BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air tanah merupakan sumber daya yang sangat bermanfaat bagi semua makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan air. Kondisi tempat bermukim berbedabeda, tidak semua daerah memiliki sumber daya air yang cukup, sehingga ada daerah-daerah tertentu yang menglami kesulitan akan sumber daya air. Bahkan ada daerah tertentu yang awalnya memiliki sumber daya air berlimpah menjadi daerah yang kekurangan air. Air tanah didefinisikan sebagai air yang terdapat di bawah permukaan bumi. Salah satu sumber utamanya adalah air hujan yang meresap ke bawah lewat lubng pori di antara butiran tanah. Air yang berkumpul di bawah permukaan bumi ini disebut akuifer. Peranan air tanah semakin lama semakin penting karena air tanah menjadi sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup orang banyak. Sumber air tanah berasal dari air yang ada di permukaan tanah (air hujan, danau, dan sebagainya) kemudian meresap ke dalam tanah di daerah imbuhan (recharge area) dan mengalir menuju ke daerah lepasan (discharge area). Aliran air tanah di dalam tanah dari daerah imbuhan ke daerah lepasan cukup lambat, sampai ribuan tahun tergantung dari jarak dan jenis batuan yang dilalui (Sedana, 2015).
1
Bencana gempabumi yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 berkekuatan 5,9 Skala Richter (SR) telah menyebabkan kerusakan di sebagian daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagian daerah Provinsi Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Klaten. Salah satu akibat yang ditimbulkan oleh gempabumi ini adalah situasi anomali pada kondisi air yang berada di bawah permukaan tanah seperti di Bantul, Jogja, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Klaten. Fenomena-fenomena yang terjadi pasca gempa 2006 ini, di daerah tertentu sumur-sumur mengalami kekeringan, kemunculan artesian, kualitas air berubah, sumur mengeluarkan lumpur atau tanah, dan sumur menjadi keruh. Sumur-sumur mengalami kekeringan diduga karena adanya tekanan terhadap material akuifer di satu sisi, dan di sisi yang lain mengalami kenaikan elevasi akuifer. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya fenomena ini adalah kemungkinan adanya retakan baru sesar yang menyebabkan perubahan sistem akuifer (Humas UGM, 2006). Dari survei lapangan, terdapat banyak sekali desa-desa yang mengalami kerusakan parah pasca gempabumi 2006. Salah satunya adalah Dusun Paten Desa Srihardono Kecamatan Pundong. Pasca gempabumi 2006 sumur-sumur warga Dusun Paten mengalami kekeringan dan adapula beberapa sumur warga yang mengeluarkan lumpur, hal ini diketahui berdasarkan pemaparan kepala Dusun Paten. Letak geografi Dusun Paten yang berada pada zona patahan Opak, membuat dusun ini menjadi salah satu daerah yang mengalami kerusakan sangat parah.
2
Selain kerusakan air tanah, gempabumi yang berkekuatan besar ini juga menyebabkan beberapa peristiwa likuifaksi atau hilangnya kekuatan lapisan tanah dan penurunan permukaan tanah di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Tercatat adanya beberapa kejadian akibat proses likuifaksi, seperti terdapatnya perubahan muka air sumur yang membawa endapan pasir halus. Pada umumnya likuifaksi terjadi pada lapisan tanah yang granuler (kepasiran) yang jenuh air dan menerima beban siklik atau pembebanan secara berulang akibat gempa. Getaran tanah mengakibatkan partikel tanah berkontraksi dan karena berlangsung begitu cepat dalam kondisi tak terdrainase, hal tersebut memicu naiknya tekanan air pori pada tanah. Ketika nilai air pori mencapai sama besar dengan tegangan total tanah, maka tegangan efektif tanah sama dengan nol, dan pada saat itulah tanah mengalami penurunan kuat geser dan runtuh (Jarayanih, 2011). Lokasi-lokasi terjadinya likuifaksi di wilayah Bantul akibat gempa tahun 2006 ditunjukkan Gambar 1.
3
Gambar 1. Lokasi likuifaksi di wilayah Bantul akibat gempa Yogyakarta 2006 (Soebowo, 2007).
Air tanah (ground water) adalah salah satu sumber air yang baik untuk air minum, karena adanya berbagai keuntungan dibanding dengan sumber air lainnya. Terdapat beberapa tipe geologi air tanah dan salah satu yang terpenting adalah akuifer, yaitu formasi batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang cukup (Todd, 1980; Fetter, 1994). Perlapisan akuifer tidak dapat dilihat dari permukaan namun dapat dilakukan dengan pendugaan geofisika. Metode geofisika merupakan suatu metode yang digunakan untuk mempelajari tentang bumi yang berada pada permukaan atau di atas permukaan bumi dengan menggunakan parameter-parameter fisika (Dobrin dan Savit, 1988). Salah satu metode geofisika tersebut adalah geolistrik. Metode geolistrik memanfaatkan arus listrik yang dihantarkan ke dalam tanah. Berdasarkan hasil geolistrik maka akan 4
diperoleh nilai hambatan jenis (resistivity) dari tiap material yang dialiri oleh arus listrik. Nilai hambatan jenis batuan dapat diartikan sebagai suatu hambatan dalam satuan ohm-meter (Todd, 1980). Prinsip dalam metode geolistrik yaitu, arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, sedangkan potensial yang terjadi diukur melalui dua elektroda potensial. Metode ini memiliki banyak konfigurasi elektroda, di antaranya yang sering digunakan adalah: konfigurasi Wenner, konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner-Schlumberger, konfigurasi Dipole-dipole, Rectangle Line Source dan sistem gradien 3 titik (Hendrajaya dan Idham, 1990). Berdasarkan nilai hambatan jenis batuannya, dapat ditentukan material tersebut dapat menyimpan air atau tidak. Berdasarkan stratigrafi dari batuan maka dapat diperoleh informasi mengenai susunan akuifer. Berdasarkan pendugaan geolistrik dengan metode Schlumberger maka akan diperoleh suatu model hidrostratigrafi. Model hidrostratigrafi akan memuat karakteristik akuifer yang ada di suatu daerah. Contoh-contoh dari akuifer adalah pasir tak termampatkan (unconsiladated), kerikil (gravel), batu pasir, batu gamping, dan dolomit berongga-rongga (porous), aliran basalt, batuan malihan dan plutonik dengan banyak retakan (Fetter, 1994). Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan akuifer telah banyak dilakukan seperti yang dilakukan oleh Ferry Tanjung pada tahun 2009 yaitu dengan judul penelitian survei geolistrik resistivitas sounding untuk pemetaan air tanah di Pulau Bala, Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, Nangroe Aceh Darussalam. Umar Iskandar pada tahun 2011 tentang pemetaan akuifer di Dusun Banjarharjo 1 5
dan Tangkil Desa Muntuk Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul dengan menggunakan metode geolistrik konfigurasi dipole-dipole. Pada tahun 2011 Waridad Atmaja telah melakukan penelitian tentang identifiksi air tanah dengan menggunakan metode geolistrik konfigurasi Schlumberger. Pada tahun 2012 Nohan Muntaqo melakukan penelitian dengan judul pemetaan air tanah dan penentuan pelapisan batuan dengan metode resistivitas di daerah Tegaldowo dan sekitarnya, Rembang Jawa Tengah. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang identifikasi akuifer di zona patahan Opak belum pernah dilakukan sebelumnya. Pendugaan untuk mengetahui struktur batuan di bawah permukaan tanah, dilihat dari data geolistrik yang telah diolah dengan melihat sifat-sifat batuannya, baik yang konduktif maupun resistif pada daerah penelitian dengan mendeteksi perbedaan resistivitas semu daerah tersebut. Metode geolistrik sangat sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini, karena dengan metode ini dapat diketahui jenisjenis batuan yang tersusun di bawah permukaan dengan mengetahui nilai resistivitasnya, jika ditemukan akuifer maka nilai resistivitas relatif lebih rendah dibandingkan nilai resistivitas batuan yang lainnya (GEOCIS, 2010). Konfigurasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah konfigurasi Schlumberger. Konfigurasi ini merupakan salah satu jenis konfigurasi untuk penyelidikan secara sounding atau vertikal, sehingga cocok untuk digunakan dalam penelitian identifikasi akuifer.
6
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut: 1.
Pasca gempabumi 2006 terdapat fenomena pada beberapa air tanah seperti sumur-sumur mengalami kekeringan, kemunculan artesian, kualitas air berubah, sumur mengeluarkan lumpur atau tanah serta pasir, sumur menjadi keruh, muncul mata air baru, perubahan kedudukan elevasi sungai bawah tanah karst, dan peristiwa likuifaksi atau hilangnya kekuatan lapisan tanah dan penurunan permukaan tanah di Bantul, Jogja, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Klaten.
2.
Belum ada penelitian tentang identifikasi akuifer di Dusun Paten pasca gempbumi 2006.
3.
Masih kurangnya informasi tentang hidrostratigrafi dan karakteristik akuifer di daerah yang berada pada zona patahan Opak.
C. Batasan Masalah Ruang lingkup masalah yang diamati pada penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Data yang digunakan dalam studi ini adalah berupa data geolistrik dengan koordinat 7°55'18,39'' LS sampai 7°57'09,72'' LS dan 110°19'22,26'' BT sampai 110°22'56,06'' BT.
2.
Lokasi penelitian terletak di zona patahan Opak, di Dusun Paten, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul.
3.
Jenis akuifer yang dipetakan merupakan akuifer bebas (unconfined aquifer). 7
Hasil pengukuran diolah dengan menggunakan program IPI2win untuk menghitung nilai resistivitas batuan penyusun akuifer
D. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Jenis batuan apa sajakah di Dusun Paten berdasarkan nilai resistivitas batuannya?
2.
Bagaimana kondisi hidrostratigrafi dan karakteristik akuifer di Dusun Paten?
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1.
Mengetahui jenis batuan di Dusun Paten berdasarkan nilai resistivitasnya.
2.
Mengetahui kondisi hidrostratigrafi dan karakteristik akuifer di Dusun Paten.
F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Memberikan informasi bagi instansi dalam bidang pertambangan dan energi yaitu Disperindagkop DIY, tentang struktur bawah permukaan dan perlapisan akuifer di Dusun Paten pasca gempa Yogyakarta 2006.
2. Dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang struktur akuifer di zona patahan Opak jika suatu saat terjadi gempabumi kembali.
8