BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3). Fungsi semacam ini menunjukkan hubungan yang erat antara bahasa dengan masyarakat. Bahasa adalah praktik sosial; dan bahasa adalah wacana, alih-alih teks. Dalam konteks ini bahasa
dipahami sebagai sebuah proses
berkomunikasi yang hanya sebagian saja berupa teks. Itulah pengantar yang diberikan oleh Candlin, penyunting untuk buku karya Fairclough (Fairclough, 1992: viii) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut. “Central here are two assertions; that language is social practice and not a phenomenon external to society to be adventitiously correlated with it, and that language seen as discourse rather than as accomplished text compels us to take account not only of the artefacts of language, the products that we hear and see, but also the conditions of production and interpretation of texts, in sum the process of communicating of which the text is only a part” Pemahaman terhadap bahasa di atas mewakili sudut pandang kaum fungsionalis mengenai pengertian atau definisi tentang “wacana”. Menurut pandangan ini “wacana” adalah gabungan atau kombinasi integral antara teks dengan aspek-aspek yang bersifat non-kebahasaan. Kaum fungsionalis memandang wacana sebagai bahasa dalam penggunaan (language in use) (Mayr, 2000: 3). Dengan demikian wacana senantiasa bersifat kontekstual, digunakan untuk melakukan interaksi sosial, dan perlu dimaknai pula dalam situasi sosialnya. Sementara itu dari sudut pandang kaum formalis atau linguistik formal “wacana” didefinisikan sebagai
satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Kridalaksana, 2008: 259). Pendekatan bahasa sebagai praktik sosial di atas mengandung tiga hal, yakni bahwa bahasa adalah bagian (integral) dari masyarakat; bahwa bahasa adalah sebuah proses sosial; dan bahwa bahasa adalah sebuah proses yang terkondisikan secara sosial (Fairclough, 1992: 22). Dengan pemahaman ini maka analisis wacana adalah analisis terhadap teks (linguistik) untuk menggambarkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat, misalnya kuasa (dominasi), emansipasi, kesetaraan, dan rasisme. Analisis wacana semacam ini disebut Analisis Wacana Kritis (selanjutnya disingkat AWK) atau Critical Discourse Analysis. AWK didefinisikan oleh Fairclough (Fairclough, 1995a: 132-133) sebagai: the kind of discourse analysis which aims to systematically explore often opaque relationships of causality and determination between (a) discursive practices, events and texts, and (b) wider social and cultural structures, relations and processes; to investigate how such practices, events and texts arise out of and are ideologically shaped by relations of power and struggles over power; and to explore how the opacity of these relationships between discourse and society is itself a factor securing power and hegemony. ‘jenis analisis wacana yang bertujuan untuk mengeksplorasi secara sistematik hubungan kausalitas dan penentuan yang sering kurang jelas antara (a) praktikpraktik diskursif, peristiwa dan teks, dan (b) struktur, hubungan dan proses sosialbudaya yang lebih luas; untuk mengkaji bagaimana praktik, peristiwa dan teks seperti itu muncul dan secara ideologis dibentuk oleh hubungan kuasa dan perjuangan melawan kuasa; dan untuk mengeksplorasi bagaimana kekurangjelasan hubungan-hubungan antara wacana dan masyarakat itu sendiri menjadi faktor yang menjamin kuasa dan hegemoni’. Oleh peneliti lain istilah “wacana” (yang dikaji dalam AWK) disebut pula dengan “teks” (dengan tanda petik ganda). AWK mengkaji “teks” yang membuat realita kita, mempertanyakan asumsi-asumsinya, mengidentifikasi ideologi-ideologi yang mendasarinya serta hubungan antara bahasa dengan praktik-praktik sosial2|Page
institusional, dan bagaimana semua itu dikaitkan dengan pembentukan dan pemeliharaan struktur-struktur kuasa (Bennet, 2011: 3). Kajian kritis terhadap “teks” itu ditujukan untuk mengadvokasi mereka yang tidak memiliki kuasa dan/atau yang termarjinalkan karena merekalah yang paling menderita akibat dominasi dan ketaksetaraan. Untuk itulah peneliti AWK senantiasa berpihak pada mereka yang paling memerlukannya (van Dijk, 1993: 252), misalnya rakyat kecil. Disertasi ini mengkaji pemberitaan mengenai korupsi di media, khususnya surat kabar. Sebuah berita adalah wacana atau “teks”; dan bersama-sama dengan berita-berita sejenis lainnya secara intertekstual, wacana atau “teks” tersebut membentuk wacana yang lebih besar, yakni wacana korupsi. Disertasi ini mengkhususkan diri pada wacana korupsi berbahasa Indonesia dan Prancis di surat kabar, khususnya versi daring. Empat penggalan berita pada data disajikan di bawah ini. (1) Mahkamah Agung memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. Putusan kasasi itu dijatuhkan pada Senin (15/9/2014) dengan ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme. Selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. (…). Artidjo mengatakan, majelis kasasi menolak kasasi terdakwa karena hanya merupakan pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pengadilan tingkat pertama dan banding. (Kompas,16/9/2014) (2) Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman mantan ketua umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dari tujuh tahun penjara menjadi 14 tahun penjara. Mantan ketua umum DPP Partai Demokrat itu pun didenda Rp5 miliar subsidair satu tahun empat bulan bulan kurungan, serta Anas juga harus 3|Page
membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580, kepada negara. (Republika, 8/6/2015). (3) Le parquet de Nanterre a ouvert une enquête préliminaire pour corruption visant le sénateur-maire PS de Clamart (Hauts-de-Seine), Philippe Kaltenbach, pour établir s'il a monnayé l'attribution d'un logement social, a-ton appris jeudi de source judiciaire. Confiée à la Brigade de répression de la délinquance économique (BRDE), l'enquête est partie d'une vidéo réalisée à l'insu de M. Kaltenbach par un de ses anciens adjoints, révélée par Le Figaro jeudi et mise en ligne sur les réseaux de partage de vidéos. (Le Parisien, 26/01/2012) ‘Jaksa Nanterre membuka penyelidikan awal untuk korupsi bagi SenatorWalikota PS kota Clamart (Hauts-de-Seine), Philippe Kaltenbach, untuk menetapkan apakah ia menerima uang dalam alokasi perumahan sosial, demikian kata sumber peradilan Kamis. Dilaksanakan oleh kepada Brigade untuk represi kejahatan ekonomi, penyelidikan berangkat dari video yang direkam tanpa sepengetahuan Kaltenbach oleh salah seorang mantan asistennya, yang diambil alih oleh Le Figaro Kamis dan diunggah secara daring pada jaringan berbagi video. Dalam adegan ini, terlihat Kaltenbach menerima, di kantornya, uang tunai 1.000 Euro dari mantan asistennya. Pada saat penerimaan dana itu, Kaltenbach dan mitra bicaranya tampaknya membahas alokasi sebuah hunian kepada pihak ketiga, tanpa ada keterkaitan antara pemberian imbalan dengan percakapan tersebut’. (4) L'ex-premier secrétaire fédéral du Parti socialiste en Gironde, Ludovic Freygefond, a été condamné jeudi à 18 mois de prison avec sursis et cinq ans d'inéligibilité par le tribunal correctionnel de Bordeaux dans une affaire de corruption. En retrait de sa fonction de patron du PS girondin depuis son renvoi devant le tribunal, M. Freygefond était poursuivi pour "corruption passive" et "prise illégale d’intérêt" dans le cadre d'une opération immobilière dans la commune du Taillan-Médoc (Gironde), dont il a été le maire de 2001 à 2014. (Le Parisien, 13/11/2014) ‘Mantan Sekretaris Federal Partai Sosialis di Gironde, Ludovic Freygefond, divonis Kamis 18 bulan hukuman penjara dengan penangguhan dan lima tahun kehilangan hak dipilih oleh pengadilan Bordeaux dalam kasus korupsi. Mengundurkan diri dari posisinya sebagai pemimpin Partai Sosial Gironde sejak kasusnya diangkat pengadilan, Freygefond dituntut untuk "korupsi pasif" dan kolusi dalam transaksi real estat di daerah le Taillan-Médoc (Gironde), saat ia menjabat Walikota dari 2001 sampai 2014’ Dilihat dari isinya, keempat penggalan berita di atas memberikan informasi atau fakta yang cukup jelas kepada publik pembaca mengenai kasus korupsi yang 4|Page
dilaporkan. Dari sisi jurnalistik pun masing-masing berita (dalam versi lengkapnya) telah memenuhi rumusan klasik jurnalisme, yakni 5W + 1H (Budiman, 2011: 2). Data nomor (1) misalnya telah memenuhi keenam unsur itu, yakni What (memperberat hukuman dan mencabut hak politik), Who (Luthfi Hasan Ishaaq), Where (Mahkamah Agung, Jakarta), When
(Senin), Why (terbukti melakukan
hubungan transaksional), dan How (menolak kasasi terdakwa). Pemenuhan rumusan jurnalisme itu membuat pembacanya menjadi tahu atau mendapatkan informasi mengenai peristiwa yang diberitakan. Apakah itu semua sudah cukup, khususnya jika dikaitkan dengan berita yang diinformasikan, yakni tentang korupsi? Lalu, mengapa (berita tentang) korupsi dianggap sesuatu yang perlu diperhatikan? Korupsi adalah salah satu bentuk tindakan kriminal dan merupakan sebuah fenomena yang sangat rumit; dan tidak ada satu negara pun yang terbebas dari korupsi. Corruption Perception Index 20141 yang diterbitkan oleh Transparency International menempatkan Indonesia pada peringkat 107 (dari 175 negara yang disurvei) dengan nilai persepsi korupsi 34. Tahun 2013 Indonesia berada pada posisi 114 dengan nilai 32. Indonesia berada pada peringkat yang sama dengan Argentina dan Djibouti serta hanya sedikit lebih bersih daripada Albania, Ekuador, Ethiopia, Kosovo, dan Malawi. Negara Prancis mendapatkan nilai persepsi yang jauh lebih baik, yakni 69 (nilai tahun 2013 adalah 71), dan berada para peringkat 26 (22 pada tahun 2013), sejajar dengan Estonia dan Qatar. Publik Prancis sendiri, yang negaranya menduduki posisi 26 dari 175 negara yang disurvei, tidak senang dengan situasi ini. Harian terkemuka L’Obs edisi 3 Desember 2014 memberikan komentar 1
http://cpi.transparency.org/cpi2014/
5|Page
bahwa Prancis masih saja mendapatkan peringkat buruk dan masih berada jauh dari negara-negara yang dapat dikategorikan bersih (dari korupsi)2. Perbedaan peringkat kebersihan korupsi yang besar antara kedua negara itu menunjukkan betapa jalan perjuangan bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi masih jauh lebih panjang dibandingkan negara Prancis. Untuk itu, semangat untuk berperang melawan korupsi harus terus menerus digelorakan, di manapun di dunia ini, tidak hanya di kedua negara itu. Lalu, apa kaitan antara ada/tidaknya pemihakan pada rakyat kecil, perjuangan melawan korupsi, dan berita korupsi? Berita korupsi, yang unsur utamanya adalah bahasa, dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam perjuangan melawan korupsi; dan salah satu ekspresi perjuangan itu adalah kemasan berita yang juga mencerminkan pemihakan pada rakyat kecil di dalamnya. Yang kemudian menjadi pendorong dilakukannya penelitian dalam disertasi ini adalah sebuah pertanyaan: apakah berita korupsi sudah mencerminkan pemihakan pada rakyat kecil? Pertanyaan itulah yang kemudian mengarahkan perhatian kajian ini pada tiga dimensi AWK, yakni teks, praktik wacana, dan praktik sosial atau sosiokultural (Fairclough, 1995a: 133). Jika “kecurigaan” dalam disertasi ini bermuara pada ketakberpihakan media pada rakyat kecil, pertanyaan yang mengemuka adalah praktik wacana dan praktik sosiokultural seperti apa yang mengkontekstualisasi teks korupsi? Pertanyaan berikutnya yang kemudian muncul adalah, bagaimana praktik wacana dan praktik
2
http://tempsreel.nouvelobs.com/societe/20141203.OBS6765/corruption-la-france-toujours-malclassee-le-danemark-bon-eleve.html
6|Page
sosiokultural di Prancis dan Indonesia yang perbedaan peringkat “kebersihan korupsinya” cukup besar?
1.2 Masalah dan Tujuan Penelitian Fokus disertasi ini adalah konstruksi media terkait dengan korupsi di Indonesia dan Prancis. Kajian kritis dilakukan dengan melihat keterhubungan antara teks, praktik wacana, dan praktik sosiokultural untuk menjawab tiga pertanyaan di bawah ini. a)
Apa pilihan-pilihan tekstual yang dilakukan oleh media Indonesia dan Prancis dalam mengonstruksi teks korupsi mereka?
b)
Bagaimana wujud intertekstualitas dan interdiskursivitas dalam praktik wacana kedua media?
c)
Bagaimana konsep dan praktik kuasa dan ideologi media terkait dengan persoalan korupsi di Indonesia dan Prancis? Untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas maka langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam kajian ini adalah: a)
Memerikan secara komparatif sarana-sarana tekstual yang dipilih oleh media Indonesia dan Prancis dalam membangun teks korupsi.
b)
Mengidentifikasi dan menginterpretasi wujud-wujud intertekstualitas dan interdiskursivitas pada praktik wacana kedua media.
c)
Mengidentifikasi dan menginterpretasi praktik kuasa dan ideologi kedua media dalam mengonsepsi korupsi.
7|Page
Idealisme disertasi yang berbasis kebahasaan ini ialah turut memberikan tempat yang berarti bagi bahasa sekaligus mengangkat perannya sebagai salah satu alat dalam upaya turut serta memerangi korupsi.
Hasilnya diharapkan dapat
memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi linguistik terapan, lebih khusus lagi AWK. Bagi linguistik terapan, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan faedah setidaknya dalam dua hal, yakni dapat digunakan sebagai (a) pemerkaya khasanah analisis wacana kritis dan (b) sarana bagi linguis untuk memainkan perannya dalam mengadvokasi mereka yang terkorbankan dalam praktik penggunaan bahasa.
1.3 Ruang Lingkup Data dalam disertasi ini dibatasi pada data yang bersumber pada media cetak, khususnya
harian
versi
daring,
yang
berbahasa
Indonesia
dan
Prancis.
Pembandingan wacana korupsi pada media Indonesia dan Prancis terutama dilandasi oleh alasan-alasan sebagai berikut: a)
Perbedaan yang cukup jauh dalam hal peringkat “kebersihan” kedua negara dari korupsi seperti telah disinggung di atas.
b)
Negara Prancis diharapkan dapat mewakili situasi pemberitaan korupsi di negara-negara maju pada umumnya.
c)
Media Indonesia dan Prancis diasumsikan mengembangkan konsepsi atau ideologi mengenai korupsi yang tidak sama. Pembandingan di atas dilakukan untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan
media kedua negara dalam mengonstruksi berita mengenai korupsi (pada dimensi
8|Page
teks, praktik wacana, dan praktik sosial atau sosiokultural). Telah terpilih empat harian yang berbeda, yakni Kompas dan Republika yang berbahasa Indonesia (selanjutnya disingkat bI) serta le Figaro dan Le Parisien yang berbahasa Prancis (disingkat bP). Berita-berita yang dipilih melalui proses elisitasi tersebut adalah yang terbit pada tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015. Keempat harian itu adalah media besar dan berpengaruh pada masing-masing negara. Di Indonesia Kompas adalah harian nasional yang berhaluan netral yang terbit sejak tahun 1965 dan tirasnya saat ini rerata 500.000 eksemplar per hari dengan jumlah pembaca rerata 1.850.000 per hari3. Republika adalah harian nasional yang masih relatif muda, lahir pada tahun 1993, dan dikenal sebagai publikasi untuk komunitas Muslim4, dengan tiras hariannya mencapai 125.000 eksemplar5. Di Prancis, Le Figaro adalah harian umum tertua (sejak tahun 1826) yang masih terbit, beraliran Kanan dan Tengah-Kanan, dengan tiras mencapai 329.175 pada tahun 20136. Le Parisien, yang berdiri tahun 1944, semula adalah harian umum regional Paris dan sekitarnya yang kemudian berkembang menjadi harian nasional dan bertiras 470.583 eksemplar per hari (2013)7 dan berhaluan netral. Wacana korupsi pada keempat harian itu diharapkan dapat menggambarkan dan mewakili bagaimana media, khususnya surat kabar, di kedua negara memberitakan kasus korupsi. Setelah melalui tahapan seleksi atau elisitasi data, pada keempat harian terpilih 42 berita (tentang korupsi) yang
3
http://www.kompasgramedia.com/business/newspapers/kompas, diakses 4 Juli 2014 http://en.wikipedia.org/wiki/Republika_(Indonesian_newspaper), diakses 4 Juli 2014 5 http://www.anneahira.com/republika.htm, diakses 5 Juli 2014 6 http://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Figaro, diakses 5 Juli 2014 7 http://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Parisien, diakses 5 Juli 2014 4
9|Page
diharapkan sudah mewakili penggunaan bahasa, khususnya bahasa jurnalistik, masing-masing harian. Analisis dalam rangka menjawab tujuan akhir disertasi ini dilakukan untuk mengidentifikasi ada/tidaknya pemihakan pada rakyat kecil yang tercermin pada pilihan-pilihan tekstual, praktik wacana dan praktik sosiokultural media kedua negara. Substansi analisis yang bernuansa advokasi pada kepentingan rakyat kecil, segmen masyarakat yang paling dirugikan oleh tindakan koruptif, inilah yang membawa pilihan pada AWK sebagai dasar teoretis disertasi ini.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelusuran kepustakaan yang dilakukan menunjukkan telah cukup banyak ditemukan literatur yang mengkaji masalah-masalah sosial seperti ketaksetaraan, kuasa, ideologi, rasisme, atau dominasi yang memang menjadi titik sentral kajian AWK yang bermuara pada pemihakan pada mereka yang terdominasi. Tiga di antara sekian banyak kajian yang dapat dicatat adalah yang dilakukan oleh Henry (2000), Van der Valk (1988), dan Mayr (2000). Henry (2000), dalam karyanya yang berjudul Racist Discourse in Canada’s English Print Media, menerapkan pendekatan multidisipliner, khususnya gabungan antara pendekatan budaya dan sosial. Menurut Henry, analisis wacana terhadap bahasa dan teks dapat dipergunakan sebagai alat untuk mendekonstruksi ideologi elit serta membantu mengidentitikasi dan menentukan hubungan kekuasaan (sosial, ekonomis, dan historis) antara kelompok yang dominan dan kelompok yang tersubordinasi (hlm. 29). Dalam kajiannya, Henry menyuarakan pemihakan pada
10 | P a g e
rakyat kecil dengan mengajukan bukti-bukti praktik-praktik diskriminasi sosial yang dilakukan oleh media cetak Kanada yang memperlakukan kulit berwarna (people of colour) secara diskriminatif. Dalam liputan tentang sebuah unjuk rasa yang dilakukan oleh kaum kulit hitam, media menyebut mereka sebagai ‘ekstremis’, ‘militan’, ‘kaum kiri’, ‘fanatik’; berunjuk rasa untuk agenda mereka serta kepentingan dan tujuan-tujuan politik mereka sendiri; tidak mewakili seluruh komunitas; dan dipersepsikan sebagai salah mendapatkan informasi; serta melukiskan pengunjuk rasa sebagai 'sejumlah kecil radikal hitam'. Perlakuan (atau praktik wacana) media terhadap kulit hitam semacam itu membawa Henry pada kesimpulan, antara lain, bahwa (a) kulit berwarna sangat jarang ditampilkan (dalam media)
dan
(b)
bila
menampilkan
kulit
berwarna,
media
cenderung
menyalahtafsirkan dan menstereotipisasikan mereka. Rasisme, dari sisi yang berbeda, juga menjadi objek pembelaan terhadap kaum yang termarjinalkan oleh Van der Valk, dalam tulisannya tentang rasisme dan wacana publik di Belanda. Dikatakan bahwa pergeseran ke politik neoliberal menjelang tahun 1980-an diwarnai oleh penolakan yang semakin besar oleh warga terhadap kaum imigran. Hal itu terlihat pada, antara lain, wacana politik, debat parlemen dan wacana birokrasi. Wacana-wacana itu, meskipun tetap harus disampaikan secara formal, mengandung argumen-argumen yang stereotipikal, seperti “Negara kita sudah penuh sesak”; “Kita tidak dapat membiarkan masuk siapa saja”; “Mereka akan membahayakan sistem perlindungan sosial kita”; “Mereka berpikir bahwa negara kita adalah tanah perjanjian”; “Mengapa mereka tidak tinggal saja di negeri mereka sehingga dapat membangunnya?”; “Mereka akan lebih nyaman 11 | P a g e
jika berada di antara orang-orang seperti mereka, di daerah mereka sendiri”; “Kita harus tegas terhadap imigran, namun hanya dalam konteks politik kita”; “Rakyat (kulit putih) tidak lagi menginginkan imigran” (Van der Valk, 1988:158-159). Argumen-argumen stereotipikal tersebut nyata-nyata bermakna penolakan terhadap kaum imigran. Mayr (2000), dalam disertasinya yang berjudul Language as a Means of Social Control and Resistance: Discourse Analysis in a Prison Setting, melakukan analisis kritis terhadap percakapan di dalam penjara.
Dengan merekam beberapa kelas
kemampuan kognitif yang dilaksanakan oleh sipir (petugas) dan dihadiri oleh lima hingga delapan tahanan, Mayr mengidentifikasi masalah-masalah yang berhubungan dengan kuasa dan dominasi oleh sipir terhadap tahanan. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana sipir senantiasa memegang kendali pada setiap percakapan. Ketika sipir mengawali percakapan dengan pertanyaan, dia senantiasa mempertahankan kontrol atas hal itu dengan pertanyaan-pertanyaan susulan. Bahkan ketika tahanan mengajukan pertanyaan, sipir tetap mempertahankan kontrolnya dengan cara menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan juga. Situasi tersebut memperlihatkan dengan jelas adanya dominasi oleh sang sipir (atas tahanan) (hlm. 185). Meskipun demikian, pada bagian lain, Mayr juga mengidentifikasi bahwa pilihan leksikon-leksikon tertentu oleh tahanan pada percakapan tersebut mengindikasikan adanya resistansi, sikap, dan penilaian mereka atas kelas kemampuan kognitif itu (hlm. 290) yang notabene merupakan ekspresi pembelaan diri kaum yang tertindas kepada mereka yang memiliki kuasa.
12 | P a g e
Melalui ketiga literatur di atas dapat diketahui bahwa oleh AWK bahasa dikaji secara kritis untuk mengidentifikasi masalah-masalah sosial (kuasa, dominasi, emansipasi, diskriminasi, rasisme, jender, ketaksetaraan) yang terjadi di balik penggunaan bahasa; dan peran peneliti AWK ialah menyuarakan advokasi atau pembelaan terhadap mereka yang menjadi korban yang paling menderita dari praktik wacana dan praktik sosiokultural pihak yang memiliki kuasa. Jika ketiga tulisan di atas berangkat dari isu sosial seperti rasisme, diskriminasi, ketaksetaraan, dan kuasa yang dicerminkan dalam penggunaan bahasa, disertasi ini berangkat dari semangat untuk mengadvokasi rakyat kecil yang merupakan segmen masyarakat yang paling dirugikan oleh tindakan-tindakan koruptif. Ada/tidaknya semangat advokatif tersebut akan dibuktikan melalui identifikasi dan analisis pada data. Objek kajian AWK sendiri tidak senantiasa terkait dengan pengalaman atau peristiwa sosial politik yang negatif atau yang ‘serius’; dan ini yang sering disalahpahami oleh para analis khususnya mengenai istilah ‘kritis’ dalam AWK yang tentu saja tidak bermakna ‘negatif’ sebagaimana pada makna umumnya (Wodak dan Meyer, 2010: 2).
Pernyataan itu mengandung makna bahwa disertasi ini akan
mengkaji pilihan-pilihan oleh media Indonesia dan Prancis yang mengesankan sesuatu yang ‘positif’ (misalnya karena berbasis fakta dan data) namun yang secara praktik sosiokultural diasumsikan negatif; artinya, belum mencerminkan pemihakan pada rakyat kecil.
13 | P a g e
1.5 Metode Penelitian Fenomena ada/tidaknya pemihakan pada rakyat kecil di atas akan diujikan pada data yang dikumpulkan. Data yang digunakan dalam disertasi ini adalah data tulis, yakni wacana korupsi yang merupakan hasil pengumpulan secara selektif atas berita-berita mengenai korupsi yang terdapat pada empat media cetak versi daring berbahasa Indonesia dan Prancis. Keempat media tersebut adalah Kompas, Republika, Le Figaro, dan Le Parisien yang terbit tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015. Fokus disertasi ini adalah pemihakan kepada rakyat kecil yang ditengarai masih belum terakomodasi dalam informasi yang dibangun dan dalam teks yang dikonstruksi oleh media kedua negara. Pemerolehan data dalam disertasi ini dilakukan dengan metode simak (Sudaryanto, 1988: 2-3), yakni menyimak penggunaan bahasa dalam wacana korupsi pada media Indonesia dan Prancis. Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah elisitasi data (Chelliah, 2001: 152-153). Elisitasi, meskipun lebih banyak diterapkan pada penelitian lapangan dan untuk data lisan, adalah prosedur penelitian yang dapat meliputi pemerolehan data, pengadministrasian, hingga pembuatan kuesioner dan wawancara8. Pengadministrasian data di sini dipahami sebagai (proses) seleksi data untuk menentukan berita-berita dari Kompas, Republika, le Figaro, dan le Parisien yang sekiranya mewakili cara-cara yang ditempuh atau pilihan-pilihan yang dilakukan oleh media Indonesia dan Prancis pada umumnya. Oleh para pelopornya AWK dikembangkan tanpa disertai maksud untuk memberikan teori dan metodologi yang tunggal, mengingat AWK sendiri bersifat 8
David Nunan, “Elicitation Techniques”, diakses pada http://www.slideshare.net/daisy92081/elicitationtechniques
14 | P a g e
‘multiwarna’ dan diderivasikan dari berbagai latar belakang keilmuan yang berbeda. Oleh karena itu setiap kajian AWK perlu diorientasikan pada kajian atau peneliti tertentu yang dirujuknya (Weiss dan Wodak, 2003: 12). Selaras dengan ide itu maka metode analisis pada disertasi ini memilih untuk mengikuti model kerangka kerja tiga dimensi AWK yang digagas oleh Fairclough, yakni (dimensi) teks, praktik wacana dan praktik sosiokultural (Fairclough, 1995a: 133 -135). Hal itu tidak berarti bahwa model yang diprakarsai oleh Fairclough tersebut merupakan yang terbaik, melainkan semata-mata karena model ini dirasa paling cocok dan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diangkat di muka. Analisis pada dimensi teks atau pilihan-pilihan tekstual adalah analisis bentuk dan makna (Fairclough, 1995a: 133; Blommaert dan Bulcaen, 2000, 448) serta terkait dengan aspek-aspek tekstual/linguistik. Tiga konsep utama pada dimensi ini adalah representasi, identitas dan relasi. Pada aspek representasi dikaji bagaimana media membuat pilihan-pilihan. Fokus disertasi ini adalah identifikasi pada pilihanpilihan yang dilakukan oleh media dalam membangun informasinya melalui analisis pada aspek-aspek tekstual seperti
pola-pola perkalimatan, penciptaan kohesi,
repetisi, dan organisasi wacana. Selain itu akan dikaji pula identitas media dan wujud relasi sosial antara media dan publik pembacanya. Analisis pada dimensi praktik wacana terkait aspek-aspek pembuatan, distribusi, dan interpretasi teks (Fairclough, 1995a: 134; Blommaert dan Bulcaen, 2000, 448). Pada dimensi ini akan dilihat bagaimana sebuah teks atau berita senantiasa tidak terlepas dari teks(-teks) sebelumnya. Sebuah teks, atau bagian dari teks, cenderung tidak mengada dengan sendirinya; di balik sebuah teks selalu ada 15 | P a g e
teks(-teks) lain; bahkan teks yang pertama atau teks awal dapat menjadi sumber bagi teks atau beberapa teks lain sekaligus yang muncul atau terbit sesudahnya. Konteks interdiskursivitas dan/atau intertekstualitas inilah yang akan menjadi fokus pada dimensi praktik wacana ini. Analisis pada dimensi praktik sosiokultural berhubungan dengan analisis peristiwa diskursif yang terkait dengan konteks situasi, konteks institusional, dan konteks budaya (Fairclough, 1995a: 135; Blommaert dan Bulcaen, 2000, 449). Ketiga konteks tersebut bermuara pada dua isu paling penting, yakni kuasa (power) dan ideologi. Untuk itulah maka pada dimensi ini akan dikaji sejauh mana ideologi media (Indonesia dan Prancis) mewujud dalam penyajian informasinya dan terintroduksi pada pembacanya serta bagaimana media memainkan kuasa dalam kemasan jurnalistiknya. Dimensi tekstual adalah tataran mikro dalam AWK, dimensi praktik wacana adalah tataran meso, sementara dimensi praktik sosiokultural merupakan tataran makro (Behnam dan Mahmoudy, 2013: 2197). Ketiga tataran itu tidak terpisah satu dengan lainnya, bahkan saling terkait. Untuk itu, dalam pemahaman integratif ketiga tataran tersebutlah permasalahan yang diangkat pada disertasi ini akan diidentifikasi dan diinterpretasi.
1.6 Organisasi Tulisan Analisis kritis terhadap wacana korupsi pada media (cetak) Indonesia dan Prancis ini disajikan dalam enam bab. Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, masalah dan tujuan penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka,
16 | P a g e
metode penelitian dan organisasi tulisan. Paparan teoretis mengenai AWK disajikan pada bab II. Pada bab III akan dilakukan analisis pilihan-pilihan tekstual (jenis kalimat, pola perkalimatan, kohesi, repetisi, dan organisasi wacana) atas data, di samping identitas dan relasi (antara media dengan publik pembacanya). Bab IV memuat analisis praktik wacana yang difokuskan pada intertekstualitas dan interdiskursivitas. Adapun pada bab V disertasi ini akan diidentifikasi dan dianalisis kuasa dan ideologi media Indonesia dan Prancis yang tercermin pada praktik sosiokultural. Kesimpulan seluruh hasil analisis disajikan pada bab VI, yang berisi pemerian perbedaan dan kesamaan media Indonesia dan Prancis dalam mengonstruksi teks korupsi mereka serta identifikasi terhadap kesalahan sosial yang ditimbulkan oleh pilihan-pilihan tekstual pada data (bab III), praktik wacana (bab IV), dan praktik sosiokultural (bab V).
17 | P a g e