BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi
dan
kemudahan
dalam
mendapatkan
informasi,
membuat
masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan yang diberikan dokter. Kritik masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Pada masa lalu dokter seakan-akan hidup terisolir tidak tersentuh oleh hukum. Sejak peristiwa Pati 1981, tuduhan “malpraktek” dan kritik terhadap profesi kedokteran makin lama semakin banyak.(Hendrojono,2007) Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, melaporkan antara tahun 1998-2003 telah menangani sengketa medik sebanyak 149 kasus, dan anehnya sebagian besar pihak yang dirugikan adalah tenaga medik dan tenaga kesehatan itu sendiri, sedangkan tingkat penyelesaiannya sangat tidak memadai. ( Hariadi dalam Hendrojono,2007). Selain yang mencuat ke publik, sebagian tindakan malpraktek dokter di Indonesia tidak diketahui publik dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain kecenderungan masyarakat Indonesia nrimo (pasrah) apa adanya. Berbeda dengan negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat. Di sana, walau kemampuan, profesionalisme, dan peralatan kedokteran relatif cukup canggih, tetapi sangat banyak pula pasien yang tidak puas yang pada akhirnya menggugat dokter ke pengadilan dengan tuduhan malpraktek.(Munir,2005)
1
2
Kebangkitan kesadaran akan hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang kesehatan dan semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan, mengakibatkan dokter tidak bisa secara leluasa mengobati pasien tanpa memperhatikan keadaan pasien. Kemajuan teknologi di bidang kedokteran disertai kemudahan dalam memperoleh informasi dan komunikasi pada era globalisasi sekarang ini memudahkan pasien untuk mendapatkan ”second opinion” dari berbagai pihak dari dalam maupun luar negeri, yang pada akhirnya apabila dokter kurang hati-hati dalam memberikan panjelasan kepada pasien, akan berakibat berkurangnya kepercayaan pasien kepada dokter tersebut. (Anny,2005) Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter tentu saja berhubungan erat dengan rumah sakit tempat dokter tersebut memberikan pelayanan medik. Hal tersebut harus menjadi dasar manajemen rumah sakit untuk membuat kebijakan agar hal yang tidak diinginkan tersebut tidak terjadi. Jika terjadi kesalahan dalam pelayanan kesehatan maka menurut hukum perdata pihak pasien dapat menggugat dokter berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dalam hal ini yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi dan gugatan terhadap rumah sakit berdasarkan wanprestasi, karena pasien dan rumah sakit telah melakukan dua macam perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan medis.(Triana, 2007). Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
3
Bantuan
atau
pertolongan
dokter
ini
terkadang
menimbulkan
penderitaan pada pasien akibat adanya kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam menjalankan profesinya. Perbuatan kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam menjalankan profesi dokter ini kemudian dikenal dengan istilah malpraktek di bidang medis.(Veronica,2002) Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani. (Hendrojono,2007) Hal ini mengandung arti bahwa yang diberikan kepercayaan harus berlaku jujur dan tidak menyalah gunakannya. Ia pun berkewajiban mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Seorang dokter yang dengan sengaja dan tanpa alasan yang tidak sah mengungkapkan hal-hal yang akan menjadi dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan pasien, bisa dipersalahkan oleh hukum. Adanya hubungan kontrak terapeutik antara dokter dan pasien, sudah logis bila pasien sebagai salah satu pihak juga harus mengetahui tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya. Menurut Maslow dan Cherry, (dalam Hendrojono,2007) bahwa informasi memberikan peluang pada penerima informasi untuk memilih tindakan diantara berbagai alternatif yang ada. Contoh kasus mengenai betapa pentingnya informasi yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien terjadi
4
di Inggris pada tahun 1996 yaitu kasus Libert dengan Warrington Health Authority. Kasus ini berkenaan dengan seorang pasien yang datang ke dokter untuk dilakukan pembedahan Caesar untuk melahirkan bayinya. Pasien juga meminta pada dokter untuk dilakukan sterilisasi saat operasi Caesar tersebut. Akan tetapi 15 bulan setelah sterilisasi, pasien ternyata hamil juga. Pasien menggugat dokter karena tidak menginformasikan kepada pasiennya tentang adanya kemungkinan hamil meskipun sudah dilakukan sterilisasi. Pengadilan memutuskan dokter bersalah karena tidak memberikan informasi yang cukup dan dapat dimengerti oleh pasien meskipun pasien telah menandatangani formulir persetujuannya, dimana dalam formulir tersebut tidak disebutkan bahwa tindakan sterilisasi tidak 100% mencegah kehamilan.(Munir,2005) Banyak kasus yang dilaporkan sebagai malpraktek sebenarnya bukan benar benar malpraktek. Hubungan yang tidak harmonis antara dokter dan pasien, salah satunya akibat komunikasi yang tidak berjalan seperti yang diharapkan adalah salah satu faktor pemicunya. Dokter, di satu sisi sering mengabaikan
empati,
yang
sebenarnya
justru
paling
diharapkan
pasien.(Nusye, 2009) Diterbitkannya Permenkes nomor 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan kedokteran, sebenarnya informed consent telah menjadi kebutuhan dalam pemberian pelayanan kesehatan di Indonesia. Sebagai aturan hukum sudah seharusnya ketentuan tentang informed consent diterapkan pada pelaksanaan tindakan-tindakan medik tertentu. Namun dalam kenyataannya, sampai sekarang informed consent masih belum begitu dipahami dengan benar
5
dan dilaksanakan dengan lengkap. Hal ini dikarenakan masih banyak yang menganggap bahwa penandatanganan formulir informed consent yang sudah disediakan di rumah sakit hanya bersifat formalitas belaka. Perkembangan masalah informed consent di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan masalah serupa di negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu membenahi masalah informed consent ini. Declaration of Lisbon (1981) dan Patient’s Bill of Right (American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa ”pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak menerima informasi dari dokternya
sebelum
memberikan
persetujuan
atas
tindakan
medik”.(
Jusuf,1999) Suatu peraturan hukum baru bisa berlaku jika sudah memenuhi 3 syarat, yaitu : yuridis, filosofis, dan sosial. Namun tampaknya informed consent hanya baru memenuhi syarat pertama saja. Secara filosofis dan sosial belum begitu diterima, karena berlainannya filsafat dan sosial budaya masyarakat. Doktrin ini berasal dari negara barat (Amerika ) yang masyarakatnya bersifat individualistis, sedangkan di Indonesia masih bersifat kekeluargaan. (Veronica, 2002) Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tujuan pengaturan praktik kedokteran dalam pelayanan kesehatan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter atau dokter
6
gigi dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 45 Undang-undang Praktik Kedokteran bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tindakan diberikan oleh pasien setelah pasien menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Persetujuan yang dimaksud adalah yang kita kenal dengan informed consent. Tubuh adalah benda paling berharga bagi manusia. Karena itu, secara hukum maupun secara moral, tidak ada satu orang pun, tidak juga dokter, dapat berbuat sesuatu terhadap tubuh seseorang tanpa persetujuan dari manusia yang memiliki tubuh tersebut. Pada prinsipnya, melakukan sesuatu terhadap tubuh seseorang tanpa persetujuan dari yang memiliki tubuh tersebut merupakan perbuatan yang melanggar etika, hukum perdata, hukum pidana, bahkan melanggar hak asasi manusia. Dengan demikian, hanya pasienlah yang berhak untuk menentukan terhadap dirinya sendiri.(Munir,2005) Dokter sebagai manusia biasa dapat juga berbuat kelalaian dalam menjalankan profesinya. Jika tindakan dokter tersebut dilakukan di sebuah rumah sakit, maka rumah sakit tersebut juga ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng, tanpa mempertimbangkan status dari dokter tersebut di rumah sakit yang bersangkutan, apakah dia dokter tetap, dokter kontrak,atau sebagainya.(Munir,2005). Tentu saja hal ini akan menurunkan nilai
7
kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit, serta akan menyita waktu dan biaya tambahan bagi rumah sakit untuk menangani tuntutan tersebut. Upaya dan kebijakan yang dapat dilakukan oleh dokter dan manajemen rumah sakit dalam usaha pencegahan maraknya tuntutan hukum tersebut antara lain dengan menyiapkan legal defence yang salah satunya adalah Informed consent.( Dinajani, 2008) Selain sebagai usaha pencegahan tuntutan hokum, informed consent juga menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter atau rumah sakit kepada pasien. Informed consent merupakan suatu persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap diri pasien setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong diri pasien disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Sehingga dengan pelaksanaan informed consent, maka secara tidak langsung dokter telah melakukan komunikasi yang baik dengan pasien. Sehingga kepercayaan pasien kepada dokter dan rumah sakit akan meningkat. Sesuai hasil pengamatan penulis di puskesmas Dengan Tempat Perawatan Plumbon. Informed consent yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rekam medis, masih belum dijalankan dengan lengkap sesuai Permenkes 290 tahun 2008. Hal ini sebetulnya bisa membuka peluang adanya tuntutan hukum. Meski sejauh ini belum ada tuntutan hukum sehubungan dengan belum lengkapnya informed consent bukan berarti bahwa informed consent sudah dianggap benar dalam pelaksanaannya. Untuk itulah penulis
8
bermaksud melakukan penelitian dengan judul : ” Evaluasi Penerapan Informed Consent pada Pelayanan Medik di Puskesmas Dengan Tempat Perawatan Plumbon Kabupaten Cirebon”
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian adalah : “Bagaimana dan mengapa pelaksanaan informed consent di Puskesmas DTP Plumbon Kabupaten Cirebon belum optimal?”
1.3 Tujuan Penelitian Suatu penelitian pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan tersebut antara lain: 1. Untuk mengkaji kebijakan manajemen mengenai penerapan informed consent pada pelayanan medik Puskesmas Dengan Tempat Perawatan Plumbon Kabupaten Cirebon 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam penerapan informed consent pada pelayanan medik.
1.4 Manfaat Penelitian. 1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi dunia kesehatan khususnya puskesmas atau rumah sakit dalam penerapan informed consent sesuai
9
dengan perumusan kebijakan dan pelaksanaannya pada pelayanan medis di puskesmas dan rumah sakit. 2. Menambah perbendaharaan khasanah kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian di bidang hukum kedokteran dan memberikan masukan kepada manajemen puskesmas dalam mengambil kebijaksanaan mengenai penerapan informed consent pada pelayanan medis di puskesmas.