BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut sifat dasarnya, manusia adalah makhluk bermoral tetapi manusia juga seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, angan-angan itu manusia berbuat atau bertindak. Dalam hal ini manusia tak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik disengaja maupun tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini manusia harus bertanggung jawab atas dirinya pribadi.7 Manusia sering disebut sebagai makhluk yang bebas; artinya bebas menentukan dirinya sendiri. Akal dan budi telah menempatkan manusia dalam kedudukann yang ―membahagiakan‖. Di pihak lain akal dan budi memberikan ―beban‖ bagi manusia. Setiap manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. 8 Dalam ajaran agama-agama juga diajarkan bahwa manusia harus bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat dari ajaran Agama Kristen dan ajaran Agama Islam. Dalam ajaran Agama Kristen, disebutkan dalam Alkitab pada Galatia 6:7 bahwa ―Jangan sesat ! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.‖ Maksudnya adalah bahwa Tuhan akan memberikan ganjaran setimpal atas setiap perbuatan manusia dan manusia wajib menerima ganjaran dari Tuhan sebagai bentuk pertanggungjawaban.
7 8
Drs. Djoko Widagdho dkk., Ilmu Budaya Dasar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hal. 146-147 Ibid, halaman 157
Universitas Sumatera Utara
Dalam ajaran Agama Islam juga diajarkan tentang tanggung jawab. Dengan demikian sesungguhnya sejak lahir makhluk yang namanya manusia itu sudah dibebani tanggung jawab. Ia harus berbuat baik terhadap sesama makhluk maupun terhadap Tuhan Seru Sekalian Alam. Lebih-lebih terhadap Tuhan manusia harus berbakti, tunduk dan taat; dengan cara melaksanakan sebagai konsekuensi atas semua nikmat yang diterima dari-Nya. Bila semua itu lalai maka kelak di kemudian hari akan mempertanggungjawabkannya di hadapan-Nya. Karena itu harus kita ingat peringatan Allah : ―Barang siapa yang mengerjakan kebaikan, walaupun seberat atom, akan merasakan pahalanya; dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, walaupun seberat atom, akan merasakan siksanya.‖ (QS. Az-Zalzalah : 7-8)9 Dalam hukum ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa equality before the law. Arti dari adagium tersebut adalah semua manusia (individu) setara dihadapan hukum. Manusia sebagai suatu pribadi atau individu sama kedudukannya dihadapan hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu setiap manusia memiliki tanggung jawab individu atas perbuatan yang dilakukannya di hadapan hukum. Adanya
tanggung
jawab
individu
pada
setiap
manusia
untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum juga terlihat dari lambang hukum. Lambang hukum adalah Sang Dewi Keadilan atau Dewi Justitia yang diambil dari legenda Yunani yaitu Dewi Themis dan legenda Romawi yaitu Dewi Fortuna. Rupa dari Dewi Keadilan yaitu seorang Dewi yang matanya ditutup secarik kain hitam, memegang timbangan di tangan kanan, dan memegang pedang ditangan kiri. Mata yang ditutup melambangkan bahwa Dewi Keadilan tidak pandang bulu, menganggap semua manusia setara dalam kedudukannya dihadapan hukum. Timbangan menunjukan pengukuran terhadap perbuatan
9
Ibid, hal. 159
Universitas Sumatera Utara
manusia dan pedang melambangkan bentuk pertanggungjawaban manusia terhadap perbuatan yang dilakukannya dihadapan hukum.10 Hal-hal tersebut menunjukan bahwa seluruh manusia memiliki tanggung jawab individu atas perbuatannya dihadapan hukum. Semua manusia, baik itu Raja atau Kepala Negara, tentara, pedagang, dan lain sebagainya wajib mempertanggungjawabkan tiap perbuatannya dihadapan hukum karena semua manusia dihadapan hukum adalah setara. Tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) merupakan prinsip dalam hukum pidana internasional yang secara konsisten diikuti sejak prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. Dapat dikatakan, bahwa prinsip ini memang sekadar ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, karena prinsip ini sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum masa Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. Penelusuran historis yang dilakukan oleh Ciara Damgaard tentang prinsip tanggung jawab pidana individual dalam kejahatan internasional mengungkapkan bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum Masehi.11 Pengadilan internasional pertama untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang dilaksanakan sampai dengan tahun 1946 terjadi di Nuremberg (International Military Tribunal). Kemudian, disusul IMTFE (Timur Jauh) di Tokyo, Tribunal Pidana Internasional ad hoc (ICTY) untuk Yugoslavia (1993), dan ICTR (Rwanda) (1994). Dua yang terakhir ini hanya berurusan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida atau kejahatan perang yang terjadi di wilayah Yugoslavia dan Rwanda. Pada tahun 1998 di Roma mayoritas negara
10
Taufik Firmanto, Themis : Sang Dewi Keadilan, http://www.kompasiana.com/taufik.firmanto/themissang-dewi-keadilan_5510ca5da33311ae2dba9673 , diakses pada tanggal 12 Februari 2017 pada pukul 14.48 WIB. 11 Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta, CV Andi, Yogyakarta, 2015, hal. 259-260
Universitas Sumatera Utara
setuju dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang bersifat permanen dengan statuta yang jelas.12 Berbeda dengan ICTY dan ICTR, ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).13 Salah satu kasus yang ditangani ICC adalah penghancuran benda budaya yang dilakukan Ahmad al-Faqi al-Mahdi di Mali saat terjadinya konflik bersenjata pada tahun 2012. Kasus ini menjadi kasus penghancuran benda budaya yang pertama kali disidangkan di hadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).14
Disebutkan, Ahmad al-mahdi al-Faqi yang lahir 100 km barat Timbuktu, adalah anggota gerakan radikal Ansar Dine -sebuah kelompok terkait Alqaidah yang menguasai sebagian besar wilayah utara Mali pada tahun 2012. Saat berkuasa, kaum militan merusak dan menghancurkan banyak bangunan dan makam kuno, termasuk masjid yang dianggap tak sealiran dengan kelompok militan. Selain itu, kelompok ekstremis di Mali tersebut juga membakar puluhan ribu naskah kuno. Kota Timbuktu yang masuk Warisan Budaya Dunia Unesco itu di masa lalu pada abad ke-13 sampai abad ke-17 sempat menjadi pusat pengajaran
12
Prof. Dr. Muladi,S.H., Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional Dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, PT Alumni, Bandung, 2011, hal. 73 13 Andrey Sujatmoko, S.H.,M.H., HUKUM HAM DAN HUKUM HUMANITER, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hal. 214 14 Daftar kasus yang ditangani ICC dapat dilihat pada https://www.icc-cpi.int/Pages/cases.aspx# , yang mana terakhir dicek penulis pada 12 Februari 2017 pada pukul 16.48 WIB belum ada kasus tentang penghancuran benda budaya yang ditangani oleh ICC, kecuali kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad alFaqi al-Mahdi.
Universitas Sumatera Utara
Islam. Banyak makam kuno para pendiri kota Timbuktu yang dianggap suci oleh penduduk setempat, tetapi dianggap syirik oleh kaum ekstremis.15
Pada 22 Agustus 2016, dalam persidangan yang diselenggarakan oleh ICC, Ahmad alFaqi al-Mahdi mengaku bahwa dirinya lah yang menghancurkan makam kota serta masjid selama pergerakan Islam radikal tahun 2012 silam. Ahmad mengatakan kepada pengadilan bahwa ia menyesali aksi pengerusakan yang ia lakukan. Maret lalu, Ahmad berperan dalam kejahatan perang yang secara langsung ditunjuk untuk melakukan penghancuran atas monumen bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk keagamaan. ―Melakukan penghancuran pada benda-benda kebudayaan menjadi senjata terkini yang digunakan dalam perang,‖ ujar jaksa ICC Fatou Bensouda. 16
Berdasarkan putusan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC), Ahmad al-Faqi al-Mahdi akhirnya dihukum penjara selama 9 tahun atas penghancuran benda budaya yang dilakukannya saat konflik berenjata di Mali. 17 Dalam putusannya , ICC mengatakan bahwa penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Oleh sebab itulah, penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata dapat dituntut di hadapan Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini karena berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998, kejahatan perang menjadi salah satu kejahatan internasional yang dapat diadili dihadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC), disamping tindak pidana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi.
15
Huminca Sinaga : Pertama Kali, Perusak Cagar Dunia Diseret ke Pengadilan Internasional, http://www.pikiran-rakyat.com/luar-negeri/2015/09/27/343977/pertama-kali-perusak-cagar-dunia-diseret-kepengadilan-internasional ,diakses pada tanggal 14 Februari 2017 , pukul 19.06 WIB. 16 Annisa Hardjanti : Kini, Penghancuran Peninggalan Sejarah termasuk Kejahatan Perang, http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/08/kini-penghancuran-peninggalan-sejarah-termasuk-kejahatanperang , diakses pada pukul 21.04 WIB, Pada Tanggal 14 Februari 2017 17 Putusan ICC Tahun 2016 : International Criminal Court, Case Information Sheet, The Prosecutor v. Ahmad Al Faqi Al Mahdi, ICC-01/12-01/15
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kasus tersebut, penulis berminat meneliti lebih dalam mengenai pertanggungjawaban individu terhadap penghancuran benda budaya yang dilakukan saat terjadinya konflik bersenjata. Oleh sebab itulah penulis memilih judul, ―TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP PENGHANCURAN BENDA BUDAYA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI MALI (Studi Kasus Atas Putusan ICC Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad al-Faqi al-Mahdi). Skripsi ini akan menguraikan tentang penghancuran benda budaya yang terjadi dalam konflik bersenjata di Mali dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Ahmad al-Faqi al-Mahdi atas penghancuran benda budaya yang dilakukannya sesuai dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh ICC B. Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang yang dipaparkan penulis adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata ? 2. Bagaimana tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma 1998 ? 3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali ? C. Tujuan Penulisan Dalam penulisan skripsi pasti memiliki tujuan. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata. 2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma 1998. 3. Untuk mengetahui bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penulisan Penulis berharap skripsi dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini memberikan manfaat yaitu sebagai bentuk penambahan wawasan dan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya hukum internasional terutama tentang tanggung jawab individu terhadap penghancuran benda budaya dalam dalam konflik bersenjata dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh ICC (International Court Criminal).
b. Manfaat Praktis Secara praktis penulis berharap agar skripsi ini memberikan manfaat yaitu sebagai suatu pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tanggung jawab individu terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. E. Keaslian Penulisan Penulisan Skripsi ini adalah asli, karena
pemikiran, ide dan gagasan dalam
penelitian ini adalah murni hasil ciptaan penulis sendiri, bukan merupakan hasil ciptaan dari karya tulis orang lain atau pihak-pihak tertentu. Penulis akan bertanggung jawab penuh atas keaslian penulisan skripsi ini dan belum pernah ada judul yang sama. Berdasarkan informasi dan penulusuran kepustakaan yang telah penulis lakukan terhadap hasil penelitian yang pernah dilakukan di Universitas Sumatera Utara maupun di Universitas lain, belum ada yang pernah
Universitas Sumatera Utara
melakukan penelitian dengan topik yang sama dan studi kasus yang sama, akan tetapi ada ditemukan penulis dari Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian dengan topik yang sama namun studi kasus yang diteliti berbeda.
Adapun judul penelitian yang dilakukan di Universitas Sumatera Utara dengan topik yang sama namun studi kasus yang diteliti berbeda yaitu : Nama
: TENGKU DEVY MALINDA
NIM
: 110200209
Judul
: Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)
Penulis juga telah mengajukan pemeriksaan judul skripsi kepada Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hasil pemeriksaan tersebut adalah tidak ditemukannya karya ilmiah dengan judul dan studi kasus yang sama yang diperiksa oleh Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU pada tanggal 13 Maret 2017. Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Tinjauan Kepustakaan Skripsi ini memperoleh bahan tulisan nya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan dan informasi dari internet. Untuk itu perlu diberikan penegasan dan pengertian dari judul yang diambil dari sumber-sumber yang memberikan pengertian terhadap judul ini.
Universitas Sumatera Utara
KONFLIK BERSENJATA Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan dengan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara (non-state armed group).18 Konflik bersenjata internasional pada dasarnya adalah konflik yang terjadi antar negara, misalnya dua dua negara atau lebih saling bertikai satu sama lain. Misalnya: perang antara Amerika Serikat dengan Irak, Argentina dengan Inggris, Perang Dunia I dan II. 19 Sedangkan, konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional pada dasarnya adalah konflik yang terjadi di dalam wilayah negara (internal conflict), misalnya : seperti yang terjadi di Srilanka antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Macan Tamil (LTTE), di Filipina antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Front Pembebasan Islam Moro (MILF), di Indonesia antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).20 Tanggung Jawab Individu Dampak PD II yang menimbulkan berbagai persoalan terhadap HAM pada gilirannya juga menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi individu yang melakukan kejahatan18
Arie Siswanto, Op. Cit. hal. 147 Andrey Sujatmoko, Op. Cit. hal. 173 20 Ibid, Hal. 173 19
Universitas Sumatera Utara
kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional.21 Secara sederhana, prinsip ini menghendaki agar pelaku kejahatan internasional memikul tanggung jawab secara pribadi atas kejahatan internasional yang mereka lakukan. Ini berarti bahwa jabatan formal seorang pelaku kejahatan internasional menjadi tidak relevan ketika sampai pada penentuan tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, ketika menyangkut sebuah kejahatan internasional, keistimewaan dan kekebalan yang dimiliki oleh seorang kepala negara atau pejabat pemerintahan yang lain tidak dapat dipergunakan sebagai dalih untuk lepas dari tanggung jawab pidana. Penegasan prinsip tangung jawab individual ini juga penting mengingat bahwa kejahatan-kejahatan internasional sering kali dilakukan secara kelompok. Melalui prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual, biarpun sebuah kejahatan internasional dilakukan secara komunal, masing-masing individu yang berperan serta dalam kejahatan kelompok itu tetap dapat dipersalahkan secara individu dan harus memikul konsekuensi pidana secara individual pula. 22 Tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) merupakan prinsip dalam hukum pidana internasional yang secara konsisten diikuti sejak prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg.23 Berdasarkan hal tersebut, itu dapatlah kita ketahui bahwa tanggung jawab individu dalam hukum internasional adalah tanggung jawab yang dikenakan kepada individu yang melakukan kejahatan internasional. Kejahatan Internasional
21
Ibid, hal. 216 Ibid, hal. 260-261 23 Arie Siswanto, Op. Cit., hal. 259-260 22
Universitas Sumatera Utara
Menurut Cryer (et al.) , kejahatan internasional (international crime) adalah ―… offences over which international courts or tribunals have been given jurisdiction under general international law”. Dari batasan tersebut dapat ditarik gagasan bahwa ‗kejahatan internasional‘ adalah kejahatan terhadap mana mahkamah atau pengadilan internasional oleh norma-norma hukum internasional diberi jurisdiksi untuk mengadili. Lebih lanjut, Cryer (et al.) menyatakan bahwa kejahatan internasional mencakup empat jenis kejahatan inti (core crimes), yaitu genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi/kejahatan terhadap perdamaian (crimesof aggression/crimes against peace).24 Kejahatan Internasional dalam bahasa Inggris yaitu international crimes disebut juga sebagai tindak pidana internasional. Definisi tentang tindak pidana internasional (kejahatan internasional atau international crimes) telah dikemukakan oleh Bassiouni (1986:2-3) 25 sebagai berikut : “International Crimes is any conduct which is designated as a crime in a multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided the instrumen contuins one of the ten penal characteristics.” Terjemahan bebas Tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensikonvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun di dalamnya terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana. Seorang pakar hukum pidana internasional Bassiouni telah menyebutkan terdapat 22 jenis kejahatan internasional yang memenuhi salah satu atau semua karakteristik pidana 26 , yaitu
24
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.4. Prof. DR. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 37 26 Anis Widyawati, S.H., M.H., HUKUM PIDANA INTERNASIONAL, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 45-46 25
Universitas Sumatera Utara
Kedua puluh dua tindak pidana internasional tersebut antara lain: 1) Aggression; 2) War crimes; 3) Unlawful Use of Weapons; 4) Crimes Against Humanity; 5) Genocide; 6) Racial Discrimination and Apartheid; 7) Slavery and Related Crimes S. Torture; 8) Unlawful Human Experimentation; 9) Piracy; 10) Aircraft Hijacking; 11) Threat and Use of Force Against Internationally Protected Persons; 12) Taking of Civilian Hostages; 13)Drug Offenses; 14) International Traffic in Obsence Publicaitons; 15)Destruction and/or Theft of National Treasures; 16) Environmental Protection; 17) Theft of Nuclear Materials; 18)Unlawful Use of the Mails;
Universitas Sumatera Utara
19) Interfence of the Submarine Cables; 20) Falsification and Counterfeiting; 21) Bribery of Foreign Public Official; 22) International Traffic in obsence publicaitons; Selain itu terdapat beberapa cara untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan internasional27, yaitu: 1. Tempat terjadinya kejahatan; 2. Kewarganegaraan dari pelaku dan atau korbannya; 3. Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau tidak bergerak milik pihak asing; 4. Kombinasi dari ketiga butir tersebut diatas; 5. Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia. Dilihat dari perkembangan dan asal-usul tindak pidana internasional ini , maka eksistensi tindak pidana internasional dapat dibedakan dalam28 : 1. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum internasional ; 2. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional; dan 3. Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional adalah tindak pidana pembajakan atau piracy, kejahatan perang atau war crimes dan tindak pidana perbudakan atau Slavery. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi 27 28
Ibid, hal. 48 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 40
Universitas Sumatera Utara
internasional ini secara historis dibedakan antara tindak pidana internasional yang ditetapkan didalam satu konvensi internasional saja (subject of a single convention) dan tindak pidana internasional yang ditetapkan oleh banyak konvensi (subject of a multiple conventions).Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia merupakan konsekuensi logis akibat Perang Dunia II yang meliputi bukan hanya korban-korban perang mereka yang termasuk combatant, melainkan juga korban penduduk sipil (non combatant) yang seharusnya dilindungi dalam suatu peperangan. Salah satu dari tindak pidana internasional ini ialah crime of genocide sesuai dengan deklarasi PBB tanggal 11 Desember 1946 yang menetapkan genocide sebagai kejahatan menurut hukum internasional.29 Penetapan tindak pidana internasional atau international crimes tersebut diperkuat di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg atau the International Military Tribunal yang dibentuk segera setelah Perang Dunia II berakhir (1946). Mahkamah ini ditetapkan oleh negara pemenang Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, serta Rusia) dan memiliki yurisdiksi atas tiga golongan kejahatan30 : 1. Crimes against peace atau kejahatan terhadap perdamaian, yang diartikan termasuk persiapan-persiapan atau pernyataan perang agresi; 2. War crimes atau kejahatan perang atau pelanggaran atas hukum-hukum tradisional dan kebiasaan dalam peperangan; dan 3. Crimes against humanity yakni segala bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil (noncombatant) selama peperangan berlangsung. ICC atau International Criminal Court sebagai pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen juga memiliki pandangan tersendiri dalam menetapkan kejahatan 29 30
Ibid, hal. 40 Ibid, hal. 41
Universitas Sumatera Utara
internasional. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa kewenangan ICC untuk mengadili hanya pada 4 jenis kejahatan internasional yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Dari uraian-uraian tersebut dapat dikatan bahwa pada intinya kejahatan internasional mengandung : 1. Merupakan tindak pidana yang diakui sebagai kejahatan internasional oleh masyarakat internasional melalui konvensi internasional maupun hukum kebiasaan internasional. 2. Dapat dituntut pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional. 3. Menyentuh perasaan kemanusiaan sehingga menjadi keprihatinan dunia internasional. ICC PBB telah menyadari bahwa diperlukan sebuah mekanisme permanen pengadilan bagi para pelaku dan penjahat HAM sejak tahun 1948. Pemikiran ini diambil berdasarkan pengalaman pengadilan Nuremberg dan Tokyo yang mengadili kejahatan perang di masa perang dunia. Wacana tentang mekanisme permanen ini semakin membesar saat dibentuknya ICTY dan ICTR. Sebenarnya ide tentang sebuah pengadilan pidana internasional telah dimulai sejak tahun 1937 oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) – kemudian menjadi PBB.31 Pada 17 Juli 1998, di dalam sebuah Konferensi Diplomatik PBB di Roma, menjadi embrio terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional. Konferensi ini kemudian menghasilkan sebuah perjanjian multilateral yaitu Statuta Roma yang merupakan dasar berdirinya
31
Erikson Hasiholan Gultom, S.H., Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional Dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, 2006, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah tersebut. Dari 160 negara yang ikut, hanya 55 wakil negara yang menandatangani statuta ini. … Tidak mudah untuk membuat badan peradilan ini terwujud karena dibutuhkan sebanyak 60 negara yang meratifikasi statuta. Pada akhirnya, 1 Juli 2002, statuta ini telah diratifikasi oleh 60 negara dan secara otomatis statuta ini berlaku.32 Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda). Tujuan didirikannya ICC dapat kita temukan dalam penggalan pembukaan Statuta Roma 1998, adalah : Bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan tersebut; Memutuskan untuk menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya keadilan internasional; Dengan tujuan tersebut diharapkan ICC dapat menghukum siapapun, bahkan seorang Kepala Negara yang seringkali memiliki kekebalan hukum (impunity). Hal ini juga agar keadilan internasional dapat terwujud dan dihormati. International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan internasional yang mengadili individu yang berumur minimal 18 yang melakukan kejahatan internasional berdasarkan Statuta Roma 1998. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 26 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ―Tidak dimasukkannya Jurisdiksi atas orangorang dibawah delapan belas tahun‖.
32
Ibid, Hal. 2-3
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, Jurisdiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. Mahkamah mempunyai jurisdiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatankejahatan berikut: (a) Kejahatan genosida; (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) Kejahatan perang; (d) Kejahatan agresi. Hal ini menunjukkan bahwa ICC atau Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat mengadili individu yang melakukan salah satu atau lebih kejahatan-kejahatan internasional berikut yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Selain daripada kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat dituntut dan diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional atau ICC. Mengenai yurisdiksi temporal atau waktu terhadap dapatnya ICC melaksanakan yurisdiksi atau kewenangannya dapat kita lihat pada Pasal 11 dan 12 ayat 3 Statuta Roma 1998. Pasal 11 Statuta Roma 1998 1. Mahkmah mempunyai jurisdiksi hanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta ini. 2. Kalau suatu Negara menjadi pihak dari Statuta ini setelah Statuta ini mulai berlaku, Mahkmah dapat melaksanakan jurisdiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya Statuta ini untuk Negara tersebut, kecuali kalau Negara tersebut telah membuat suatu deklarasi berdasarkan pasal 12, ayat 3. Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma 1998 3. Kalau penerimaan suatu Negara yang bukan pihak dari Statuta ini disyaratkan berdasarkan ayat 2, Negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan kepada Panitera, menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh Mahkamah berkenaan dengan kejahatan yang dipersoalkan. Negara yang menerima bekerja sama dengan Mahkamah tanpa ditunda-tunda lagi atau perkecualian sesuai dengan Bagian 9.
Dari pasal 11 dan 12 ayat 3 tersebut diatas dapat kita ketahui waktu terhadap dapatnya ICC melaksanakan kewenangannya yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. ICC dapat menerapkan yurisdiksi atas kejahatan internasional yang dilakukan individu setelah ditetapkannya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli 2002. 2. Untuk negara-negara yang baru bergabung menjadi anggota ICC setelah penetapan Statuta Roma 1998 (1 Juli 2002), ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di negara tersebut hanya pada kejahatan internasional yang dilakukan individu setelah negara tersebut melakukan ratifikasi Statuta Roma 1998. 3. Terhadap kejahatan internasional yang dilakukan individu sebelum negara tersebut melakukan ratifikasi Statuta Roma 1998, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya dengan syarat negara tersebut melakukan deklarasi kepada ICC melalui Panitera ICC yang menyatakan bahwa negara tersebut menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh ICC berkenaan dengan kejahatan internasional yang dilakukan individu sebelum proses ratifikasi Statuta Roma 1998 terjadi tetapi juga kejahatan tersebut dilakukan harus setelah ditetapkannya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli 2002. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa ICC menerapkan prinsip non-retroactif dalam melaksanakan yurisdiksinya. Prinsip non-retroactif tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 24 ayat 1 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ― Tidak seorang pun bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya Statuta ini.‖ Pengecualian terhadap prinsip non-retroactif tersebut hanya berlaku pada saat suatu
negara memberikan deklarasi persetujuan kepada ICC untuk tidak menerapkan prinsip nonretroactif berdasarkan Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma 1998. Mengenai siapa-siapa saja yang dapat meminta ICC untuk melaksanakan yurisdiksinya atau pemeriksaan terhadap dugaan kejahatan internasional , dapat kita lihat pada Pasal 13 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
―Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang dicantumkan dalam pasal 5 sesuai dengan ketentuan Statuta ini, kalau: (a) Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan itu diteruskan kepada Penuntut Umum oleh suatu Negara Pihak sesuai dengan pasal 14; (b) Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan tersebut diteruskan kepada Penuntut Umum oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; atau (c) Penuntut Umum dapat memprakarsai suatu penyelidikan berkenaan dengan kejahatan tersebut sesuai dengan pasal 15.‖ Dari Pasal 13 Statuta Roma 1998, kita dapat melihat bahwa ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya atas dugaan peristiwa kejahatan internasional berdasarkan salah satu atau lebih dari berikut ini yaitu : 1. Permintaan negara anggota ICC. 2. Rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. 3. Inisiatif ICC sendiri. Selanjutnya, Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998 menentukan bahwa pelaksanaan yurisdiksi ICC atas dugaan kejahatan internasional yang dirujuk oleh suatu negara anggota kepada ICC atau yang berdasarkan inisiatifnya ICC sendiri, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya jika satu atau lebih negara-negara berikut sudah menjadi Negara Pihak atau negara anggota dari Statuta Roma 1998 atau telah menerima jurisdiksi ICC 33 : 1. Negara tempat terjadinya kejahatan internasional, atau negara tempat pendaftaran kapal atau pesawat udara kalau kejahatan dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang. 2. Negara tempat tersangka pelaku kejahatan internasional menjadi warganya. Berdasarkan ketentuan tersebut yaitu Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998, dapat diketahui bahwa sepanjang suatu peristiwa dugaan kejahatan internasional yang diminta oleh negara pihak atau negara anggota ICC diperiksa oleh ICC atau yang diselidiki berdasarkan inisiatif ICC sendiri, ICC dapat melaksanakan kewenangannya atas siapa pun (baik warga dari negara
33
Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998
Universitas Sumatera Utara
anggota maupun bukan), sepanjang kejahatan internasional tersebut dilakukan di wilayah negara anggota ICC dan ICC juga dapat melaksanakan kewenangannya terhadap kejahatan internasional di wilayah negara manapun (baik wilayah negara anggota maupun bukan), sepanjang pelakunya adalah warga negara dari negara anggota ICC. Namun, jika ada suatu peristiwa dugaan kejahatan internasional dimana dilakukan di wilayah negara yang bukan negara pihak atau negara anggota ICC dan pelakunya juga tidak berasal dari suatu negara anggota ICC, ICC tetap dapat menjalankan kewenangannya hanya jika ada rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal Pasal 13 ayat 2 Statuta Roma 1998. Mahkamah Pidana Internasional memiliki hubungan dengan Perserikatan BangsaBangsa, karena terbentuknya Mahkamah ini tidak bisa terlepas dari prakarsa PBB melalui Majelis Umum dengan peranan oleh Komisi Hukum Internasional. Mahkamah ini tidak berada di bawah atau sebagai bagian (bagian utama, bagian subsider ataupun bagian khusus) dari PBB, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah berada di luar sistem PBB dengan kedudukannya sejajar atau setara dengan PBB. Hal ini berdasarkan perjanjian antara Mahkamah dan PBB yang tertuang dalam Pasal 2 Statuta Roma tahun 1998.34 Oleh karena itulah, hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan PBB adalah setara. PBB melalui Dewan Keamanan hanya dapat memberikan rekomendasi terkait adanya dugaan tindak pidana kejahatan internasional kepada Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Pidana Internasional juga dalam menanggapi rekomendasi tersebut hanya sebagai saran. Mahkamah Pidana Internasional dapat menerima rujukan tersebut namun dapat juga menolak rujukan tersebut. Hal ini karena tentu saja, berdasarkan Pasal 1 Statuta Roma 1998,
34
Anis Widyawati, S.H., M.H., opcit, hal. 150
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Pidana Internasional adalah lembaga pengadilan internasional yang independen dan permanen dalam menyidik dan mengadili tindak pidana kejahatan internasional. Dengan berbagai kewenangan yang dimiliki ICC, bukan berarti ICC menjadi ―Pengadilan Dunia" atau pengadilan yang dapat melanggar batas-batas kedaulatan suatu negara. Didirikannya ICC atau Mahkamah Pidana Internasional tidaklah bermaksud untuk menggantikan yurisdiksi nasional yang dilaksanakan oleh pengadilan nasional di setiap negara. Dalam Pasal 1 Statuta Roma 1998, disebutkan bahwa : ―Dengan ini Mahkamah Pidana Internasional (selanjutnya disebut ―Mahkamah‖) dibentuk. Mahkamah ini merupakan suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana dicantumkan dalam Statuta ini, dan merupakan pelengkap terhadap jurisdiksi kejahatan nasional. Kewenangan dan fungsi Mahkamah ini diatur oleh ketentuan-ketentuan Statuta ini.‖ Dalam Pembukaan Statuta Roma 1998, juga disebutkan bahwa : ―Menekankan bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di bawah Statuta ini akan merupakan pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional;‖ Dalam Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998 dan Pembukaan Statuta Roma tahun 1998 tersebut diatas memberikan penjelasan bahwa Mahkamah Pidana Internasional menganut prinsip pelengkap atau komplementer (complementary principle). Prinsip pelengkap ini berarti Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap dari pengadilan nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional menghormati kedaulatan tiaptiap negara. Berdasarkan prinsip pelengkap tersebut, Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat aktif jika dalam suatu kasus, sistem pengadilan nasional negara yang bersangkutan tidak mampu dan atau enggan bahkan tidak mau menerapkan yurisdiksi nasionalnya.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria terhadap ketidakmampuan dan ketidakinginan pengadilan nasional suatu negara dalam menerapkan yurisdiksinya untuk mengadili warga negaranya yang melakukan kejahatan internasional dapat kita lihat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3 Statuta Roma 1998, yang menyatakan bahwa : 1. Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma 1998 Untuk menentukan ketidaksediaan (keengganan atau ketidakinginan) dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan, dengan mengingat prinsip-prinsip proses yang seharusnya yang diakui oleh hukum internasional, apakah satu atau lebih dari yang berikut ini ada, dan dapat diterapkan: a) Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan nasional diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi Mahkamah sebagaimana tercantum dalam pasal 5; b) Ada suatu penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dalam langkahlangkah hukum yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah; c) Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak, dan langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cara di mana, dalam hal itu, tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah. 2. Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998 Untuk menentukan ketidakmampuan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan apakah, disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya, Negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang perlu atau sebaliknya tidak dapat melaksanakan langkah-langkah hukumnya.
Posisi individu yang strategis dalam suatu negara, seperti kepala negara atau pejabat, sangat memungkinkannya untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada pada dirinya agar pengadilan nasionalnya tidak mampu dan atau tidak ingin mengadili dirinya atas kejahatan internasional yang telah dilakukannya. Hal inilah yang membuat individu seperti seperti kepala negara atau pejabat sering menikmati kekebalan hukum yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang disebut sebagai impunity. Dalam menjawab tantangan tersebut ICC hadir untuk memutuskan rantai impunitas (impunity) agar siapapun yang melakukan kejahatan internasional dapat diadili dan juga dihukum sepanjang pengadilan nasional tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
mampu dan atau tidak ingin menerapkan yurisdiksinya. ICC hadir sebagai pelengkap pengadilan nasional berkenaan dengan prinsip pelengkap atau (complementary principle) yang dianut oleh ICC sesuai dengan Pasal 1 Statuta Roma 1998 . Sehingga berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Pidana Internasional atau ICC dibentuk bukan untuk menggantikan pengadilan nasional suatu negara, namun adalah sebagai pelengkap. ICC hanya dapat aktif baik itu karena permintaan negara pihak, rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB, maupun atas inisiatif ICC sendiri, jika sistem pengadilan nasional suatu negara tidak mampu dan atau enggan bahkan tidak mau menerapkan yurisdiksi nasionalnya untuk mengadili pelaku kejahatan internasional G. Metode penelitian Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah, bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada. 35
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari
satu
atau
beberapa
gejala
hukum
tertentu
dengan
jalan
menganalisasnya.Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. 36
35
Suratman,S.H., M.H. dan H. Philips Dillah, S.H., M.H., METODE PENELITIAN HUKUM, CV Alfabeta, Bandung, 2013, hal. 34 36 Soerjono Soekanto dalam Suratman dan H. Philips Dillah , Ibid, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
Metode ilmiah diperlukan untuk menguji kebenaran dari suatu karya tulis. Hal ini agar karya tulis ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, hal ini karena penelitian ini ditujukan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku baik itu perangkat hukum maupun putusan-putusan pengadilan selain itu diteliti juga buku-buku, literatur, jurnal, bahan internet dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini. Penelitian ini bersifat Deskriptif-Analitis,
yaitu
penulis
menjelaskan
hal-hal
yang dapat
menjadi
permasalahan dan kemudian menganalisisnya dengan berdasarkan bahan hukum agar diperoleh jawaban, keterangan dan kesimpulan yang jelas terhadap permasalahanpermasalahan tersebut. 2. Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier. 37 Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat menjadi landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Den Haag dan peraturan hukum lainnya.
37
Ibid, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung dan dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum, c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
jurnal
hukum, artkel, bahan internet, dan lain sebagainya. 3. Alat Pengumpul Data Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 38 Untuk mengumpulkan data dalam mendukung penulisan skripsi ini, penulis menggunakan cara kepustakaan atau Library Research, yaitu mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan melakukan penelitian dari berbagai sumber buku yang terdapat di perpustakaan, norma hukum, studi putusan, jurnal hukum, internet, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi putusan, jurnal hukum dan lain sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif. Analisa kualitatif adalah pemaparan terhadap teori-teori yang
38
Ibid, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan sehingga teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan keterangan dan kesimpulan pada skripsi ini. H. Sistematika Penulisan Karya tulis yang baik haruslah disusun secara sistematis. Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub bab untuk mempermudah dalam memamparkan pembahasan dari skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I: PENDAHULUAN Bab I dalam penulisan skripsi ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran umum yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : KEDUDUKAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK BERSENJATA Bab II dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas secara umum mengenai benda budaya dalam konflik bersenjata. Di uraikan dari defenisi dan pengertian benda budaya, sejarah penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dan kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata. BAB III : TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998 Bab III dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas tentang tanggung jawab individu. Diuraikan dari kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional, impunity dalam hukum internasional dan bagaimana pengaturan tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma 1998. BAB IV : PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU
Universitas Sumatera Utara
DALAM PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK BERSENJATA DI MALI Bab IV dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas tentang
putusan
ICC dalam kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad al-Faqi al-Mahdi saat terjadinya konflik bersenjata di Mali. Diuraikan dari pengkategorian penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata sebagai kejahatan perang, latar belakang penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali, dan putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab V dalam penulisan skripsi ini adalah bab penututp yang memuat kesimpulan dari keseluruhan materi dalam skripsi ini dan juga dilengkapi dengan saran-saran yang diharapkan berguna dan bermanfaat dimasa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara