BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Undang-Undang Perkawinan), kedudukan anak hanya diatur di tiga pasal yaitu dalam Bab IX tentang Kedudukan Anak pada Pasal 42 – 44 Undang-Undang Perkawinan. Namun pengaturan kedudukan anak yang sudah ada tersebut tidak memadai, akibatnya berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Perkawinan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau BW bila menyangkut tentang kedudukan anak, pengakuan dan pengesahan anak. Perkembangan selanjutnya, perubahan aturan tentang kedudukan anak yang cukup signifikan terjadi saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Putusan MK).1 Putusan MK berihwal dari permohonan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim (dikenal luas sebagai Machica Mochtar) dan anaknya bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdinono untuk meninjau ulang sejumah ketentuan dalam hukum keluarga, atau lebih sempit lagi hukum perkawinan. Machica Mochtar adalah istri yang dinikahi secara “di bawah tangan” oleh Moerdiono. Perkawinan dilangsungkan pada tanggal 20 Desember 1993 di Jakarta, kemudian membuahkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Mordiono yang lahir di Jakarta tangal 5 Februari 1996. 1
Rosalinda Elsina Latumahina, “Perwujudan Keadilan bagi Anak Luar Kawin melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Jurnal Yuridika, Vol. 29, No. 3, September –Deember 2014, hlm. 363.
1
2
Diakui bahwa perkawinan tersebut sudah sesuai syarat-syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam (sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam), namun perkawinan tersebut tidak dicatat sebagaimana diinginkan dalam Pasal 2 ayat 2.2 Cikal bakal persoalannya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tentang, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,”3 dan ayat (2) yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”.4 Konsekuensi dari Pasal 2 ini tampak dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.5 Pasal 2 ayat (1) dan (2) memiliki hubungan yang unik bahkan menjadikan 2 (dua) pemahaman yang berbeda. Pandangan pertama menyatakan bahwa tafsir makna keabsahan perkawinan bersumber pada ayat (1 ), sedangkan ayat (2) hanya syarat administratif yang tidak berdampak pada keabsahan tersebut. Pandangan kedua menyatakan bahwa keabsahan pada ayat (1) tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan ayat (2) karena keduanya secara kumulatif menjadi syarat sah perkawinan. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusannya Nomor 46/PUUVIII/2010 menempatkan diri dalam perspektif yang pertama, yaitu bahwa perkawinan adalah sah apabila sudah memenuhi hukum agama dan kepercayaan pasangan yang melangsungkan perkawinan itu. Sikap MK seakan mengagetkan
2
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 4 Pasal 2 ayat (2). 5 Pasal 43 ayat (1). 3
3
banyak pihak yang selama ini berkeyakinan bahwa apa yang sudah diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan, telah diaggap benar dan mapan.6 Namun tinjauan hanya melihat aspek pencatatan perkawinan dalam Putusan MK masih sempit, karena Putusan MK harus dipahami lebih dari itu, yaitu keperdataan anak di luar perkawinan. Sasaran norma yang dijadikan fokus perhatian adalah pada status anak di luar perkawinan yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Hal ini terlihat dari bunyi amar Putusan MK tersebut dapat dikutip sebagai berikut: 1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. 2. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”7
6
Imelda Martinelli, “Implikasi Sistemis Akibat Pergeseran Tafsir Makna Status Anak Luar Kawin : Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (The Systemic Implications of The Constitutional Status of Children Born Out of Wedlock: An Analysis of The Constitutional Court’s Decision Number 46/PUU-VIII/2010), dalam Jurnal Yudisial Vol. 6, No. 3, Desember 2013, hlm. 269. 7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
4
Terlepas bahwa Putusan MK hanya mengabulkan sebagian saja dari permohonan Machica Mochtar dan anaknya dalam putusan tersebut, ternyata Putusan MK ini tetap menuai apresiasi. Hakim konstitusi dianggap melakukan trobosan sesuai dengan klaim MK selama ini bahwa mereka adalah penganut hukum progresif. Progresivitas hakim MK dalam arti pemikiran untuk memberi ruang yang luas bagi para penerap hukum dalam menerobos kebekuan fomalisme hukum. Putusan MK senafas dengan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of Child) yang mengatur bahwa “anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan punya hak sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orangtuanya”.8 Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa “setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”,9 termasuk hak anak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya. Putusan MK menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang pro/mendukung menilai bahwa putusan itu merupakan terobosan hukum progresif dalam melindungi hak-hak konstitusional anak, sedangkan pihak yang kontra/menolak mengkhawatirkan bahwa putusan itu merupakan afirmasi dan legislasi bagi perkawinan sirri, kumpul kebo (semen laven), dan perzinaan. Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberi pesan moral kepada kaum lelaki untuk tidak sembarangan melakukan hubungan seksual di luar perkawinan karena ada 8 9
Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Rights of Child). Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
5
implikasi hukum yang harus dipertanggungjawabkan. MK meyakini bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Pada realitasnya, anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status siapa ayahnya seringkali diperlakukan tidak adil dan distigmatisasi negatif sebagai sebagai “anak haram” oleh masyarakat. Karenanya hukum haruslah memberi perlindungan dan kepastian hukum secara adil atas status anak itu meskipun keabsahan perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan.10 Keberadaan Pasal 43 hasil judicial review menurut Chatib Rasyid, telah menabrak habis semua rambu-rambu hukum tentang penentuan sahnya anak, sehingga anak lahir dari hasil zina melenggang tanpa hambatan (dianggap) menjadi anak yang sah.11 Berbeda dengan Chatib Rasyid, A. Mukti Arto12 menaggapi Putusan MK berpendapat, bahwa Pembuahan kehamilan dan kelahiran anak merupakan peristiwa alamiah yang tidak terikat dengan tatanan hukum, seperti syarat, rukun dan tatacara tertentu karena semuanya terjadi berdasarkan sunnatullah sehingga terbebas dari nilai hukum, seperti: wajib, sunnah, halal, haram, sah batal atau tidak sah. Sehingga anak yang dilahirkan tidak terikat dengan penilaian hukum tentang sah dan tidak sah ataupun dosa dan pahala.
10 Artikel ini disampaikan dalam Conference Procedings: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII) di UIN Sunan Ampel Surabaya, oleh Siti Musawwamah, “Pro Kontra Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengesahan Hubungan Keperdataan Anak Luar Kawin dengan Ayah Biologis”, AICIS XII, 2013, hlm. 686-707. 11 Ibid. 12 Disampaikan sebagai bahan diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama pejabat kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon, dalam A. Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2010 Tentang Pengubahan Pasal 43 UUP Tentang Hubungan Perdata Anak dengan Ayah Biologisnya”, 2012, (http://img.pa-bogor.go.id/upload/diskusihukum.pdf), diakses tanggal 17 Desember 2015, Pukul 11.30 WIB.
6
Akibatnya, Putusan MK secara mutatis mutandis telah menimbulkan banyak perubahan hukum, antara lain: 1.
Mengubah hubungan darah anak dengan ayah biologisnya yang semula hanya bersifat alamiah (sunnatullah) semata menjadi hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum berupa hubungan perdata.
2.
Adanya pengakuan secara hukum bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya sebagaimana hubungan perdata anak dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pengakuan secara hukum ini sebelumnya tidak ada.
3.
Adanya tanggung jawab menurut hukum atas ayah terhadap anak yang dilahirkan akibat perbuatannya, meskipun anak itu lahir di luar perkawinan. sebelumnya, ayah biologis tidak dapat digugat untuk bertanggung jawab atas anak biologisnya.13 Konsep pemahaman yang berbeda, seperti halnya pendapat Chatib Rasyid
dan A. Mukti Arto menimbulkan tanda tanya besar mengenai pemenuhan hak anak khususnya “anak di luar perkawinan”. Idealnya suatu hukum sebagaimana pendapat Gustav Radbruch bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.14 Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
13
Ibid. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 288. 14
7
1945 (UUD 1945).15 Setelah pengujian undang-undang diputus final, maka putusan langsung berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.16 Sehingga model putusan MK yang menyatakan bahwa suatu undang-undang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhnya atau sebagian dan pernyataan bahwa yang telah dinyatakan “bertentangan” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Di samping itu, putusan MK bersifat deklaratif yang artinya tidak membutuhkan satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan.17 Putusan MK tersebut berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum18 tanggal 27 Februari 2012 (sebagaimana dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi). Dengan adanya Putusan MK tersebut maka ketentuan Pasal 43 (1) Undang-Undang Perkawinan tidak berkekuatan hukum lagi sehingga tidak mengikat, dan digantikan dengan Putusan MK tersebut. Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang isinya sama dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juga tidak berlaku lagi. Pengubahan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ini merupakan pelurusan kembali mengenai
15
Lihat Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 57. 17 Munafrizal Manan, Penemuan Hukum Oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 38. 18 Pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 16
8
asal-usul anak, yakni agar diketahui dan ditetapkan secara hukum siapakah sesungguhnya ayah dari anak yang bersangkutan.19 Putusan MK berlaku sebagai undang-undang sehingga bersifat general, tidak individual, dan tidak kasuistis. Putusan ini digunakan oleh para Hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul anak dengan segala akibat hukumnya. Dengan adanya putusan MK ini, maka: “setiap anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata baik dengan ibu dan keluarga ibunya maupun dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, baik ia lahir dari perkawinan yang sah, perkawinanan yang batal, perkawinan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di luar perkawinan”. Lantaran putusan MK memberi perlindungan dan status hukum kepada anak luar kawin, termasuk hasil zina, maka muncul rumor bahwa MK melegalisasi perbuatan zina dan kumpul kebo karena toh kelak anak hasil hubungan gelap itu diakui secara hukum. Gara-gara rumor ini, Mahkamah Konstitusi sampai menggelar konferensi pers khusus pada 7 Maret lalu. Dalam konferensi pers itu, hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menegaskan putusan MK semata berupaya melindungi anak luar kawin yang tidak berdosa, bukan membenarkan tindakan perzinahan atau samenleven. “Ada penafsiran di masyarakat seolah-olah MK menghalalkan perzinahan. Hal itu tidak ada sama sekali dalam putusan.
19
Bahan diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon, oleh A. Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2010 Tentang Pengubahan Pasal 43 UUP Tentang Hubungan Perdata Anak dengan Ayah Biologisnya”, 2012, (http://img.pa-bogor.go.id/diskusihukum.pdf), diakses tanggal 5 Januari 2016, Pukul 10.40 WIB.
9
Harus dipahami antara memberikan perlindungan terhadap anak, dan persoalan perzinahan merupakan dua rezim hukum yang berbeda,” ujar Fadlil.20 Dikalangan Hakim PA beragam tanggapan tentang Putusan MK. Menurut Abdul Manan, Hakim Agung Mahkamah Agung RI memberikan pendapatnya: “Putusan MK dinilai mempunyai dampak yang baik untuk kepentingan anak yang diahirkan sebatas yang menyangkut hak-hak anak antara lain nafkah, perlindungan hukum, kasih sayang dan sebagainya. Akan tetapi jika menyangkut hubungan nasab hal ini menyangkut hukum materil dan otoritas ajaran agama yang sudah jelas diatur oleh peraturan perundang-undangan, Alquran dan Hadis serta pendapat para ulama. Sehingga untuk hak anak yang bersifat keperdataan bisa diakomodir tetapi jika menyangkut nasab sehingga “Bin”-nya dinasabkan kepada bapak biologisnya termasuk hak wali nikah jika anak tersebut berjenis kelamin perempuan adalah hal yang harus disampingkan.”21 Pasca kemunculan Putusan MK tersebut ternyata tidak serta merta digunakan sebagai aturan atau payung hukum yang digunakan hakim Pengadilan PA sebagai akses keadilan bagi anak di luar perkawinan.22 Tidak semua hakim PA menjadikan Putusan MK sebagai pedoman hakim dalam menangani perkara, khususnya mengenai asal usul anak. Hal ini karena pemaknaan Putusan MK tersebut bertendensi untuk melegalkan zina.23 Namun, hakim sebagai salah satu pilar penting penegakan hukum dituntut memiliki kepekaan dan keberpihakan terhadap pemenuhan unsur akses terhadap keadilan. Keberpihakan tersebut dapat 20
Hukum Online, “Pro Kontra Status Anak Luar Kawin Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Perkawinan diapresiasi dan dikecam: Bisa berimplikasi pada nasab, waris, dan perwalian”, 2012, (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/prokontra-status-anak-luar-kawin), diakses tanggal 10 Januari 2016, Pukul 09.30 WIB. 21 Asrori, “Implementasi UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Realita, Tantangan dan Harapan Masa Depan)”, 2013, (http://www.padumai.go.id/document/IMPLEMENTASI%20UU.pdf), diakses tanggal 9 Januari 2016, Pukul 09.15 WIB. 22 Triana Sofiani menyampaikan materi seputar “Judicial Review Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” dalam Perkualiahan Isu-isu Kontemporer Pascasarjana STAIN Pekalongan Prodi Hukum Keluarga Islam, dalam Diskusi Kelas, tanggal 11 Oktober 2015. 23 Faesol Ghozi, Wawancara Pribadi, tanggal 11 Oktober 2016, Pukul 11.00 WIB.
10
berwujud
komitmen,
pemahaman
yang
komprehensif
serta
keberanian
menegakannya dalam setiap putusan.24 Menurut kacamata ilmuwan hukum, pertimbangan hukum atas putusan tersebut sangat memberikan angin segar bagi kajian hukum di tanah air. Sebagai suatu putusan yang fenomenal dan kontroversial yang ke depan di arahkan pada yurisprudensial dalam putusan hakim. Tantangan bagi hakim-hakim yang ada di Indonesia, apakah putusan ini bisa diikuti pada kasus yang sama atau mereka mempunyai pandangan atau penafsiran baru yang berbeda dengan putusan MK tersebut.25 Putusan MK menginspirasi hakim PA untuk masalah asal-usul anak.26 adapun data penetapan asal-usul anak di PA sewilayah eks Karesidenan Pekalongan pasca Putusan MK (tahun 2013-2015), adalah sebagai berikut: Data Penetapan Asal-Usul Anak di PA Sewilayah Eks Karesidenan Pekalongan Tahun 2013 – 201527 No
Nama Pengadilan Agama (PA)
Jumlah Penetapan Asal Usul Anak Th. 2013
Th. 2014
Th. 2015
1.
PA. Brebes
0
0
0
2.
PA. Slawi
0
0
0
3.
PA. Tegal
0
0
0
24
Ahmad Zaenal Fanani, dkk, “Putusan sebagai Gugus Keadilan”, dalam Majalah Peradilan Agama Edisi 6, Mei 2015, hlm. 15. 25 Saifullah, “Kajian Krits Teori Hukum Progresif Terhadap Status Anak di Luar Nikah Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, dalam Jurnal 26 Khaerudin, Hakim PA Kajen, Wawancara Pribadi, Tanggal 7 Maret 2016, di PA Kajen, Pukul 09.00 WIB. 27 Diolah dari berbagai macam sumber web Pengadilan Agama se-eks Karesidenan Pekalongan dari tahun 2013 - 2015, tanggal 10 Januari 2016, Pukul 10.00 WIB.
11
4.
PA. Pemalang
0
0
0
5.
PA. Pekalongan
2
3
3
6.
PA. Kajen
0
0
2
7.
PA. Batang
0
0
0
Di tengah pro-kontra mengenai Putusan MK ataupun bermacamnya pandangan hakim PA, Putusan MK tetap harus dilaksanakan sebagai pedoman hukum hakim-hakim PA. Tentunya hal demikian juga dilakukan oleh Pengadilan Agama eks Karesidenan Pekalongan. Menurut hakim-hakim PA sewilayah eks Karesidenan Pekalongan, Putusan MK mengikat hakim PA dalam memutus perkara, di samping sudah menjalankan aturan undang-undang yang sudah ada.28 Mengikatnya
lebih
khusus
dalam
hal
“pembuktian
dengan
ilmu
pengetahuan/teknologi” atau “tes DNA” jika diperlukan dalam masalah menentukan asal-usul anak.29 Lebih lanjut menurut hakim PA Pekalongan menyatakan bahwa, sebuah perkara memiliki masalah yang berbeda-beda sehingga hakim menyelesaikannya kasus perkasus, hal ini berarti “kasuistis”, dan juga hakim PA sifatnya pasif. Pasifnya hakim PA karena pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berkepentingan.30 Berdasarkan pandangan hakimhakim PA inilah, Putusan MK perlu mendapat perhatian dari segi pandangan hakim. Sebagaimana Soerjono Soekanto memberikan patokan dasar agar hukum
28
Khaerudin, Hakim PA Kajen, Wawancara Pribadi, Tanggal 7 Maret 2016 di PA Kajen, Pukul 09.00 WIB. 29 Mubisi, Hakim PA Batang, Wawancara Pribadi, Tanggal 4 Maret 2016 di PA Batang, Pukul 09.00 WIB. 30 Wahid Abidin, Wakil Ketua dan Hakim PA Pekalongan, Wawancara Pribadi, Tanggal 3 Maret 2016 di PA Pekalongan, Pukul 09.00 WIB.
12
dapat berlaku dan berfungsi apabila memenuhi kaidah hukum secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.31 Hakim PA setidaknya menjadi perhatian untuk memerankan fungsi sosiologis Putusan MK. Oleh karena itu, penelitian dengan judul “Pandangan Hakim Pengadilan Agama Sewilayah Eks Karesidenan Pekalongan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Implikasinya Terhadap Penetapan AsalUsul Anak” sangat penting dilakukan untuk mendalami norma Putusan MK sebagai aturan baru ataupun “tambahan” yang patut dan menjadi keharusan untuk digunakan oleh hakim PA dalam memutus perkara, khususnya mengenai penetapan asal-usul anak.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mencoba merumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana
pandangan
hakim
Pengadilan
Agama
sewilayah
eks
Karesidenan Pekalongan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? 2.
Bagaimana implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak di Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan?
31
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 13.
13
C.
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan yang ingin didapat dalam penelitian ini adalah:
1.
Untuk memahami dan menganalisis pandangan hakim Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010.
2.
Untuk memahami dan menganalisis implikasinya terhadap penetapan asalusul anak di Pengadilan Agama Sewilayah eks Karesidenan Pekalongan.
D.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sekurang-kurangnya
dalam dua aspek: 1.
Manfaat Teoritis: hasil penelitian ini diharapkan untuk pengembangan hukum keluarga khususnya hukum keluarga Islam yang bisa dikembangkan secara akademis.
2.
Manfaat Praktis: a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pembaca untuk lebih memahami tentang hukum perkawinan pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. b. Bagi para praktisi hukum khususnya hakim Pengadilan Agama, diharapkan untuk dijadikan motivasi dalam memberikan pertimbangan hukum dengan mewujudkan asas kepastian hukum, khususnya mengenai penetapan asal-usul anak.
14
c. Bagi para masyarakat pencari keadilan, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang “perlindungan hukum” bagi anak di luar perkawinan.
E.
Telaah Pustaka Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti. Diantaranya penelitian oleh Erlina tahun 2012 dalam tulisannya yang berjudul “Access To Justise: Anak di Luar Perkawinan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pencatatan Perkawinan dan Status Hukum Anak yang dilahirkan dari Perkawinan yang tidak Tercatat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Pembahasan di dalamnya mengenai analisis Putusan MK yang membuka peluang anak di luar perkawinan mendapatkan hak-haknya sama seperti anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sehingga diharapkan tidak lagi mendapat perlakuan yang deskriminatif. Selain itu Erlina menjelaskan kelemahannya apabila diterapkan dengan melihat pertentangan yang begitu tajam antara hukum yang diberlakukan oleh negara dan nilai-nilai yang diyakini di masyarakat.32 Dalam tulisan tersebut jelas tidak membahas mengenai dampak konkrit dari Putusan MK terhadap penetapan asal-usul anak di Pengadilan Agama apalagi dengan meninjau dasar pertimbangan Hakim yang digunakan Hakim Pengadilan Agama.
32 Erlina, “Access To Justice ‘Anak di Luar Perkawinan’ (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Pencatatan Perkawinan dan Status Hukum Anak Yang Dilahirkan dari Perkawinan yang Tidak Tercatat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012, hlm. 33-58.
15
Selanjutnya penelitian berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Anak di Luar Nikah di Indonesia” oleh Isyana K. Konoras, memaparkan tentang perlindungan hukum terhadap anak bergeser dari semula bahwa perlindungan hukum hanya diberikan pada anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan atau akibat suatu perkawinan menjadi perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum terhadap anak di luar perkawinan. Pergeseran dan perubahan hukum ini merupakan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010, yang mempersamakan status hukum antara anak sah dengan anak di luar nikah sehubungan dengan hak keperdataan.33 Pembahasan demikian, hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Erlina. Bedanya, Erlina lebih fokus pada kajian Putusan MK, sementara Isyana hanya memaparkan perbedaan sebelum dan sesudah adanya Putusan MK mengenai perlindungan hukum anak di luar perkawinan di Indonesia. Kajian Putusan MK yang serupa dengan penelitian Erlina juga pernah dilakukan dalam beberapa tulisan, yaitu: 1) Prianter Jaya Hairi34 dengan judul “Status Keperdataan Anak di Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, 2) Rossy Novita Khatulistiwa35“Uji Materil Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan: Implikasi terhadap Sistem Hukum
33
Isyana K. Konoras, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Luar Nikah di Indonesia”, Jurnal Studi Ilmu Hukum Pascaserjana Universtas Sam Ratulangi Manado, Vol.I, No. 2, AprilJuni 2013, hlm. 44-58. 34 Prianter Jaya Hairi, “Status Keperdataan Anak di Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Jurnal Info Hukum Singkat di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Vol. IV, No. 6/II/P3DI, Maret, 2012, hlm. 1-4. 35 Rossy Novita Khatulistiwa, “Uji Materil Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan: Implikasi terhadap Sistem Hukum Keluarga di Indonesia”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013.
16
Keluarga di Indonesia”, 3) Imelda Martinelli36 “Implikasi Sistemis Akibat Pergeseran Tafsir Makna Status Anak Luar Kawin (Kajian Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, 4) Lalu Guna Nugraha37 “Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Hukum Islam”. Keempat penelitian tersebut hanya beberapa tulisan yang pernah dilakukan oleh sekian banyak penelitian mengenai Putusan MK yang penulis temukan.
Keempat
penelitian itu memberikan analisis kritis dari Putusan MK dengan melihatnya dari perspektif hukum Islam, yang kemudian melihat implikasinya kepada hukum waris, kewarganegaaran, bahkan ketenagakerjaan sebagaimana dalam tulisan Imelda Martinelli. Selain itu juga mengkritisi hukum perkawinan Indonesia, yaitu mengenai pelemahan fungsi dan lembaga perkawinan di Indonesia. Sejauh pemahaman penulis, keberadaan penelitian yang sudah dilakukan mengenai status hukum anak di luar perkawinan yang ada dalam Putusan MK tersebut hanya dikaji dari segi analisis putusannya atau menafsirkan dengan mengurai makna, membandingkan dengan aturan lain atau bahkan melihat dari perspektif disiplin ilmu. Penelitian ini berbeda, penulis mengkaji keberadaan Putusan MK tersebut dari dua segi, yaitu pertama, mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan tentang Putusan
36
Imelda Martinelli, “Implikasi Sistemis Akibat Pergeseran Tafsir Makna Status Anak Luar Kawin (Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010)”, Jurnal Yudisial, Vol. 6, No. 3, Desember 2013, hlm. 267-283. 37 Lalu Guna Nugraha, “Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Hukum Islam”,Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2013.
17
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan; kedua, implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak.
F.
Kerangka Teori Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi, mempunyai
karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan MK yang ditentukan bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya. sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum lain, termasuk melalui meknaisme Peninjauan Kembali (PK) dan/atau melalui Grasi. Mengenai sifat final Putusan MK, ditegaskan pada Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”.38 Ketentuan tersebut kemudian diderivikasikan ke dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 47 mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum”.39 Berdasarkan ketentuan tersebut, sifat final menunjukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: 1.
Bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum. 38 39
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
18
2.
Karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan.
3.
Karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.40 Memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum
bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara (interparties). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK. Dalam Putusan MK terkait dengan pengujian undang-undang (PUU) misalnya, manakala MK memutus suatu undang-undang bertentangan dengan UUD dan menyatakannya tidak memiliki kekuatan mengikat maka putusan tersebut tidak hanya mengikat bagi para pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya undang-undang mengikat secara umum bagi semua warga negara, maka Putusan MK bersifat ergo omnes.41 Tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habetur).42 Kebijakan atau politik hukum MK tentang status anak di luar perkawinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Putusan MK), MK mengambil kebijakan dan pertimbangan yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi 40
Fajar Laksono Soeroso, “Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 65-66. 41 Erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi kewajiban dan hak terhadap semua. 42 Fajar Laksono Soeroso, hlm. 66.
19
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” ayat ini sangat bertentangan dengan UUD 1945.43 Putusan MK bila ditinjau dari teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang konstitusi, ada ketimpangan yang terjadi antara norma dasar yaitu UUD 1945 dan UU Perkawinan khususnya Pasal 43 ayat (1). Yaitu bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagai norma di bawahnya UUD 1945, seharusnya tidak melanggar atau sesuai dengan norma-norma dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28 huruf B ayat 2, yaitu bahwa, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “.44 Menurut konsep KUH Perdata, anak di luar Perkawinan yaitu anak luar kawin dalam arti sempit, anak sumbang, anak zina. Sedangkan di dalam UndangUndang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak di luar perkawinan yaitu anak dari perkawinan yang tidak dicatat, dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak terikat perkawinan. Sedangakan menurut Chatib Rasyid, anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya (sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 43 Habib Shulthon Asnawi, “Politik Hukum Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah: Upaya Membongkar Positivisme Hukum Menuju Perlindungan HAM”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 2, Juni 2013, hlm. 246. 44 Subroto, “Legislasi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau dari Teori Hukum Hans Kelsen Tentang Konstitusi”, (http://download.portalgaruda.orgarticle.phparticle=293212&val=6318&title=LEGISLASI%20M AHKAMAH%20KONSTITUSI%20DALAM%20PUTUSAN%20MAHKAMAH%20KONSTITU SI%20NOMOR%2046PUUVIII2010%20DITINJAU%20DARI%20TEORI%20HUKUM%20HA NS%20KEL), diakses tanggal 8 Januari 2016, Pukul 10.00 WIB.
20
Tahun 1974 Tentang Perkawinan), tetapi tidak tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undangundang Perkawinan). Artinya, anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak sah secara materiil, tapi tidak sah secara formil. Sehingga disebut “luar perkawinan” karena perkawinan itu tidak seutuhnya dilaksanakan sesuai Pasal 2 UndangUndang Perkawinan, oleh karena itu tidak bisa kata-kata “luar perkawinan” diartikan sebagai tanpa perkawinan (perzinaan), karena perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan istilah perkawinan.45 Anak di luar perkawinan dipandang oleh sebagian ahli dengan menyempitkan makna anak di luar perkawinan dengan “anak nikah sirri”. Tujuan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch terdapat 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.46 Aspek keadilan pada hakikatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasaekan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law). Adapun aspek kemanfaatan terletak pada posisi bahwa hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi mengarah pada kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada 45
Materi ini telah disampaikan Pada Seminar Nasional Dengan Topik “Kebijakan Pemerintah Jawa Tengah terhadap Fenomena Bersama Perkawinan di Luar Undang-undang Perkawinan di Indonesia” Tanggal 30 April 2012, yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Propinsi Jawa Tengah, dalam Chatib Rasyid, “Memahami Makna “Anak Lahir di Luar Perkawinan” Pasca Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010”, 2012, (http://www.pta-semarang.go.id/kepegawaian/MAKALAH-2-MAKNA%20ANAK.pdf), dikases tanggal 7 Desember 2015, Pukul 10.45 WIB. 46 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim: dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 132.
21
umumnya.
Artinya
hakim
dalam
menerapkan
hukum,
hendaknya
mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak. Hakim diharapkan dalam menerapkan undang-undang maupun hukum yang ada didasarkan pada tujuan atau kemanfaatnnya bagi yang berperkara dan masyarakat. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundangundangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.47
G. 1.
Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris. Penelitian ini mencoba
memaparkan masalah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 dengan menggunakan studi pandangan hakim dan pandangan hakim Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui atau mengungkap fakta-fakta secara mendalam48, yaitu bermaksud mengungkap fakta-fakta mengenai implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan. 47
Ibid. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 53. 48
22
2.
Sumber Data a.
Data Primer Data primer diperoleh melalui wawancara dengan hakim Pengadilan
Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan untuk menggali dari segi pandangan Hakim Pengadilan Agama mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. b.
Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung baik
dari buku literatur, arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang berupa bahan hukum primer dan sekunder. 1)
Bahan hukum primer sebagai bahan hukum yang bersifat otoritatif dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu: a)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
b)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
c)
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Tanggal 10 Juni 1991 Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
d)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
e)
Putusan penetapan asal-usul anak di Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan.
23
2)
Bahan hukum sekunder berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian.
3)
Bahan hukum tersier berupa kamus, ensiklopedi, artikel pada majalah atau surat kabar, digunakan untuk melengkapidan menjelaskan bahanbahan hukum primer dan sekunder.
3.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dengan 2 (dua) macam metode
yaitu: a. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non-hukum. Dalam penelitian ini, penulis mencari dan mengumpulkan data, mengklasifikasi buku-buku referensi tentang masalah pembahasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. b. Metode pengumpulan data primer melalui wawancara dengan hakim Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan, baik menggali mengenai pendangan hakim secara umum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
46/PUU-VIII/2010
yang
berimplikasi
kepada
penggunaannya sebagai dasar pertimbangan hukum dalam Putusan Hakim. 4.
Teknik Analisis Data Teknik analisis dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis
model interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman
24
dalam model ini tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan, dilakukan dengan bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data (data collecting) sebagai suatu siklus.49 Penulis dalam menganalisis data dimulai dari mengumpulkan data-data yang berkaitan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan, kemudian mereduksi yang menajamkan, menggolongkan, mengorganiasikan data yang berlangsung terus menerus selama penelitian. Setelah proses reduksi data, penulis kemudian menyajikan data dengan memahami apa yang sedang terjadi berdasarkan hasil reduksi data yang didapat. Langkah selanjutnya penulis mengambil kesimpulan secara terus menerus, hingga didapat kesimpulan yang lebih mendalam dan kokoh mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Adapun
langkah-langkah
analisis
tersebut,
dilakukan
selama
penilitian
berlangsung.
H.
Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam pembahasan, maka sistematika penulisan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab pertama, berisi pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah dan pokok masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori yang dipakai acuan dasar ketika 49
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009), hlm. 16.
25
melakukan analisa terhadap data-data yang dikumpulkan, metode penelitian yang berfungsi sebagai kendali untuk meluruskan alur penelitian pada pembahasan dan diakhiri dengan sistematika pembahasan. Bab kedua, pembahasan dimulai pada bab kedua yang berisi tentang kerangka teori dan konseptual. Adapun dalam kerangka teori membahas tentang teori nilai dasar hukum dan teori hukum Hans Kelsen. Sedangkan dalam kerangka konseptual memberikan gambaran konsep mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi dan konsep anak di luar perkawinan menurut hukum di Indonesia. Bab ketiga, pembahasan mengenai tinjauan umum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan penetapan asal-usul anak di Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan. Bab keempat, analisis tentang pandangan hakim Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di dan implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak di Pengadilan Agama sewilayah eks Karesidenan Pekalongan. Bab kelima, sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran.