BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dalam dinamika dan kontestasi politik di ranah masyarakat (society), kemunculan sebuah gerakan merupakan dinamika yang banyak muncul. Gerakan sosial, adalah gerakan yang banyak muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Kemunculan gerakan dari ranah masyarakat adalah sebuah kajian yang telah cukup populer dalam kajian Ilmu Politik. Pembahasannya menjadi sangat menarik karena fenomena kemunculan gerakan dapat muncul dimana saja dalam masyarakat, dengan konteks-konteks tertentu sesuai dengan kondisi sosial politik di masyarakat. Kemunculan gerakan pada dasarnya adalah dinamika kontestasi kuasa, yang berlangsung dari berbagai ranah. Meskipun Begitu, kemunculan gerakan lebih sering berasal dari ranah masyarakat. Dewasa ini, kita menyaksikan meluasnya gerakan-gerakan perlawanan masyarakat atau gerakan sosial (social movements) dalam upaya menentang dan mendorong perubahan kebijakan publik, perubahan politik, dan perubahan sosial secara luas, baik di tingkat lokal (regional), nasional, maupun global. Perlawananperlawanan semacam ini bukan saja terjadi di negara-negara yang tergolong masih menerapkan sistem politik otoritarian, transisional, dan tingkat ekonomi bangsa yang
1
masih terbelakang dan berkembang (Asia, Amerika Latin, dan lain-lain), akan tetapi juga terjadi di negara-negara yang selama ini tergolong maju dan demokratis (Amerika, Eropa Barat, dan lain-lain). Di Indonesia, misalnya, tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru Soeharto Mei 1998 kiranya tidak bisa dilepaskan dari peran gerakan sosial, khususnya gerakan mahasiswa, yang pada gilirannya menghantarkan bangsa ini ke dalam kondisi yang lebih demokratis.1 Gerakan kaum muda ini sesungguhnya telah diawali oleh gerakangerakan pro-demokrasi sejak tahun 1970-an, seperti gerakan petani, buruh, masyarakat adat, kaum miskin kota, pers, partai politik, dan kelompok-kelompok intelektual dan cendekiawan, dan sebagainya. Dengan kata lain, perlawananperlawanan sporadis dan temporer ini telah menciptakan prakondisi bagi gerakan
.2
sehingga memungkinkan bagi mereka
Sejak tahun 1960-an, gerakan-gerakan sosial, aksi-aksi protes, dan organisasiorganisasi politik semakin berkembang dan menjadi komponen yang tidak terpisahkan dalam perjalanan demokrasi di negara-negara Barat. Kekuatan yang memengaruhi lanskap politik di sana tidak lagi didominasi kekuatan konvensional, yakni partai politik dan serikat-serikat pekerja. Kini, gerakan-gerakan sosial dinilai
1
Lihat Denny JA. 2006. Democratization from Below: Protest Events and Regime Change in Indonesia 1997-1998, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2 Lihat Budiman dan Olle Törnquist. 2001. Aktor Demokrasi: Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI). 2
sebagai kekuatan yang tidak kalah pentingnya.3 Dalam bukunya yang terbaru, ilmuwan sosiologi dan politik dari Universitas California, David Meyer, mengatakan, ...protest and social movements have become essential features of contemporary American life.
4
Kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang tersebar di berbagai sudut
bumi dengan mengusung isu-isu yang bersifat lokal, nasional, regional, dan global ini diyakini menjadi modal sosial yang kuat untuk mendorong perubahan dunia yang lebih berkeadilan ke masa mendatang. Dari uraian di atas, kiranya kita sudah bisa melihat rentangan peristiwa di mana gerakan sosial dalam berbagai wujudnya ternyata telah menjadi kekuatan yang amat signifikan dalam konstelasi politik, tidak saja di negara-negara otoritarian di Asia maupun Dunia Ketiga lainnya, namun juga menjadi kekuatan untuk -negara Barat, baik dalam konteks politik nasionalnya maupun peranannya sebagai kekuatan utama dalam konteks ekonomi politik global. Kontestasi antara berbagai ranah dalam Ilmu Politik pada dasarnya menjadi salah satu konteks yang melatarbelakangi sebuah gerakan muncul. Dari kajian klasik hingga kontemporer, kontestasi antara ranah negara dengan masyarakat sering berimplikasi pada munculnya gerakan. Skripsi ini adalah skripsi yang akan mengangkat dan membahas mengenai gerakan sosial. Lebih spesifik lagi, skripsi ini 3 4
Ibid. Lihat Meyer, David S. 2002.
University of California, Irvine, January 11-13. 3
akan mengambil kasus pada salah satu gerakan sosial bernama Wahana Tri Tunggal (WTT) di Temon, Kulonprogo, DIY. Menelisik lebih lanjut dari penelitian ini, penjabaran mengenai gerakan WTT akan memperlihatkan arena kontestasi antara negara dengan masyarakat. Namun penulis tidak akan masuk terlalu jauh pada ranah tersebut. Penulis fokus pada kajian mengenai konteks kelahiran dan latar belakang terbentuknya sebuah gerakan sosial bernama WTT tersebut. Bagaimana kajian ini dapat menjadi sangat menarik? Juga bagaimana penulis tertarik emngkaji mengenai WTT? Hal tersebut adalah sebagai bentuk ketertarikan penulis terhadap munculnya sebuah gerakan yang kemudian bertujuan untuk melawan isu pembangunan bandara baru di Yogyakarta. Jadi, bagaimana konteks paling awal mengapa gerakan ini hadir dapat didahului dengan penjelasan mengenai bagaimana isu pembangunan bandara baru di Yogyakarta ini berkembang. Dinamika bandara baru, yang sepenuhnya dikontrol di ranah negara, ternyata menimbulkan gesekan-gesekan sosial diantara ranah negara dan masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis mengambil standing position dalam pihak yang membela atau memberi dukungan penuh terhadap Gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT). Sebagaimana kita ketahui, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu kota wisata yang banyak dikunjungi orang setiap tahunnya, tidak hanya untuk berwisata, para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan provinsi DIY sebagai tujuan untuk menuntut ilmu karena Yogyakarta
4
Disinilah penulis menimba ilmu sebagai pendatang dan akhirnya menemukan kasus ini. Pesatnya pertumbuhan jumlah pendatang baik yang akan tinggal maupun untuk mengisi liburan di tiap tahunnya yang menuju Yogyakarta juga mempengaruhi jumlah penumpang yang menggunakan transportasi udara. Kita khususnya telah mengetahui bahwa transportasi udara merupakan transportasi yang sangat berkembang pesat saat ini, khsuusnya di DIY. Adanya persaingan harga tiket pesawat yang semakin kompetitif antar maskapai dan beberapa sektor transportasi lainnya. Pesawat sekarang bisa dibilang menjadi moda transportasi paling disukai masyarakat, selain harga tiket yang dapat dijangkau, waktu tempuh yang cepat juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk memilih transportasi udara dibanding transportasi lainnya. Oleh karena itu, terjadi lonjakan jumlah penumpang pada awal tahun 2011 hingga sekarang menjadi salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Tahun 2011 tercatat bahwa aktivitas penumpang pada mulanya berkisar 4.661.957 dengan jumlah kargo sebanyak 9.983 kg, secara signifikan kini melonjak menjadi 5.198.082 penumpang dengan jumlah kargo 10.951 kg. Serta diperkirakan jumlah penumpang dan kargo pada tahun 2035 akan meningkat tajam menjadi 19.504.876 penumpang dengan jumlah kargo mencapai 42.700 kg.5 Bandar Udara Internasional AdisutjiptoYogyakarta (JOG) merupakan gerbang udara wisata terpenting bagi kawasan segitiga JOGLOSEMAR (Jogja-Solo5
Lihat website resmi Badan Pusat Statistik, Kenaikan Jumlah Wisatawan, diakses melalui http://bps.go.id/brs /pariwisata_01jul13.pdf pada Selasa, 10 Maret 2015 pada pukul 22.00 WIB. 5
Semarang). Dengan daerah pelayanan yang mencakup wilayah DIY, Jawa Tengah Bagian Selatan dan Jawa Timur Bagian Barat serta jumlah penumpang yang selalu meningkat, JOG telah menempatkan diri sebagai bandar udara tersibuk ke 3 di Pulau Jawa, setelah Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta dan Juanda Surabaya.6 Karena Bandar Udara Adisutjipto dinyatakan overload maka dari itu relokasi bandara menjadi salah satu opsi untuk mengatasi masalah tersebut. Kebijakan relokasi Bandara Adisutjipto tersebut memang mempertimbangkan berbagai aspek permasalahan. Seperti halnya mengenai masalah landasan pacu (runway) yang dimiliki oleh Bandara Adisutjipto hanya memiliki panjang 2200 meter, sementara standard umum untuk bandara kelas Internasional adalah 3200 meter. Luas terminal Bandar Udara Internasional Adisutjipto saat ini adalah 9.201,00 m2 dengan kapasitas 1 juta penumpang/tahun. Pada saat ini, Bandara Adisutjipto setiap tahunnya harus menampung sekitar 3 juta penumpang sehingga Bandara Adisutjipto dinyatakan overload. Kapasitas terminal area saat ini hanyalah 3,4 m2/orang jauh dibawah standard 16-17 m2/orang. Disamping itu terdapat berbagai sektor yang harus dibenahi seperti hal-hal berikut ini yang menyangkut permasalahan operasional udara ; Keterbatasan kapasitas runway dan panjang runway, adanya natural obstacle (gunung dan bukit), runway strip kurang dari yang disyaratkan, taxiway kurang mendukung
6
Lihat website Bandara Online, Profil Bandara Internasional Adisutjipto, diakses melalui http://bandaraonline.com/airport/profil-bandara-internasional-adisutjipto-yogyakarta pada Selasa, 10 Maret 2015 pada pukul 21.30 WIB. 6
pergerakan pesawat dan penggunaan bersama kegiatan komersial dan militer.7 Relokasi Bandara Adisutjipto ke Kabupaten Kulonprogo ini memasuki babak baru, dengan terbitnya Keputusan Gubernur tentang Tim Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru. Tim yang dipimpin Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda DIY ini dibentuk untuk menindak lanjuti Surat Permohonan PT Angkasa Pura I (Persero) perihal Perencanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Pengembangan Bandara Baru8. Berdasarkan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah, Tim persiapan bertugas melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi dan konsultasi publik untuk penetapan lokasi. Setelah tahapan ini dilakukan, tinggal selangkah lagi pembangunan bandara dapat segera dilakukan. Pembangunan bandara yang direncanakan pemerintah DIY ini tidak berjalan mulus, terjadi penolakan yang dilakukan oleh warga yang terdampak langsung dari pembangunan mega proyek ini. Kelompok penolakan warga ini terbentuk pada awal isu pembangunan bandara yang rencananya akan dibangun di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo. Penolakan warga ini bukan tanpa alasan, lahan yang akan dijadikan bandara oleh pemerintah dulunya adalah lahan yang gersang, tetapi karena perjuangan yang cukup panjang dari para petani, maka lahan tersebut sekarang menjadi lahan yang produktif. Oleh 7
Lihat website Sky Scanner, Bandara Jogjakarta, diakses melalui http://www.skyscanner.co.id/bandara/jog/yogyakarta-bandara.html pada Selasa, 10 Maret 2015 pada pukul 22.38 WIB 8 Lihat website resmi Badan Usaha Milik Negara, Selamat Datang Bandara Baru, diakses melalui http://www.bumn.go.id/angkasapura1/berita/2012/Selamat.Datang.Bandara.Baru pada, Sabtu, 2 mei 2015 pada pukul 19.00 WIB
7
karena itu, lahan tersebut menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian petani dan petani tidak terima apabila lahan yang selama ini diperjuangkan dan kemudian menjadi tempat mereka menggantungkan hidup akan digusur dan dijadikan bandara. Peristiwa ini kemudian menghasilkan adanya protes dan penolakan yang masif dari petani yang terdampak. Mereka kemudian secara politik melakukan aksi
Dengan membentuk Gerakan bernama Wahana Tri Tunggal (WTT), maka perlawanan petani yang akan terdampak pembangunan bandara menjadi terwadahi dengan baik. Gerakan ini adalah satu-satunya gerakan di Kulonprogo yang menolak pembangunan bandara. Pemerintah pun sudah berusaha untuk mengadakan sosialisasi dengan WTT dan kemudian pemerintah menawarkan relokasi, tetapi WTT dengan tegas tetap menolak pembangunan bandara. Tercatat telah terjadi banyak aksi-aksi penolakan yang dilakukan warga semenjak fase awal kemunculan isu tersebut. Pada 9 September 2012 adalah Hari kelahiran organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT). Setelah mendapatkan informasi bahwa pembangunan bandara baru Yogyakarta akan dibangun di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, masyarakat di 6 desa (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo, Temon Kulon) yang merasa akan menjadi korban langung dari pembangunan tersebut mendirikan organisasi perjuangan yang bernama WTT. Masyarakat 6 desa tersebut menganggap bahwa pembangunan bandara baru akan
8
mengakibatkan sejumlah penggusuran lahan dan menimbulkan kerusakan ekologis di wilayah mereka.9 Kemudian pada 19 Oktober 2012 dilakukan Aksi pertama kali, WTT melakukan aksi penolakan pertama kali dengan cara melakukan aksi demonstrasi ke rumah dinas Bupati Kulon Progo. Mereka mendesak agar pembangunan bandara dibatalkan karena lahan yang mereka kelola telah memberikan banyak manfaat terhadap kehidupan mereka, khususnya telah menjadi areal pertanian produktif dan di sisi lain juga telah memberikan kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja bagi warga di sekitar desa. Selain itu, WTT juga menganggap bahwa kawasan pesisir Kulon Progo yang mereka tempati merupakan salah satu kawasan penting di dunia, karena di areal tersebut terdapat kawasan gumuk pasir yang berfungsi sebagai benteng pagar penghalang bencana tsunami.10 Sebagaimana telah penulis paparkan di penjelasan diatas, bahwa kemunculan gerakan-gerakan masyarakat bernama WTT ini pada awalnya sangat tidak bisa dilepaskan dari isu dan dinamika pembangunan bandara baru di DIY. Penjelasan mengenai bagaimana bagaimana dinamika bandara baru ini semoga dapat menjadi pengantar yang baik untuk lebih memahami dan menelisik lebih lanjut mengenai fase-fase terbentuknya gerakan WTT. Pergerakan ini dilatarbelakangi fase-fase keretakan sosial serta adanya dominasi kuasa oleh pemerintah yang membuat petani
9
Wawancara dengan Bpk. Martono, Ketua Gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT), di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, pada Selasa, 14 Agustus 2015. 10 Ibid. 9
Perlawanan yang mereka lakukan selama ini cukup -cara informal maupun menggandeng aktor-aktor tertentu. Dari penjelasan latar belakang diatas, penulis ingin memberitahukan akar masalah yang terjadi, namun untuk lebih mendalam penelitian ini meneliti tentang kelompok masyarakat terdampak yang menolak kebijakan relokasi bandara. Kelompok tersebut tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang dalam penelitian ini adalah sebuah gerakan sosial. Penelitian ini berisikan tentang bagaimana WTT memperjuangkan tuntutan mereka terhadap negara. Maka dari itu, gerakan ini menarik untuk dikupas lebih dalam lagi untuk mengetahui bagaimana latar belakang kelahiran gerakan WTT untuk menolak bandara baru. Penulis memilih gerakan WTT untuk diteliti karena WTT menjadi masyarakat yang terkena dampak langsung dari proyek pembangunan bandara ini.
B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana proses kemunculan Gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT) dalam penolakan pembangunan Bandara baru di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo?
10
C. TUJUAN PENELITIAN Penolakan terhadap relokasi Bandara Adisutjipto menuai konflik di masyarakat. Bandara yang seharusnya harus dipindah karena alasan overcapacity menarik untuk dikaji karena ada sebagian masyarakat yang terkena dampak langsung menolak relokasi bandara tersebut. Dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian yang dilakukan, yaitu : Mengetahui dan menelusuri mengapa Gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT) dapat muncul dalam proses penolakan pembangunan Bandara baru di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo.
D. REVIEW LITERATUR Penelitian mengenai pemindahan bandara ini menjadi tema yang menarik di kalangan peneliti, karena permasalahan yang begitu kompleks dari berbagai aspek menjadi daya tarik tersendiri untuk menelitinya. Penelitian tentang pemindahan bandara ini pernah dilakukan oleh Dewi Susilowati dari Fisipol UGM pada tahun 2014 dalam penelitian Skripsi yang berjudul
Perubahan Sosial Akibat Kebijakan
Relokasi Bandara Adisutjipto di Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo . Penelitian ini lebih fokus pada aspek kajian perubahan sosial
11
masyarakat, tidak berbicara secara langsung mengenai gerakan WTT dari masyarakat Temon. Kemudian ada lagi penelitian yang dilakukan oleh Wiryawan Johannes yang berjudul
Analisis Kelayakan Bandara Adisutjipto
pada tahun 2010. Dalam
penelitian ini, Johannes memberikan kesimpulan bahwa bandara Adisutjipto sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan bandara komersil karena melihat dari ukuran terminal, landasan pacu, dan berbagai aspek teknis lainnya. Penelitian tersebut ternyata lebih bersifat analisis teknis dan administratif mengenai kelaikan bandara baru. Sehingga, tidak secara spesifik dan langsung membahas dan menyinggung mengenai ranah masyarakat, apalagi gerakan WTT. Karena penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang spesifik meneliti tentang WTT secara langsung bahkan mengenai konteks kelahiran gerakan Wahana Tri Tunggal yang menolak kebijakan relokasi tersebut, maka hal tersebut menjadi dasar yang kuat bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini untuk melengkapi berbagai penelitian mengenai relokasi bandara Adisutjipto khususnya mengenai gerakan penolak bandara bernama WTT tersebut. Secara politik, maka kupasan mengenai bagaimana sebuah gerakan politik dapat muncul ke permukaan adalah sebuah bahasan yang menarik untuk memperkaya referensi kita mengenai konteks kelahiran sebuah gerakan sosial.
12
E. KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka konseptual diperlukan guna memberikan landasan teoritis untuk menyelesaikan permasalahan dalam proses penelitian. Peran teori dibangun untuk mengkerangkai seluruh konsep dan untuk menjadi framework sehingga relevansi antar konsep bisa ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teori untuk menjelaskan konsep dari latar belakang lahirnya gerakan sosial dalam masyarakat yang menolak relokasi bandara. Penelitian ini menggunakan studi kasus penolakan warga Kabupaten Kulon Progo terhadap kebijakan relokasi Bandara Adisutjipto. E.1. Definisi dan Karakter Gerakan Sosial Tarrow (1998: 4-5) mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan, dan penguasa. Di sini terdapat empat kata kunci penting yakni tantangan kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial, dan interaksi berkelanjutan E.2. Tipologi Gerakan Sosial Ada bermacam jenis tipologi dari gerakan sosial. Meskipun semua ini diklasifikasikan sebagai jenis gerakan yang berbeda, jenis-jenis gerakan ini bisa tumpang-tindih, dan sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan.11 Tipologi gerakan yang pertama adalah Gerakan Protes. Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah 11
Selengkapnya lihat Neil J. Smelser, A Theory of Collective Behaviour, The Free Pass, New York, 1966, Halaman 18 13
kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir,
dan
gerakan
perdamaian.
Gerakan
protes
sendiri
masih
bisa
diklasifikasikan menjadi dua: gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini. Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusiinstitusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.
14
Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi.12 Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat. Ketiga, Gerakan Religius. Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan. Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara 12
Ibid. 15
populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality). Kelima, Gerakan Perpindahan. Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme. Keenam, Gerakan Ekspresif. Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika. Ketujuh, Kultus Personal. Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti
16
berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius. E.3. Akar Kemunculan Gerakan Sosial Mengapa sebuah gerakan sosial atau gerakan politik dapat muncul? Untuk menjelaskan bagaimana sebuah gerakan sosial politik dapat muncul maka dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Smelser. Ahli gerakan sosial politik, Neil J. Smelser melalui value added theory menjelaskan lebih lanjut bagaimana gerakan politik yang memiliki nilai tambah dapat terbentuk. Dalam sebuah lahirnya gerakan sosial, maka proses instritusionalisasi sebuah gerakan dapat menjadi sangat penting karena merupakan sebuah nilai tambah sebuah gerakan untuk mencapai tujuannya. Pengorganisasian sekelompok individu ke dalam sebuah tindakan yang kolektif dan bersama-sama adalah bentuk dari adanya institusionalisasi lahirnya gerakan. Hal ini adalah nilai tambah yang semakin mempercepat katalisme terbentuknya gerakan. Smelser menyebutkan bahwa dalam proses terbentuknya gerakan sosial ada kondisikondisi sosial tertentu sebagai hal yang melatarbelakangi mengapa individu-individu dapat bertindak kolektif dan membentuk sebuah gerakan. Menurut Smelser ada enam kondisi sosial yang menyebabkan munculnya gerakan sosial. Kondisi-kondisi itu terdiri dari:13 1. Structural condusiveness Gerakan sosial berasal dari struktur masyarakat itu sendiri, termasuk berbagai macam pola yang signifikan memuculkan problem-problem sosial. 13
Selengkapnya lihat Neil J. Smelser, op.cit, halaman 15-17.
17
2. Structural Strain Munculnya gerakan sosial didorong oleh ketegangan dalam masyarakat itu sendiri, termasuk berbagai mancam pola konflik sosial atau gagalnya masyarakat memenuhi harapan anggotanya. 3. Growth and spread of an explanation Berkembangnya informasi dan penjelasan-penjelasan yang semakin jelas mengenai problem-problem dalam sosial. 4. Precipitating factors Gerakan sosial muncul karena berbagai faktor yang mempercepat yang mendorong terjadinya gerakan sosial. 5. Mobilization for action Suatu precipitating factors memiliki fokus pada perhatian isu publik, tindakan-tindakan kolektif, seperti pertemuan-pertemuan, leafleting, fundrising, lobbying, dan demonstrations. 6. Lack of social control Menurut Smelser, kurang kontrol sosial pada masyarakat menyebabkan masyarakat dapat bertindak secara kolektif sesuai dengan keinginan dan tujuannya. Pendekatan psikososial yang dilakukan oleh Smelser sesungguhnya adalah model-model klasik dari sebuah teori yang menjelaskan mengenai bagaimana sebuah gerakan sosial politik dapat terbentuk. Jika kita perhatikan secara lebih mendalam mengenai pendekatan psikososial Smelser ini adalah bahwa asumsi model klasik 18
memfokuskan diri pada kondisi sosial dan struktur kekuatan sosial, dan penekanan pada tatanan sosial (social order). Masyarakat diimajinasikan statis atau dengan kata lain adalah tanpa konflik. Penekanan pendekatan psikososial ada pada sifat gerakan yang spontan, emosional, tidak terkontrol. Munculnya aktor gerakan hanya dianggap sebagai akibat saja dari ambruknya tatanan social. Kelemahan dari adanya pendekatan klasik ini adalah : 1. Keretakan dan ketegangan sosial bersifat konstan, namun gerakan sosial hanya muncul pada waktu-waktu tertentu. 2. Karena itu keretakan dan ketegangan sosial hanya bisa merupakan prasyarat belaka, bukan penyebab munculnya gerakan sosial. 3. Keretakan dan ketegangan sosial bisa diciptakan dan dimanipulasi, namun teoriteori klasik tidak menghitung atau memasukkan peran aktor dalam gerakan social. Model klasik ini berimplikasi bahwa gerakan sosial politik adalah lebih disebabkan karena bentuk derivatif dari ketegangan psikologis individu atau sekelompok masyarakat daripada adanya usaha terorganisir dan rasional untuk mengubah kondisi dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dari teori yang dijabarkan diatas, penulis mencoba membuktikannya dalam realita gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berlangsung dalam kontestasi politik. Gerakan sosial ini mencoba mencapai tujuannya, seiring berjalannya waktu dan semakin sulit tercapainya tujuan, apakah WTT ini akan bertransformasi menjadi gerakan politik yang lebih lanjut. Ukuran operasionalisasi yang akan digunakan 19
adalah melakukan penemuan dan analisis-analisis terhadap apakah ada enam kondisikondisi sosial yang menyebabkan WTT terbentuk menurut Smelser. Kemudian, penulis akan mencoba melakukan pemetaan kemungkinan-kemungkinan penyebab kemunculan gerakan dengan masih pada kerangka teori Smelser tersebut.
F. DEFINISI KONSEPTUAL F. 1 GERAKAN SOSIAL Gerakan merupakan sebagai usaha, atau kegiatan di lapangan sosial, politik, dan sebagainya; tindakan terencana yg dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada. Jadi, gerakan dalam konteks ini adalah sebagai perlawanan atas ketidakpuasan keputusan pemerintah yang dianggap merugikan bagi masyarakat terdampak. Sosial adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan interaksi kehidupan masyarakat. Maka, Gerakan Sosial adalah gerakan yang berasal dari masyarakat dengan tujuan dan kepentingan tertentu, semisal melakukan perlawanan atau bentuk ketidakpuasan pada pemerintah. F. 2 GERAKAN SOSIAL DALAM PENDEKATAN PSIKOSOSIAL Dalam pendekatan psikososial, Gerakan Sosial adalah gerakan yang berusaha dijelaskan dengan menggunakan konsep-konsep Psikologi Sosial. Konsep ini melihat
20
gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang dilatarbelakangi oleh adanya keretakankeretakan sosial pada masyarakat. F. 3 PENYEBAB MUNCULNYA GERAKAN SOSIAL Latar belakang kelahiran atau kemunculan diartikan sebagai proses-proses atau hal-hal yang terjadi yang menyebabkan sesuatu dapat muncul atau lahir. Dalam konteks gerakan, akan ada dinamika-dinamika baik itu sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, yang melatarbelakangi sebuah gerakan dapat terbentuk atau muncul. Gerakan sosial muncul disebabkan oleh adanya social breakdown di dalam masyarakat yang diawali dengan dinamika deprivasi dalam masyarakat itu.
G. DEFINISI OPERASIONAL 1. Structural condusiveness Gerakan sosial berasal dari struktur masyarakat itu sendiri, termasuk berbagai macam pola yang signifikan memuculkan problem-problem sosial. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat apa saja dan bagaimana kondisi struktural yang kondusif yang kemudian memiliki kesenjangan yang dilihat dari berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Untuk kemudian dari adanya kesenjangan tersebut muncul ketegangan sosial dalam masyarakat tersebut.
21
2. Structural Strain Munculnya gerakan sosial didorong oleh ketegangan dalam masyarakat itu sendiri, termasuk berbagai mancam pola konflik sosial atau gagalnya masyarakat memenuhi harapan anggotanya. Kesenjangan yang dirasakan masyarakat dalam hal pendidikan dan pekerjaan menjadi sebuah efek psikologis yang dirasakan oleh sebuah masyarakat, yaitu adanya kecemasan atau kekhawatiran terhadap sesuatu. Dalam konteks ini adalah problematika sosial yang dihadapi. Ketika ada perubahan yang mengakibatkan berubahnya tatanan yang telah ada dalam masyarakat, potensi untuk bergeraknya masyarakat dalam sebuah aksi yang kolektif menjadi berpotensi besar. 3. Growth and spread of an explanation Berkembang serta menyebarnya informasi dan penjelasan-penjelasan yang semakin jelas mengenai problem-problem dalam sosial. Rencana pemindahan bandara ke Kecamatan Temon berawal dari sebuah isu yang kemudian berkembang sampai menjadi sebuah rencana menjadi semakin memperjelas ancaman-ancaman dan yang akan diterima oleh masyarakat temon apabila bandara tersebut jadi dibangun yang itu kemudian membuat kecemasan masyarakat semakin bertambah dan meningkatkan ketegangan-ketegangan sosial Masyarakat Temon. 4. Precipitating factors Dalam konteks ini akan dilihat apa saja faktor yang mendorong atau mempercepat terbentuknya gerakan-gerakan sosial. Gerakan sosial muncul 22
karena berbagai faktor yang mempercepat serta mendorong terjadinya aksiaksi kolektif dan gerakan sosial. Faktor-faktor serta kondisi tertentu dapat menjadi katalisator yang semakin mempercepat gerakan muncul. 5. Mobilization for action Dalam konteks ini akan dilihat apa saja bentuk mobilisasi massa dan aksi-aksi yang sudah dilakukan oleh masyarakat WTT. Dengan adanya aktifitas memobilisasi massa kemudian mengindikasikan kecemasan dan ancaman yang semakin jelas tadi menjadi sebuah tuntutan untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk penolakan. Suatu precipitating factors memiliki fokus pada perhatian isu publik, tindakan-tindakan kolektif, seperti pertemuan-pertemuan, leafleting, fund-rising, lobbying, dan demonstrations. 6. Lack of social control Dalam konteks ini akan dilihat apa saja bentuk-bentuk kurangnya control sosial yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat. Dalam hal ini, kontrol sosial penting untuk dilakukan pemerintah sebelum mengadakan rencana pembangunan bandara di tanah milik warga. Dengan melakukan hal tersebut, akan memperkecil kemungkinan terjadinya penolakan dan tindakantindakan kolektif. Menurut Smelser, kurang kontrol sosial pada masyarakat menyebabkan masyarakat dapat bertindak secara kolektif sesuai dengan keinginan dan tujuannya.
23
H. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, dimana lebih berfokus pada metode studi kasus. Studi kasus dipilih karena penelitian ini bersumber dari sebuah isu atau masalah (case), yaitu penolakan warga yang terkena dampak langsung dari relokasi bandara. Hal ini didukung dengan pernyataan Yin dan Creswell. Menurut Yin14
studi kasus
merupakan penelitian empiris yang menyelidiki fenomena kontemporer dalam konteks yang sebenarnya, ketika batas-batas antara fenomena dan konteksnya tidak jelas, dan di mana beberapa sumber bukti yang digunakan. Sedangkan, Creswell tahun 2007 menyatakan bahwa penelitian studi kasus melibatkan studi mengenai isuisu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sistem yang dibatasi15. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara dengan pihak-pihak terkait, baik wawancara langsung maupun wawancara tidak langsung, dan studi pustaka terhadap beberapa literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Sementara itu, analisis data akan dilakukan dua kali, yaitu analis data sebelum di lapangan dan analisis data selama di lapangan, dengan menggunakan model Miles and Huberman. Analisis data sebelum di lapangan dilakukan terhadap data sekunder berupa literatur maupun berita yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis data selama di lapangan melalui tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan
14
Selengkapnya lihat Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches, Sage Publication, California, 2007, halaman 23 15 Ibid Hal. 73 24
verifikasi data16. Sedangkan unit analisis data dalam penelitian ini adalah manusia, yaitu pihak-pihak terkait dan benda berupa literatur.
H.1 TEKNIK PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa cara untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam bersama informan yang dianggap menjadi kunci untuk penelitian ini (Indepth Interview with key informan dan melakukan observasi. a. Wawancara (Indepth interview) Wawancara merupakan salah satu teknik utama dan terbaik dalam mendapatkan sumber data primer. Metode wawancara yang digunakan di dalam penelitian ini adalah wawancara yang bersifat langsung ke dalam objek studi kasus, dan dilakukan secara mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan para informan kunci (key informan), dan dapat bersifat formal ataupun informal. Agar data yang diperoleh akurat dan terfokus, alangkah baiknya peneliti menulis poin-poin yang sudah ditentukan sejak awal ketika melakukan wawancara. Jika langkah diatas dilaksanakan, tentu akan mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data. 16
Selengkapnya lihat Miles dan Huberman, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook, Sage Publication, California, 1994, halaman 20-22 25
b. Observasi Langkah observasi diperlukan untuk mendapatkan data primer, serta mendapatkan realitas yang terjadi di lapangan guna menjawab rumusan masalah di dalam penelitian ini. Observasi sendiri dilakukan dengan mengamati fenomena yang terjadi, menuliskan, serta melakukan wawancara informal dengan para informan, sehingga diperoleh data yang berupa pendapat/opini mengenai fenomena ini. Observasi mengenai WTT dilakukan langsung di Kecamatan Temon yang merupakan tempat dimana WTT lahir dengan mengamati kondisi masyarakat Temon secara langsung. Observasi dilakukan secara insidental, artinya tidak terikat waktu tertentu saja. Penulis melakukan observasi berkali-kali sesuai kebutuhan penulis dalam penelitian ini. Kemudian sumber data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka / literatur, serta dokumentasi. Langkah ini dilakukan guna memperkuat sumber data primer. Sumber data sekunder diperoleh dengan dua cara, yaitu : 1. Dokumentasi Dalam metodologi studi kasus, keadaan dan setting dari penelitian didokumentasikan supaya mendapat sumber data sekunder sebagai pendukung sumber data primer. 2. Studi Pustaka
26
Sumber data primer diperkuat juga dengan data yang bersifat literatur, yakni data yang berasal dan bersumber dari artikel, Koran, klipping, buku, dan laporan-laporan penelitian yang terkait. Pada penelitian ini, terdapat dua teknik pengumpulan data yang dilakukan. Pertama dengan cara mencari sumber data primer melalui indepth interview dan observasi lapangan. Wawancara mendalam dilakukan dengan dua aktor berbeda, diantaranya : a. Aliansi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT). Disini penulis mewawancarai Bapak Martono selaku Ketua gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT). Selain Pak Martono, secara bersama-sama penulis juga mewawancarai anggota-anggota WTT yang penulis dapat temui untuk semakin memperkuat informasi. Wawancara dilakukan secara insidental, artinya penulis dapat mewawancarai narasumber berkali-kali sesuai kebutuhan penulis, baik itu bertemu langsung maupun wawancara via telepon atau sms. b. Aktor formal : Dinas Perhubungan Provinsi DIY dan PT (Persero) Angkasa Pura I. Wawancara dilakukan pada Bapak Aryadi, Anggota Tim Proyek Pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport), PT. Angkasa Pura I (Persero) DIY. Pada hari Jumat 13 Agustus 2015.
27
Kedua aktor berbeda ini dipilih menjadi narasumber karena dianggap mampu memberikan informasi yang tepat mengenai gerakan WTT. Informasi dari narasumber-narasumber ini kemudian akan menguatkan argumentasi penelitian dalam rangka mengetahui dinamuka politik dibalik kemunculan gerakan WTT, bersama dengan proses analisis dengan menggunakan teori-teori akademis dari ahli Ilmu Politik guna menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Tabel 1.1. teknik pengumpulan data Jenis Data
Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data
Indepth Interview
Wawancara narasumber: Kelompok masyarakat yang menolak, Aktor Formal (Dinas Perhubungan Prov. DIY dan PT. Angkasa Pura I). Pengamatan terkait dengan situasi dan kondisi lokasi relokasi bandara baru. Lokasi bandara baru dan keadaan bandara sekarang. Dokumen terkait : Undangundang dan Peraturan Daerah, Data Media Cetak, Data Lahan yang akan dibangun bandara, Buku-buku terkait dengan relokasi fasilitas umum.
Primer
Observasi
Dokumentasi Sekunder Studi Pustaka
28
H.2 TEKNIK ANALISIS DATA Dalam melakukan analisa data, teknik yang digunakan ialah melalui lima tahapan yang ditawarkan oleh Creswell tahun 2010. Pertama, mengolah dan mempersiapkan data-data mulai dari data primer serta data sekunder yang dikumpulkan dalam satu kesatuan. Kedua, peneliti akan membaca dan mencermati data-data yang sudah ada untuk menangkap gagasan-gagasan yang ada agar lebih terfokus. Ketiga, peneliti mengklasifikasikan atau meng-coding data-data yang susuai dengan tema untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian ini. Keempat, menerapkan proses coding untuk membuat deskripsi atas ketegori-kategori dan tematema untuk di analisis. Kelima, menghubungkan tema-tema untuk diinterpretasikan dan dideskripsikan kedalam laporan penelitian. Meski begitu, dalam proses analisa data tidak bersifat baku dan kaku, melainkan peneliti dimungkinkan mengmbangkan teknik tersebut dan melakukan analisa data secara interaktif.
H.3 LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY. Dimana lokasi tersebut merupakan tempat rencana relokasi bandara Adisutjipto. Kecamatan Temon merupakan lokasi utama penelitian, kemudian untuk metode lainnya dilakukan di Kantor PT. Angkasa Pura I (Persero) DIY.
29
I. SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian tentang Problematika Relokasi Bandara Adisutjipto, studi kasus : Gerakan Wahana Tri Tunggal yang menolak Relokasi Bandara Adisutjipto ke Kabupaten Kulonprogo, dibagi dalam 4 (empat) bab, yaitu : BAB I merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan bagaimana penelitian ini dikonstruksikan secara teoritik (kerangka teoritik) dengan mengambil fokus penelitian pada Proyek Pembangunan Bandara terutama kelompok masyarakat yang menolak tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT). Bab ini juga menceritakan mengenai metode penelitian yang digunakan dan sistematika bab. BAB II akan menceritakan mengenai kehidupan masyarakat Temon, Kulonprogo yang menjadi tempat dimana gerakan Wahana Tri Tunggal (WTT) lahir dan berkembang. Pembahasan mengenai kehidupan masyarakat Temon akan mencakup sisi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Bab ini akan memberikan gambaran mengenai bagaimana kondisi masyarakat Temon mampu melatarbelakangi terbentuknya gerakan WTT, sehingga pembaca dapat mendapatkan deskripsi alur yang baik sebelum masuk ke dalam pembahasan utama mengenai konteks kelahiran gerakan WTT. BAB III pada penelitian ini, berisikan pembahasan langsung mengenai bagaimana konteks kelahiran gerakan WTT dengan memadukan informasi yang penulis dapat dari narasumber dan dianalisis menggunakan teori-teori politik yang
30
penulis pakai dalam penelitian ini. Dalam bab ini penulis juga mencoba menjabarkan dampak-dampak yang akan terjadi apabila bandara jadi dipindahkan ke Kulonprogo yang juga menjadi latar belakang mengapa WTT lahir, baik dampak sosial dan dampak ekonomi masyarakat yang terdampak, beradasar pada kondisi-kondisi awal yang melatarbelakangi WTT lahir seperti telah terjabarkan pada bab sebelumnya. BAB IV berisi penutup yang memuat tentang kesimpulan beserta saran rekomendasi terkait hasil penelitian yang telah dilakukan.
31