudul Eksistensi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Kajian Tentang
15
Kewenangan Penuntutan yang dimiliki KPK dan Kejaksaan ), penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Perpustakaan29 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 12 Januari 2015 (terlampir) menyatakan tidak ada judul yang sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan
dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam
skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
6.
Tinjauan Kepustakaan
1.
Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi30 berasal dari Bahasa Latin “corupptio”,”corrupption”
(Inggris) dan “coruuptie”(Belanda), arti harfiahnya menunjuk pada perbuatan 29
Dalam penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan lembaga yang paling banyak berperan dalam proses penelitian tersebut. (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 11 maret 2015, pada pukul 20.00 WIB), Perpustakaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1 tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; 2 koleksi buku, maajalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan. 30 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictioanary, (Six Edition, St.Paul Minesota : West Group, 1990) Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
16
yang rusak, busuk, dan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. 31 Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai berikut : Corupption exist individual illicity puts personal interest above those of the people and ideals he or she is pledged to serve. It comes in many forms and can renge from trivial to monumental. Corupptio can involve the misuse of policy instruments, tariffs, and credit, irrigation system and housing policie, the enforecement of laws and rules regarding public safety, the observance of contracts, and the repayment of loans or of simple procedures. It can occur in the private sector or public one of the often occurs in both simultaneously. It can be rare or widespread; in some developing countries, corruption has became systemic. Corupption can involve promises, threats, or both; can be initiated by a public servant or an interested client; can entail acts of omission or commission; can involeve illicit or licit services; can be inside or outside the public organization. The boundaries of corruption are hard to define and depend on local lwas customs. The first task of policy analysis is to disagggregat the type of corrupt and illicit behaviours in the situation at hand and look at concrete examples.(Korupsi ada apabila seorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari hal yag kecil sampai monumental. Korupsi dapat melibatkan penyalahgunan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, penegakan hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum, pelaksanaan kontrak dan pelunasan pinjaman atau melibatkan prosedur yang sederhana. Hal itu dapat terjadi pada sektor swasta atau sektor public dan sering terjadi dalam kedua sektor tersebut secara simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya; pada sejumlah negara yang sedang berkembang, korupsi telah menajdi sistemik. Korupsi dapar melibatkan janji; ancaman atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegaawai negeri atau masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak melakukan atau melakukan; dapat melibatkan pekerjaan yang sah maupun yang tidak sah; dapat di dalam atau diluar organisasi publik. Batasan-batasan korupsi yang sulit didefenisikan dan tergantung pada hukum lokal dan adat kebiasaan. Tugas pertama dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan tipe-tipe kebiasaan korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contohcontoh yang konkrit)32.
jabatannya atau karakternya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. 31 Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976) h.11 32 Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h.11.
17
Dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, yaitu berawal dari keluarnya Peraturan No. PRT/PM 06/1957 tentang Pemberantasan
Korupsi
dan
PRT/PERPU/013/1958
tentang
Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda dari Kepada Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan 4 (empat) kali, yaitu : 1.
Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi yang menjadi Undang-undang berdasarkan Undag-undang Nomor 24 Tahun 1961.
2.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999.33 Dalam pengertian yuridis, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberatasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokkannya kedalam beberapa
33
Indrianto Seno Adji, Tindak Pidana Suap: Kearah Hukum Pidana yang Ekstensif, dalam Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional-Vol II (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003),h.5.
18
rumusan delik34. Jika dilihat dari kedua Undang-undang diatas, dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1.
Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2,3, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999).
2.
Kelompok delik penyupan, baik aktif (yang menyuap) ataupun pasif (yang menerima suap) (Pasal 5,11,12,12B Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001)
3.
Kelompok delik penggelapan (Pasal 8, 10 Undang-undang Nomo 20 Tahun 2001).
4.
Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12e dan f Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
5.
Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).35
2.
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan
negara, khususnya di bidang penuntutan.36 Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya 34
Soejono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Penaggulangan Korupsi Di Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,2001), h.23 Dengan pengelompokan diatas penting artinya bagi apparat penegak hukum, dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi kan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif), pembetantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku, tetapi juga berfingsi sebagai daya tangkal (prevency effect) 35 Chaerudin.dkk, op.cit.,h.4 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 19 ayat (1)
19
dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.37 Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan38 harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.39 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
37
Ibid. Pasal 18 Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta: LP3S, 1999), h.37, Penuntutan dalam artu luas merupakan penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus supaya diserahkan kepada sidang pengadilan (ferwijzing naar de terechtizitting) 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, op.cit., Pasal 2 ayat (2) 38
20
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.40 Kejaksaan dalam kurun waktu sebelum berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu : 1.
Kejaksaan di zaman sebelum penjajahan Diawali pada zaman kerajaan Hindu-Jawa khususnya pada zaman kerajaan
Majapahit yang menunjukkan ada beberapa jabatan di negara tersebut yang dinamakan Dhyaksa (Hakim Pengadilan), Adhyaksa (Hakim Tertinggi), dan DarmaDhyaksa mempunyai tiga arti 41: a. Pengawas tertinggi dari kerajaan suci. b. Pengawasan tertinggi dalam hal urusan kepercayaan c. Ketua pengadilan 2.
Kejaksaan di zaman penjajahan a. Kejaksaan di zaman VOC b. Zaman pemerintahan Daendels 40
Ibid. Pasal 30 ayat (2) Kusumadi Poedjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara, 1971), h.49 41
21
c. Zaman Rafless d. Zaman Hindia Belanda e. Zaman pemerintahan bala tentara pendudukan Jepang 3. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia merdeka Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang di perjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.2/1945 sejak berdirinya Kejaksaan RI secara Yuridis-Formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI ialah tanggal 17 Agustus 1945.Dengan demikian, maka perihal penempatan Kejaksaan dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang diputuskan dalam rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 cukup memiliki dasar. Istilah Kejaksaan secara resmi digunakan oleh UU pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Sejak tahun 1946 hingga tahun 1968 kantor Kejaksaan Agung tercatat lebih dari 6 kali berpindah tempat, terakhir pada tanggal 22 Juli 1968 dari Jalan Imam Bonjol 66 Jakarta ke gedungnya yang permanen di Jalan Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Pada gedung yang baru ini peletakan batu pertamanya pada tanggal 10 November 1961 dilakukan oleh Jaksa Agung ke VI adalah Mr. Goenawan yang diresmikan pada tanggal 22 Juli 1968 oleh Jaksa Agung ke IX adalah Soegih Arto. 4. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia Serikat Di zaman Republik Indonesia Serikat, dari tanggal 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Untuk memenuhi ketentuan pasal 159 KRIS mengenai pengaturan pengadilan di lingkungan ketentaraan dikeluarkan UU Darurat
22
No.6/1950 yang mulai berlaku tanggal 31 Maret 1950. Dilihat sepintas nampak bahwa UU No.5/1950 tidak banyak berbeda dengan PP No.37/1948 sebagaimana telah diubah dan ditambah yang pernah berlaku di negara RI.42 5. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia kesatuan Setelah dibubarkannya RIS dan berdirinya negara kesatuan tidak segera terjadi perubahan dalam peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku bagi penegakan hukum dan disiplin dalam lingkungan ketentaraan di zaman RIS. Dengan demikian maka kedudukan jaksa serta peranannya dalam badan-badan peradilan ketentaraan tidak berubah pula. Perubahan-perubahan baru terjadi pada tahun 1954 dan 1958 dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pengadilan ketentaraan dengan Undang-unangU No.29/1954 tentang pertahanan negara RI dan Undang-Undang Darurat No.1/1958. 6. Kejaksaan di zaman setelah dekrit Pada tanggal 22 Juli 1960, kabinet dalam rapatnya memutuskan bahwa kejaksaan menjadi departemen dan keputusan tersebut dituangkan dalam surat Keputusan Presiden RI tertanggal 1 Agustus 1960 No.204/1960 yang berlaku sejak 22 Juli 1960. Dengan demikian tanggal 22 Juli ini merupakan pancangan tonggak sejarah yang mempunyai nilai penting bagi Kejaksaan, sebab bukan hanya secara formal dan material saja Kejaksaan menjadi departemen tersendiri, tetapi lebih jauh dari pada itu mempunyai dasar yang bernilai spiritual. 7. Kejaksaan di zaman orde baru
42
KPK, POLRI, dan Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi(http://ardhie.info/wp-content/uploads/2009/10/KPK--POLRI--KEJAKSAAN, diakses pada tanggal 20 Desember 2014 pada pukul 23 WIB).
23
Situasi dan kondisi nasional pada umumnya dan bidang penegakkan hukum pada khususnya telah banyak mengalami perubahan setelah diundangkannya Undang-undang U Pokok Kejaksaan tanggal 30 Juni 196143, terutama setelah kelahiran orde baru pada tanggal 11 Maret 1966 dan khususnya setelah Sidang Umum IV MPRS, yang kemudian disusul dengan tersusunnya DPR pada tahun 1972, 1977 dan 1982 serta MPR pada tahun 1973, 1978 dan 1983. Melalui kerangka yang telah dipaparkan diatas merupakan perspektif dari lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia khususnya KPK dan Kejaksaan RI. Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi44 Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto
43
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Indonesai, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3SE, 1990), h.6. 44 Romli Atmasasmita, Pembentukan Komisi Idependen Anti Korupsi: Paradigma Baru dalam Pemberantasan Koruspi, makalah yang disampaikan dalam sosialisasi persiapan Pembentukan Komisi Pemeberantasan Korupsi, Kerja Sama Bank Pembanguan Asia Departemen Kehakiman dan HAM RI, Bandung,2000, h.2
24
untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.45 Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru46 Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
45
Indriayanto Seno Haji, Problematika Korupsi dan Antisipasi Melalui Sistem Hukum (Pidana): Media Hukum, Vol.2 No.8 tanggal 22 November 2003 (Jakarta: Persatuan Jaksa RI, 2003), h.60 46 Ibid. h.65
25
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK.47
3.
Sistem Peradilan Pidana dan Penegakan Hukum Romli Atmasasmita mengartikan sistem peradilan pidana48 sebagai suatu
istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penaggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.49 Sebagai sistem, peradilan pidana mengenal tiga pendekatan, yaitu pendekatan
normatif
50
, administratif, dan
sosial.51 Pendekatan normatif memandang unsur aparatur penegakan hukum
47
Daniel S,Lev., op.cit.,h.10 Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batasan-batasan toleransi ,(Dalam Pidato Pengukuhan pada upacara Penerimaan Jabatan Gurubesar pada Fakultas Hukum di Indonesia, 30 Oktober 1993), Bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu sistem masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 49 Romli Atmassamita, Sistem Peradilan Pidana: Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, (Bandung: Putra Abardin, 1996), h.14 50 Packer Herbert, The Limits of The Criminal Sanction –terjemahan (Inggris : Stanford University Press, 1986) Packer membedakan pendekatan tersebut dalam dua medol yaitu crime control model dan due process model, pecker mengemukan bahwa, suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuna baik dengan adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses peidana merupakan suatu kendali sosial yang memili kecepatan tinggi atau rendah dan penyelidikan lanjut dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengatasi perilaku anti-sosial, bertitik tolak dari kedua prasyaratan tersebut memerlukan suatu pemahaman mengenai “criminal process”. Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut adalah dengan mengabstraksikan kenyataan dan membangun sebuah model. Model yang hendak dibangun adalah: (1) yang memliki kegunaan sebagai indek dari suatu pilihan masa kini tetang bagaimana suatu sisem diimplementasikan (2) dan sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk membedaka secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapakan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari, dan (3) sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara ekplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu “criminal proses ”. bentuk model yang cocok untu mencapai ketiga hal tesebut adalah model-model normatif. Packer menegaslan bahwa aka nada lebih dari dua model saja. Kedua model tersebut merupakan antinomy yang normative dari lubuk trdalam hukum pidana. Kedua model tersebut, the due process model dan crime control model. 51 Ibid.h.17, 48
26
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat), sebagai institusi pelaksanaa peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan sistem peradila pidana, termasuk didalamnya adalah peraturan perundang-udangan itu sendiri. Pendekatan administratif memandang para aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi menajemen yang memiliki mekansime kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun bersifat vertikal sesuai dengan struktrur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, dalam artian proses dalam menjalankan fungsi masing-masing. Sedangkan pendekatan sosial memandang aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan sari suatu sistem sosial, sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari para aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya, diterjemahkan sebagai proses pengawasan terhadap jalannya proses penegakan hukum. Sebelum berlakunya KUHAP, sistem peradilan52 pidana Indonesia dilandaskan pada Het Herzine Inlaands Reglement (HIR) stbld. 1941 nomor 44. Sejak Tahun 1981, namun dengan berlakunya KUHAP telah membawa perubahan yang fundamental baik secara konsepsional maupun implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.53
52
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.9, Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP KUHAP merupakan “sistem terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan diatas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aaprat penegak hukum sesuai dengan tahapan proses kewengangan yang diberikan Undang-undang kepada masing-masing, berdasarkan kerangka landasn yang dimaksud aktivis pelaksanan criminal justice sytem, merupakan fungsi gabungan (collection of fuction) dari: legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penajara, serta badan yang berkaitan baik yang ada dilingkungan pemerintahan atau diluarnya. 53 Tolib Effendi, op.cit.,h.144
27
Melalui KUHAP, sistem peradilan yang dianut mengakibatkan adanya perubahan dalam cara berfikir, yang kemudian mengakibatkan perubahan dalam sikap dan cara bertindak para apparat penegak hukum secara menyeluruh. Perubahan cara berpikir ini memang sanga penting artinya, sebab kaitan dan konsekusensinya terhadap cara bersikap dan bertindak. Suatu Undang-undang yang secara konseptual baik, dan konstektual terkadang bukan hanya tidak efektif, tetapi sekaligus menjadi tidak memiliki nilai-nilai (values) yang dianggap baik dan adil, apabila tidak didukung oleh penghayatan yang baik atas nilai yang terkandung pada konsep Undang-undang yang dimaksud.54 Sebutan KUHAP untuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana disebut bukan tanpa alasan. Sebutan kitab tidak ditujukan pada undang-undang melainkan ditujukan pada sifat kodifikasinya. Di dalam KUHAP secara lengkap meliputi pengertian keseluruhan acara pidana dari tingkat penyidikan sampai pelaksanan putusan hakim, bahkan sampai peninjauan kembali (herzeining).55 Hal ini dapat diartikan, bahwa keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana di Indonesia secara garis diatur dalam KUHAP melainkan juga diatur dalam Undang-undang yang lain di luar KUHAP yang berkaitan dengan proses sistem peradilan di Indonesia. Undang-Undang di luar KUHAP yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia56 : 1.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ; 54
Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 145 55 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Petusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), h.145 56 Tolib Effendi, op.cit., h.146
28
2.
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
3.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
4.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;
5.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudusial
6.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
7.
Undang-undang Nomor 3 Tentang 2002 tentang Pertahanan Negara
8.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberanatsan Tindak Pidana Korupsi;
9.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer;
10.
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak pidana Korupsi;
11.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun Barda Nawawi Arief menjelaskan makna Sistem Peradilan Pidana,
pada dasarnya adalah identik dengan Sistem Penegakan Hukum, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya penegakan hukum (law enforcement). Sedangkan Hulsman mengungkapkan bahwa Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan masalah sosial (social problem), dengan alasan:57 1.
the criminal justice system inflicts suffering; (sistem peradilan pidana menimbulkan penderitaan) 57
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), h.9
29
2.
the criminal justice system does not work in term of its own declared aims; (sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja dari tujuan yang dinyatakannya sendiri)
3.
fundamental uncontrolability of criminal justice system; (kelemahan dalam mengontrol prinsip dasar dari sistem peradilan pidana)
4.
criminal justice approach is fundamentally flawed. (Pendekatan peradilan pidana secara fundamental cacat)
Komponen dari Sistem Peradilan Pidana menjadi 2 (dua) unsur besar, yaitu: 1.
Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy adalah Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR. Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu negara menetapkan sistem hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu negara akan mewarnai bagaimana Pembentuk Undang-Undang melakukan
perancangan
peraturan
perundang-undangan.58
Peraturan
perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum
58
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 2. Unsur Pembentuk Undang-Undang dimasukkan ke dalam komponen Sistem Peradilan Pidana, dalam ruang lingkup criminal policy, didasarkan kepada pendapat Nagel. Namun Nagel tidak memasukkan Kepolisian sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana
30
negara tersebut.59 Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundangundangan mengenai Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung bagaimana Pembentuk
Undang-Undang
mengimplementasikan
politik
hukum
Indonesia ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum negara lain dalam menjabarkan politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke negara-negara lain, baik yang memiliki kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem hukumnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian dari kebijakan legislatif
60
hukum pidana (penal policy) menjadi
salah satu syarat utama dalam membentuk pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari penegakkan hukum yang sangat penting untuk
59
Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 2014, (http://jdih.ristek.go.id/?q=system/files/dokumentasi/586130112.pdf., diunduh tanggal 12 Maret 2015), h. 1. 60 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 283, Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagaimana mengutip pendapat dari Montesquieu, bahwa pembentukan hukum dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undangundang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan menghakimi atau menyelesaikan sengketa/konflik. Pembatasan kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan diatas berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan. Dimana konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini adalah kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya.
31
diperhatikan.61 Dalam praktek pembentukan hukum dikenal beberapa karakter diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD yaitu:62 a. Proses
pembentukan
hukum
partisifatit/responsif
adalah
pembentukan hukum yang memberikan peranan besar dan partisispasi
penuh
kelompok
sosial
atau
individu
didalam
masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan hukum dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Pembentukan hukum seperti ini dilakukan pada produk hukum yang responsif/populistik. b. Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan hukum responsif, adalah produk hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan–tuntutan kelompok maupun individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan partisipasi
masyarakat
relatif
kecil.
Produk
hukum
konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara.63
61
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, (Jakarta:BEE Media Indonesia,2007),
h.163. 62
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), h.25. CFG. Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita, (Bandung: Alumni, 1974), h. 57, Bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu 63
32
2.
Unsur Sekunder (Sub-System)
Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai literatur mengenai Sistem Peradilan dengan istilah “sub-sistem”. Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah: 1.
Kepolisian;
2.
Kejaksaan;
3.
Pengadilan; dan
4.
Lembaga Pemasyarakatan.
Jika diperhatikan perkembangan perjalanan institusi-institusi aparatur penegak hukum, telah terjadi pengembangan guna memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang efektif dan efesien. Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu lembaga yang sejenis, yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan 1 (satu) institusi partikelir
64
, yaitu profesi
Advokat. Namun demikian, berdasarkan pendapat Romli Atmasasmita, terkait dengan pandangannya bahwa pendekatan terhadap Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem kemasyarakatan dari sudut pandang ilmu sosial, maka masyarakat dibebankan kewajiban untuk ikut bertanggungjawab atas keberhasilan dari suatu Sistem Peradilan Pidana.65 Maka bisa dikatakan bahwa Masyarakat harus diasumsikan sebagai suatu bagian dari sub-sistem dari Sistem Peradilan
sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia), karena sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945. 64 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/partikelir, diakses pada Tanggal 12 Maret 2015 pada pukul 12.00 WIB), yang dimaksud dengan „partikelir‟ adalah bukan untuk umum; bukan kepunyaan pemerintah; bukan (milik) dinas; swasta. 65 Romli Atmasasmita, op.cit., h.10
33
Pidana. Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup sub-sistem pada Sistem Peradilan Pidana adalah: 1.
Advokat/Penasehat Hukum
2.
Kepolisian;
3.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4.
Kejaksaan;
5.
Pengadilan;
6.
Lembaga Pemasyarakatan; dan
7.
Masyarakat.
8.
Unsur Tertier (supporting system)
Di dalam supporting system ini, memberikan gambaran bahwa kinerja dari subsistem tidak dapat berdiri sendiri. Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain pun memiliki peranan yang cukup strategis dalam memberikan masukan data-data penunjang bagi proses penegakan hukum di Indonesia. Secara garis besar, institusi penunjang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 1.
Lembaga Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, NonKementerian dan Pemerintah Daerah
2.
Lembaga extra-Structure (Ekstra Struktural)
Pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif secara administratif dan fungsional, justru memunculkan kerancuan dalam menjalankan amanah undangundang. Walaupun memang di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
34
tentang Kekuasaan Kehakiman pada Bab X mengatur tentang lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu:66 1.
Penyelidikan dan Penyidikan;
2.
Penuntutan;
3.
Pelaksanaan Putusan;
4.
Pemberian jasa hukum; dan
5.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Ada beberapa model yang melandasi Sistem Peradilan Pidana, Lilik Mulyadi
mengutip pendapat dari Michael King67, dimana Beliau mengajukan 7 jenis model Sistem Peradilan Pidana68.Dalam pokok pembahasan ini, Penulis mencoba untuk menampilkan kesemua model tersebut, yaitu antara lain: 1.
Crime Control Model
Crime Control Model didasarkan pada sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan Pidana.69 Menurut Crime Control Model, tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menekan kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana terhadap terdakwa dihukum. Untuk mencapai tujuannya 66
Lihat Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 67 Lilik Mulyadi, Menuju Sistem Peradilan Pidana Kontemporer Tanpa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Berita Acara Sidang (BAS), Jakarta Utara, 2012 (http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com content&task=view&id=169,diakses tanggal 11 Maret 2015 pada pukul 13.20 WIB). 68 Models of Criminal Justice,(http://compass.port.ac.uk/UoP/file/ca5197e4-09f7-4d83844b-323d9d240078/1/criminal_justice_IMSLRN.zip/page_05.htm,diakses pada tanggal 5 April 2014 pada pukul 13.50 WIB).Herbert L. Packer mengidentifikasi dua model (crime control modeal dan due process model) yang paling abadi yang menawarkan penjelasan tentang bagaimana lembaga dan kebijakan dapat dibentuk dan mereka dapat berguna dapat dilihat sebagai ujungujung kontinum karena mereka menyajikan kontras pemikiran dan karakteristik. 69 Keith A. Findley, Toward A New Paradigm of Criminal Justice: How the Innocence Movement Merges Crime Control and Due Process, (http: //www.law.wisc.edu/m/dfknm/ findley_new_paradigm-10-10-08.pdf, diakses pada tanggal 12 Maret 2015), h. 8.
35
tersebut, maka Crime Control Model menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan pada efisiensi70. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efektif, dalam crime control71 model akan diasumsi oleh hukum adalah bersalah, yang berarti memungkinkan pra-penghakiman bersalah (dan akhirnya preventif dalam bentuk penahanan atau pemenjaraan) untuk divonis pada tersangka tertentu. Bahkan, mengatakan bahwa jika pemerintah – yang diinvestasikan dengan kekuasaan publik – memulai penyelidikan menjadi individu tertentu dan sebagai akibatnya mereka memutuskan bahwa bukti yang cukup telah dikumpulkan untuk membawanya ke pengadilan, maka harus dianggap bahwa individu dalam hal ini bersalah, dan itu adalah tugas dari tersangka/terdakwa untuk menyangkal ini dan menyajikan bukti sebaliknya. Sehingga, Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead guilty).72 2.
Due Process Model
Di dalam due process model, tidak ada temuan fakta yang sah sampai kasus tersebut disidangkan secara terbuka dan dievaluasi oleh pengadilan yang adil, dan
70
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indoensia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.43, Efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara. 71 Ibid. h.44, Herbert L. Packer mengemukakan bahwa doktrin yang digunakan oleh crime control model adalah apa yang dikenal dengan nama presumption of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin ini, maka crime control model menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa dan hakim) harus semaksimal mungkin meskipun harus mengorbankan Hak Asasi Manusia. 72 Romli Atmasasmita , Op.cit., h. 9.
36
terdakwa telah memiliki kesempatan penuh untuk mendiskreditkan kasus terhadap dirinya.73 Sehingga, karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka untuk menentukan terbuktinya kejahatan dan kesalahan seorang yang harus melalui suatu persidangan.74 Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due Proses Model adalah:75 1.
Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi (human error) menyebabkan model ini menolak “informal fact finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “factual guild”
seseorang.
Model
ini
hanya
mengutamakan
“formal
adjudicative and adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak penuh untuk mengajukan pembelaannya. 2.
Model ini menekankan pada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan.
3.
Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan martabat manusia.
4.
Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan.
5.
73
Adanya gagasan persamaan di muka hukum.
Keith A. Findley, Op.cit, hlm. 9. Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), h. 249. 75 Romli Atmasasmita (1), Op.cit., h. 9-10 74
37
6.
Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
3.
Family Model
Family Model adalah suatu Sistem Peradilan Pidana yang dipelopori oleh John Griffith, dimana beliau menegaskan sebagai berikut:76 “a defendant is not seen as an opponent but as an erring member of the family, whom the parent might reprove but ought no to reject” (pelaku tindak pidana tidak dipandang sebagai musuh masyarakat tetapi dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna pengendalian control pribadinya tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan).
4.
Medical Model
Medical model77 adalah sebuah pendekatan patologi yang bertujuan untuk mencari perawatan medis untuk gejala yang di diagnosis dan sindrom dan memperlakukan tubuh manusia sebagai mekanisme yang sangat kompleks. Bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui
76
pendekatan
rehabilitasi.
Para
polisi
memiliki
kekuasan
untuk
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Univ. Diponegoro, 1995), h. 16. 77 Medical Model Related to Probation & Parole”, (http://www.ehow.com/ facts_6769661_medical-model-related-probation-parole.html, diakses pada 7 Maret 2015 pada pukul 03.00WIB), Meskipun medical model pada hukuman percobaan dan pembebasan bersyarat belum sepenuhnya ditinggalkan, namun pada populasi tertentu telah ditargetkan dengan sistem pengobatan yang tepat.
38
memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.78 5.
Bureaucratic Model
Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian.79
6.
Just Deserts Model
Sistem Peradilan Pidana dengan metode just desert model beranjak dari Teori Pemidanaan Just Desert yang dikemukakan oleh Andrew von Hirsch pada tahun 1976. Teori Pemidanaan Just Deserts menganjurkan bahwa hukuman harus proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Para pendukung filsafat pemidanaan just deserts menekankan pentingnya proses hukum, penentuan hukuman, dan penghapusan diskresi peradilan dalam praktek peradilan pidana.80 7.
Integrated Criminal Justice System Model
Nilai- nilai yang mendasari Intregrated Criminal Justice System Model atau Model Sistem Peradilan Pidana Terpadu adalah: 1.
Menuntut adanya keselarasan hubungan antar subsistem secara administrasi.
78
Lilik Mulyadi, op.cit.,tidak ada halaman Ibid. 80 Just Deserts Theory”, (http:// www.sagepub.com/ hanserintro/ study/ materials/ reference/ ref3.1.pdf., diakses pada tanggal 10 April 2014 pada pukul 02.00WIB) 79
39
2.
Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut.
3.
Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan kepada hukum, dengan menjamin adanya adanya due procees dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
4.
Menjaga hukum dan ketertiban.81
Tujuan dari Sistem Peradilan pidana sebagai salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan antara lain:82 1.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
3.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
4.
Metode Penelitian Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe cara secara sistematis yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut: 1.
Pendekatan Penelitian
81
TIM FH-UI, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, 2001,h. 4-6 82 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1994), h. 84-85.
40
Menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.83 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder84. Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstitutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan. Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan in concreto
guna menyelesaikan suatu
permasalahan85 yaitu hukum yang sesuai dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. 2.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak
83
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 2007), h.13-14. 84 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, (Ghalia Indonesiam Jakarta), h.15. 85 Ibid, h. 22.
41
lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial. Data sekunder yang dipergunakan diperoleh sebagai berikut : 1) Bahan-bahan hukum primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);
c.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
d.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
e.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pidana Korupsi;
f.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
g.
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) h.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
i.
Undang-Undang Nomor No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
42
2)
Bahan-bahan hukum sekunder
Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik. 3)
Bahan-bahan hukum tersier
Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundangundangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi. 4.
Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya86. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan : a.
Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini
86
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Depok: Universitas Indonesia Press, 1994), h. 69.
43
b.
Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c.
Mengolah
dan
menginterpretasikan
data
guna
mendapatkan
kesimpulan dari permasalahan. d.
Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
5.
Sistematika Penulisan Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar
terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II: EKSISTENSI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) JIKA DIKAITKAN DENGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN
44
Pada
bagian
Pemberantasan
pertama
akan
Korupsi
mengemukakan
(KPK)
dan
Kedudukan
Kejaksaan
Komisi
dalam
sistem
Kewenangan
Komisi
Ketatanegaraan di Indonesia Pada
bagian
kedua
akan
mengemukakan
Pemberantasan Korupsi (KPK) jika dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan dalam tindak pidana korupsi Pada bagian ketiga akan mengemukakan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan BAB III: PERBANDINGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN KEJAKSAAN DI BEBARAPA NEGARA DI DUNIA Pada bagian pertama akan mengemukakan Perbandingan Hukum Pada bagian keuda akan menerangkan sistem penuntutan Bagian ketiga akan mengemukakan tentang Kejaksaan di berbagai Negara di dunia dalam Konteks Penyidikan dan Penuntutan Bagian keempat mengemukakan tentang Model Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dibeberpa negara BAB V : KESIMPULAN DAN PENUTUP Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.