BAB I PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan,
penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan Negara terbesar saat ini yaitu mencapai 80% dari penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menarik pajak dari masyarakat. Penerimaan Negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, dan hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Dumairy, 2007). Penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam mematuhi kewajiban perpajakannya, meningkatkan tanggungjawab aparatur pemerintah agar tidak melakukan kecurangan dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya dan dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal (Harahap, 2004). Williamson dalam Mas’oed (1994) menyatakan bahwa reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan pada asset yang berada di luar negeri. 1
2
Menurut Chaizi Nasucha (2004), empat dimensi penerapan sistem administrasi perpajakan modern tersebut adalah sebagai berikut: a. Struktur organisasi b. Prosedur organisasi c. Strategi organisasi d. Budaya organisasi. 4 (empat) dimensi penerapan sistem administrasi perpajakan modern tersebut mewakili seluruh aspek penting dalam penerapan sistem administrasi pajak yang ada. Menurut Halim (2012), masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak, disebabkan dua faktor. Pertama, sosialisasi yang minim sehingga wajib pajak tidak melakukan kewajibannya dalam melakukan pembayaran pajak, dan kedua, karena wajib pajaknya yang enggan membayar pajak karena alasan-alasan tertentu. Beberapa fenomena kasus-kasus yang terjadi dalam dunia perpajakan Indonesia belakangan ini membuat masyarakat dan wajib pajak khawatir untuk membayar pajak. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, karena para wajib pajak tidak ingin pajak yang telah dibayarkan disalahgunakan oleh aparat pajak itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa masyarakat dan wajib pajak berusaha menghindari pajak (Taufik Umar, 2010).
3
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat adanya kerugian negara Rp 1,55 triliun karena wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya. Ini berasal dari 26 kasus pajak yang ditangani tahun lalu. Tingkat kepatuhan wajib pajak sangat rendah. Kasus penyelewengan pajak tren-nya terus meningkat dari tahun ke tahun. Tren naik karena pengawasan dan penyetoran pajak cukup lemah (Dewi, 2013). Pentingnya kesadaran wajib pajak untuk berperilaku patuh dalam memenuhi kewajibannya perlu ditanggapi serius oleh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak selaku instansi tunggal perpajakan bangsa ini, karena apabila wajib pajak tidak patuh maka akan timbul tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan pelalaian pajak (Siti, 2010). Perilaku tidak patuh wajib pajak dapat dikenakan hukuman yaitu berupa sanksi perpajakan Di negara kita dikenal ada 2 macam sanksi perpajakan yaitu sanksi administasi dan sanksi pidana. Tentu saja yang masih hangat batas akhir penyampaian SPT yang baru berakhir 31 maret 2012 kemarin untuk SPT tahunan 2011, jika telat maka akan dikenakan sanksi admnistrasi yaitu denda untuk SPT tahunan orang pribadi Rp 100.000 dan untuk SPT tahunan badan Rp 1.000.000. (Warits Syakirin, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muliari dan Setiawan, (2010) menemukan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan pada
4
kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Penelitian Jatmiko menemukan bahwa pelayanan fiskus memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Ketentuan umum dan tata cara peraturan perpajakan telah diatur dalam Undang-Undang, tak terkecuali mengenai sanksi perpajakan. Sanksi diperlukan untuk memberikan pelajaran bagi pelanggar pajak. Dengan demikian, diharapkan agar peraturan perpajakan dipatuhi oleh para wajib pajak. Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakan bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Banyak Wajib Pajak yang tidak paham tentang aturan-aturan baru dalam sebuah perubahan undang-undang pajak. Keterbatasan pengetahuan dan informasi (tax knowledge) dari wajib pajak seringkali menjadi penyebab utama kesediaan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, atau pun ancaman dan penerapan sanksi baik pidana maupun administrasi (Mardiasmo, 2009). Menurut Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, rasio kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) hingga April 2011 telah mencapai 54,84 persen atau 7,73 juta. Jumlah SPT diterima mencapai 7.733.271 dari total Wajib Pajak terdaftar wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 14.101.933. Pada 2010 rasio kepatuhan Wajib Pajak hanya 5.413.114 atau sebesar 52,61 persen dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar sebanyak 10.289.590 (Direktorat Jenderal Pajak, 2013).
5
Secara rata-rata kepatuhan wajib pajak di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah wajib pajak meskipun belum maksimal 100%. Jika pertumbuhan jumlah wajib pajak yang terus bertambah tidak sejalan dengan peningkatan jumlah penerimaan pajak, maka pertumbuhan jumlah wajib pajak harus bisa linier dengan penambahan jumlah penerimaan pajak. Sebagai gambaran, di bawah ini disajikan perbandingan besarnya sumber penerimaan negara dari sektor pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sektor bukan pajak dalam kurun waktu enam tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 sebagai berikut: Tabel 1. Presentase Penerimaan Negara dari Sektor Pajak dan Bukan Pajak dalam APBN (miliar rupiah) Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Volume APBN
Pajak
Bukan Pajak
% (Pajak % (Bukan APBN) Pajak APBN 637.987,2 409.203,0 226.950,1 64,13 35,57 707.806,2 490.988,7 215.119,7 69,36 30,39 981.609,4 658.700,8 320.604,6 67,10 32,66 848.763,2 619.922,2 227.174,4 73,03 26,76 995.271,5 723.306,7 268.941,9 72,67 27,02 1.169.914,6 878.685,2 286.567,3 75,10 24,49 Sumber: Data Pokok APBN 2006-2012 Kementerian Keuangan Dari tabel 1. di atas terlihat bahwa penerimaan pajak dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Namun tidak dapat dikatakan linier dengan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Sehingga masih perlu ditingkatkan kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Sedangkan yang menjadi indikator kepatuhan Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan, yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan telah melakukan
6
kewajiban perpajakannya, yaitu dengan melunasi dan melaporkan SPT masa dan tahunannya tepat waktu (Oktivani, 2007). Ketidakpatuhan akan timbul apabila WP tidak mempunyai pengetahuan perpajakan yang memadai sehingga WP secara tidak sengaja tidak melakukan kewajiban perpajakannya, seperti tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), atau para WP melakukan kewajiban perpajakan tetapi tidak sepenuhnya benar, seperti membayar dan melaporkan pajak tidak sesuai dengan besaran pajak terutangnya maupun waktu yang telah ditentukan (Zulvina, 2011).. Batasan sebagai wajib pajak patuh diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 dimana persyaratan sebagai wajib pajak patuh ada dua kriteria yaitu wajib pajak patuh terhadap kepatuhan formal dan wajib pajak patuh terhadap kepatuhan material. Ketentuan formal sendiri meliputi kepatuhan WP dalam hal pelaporan, sedangkan ketentuan material meliputi kepatuhan WP dalam hal pembayaran. Wajib pajak yang aktif melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) berarti telah memenuhi kepatuhan formal dan WP yang memenuhi kepatuhan material adalah WP yang mengisi SPT dengan jujur, lengkap, dan benar sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (Zulvina, 2011). Berdasarkan Pasal 1 UU PPh, Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pada
7
dasarnya subjek pajak PPh adalah orang pribadi dan badan. Dengan demikian, PPh orang pribadi (nature person) merupakan pajak atas penghasilan yang dikenakan terhadap wajib pajak badan (legal person) atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU PPh, setiap orang pribadi sebagai subjek pajak mempunyai kemungkinan (potensi) diwajibkan membayar pajak. Pengenaan PPh didasarkan pada dua syarat, yaitu subjek pajak dan objek pajak. Dengan perkataan lain, untuk benar-benar menjadi wajib pajak, harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Subjek pajak baru dapat dikenakan PPh apabila ada objek pajaknya yaitu penghasilan Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak (Marihot, 2010).
Berdasarkan fungsi pajak sebagai fungsi budgetair, maka sangat diperlukan adanya kesadaran dan kedisiplinan masyarakat untuk memahami dan mematuhi kewajiban perpajakan sebagai warga negara Indonesia. Pemahaman tersebut meliputi: a. Pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar b. Penghitungan pajak sesuai dengan pajak terutang yang ditanggung oleh WP c. Penyetoran pajak (pembayaran) secara tepat waktu sesuai yang ditentukan Pelaporan atas pajaknya ke kantor pajak setempat oleh WP. Apabila WP memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keempat hal tersebut di atas, maka semua
8
ketentuan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dengan baik oleh Wajib Pajak (Ekawati dan Endro, 2008). Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan Kepatuhan Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dengan Penerimaan Pajak Pada KPP Pratama Cirebon”. 1.2
Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang penelitian penulis mengidentifikasikan masalah
sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Hubungan Kepatuhan Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dengan Penerimaan Pajak Pada KPP Pratama Cirebon? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak pengasilan orang pribadi terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Cirebon? 1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Sesuai dengan identifikasi masalah yang diuraikan diatas. Maka tujuan dari penelitian adalah: 1. Mengetahui seberapa besar hubungan kepatuhan wajib pajak penghasilan orang pribadi dengan penerimaan pajak pada KPP Pratama Cirebon.
9
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak pengasilan orang pribadi terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Cirebon. 1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai Perpajakan lebih dalam, terutama penerapan kepatuhan pajak dan penerimaan pajak di Indonesia, serta untuk memenuhi salah satu syarat untuk menempuh sidang sarjana ekonomi program S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universita Widyatama. 2. Bagi Instansi Pajak Penelitian ini juga diharapkan memberi referensi pada instansi KPP Pratama Cirebon mengenai kebijakan perpajakan terutama dalam hal kepatuhan wajib pajak penghasilan orang pribadi terhadap penerimaan pajak. 3. Bagi Akademisi Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti diharapkan dapat berguna sebagai rintisan penelitian dalam rangka penelitian pengembangan berikutnya yang berkaitan dengan permasalahan perpajakan di Indonesia.
10
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dijadikan obyek penelitian adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cirebon yang berlokasi di Jl. Evakuasi no. 9 Cirebon. Waktu yang diperlukan penulis dalam melakukan penelitian dimulai pada bulan Maret 2014 sampai dengan Mei 2014.