1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Kebudayaan peranakan Tionghoa merupakan kebudayaan yang paling kaya di Asia Tenggara. Hal ini begitu tampak dari pakaian, makanan, dan bahasanya yang merupakan sintesa dari kebudayaan Tionghoa, Melayu, Belanda, Portugis dan pelbagai kebudayaan lokal, tergantung di mana saja kaum peranakan ini bermukim. Sejak menetap di negeri ini (Indonesia), orang Tionghoa membentuk suatu masyarakat tersendiri. Lelaki Tionghoa menkahi perempuan-perempuan setempat. Mereka kemudian mengembangkan kebudayaan dengan memadukan unsur-unsur budaya yang dibawa dari Tiongkok dengan unsur-unsur kebudayaan lokal. Di antara kebudayaan ini, yang paling nyata adalah makanan, yang disesuaikan dengan menu sehari-hari dapur Indonesia pada umumnya. Sehingga sekarang kita dapat menikmati baso, siomay, dan tahu menurut selera lidah Nusantara. Orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya dapat dibagi menjadi Tionghoa "Peranakan" yang tak berbahasa Tionghoa dan Tionghoa "Totok" yang masih mempertahankan bahasa Tionghoa dan dialek Cina. Tionghoa peranakan berdomisili di Indonesia selama beberapa abad. Pada zaman sebelum PD II, ada Tionghoa peranakan yang menerima pendidikan bahasa Belanda atau bahasa Indonesia; ada juga yang masuk sekolah Tionghoa (Sekolah Tiong Hoa Hwee
2
Koan). Namun, bahasa ibu Tionghoa peranakan, pada dasarnya masih berbahasa Indonesia atau bahasa daerah Nusantara. Perjalanan kesusatraan peranakan Tionghoa mengalami metamorfosa yang tak singkat. Mula-mula tulisan-tulisan ini mengangkat kisah kesenian rakyat, wayang potehi atau wayang kulit dengan tokoh-tokoh khas Tionghoa yang sudah popular. Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita tersebut mulai dituliskan dalam aksara setempat dan baru pada akhir abad ke-19 baru diterjemahkan dalam aksara barat dengan bahasa Melayu rendah. Dan pada permulaan abad ke-20 baru dijumpai cerita-cerita asli penulis peranakan. Ceritacerita ini kemudian berkembang mengenai kehidupan keseharian mereka, terutama budaya yang terakulturasi melalui kawin campur, kritik terhadap pendidikan hingga cerita silat. Kesusastraan peranakan Tionghoa (Melayu-Tionghoa) adalah tonggak sejarah yang terlupakan di Nusantara. Selama nyaris seabad (1870-1960) dihasilkan tidak kurang dari 3.005 karya sastra dengan melibatkan 806 penulis yang jauh melampaui jumlah karya dan penulis dalam sastra Indonesia Modern. Karya sastra Melayu-Tionghoa merupakan refleksi kritis terhadap dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Neerlandica (masa keemasan penjajahan Belanda) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa sebagai warna “Indo” dari Indonesia tergambar dalam karya-karya tersebut. Perkembangan sosial politik pun ikut mewarnai tema-tema yang dipakai untuk penulisan karya sastra, mengingat kondisi masyarakat peranakan Tionghoa di tanah air sendiri pun mengalami pasang surut yang tak hanya
3
terjadi satu kali. Masa Soekarno, satra melayu Tionghoa diberi tempat istimewa. Beliau selalu menerima dengan tangan terbuka satrawan peranakan. Sebaliknya yang terjadi pada masa Soeharto, kebebasan sastra ditekan lewat kekangan berekpresi. Tidak ada karya seni yang tumbuh dan berkembang dari etnis ini, Barongsai dilarang, koran Tionghoa dibatasi. Reformasi memberikan sebersit harapan pada pembauran Bahkan, dalam karya sastra mereka satrawan pribumi menyerukan simpati mendalam agar peristiwa Mei 1998 tidak terulang lagi. Sastrawan Tionghoa pun mulai berbenah. Persatuan dan kesatuan sebagai hal niscaya di negeri ini harus dirajut kembali, bukan dengan program asimilasi tertutup, melainkan pemahaman pluralisme. Pembauran harus dimaknai secara terbuka oleh segenap komponen bangsa, bukan dalam pengertian menghilagkan identitas ,melainkan pengakuan atasnya. Dari sini hidup bersama dan bersama dirajut bagi bangsa demi kehidupan yang lebih baik. Delapan penulis peranakan Tionghoa : Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, Nio Joe Lan, Tan Hong Boen, Ang Ban Tjiong, Hoo Eng Djie, Ong Pik Hwa dan Kho Ping Ho. Delapan orang ini hanyalah segelintir dari begitu banyak sastrawan peranakan yang mengharumkan nama Indonesia lewat pena. Delapan penulis luarbiasa ini memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri dalam karya-karya mereka. Kwee Tek Hoay, si pemerhati pendidikan. Beliau banyak memberikan “kata-kata bijak” nya kepada kaum perempuan di zamannya yang “tertindas” oleh laki-laki. Njoo Cheong Seng, yang pada akhirnya justru menggeluti dunia teater, baginya menulis untuk menghibur. Nio Joe Lan, orang yang pertama kali menulis tentang kesusastraa Melayu-Tionghoa. Tan Hong Boen, si penulis seribu
4
wajah, yang tak hanya menulis cerita, tetapi juga menyusun kumpulan data orang-orang di sekitarnya, termasuk Proklamator Indonesia Bung Karno, sesama penghuni penjara Sukamiskin. Ang Ban Tjion dan Hoo Eng Djie sang penulis pantun dan syair yang memabukkan tentang cinta. Ong Pik Hwa, sang “Kartini” peranakan, pemberani, teguh dan mandiri. Terakhir Kho Ping Hoo, penulis cerita silat (cersil) yang bukunya dibaca berbagai kalangan, mulai tukang becak hingga pejabat tinggi dan jenderal. Kedelapan penulis di atas begitu membawa inspirasi dan hiburan bermutu bagi pembaca di zamannya. Terlebih, mereka banyak mengisahkan kehidupan kamu peranakan, beserta perubahannya dari masa ke masa. Untuk itu sudah sepantasnya perjalanan hidup mereka secara singkat dituangkan dalam sebuah buku biografi (esai). Demi pengabdian dan apa yang mereka persembahkan kepada seni sastra Indonesia, sekaligus informasi pada pembaca bahwa sastra peranakan yang terlupakan keberadaannya justru memiliki nilai tinggi dan kaya akan kebudayaan Indonesia, terutama bagi generasi muda yang menggeluti bidang seni, sastra maupun yang tak ada hubungannya sama sekali.
5
1.2
Lingkup Proyek Tugas Akhir Desain Komunikasi Visual (DKV) adalah salah satu bidang komunikasi yang dilakukan dengan visual. Dalam lingkup Tugas Akhir (TA), peran DKV adalah mengatasi hal-hal atau masalah dengan pendekatan DKV pula, yaitu dengan perancangan layout dari buku seri esai “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN. Diharapkan sebuah komunikasi grafis dapat lebih memberikan gambaran serta apresiasi yang kuat terhadap para penulis peranakan, sebagai buah budaya bangsa yang sempat terlupakan. Bagaimana perjalanan hidup mereka dan apa yang mereka hadiahkan kepada kita sebagai budaya dalam tinta dan kertas. Setidaknya sastra yang kerap kali dianggap membosankan oleh sebagian orang ini justru kaya akan nilai seni.