1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 42 yang berbunyi: “ Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan di catat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku Pasal 2
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut hukum perdata seorang anak sah (wetig kind) ialah anak yang dianggap
lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan
sehubungan dengan itu, Undang-undang
ibunya,
telah menetapkan bahwa
tenggang waktu kandungan seseorang paling lama adalah 300 hari dan paling pendek adalah 180 hari. Maka anak yang dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah hari perkawinan, suami berhak menyangkal sahnya anak itu. Kecuali, jika ia sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum
pernikahan
dilangsungkan atau jika suami hadir pada waktu
dibuatnya surat kelahiran dan surat kelahiran itu turut ditandatanganinya.
2
Dalam hal tersebut sang suami dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.5 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber rujukan hukum umat Islam di Indonesia sekaligus referensi keputusan hukum di lembaga Pengadilan Agama menjelaskan: Pada pasal 99 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.Kemudian pada pasal 100 KHI mengatur mengenai ”Anak yang lahir
di
luar hubungan perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Maka, anak tersebut hanya ditetapkan sebagai anak dari seorang ibu. Secara tersurat di jelaskan pula pada Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”. Dengan demikian anak luar perkawinan
tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah
kandungnya maka akan gugur dengan sendirinya segala kewajiban sang ayah yang merupakan hak dari sang anak. Oleh karena itu tanggung jawab atas keperluan anak, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya saja, demikian pula halnya dengan hak waris mewarisi, sang anak juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan wali nasab pada saat pernikahan karena dalam pandangan Islam anak di luar pernikahan atau anak zina dianggap sebagai anak yang tidak sah.
5
Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet ke 31, Jakarta: Inter Massa, hlm 49
3
Menurut J Satrio Salah satu alternatif untuk mendapatkan hubungan nasab antara anak di luar pernikahan dengan ayah kandungnya,yaitu dengan cara pengakuan anak. Kitab Undang-undang Hukum
perdata
mengatur adanya pengakuan anak pada pasal 280, pengakuan itu cukup dilakukan dengan pernyataan sepihak dari laki-laki
yang mengakui.
Sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ada syarat lain untuk menyepakati pengakuan anak itu dari siapa pun, bahkan jika ibu dari anak masih hidup ia harus menyetujuinya, “menyetujui” dalam arti “tidak keberatan”.Jadi, pengakuan tidak didasarkan atas suatu perjanjian.6 Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undangundang Nomor 03 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi “ Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat , infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.” Dalam penjelasan pasal 49 huruf a penetapan asal-usul anak merupakan salah satu bagian dari kewenangan absolut Pengadilan Agama di bidang Perkawinan. Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan
yang berhubungan dengan jenis
perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang6
J Satrio, 2005, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 113-114
4
orang yang beragama islam.7 Pengakuan Anak di Pengadilan Agama di ajukan melalui Perkara Asal Usul Anak. Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab (kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat yang lahir sebagai akibat zina dan/atau li‟an, hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya menurut pemahaman kaum sunni. Lain halnya pemahaman kaum syi’ah, anak tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya.8 Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dan ayah. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum islam memberikan ketentuan lain. Dalam fikih, ada cara untuk menghubungkan garis keturunan seseorang bila terdapat anak yang tidak memiliki orang tua yang pasti. Seseorang yang menemukan dan mengakuinya sebagai anak dapat meminta kepada hakim untuk menghubungkan nasab anak tersebut kepadanya. Tentu saja hal itu bisa dilakukan jika tidak ada keberatan dan sangkalan dari pihak lain.9 Perkara
7
Abdullah,Tri Wahyudi , 2004 , Peradilan Agama Di Indonesia, cetakan I, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, hlm 91 8 Zaenuddin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.62 9 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak di Luar Perkawinan” , http://www.pakotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-pengakuananak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-majalah-hukum-variaperadilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses tanggal 2 oktober 2015
5
Asal Usul Anak di Pengadilan Agama berupa Pengakuan Anak dan Pengingkaran Anak. KHI tidak mengatur
secara
tegas
adanya
pengakuan ataupun
pengesahan anak. Di dalam KHI mengatur tentang asal usul anak, yang berbunyi: Pasal 103 (1) “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.” (2) “Bila akta kelahiran tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan secara teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.” (3) “Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut maka instansi pencatatan kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.” Terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, dapat dilakukan Pengakuan Anak seperti yang telah dijelaskan diatas tadi, selain itu juga dapat melalui Pengesahan Anak. Kalau Pengakuan anak hanya sebatas pengakuan dari ayah kandungnya yang disetujui oleh ibu kandungnya, sedangkan dalam
Pengesahan Anak
ibu
dan
bapak
mencatatkan
pernikahannya dan pada saat pencatatan perkawinan si anak diakui sebagai anak kandung mereka. Selain daripada itu dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga diatur mengenai Pengakuan anak, hal ini diatur dalam pasal 49 yang bunyinya sebagai berikut : (1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling larnbat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan. (2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.
6
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak. Adapun di dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “pengakuan anak adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Mengenai Pengesahan anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 diatur dalam pasal 50 yang bunyinya sebagai berikut : (1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. (2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak mernbenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah. (3) Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran. Selain itu dalam penjelasan pasal 50 ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengesahan anak" adalah pengesahan status seorang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan sah pada saat pencatatan perkawinan kedua orang tua anak tersebut. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang Administrasi kependudukan yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 terjadi Perubahan yang cukup signifikan dalam hal pengakuan anak maupun pengesahan anak, dalam undang-undang terbaru tersebut ditentukan secara tegas untuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah secara sah menurut agama tetapi belum sah menurut hukum negara. Perubahan ini terdapat dalam Pasal 49
7
ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 bunyinya sebagai berikut “Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara” selain itu dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) yang dimaksud Pengakuan anak merupakan pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama dan disetujui oleh ibu kandung anak tersebut. Mengenai hal Pengesahan Anak dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2013 diatur dalam pasal 50 yang bunyinya sebagai berikut : (1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. (2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak. Penjelasan Pasal 50 ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengesahan anak" merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir
dari
perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara. Terdapat perubahan mengenai pengakuan anak dan pengesahan anak, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 pengakuan dan pengesahan anak diperbolehkan sepanjang agamanya tidak melarang, sedangkan dalam undang-undang
Nomor 24 Tahun 2013 ditentukan secara tegas hanya
8
Perkawinan yang sah sesuai hukum agama teteapi belum sah sesuai hukum negara. Sedangkan dalam Putusan MKRI No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, dalam putusan tersebut memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin. Anak luar kawin tidak lagi hanya memiliki dengan ibunya tetapi juga dengan ayah biologisnya. Melalui pembuktian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam melakukan pengakuan Anak mensyaratkan adanya Penetapan dari Pengadilan Agama tentang Pengakuan Anak tersebut. Pengakuan Anak dalam Pengadilan Agama masuk dalam Perkara Asal Usul Anak. Perkara Asal Usul Anak terdiri dari dua yaitu Pengakuan Anak untuk menghubungkan nasab (kekerabatan) ayahnya dan Pengingkaran Anak (Li‟an).
Asal usul anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.10. Pejabat yang berwenang disini adalah pejabat pencatat kelahiran dari kantor catatan sipil. Apabila akta kelahiran tidak ada maka pengadilan dapat menetapkan tentang asal usul anak setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.11 Berdasarkan penetapan Pengadilan mengenai asal usul anak maka Kantor catatan sipil pada daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
10
Pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.Pasal 103 ayat (1) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam 11 Pasal 55 ayat 2Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 103 ayat (2) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
9
akte kelahiran bagi anak tersebut.12 Di sinilah kaitannya antara Penetapan asal usul anak dan pengakuan anak yang ada di dalam undang-undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, setelah Pengadilan Agama menetapkan Asal usul Anak maka Kantor catatan sipil mengeluarkan akta Pengakuan Anak dan Catatan Pinggir dalam Kutipan Akta Kelahiran. Penulis menggunakan terminologi kata Pengakuan Anak karena ingin lebih fokus terhadap permohonan Pengakuan anak pada Pengadilan Agama. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian tentang Penetapan Pengakuan Anak pada Pengadilan Agama Bantul setelah berlakunya Undang-undang Nomor 26 tahun 2013 tentang Perubahan Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
tersebut,
maka
dapatdirumuskanpermasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Pengakuan Anak pada Pengadilan Agama Bantul?
2.
Bagaimana Akibat Hukum dari Penetapan Pengakuan Anak pada Pengadilan Agama Bantul?
C. Tujuan Penelitian
12
Pasal 55 ayat 3Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 103 ayat (3) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
10
Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan, berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif Untuk
mengetahui
Pertimbangan
Hakim
dalam
Penetapan
Pengakuan Anak dan Akibat Hukum dari Penetapan Pengakuan Anak pada Pengadilan Agama Bantul. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penelitian dengan judul Analisis Yuridis terhadap Pengakuan Anak pada Pengadilan Agama Bantul belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah : 1. Tinjauan Hukum Tentang Penetapan Asal Usul Anak Menurut Hukum Islam dan Penerapannya Di Pengadilan Agama Sleman (Studi Kasus Putusan Nomor : 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dan Putusan Nomor 629?Pdt.G/2010/Pa.Smn), oleh Fuad Zain NIM tahun
2012
Mahasiswa
Fakultas
Hukum
07/252179/HK/17524 UGM
Yogyakarta.
11
Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana pandangan fikih terkait asal usul anak, bagaimana pandangan hukum islam positif di Indonesia terkait asal usul anak, apa alasan-alasan yang dipergunakan oleh hakim Pengadilan
Agama
Sleman
sebagai
dasar
Pertimbangan
untuk
mengabulkan atau menolak permohonan penetapan asal usul anak. 2. Status Anak di Luar Nikah (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Nomor 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak di Luar Nikah), oleh Alfian Qodri Azizi NIM 062111001 tahun 2011 Mahasiswa Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Permasalahan yang diteliti adalah Bagaimanakah Putusan Pengakuan Anak Nomor 408/Pdt.G/2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman, Bagaimanakah Analisis menurut Hukum Islam mengenai Perkara Permohonan Pengakuan
Anak Nomor 408/Pdt.G/2006/PA.Smn di
Pengadilan Agama Sleman. Terhadap rumusan-rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian yang sebelumnya tersebut, penulis akan memaparkan beberapa hal yang menjadi perbedaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini : a. Mengenai tempat atau wilayah menjadi lokasi penelitian. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Fuad Zain menentukan lokasi penelitian pada Pengadilan Agama Sleman dan terkhusus lagi studi kasus putusan Nomor : 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dan Putusan Nomor 629/Pdt.G/2010/Pa.Smn, Penelitian yang dilakukan oleh Alfian Qodri Azizi lebih mengkhuskan lagi kepada studi kasus putusan Nomor
12
408/Pdt.G/2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak di Luar Nikah, sedangkan penelitian yang penulis lakukan lokasi nya pada Pengadilan Agama Bantul. b. Selain hal diatas, yang menjadi letak pokok pembeda dalam penelitian ini adalah dengan ditekankannya Analisis Yuridis terhadapPengakuan Anak pada Pengadilan Agama Bantul setelah adanya Undang-undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Penelitian ini bersifat asli. Apabila ternyata ada Penelitian sejenis tanpa ada sepengetahuan dari Penulis maka Penelitian ini untuk melengkapi topik tersebut.
E. Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat baik secara akademis maupun secara praktis, adapun manfaatnya, yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis berharap agar hasil dari penelitian dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum khususnya dalam ilmu hukum Islam. 2. Secara Praktis a. Sebagai bahan kajian dan masukan bagi pembentuk Undang Undang (legislator) yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
13
dalam menyusun Undang Undang, khususnya yang berkaitan mengenai Pengakuan Anak baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini bermanfaat supaya masyarakat lebih mengetahui praktik Pengakuan anak yang ada Indonesia khususnya di Pengadilan Agama.