BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Sumber penerimaan negara berasal dari berbagai sektor, baik sektor
internal maupun eksternal. Salah satu sumber penerimaan negara dari sektor internal adalah pajak, sedangkan sumber penerimaan eksternal misalnya pinjaman dari luar negeri. Dalam upaya mengurangi ketergantugan sumber penerimaan eksternal, pemerintah terus berusaha untuk memaksimalkan penerimaan internal (Harjanti Puspa Arum, 2012). Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (www.ortax.org). Pajak memiliki dua fungsi yaitu fungsi budgetair sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undangundang perpajakan yang berlaku. Dan fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu (Sony Devano dan Siti Karunia Rahayu, 2013:25). Pajak adalah Pembayaran yang bersifat paksaan kepada negara yang dibebankan pada pendapatan kekayaan seseorang yang diutamakan untuk membiayai pengeluaran negara (Anderson W.H). Sedangkan penerimaan pajak
1
2
menurut Zain, 2005 merupakan gambaran
partisipasi masyarakat dalam
pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan negara. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai suatu pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan (sumarsan, 2013:5). Penerimaan pajak selalu mengalami peningkatan setiap tahun begitu juga dengan pemerintah yang meningkat lebih cepat yang menyebabkan fiscal gap dan defisit anggaran. Peningkatan penerimaan perpajakan jika dibandingkan dengan PDB (Produk Domestik Bruto) ternyata tax ratio kita masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asia dan Asean. Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan penerimaan pajak perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara di dunia tidak terlepas dari dunia internasional yang menyebabkan aspek perpajakan yang lebih kompleks yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah untuk mengatur kebijakan dan harmonisasi dengan dunia internasional. Sebagai perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional (Tax Ratio) dibeberapa Negara Asia :
3
Table 1.1 Perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional (Tax Ratio ) di beberapa Negara Asia
No
Negara
Tax Ratio
1
Jepang
27,40%
2
Korea
26,80%
3
India
17,70%
4
Thailand
17,00%
5
Malaysia
15,50%
6
Srilanka
15,30%
7
Philipina
14,40%
8
Singapura
13,00%
9
Indonesia
12,40%
Sumber : Direktorat Jendral Pajak 2010
Jumlah penerimaan nergara dari sektor pajak belum mencapai tax ratio yang optimal, dengan tax ratio Indonesia 12,40% termasuk paling rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Ini disebabkan karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak, pajak terutang yang lalai dilunasi oleh wajib pajak akan terakumulasi menjadi tunggakan pajak yang berpotensi mengurangi penerimaan pajak. Sehingga cenderung dapat beresiko untuk berkurangnya pendapatan negara yang dapat mengakibatkan defisit APBN secara tidak langsung (Fuad Rahmany:2011). Pada tahun 2015, target penerimaan pajak
4
yang ditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar 1.294,258 triliun. Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kementrian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai 377,028
triliun.
Realisasi
penerimaan
pajak
mencapai
29,13
persen.
(Liputan6.com) KPP Pratama Bandung mempunyai tugas melaksanakan kegiatan operasional pelayanan perpajakan di bidang Administrasi Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak tidak langsung lainnya diwilayah Cibeunying berdasarkan kebijakan teknis yang di tetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Dalam menyelenggarakan tugasnya, KPP Pratama Bandung Cibeunying mempunyai fungsi: 1. Melakukan pengumpulan dan pengolahan data serta penyajian informasi perpajakan. 2. Melakukan urusan tata usaha wajib pajak. 3. Melakukan penatausahaan dan pengecekan Surat Pemberitahuan Masa serta memantau dan menyusun Laporan Pembayaran Masa PPh, PPN, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL). 4. Melakukan urusan tata usaha penerimaan, penagihan, penyelesaian, keberatan dan restitusi PPh, PPN, dan PTLL. 5. Melakukan
urusan
pemeriksaan
pajak
dan
penerapan
sanksi
perpajakan. 6. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga KPP.
Berdasarkan penelitian yang sudah diteliti sebelumnya bisa dilihat penerimaan pajak di KPP Pratama Bandung Cibeunying sebagai berikut:
5
Tahun
Tabel 1.2 Data Deskriptif Penerimaan Pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying 2011-2015 Target Penerimaan Pajak Realisasi Penerimaan Persentase Pajak Pencapaian
2011 Rp 70,255,091,666 Rp 2012 Rp 86,890,889,807 Rp 2013 Rp 73,874,444,750 Rp 2014 Rp 108,581,026,640 Rp 2015 Rp 124,662,705,235 Rp Sumber : KPP Pratama Bandung Cibeunying
9,825,292,673 38,764,513,964 32,137,483,147 67,377,482,218 62,109,258,101
13.99% 44.61% 43.50% 62.05% 49.82%
Jika dilihat dari table 1.2 target penerimaan dengan realisasi penerimaan pajak di KPP Pratama Bandung Cibeunying persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying periode 2011-2015 menunjukan persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak yang fluktutaif. Pada tahun 2011 menunjukan persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak sebesar 13,99%. Pada tahun 2012 menunjukan persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak mengalami peningkatan menjadi sebesar 44,61%. Pada tahun 2013 menunjukan persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak mengalami penurunan menjadi sebesar 43,50%. Pada tahun 2014 menunjukan persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak mengalami peningkatan menjadi sebesar 62,05%. Pada tahun 2015 menunjukan persentase realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak mengalami penurunan menjadi sebesar 49,82%. Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa tingkat efektivitas penerimaan pajak dari surat teguran dan surat paksa yang diterbitkan masih belum berjalan dengan maksimal. Hal tersebut
6
bisa disebabkan karena tingkat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan perpajakan masih rendah meskipun sudah diberikan surat teguran atau surat paksa. Tingginya tunggakan pajak merupakan salah satu kendala bagi penerimaan pajak. Dan tindak lanjut dari tunggakan pajak tersebut adalah dengan dilakukannya penagihan pajak. Dalam buku KUP pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui penanggung pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penggung pajak tidak menepati keputusan tersebut. Penerbitan surat teguran harus dilakukan dengan mempertimbangkan upaya hukum wajib pajak karena upaya hukum keberatan dan banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008 menyebabkan tertangguhnya jatuh tempo dengan syarat wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya atas SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir, adalah sebagai berikut : 1. Apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan permohonan keberatan atas ketetapan hasil pemeriksaan tersebut, surat teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut wajib pajak mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan.
7
2. Apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya permohonan banding atas keputusan keberatan SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding. Tujuan menunngu jatuh tempo pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan atas keberatan SKPKB/SKPKBT karena 27 dalam jangka waktu tersebut wajib pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding. 3. Dalam hal wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan wajib pajak mengajukan : a. Permohonan
keberatan
atas
SKPKB/SKPKBT,
Surat
Teguran
disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan keputusan keberatan (jatuh tempo keputusan keberatan adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan keputusan tersebut). b. Permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan putusan banding (jatuh tempo putusan banding adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan tersebut). 4. Dalam hal wajib pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir pemeriksaan, surat teguran disampaikan setelah 7
8
(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan setelah tanggal penerbitan SKPKB/SKPKBT). 5. Dalam
hal
wajib
pajak
mencabut
pengajuan
keberatan
atas
SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. Surat teguran dalam rangka penagihan pajak atas utang pajak bumi dan bangunan dan atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana tercantum dalam STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan atau putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah disampaikan kepada wajib pajak setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo. Berdasarkan keterangan diatas untuk mengetahui pengaruh penerbitan surat teguran terhadap penerimaan pajak sebagai berikut:
Tabel 1.3 Data Deskriptif Penagihan Pajak dengan Surat Teguran pada KPP Pratama Bandung Cibeunying 2011-2015 Surat Teguran Tahun Penerbitan Pelunasan Lembar Rupiah Lembar Rupiah 2011 1161 Rp 49,751,136,666 442 Rp 7,806,416,673 2012 1200 Rp 68,365,548,807 811 Rp 30,142,231,272 2013 895 Rp 31,752,403,016 143 Rp 11,128,565,676 2014 1783 Rp 72,928,021,890 204 Rp 45,046,810,218 2015 1815 Rp 80,873,281,727 185 Rp 36,506,545,552 Sumber: KPP Pratama Bandung Cibeunying
Jika dilihat dari tabel 1.3 disimpulkan bahwa penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat teguran pada tahun 2011 tergolong belum efektif karena dengan penerbitan sebanyak 1161 lembar hanya dapat tertagih sebanyak
% 15.69% 44.09% 35.05% 61.77% 45.14%
9
442 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat teguran yang diterbitkan sebesar Rp. 49.751.136.666 hanya dapat tertagih sebesar Rp. 7.806.416.673 dengan persentase efektivitas 15,69% tergolong belum efektif. Sedangkan pada tahun 2012 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat teguran mengalami peningkatan dimana penerbitan sebanyak 1200 lembar dapat tertagih sebanyak 811 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat teguran yang diterbitkan sebesar Rp. 68.365.548.807 dapat tertagih Rp. 30.142.231.565.676 dengan persentase efektivitas 44.09% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Pada tahun 2013 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat teguran mengalami penururan dimana penerbitan sebanyak 895 lembar dapat tertagih sebanyak 143 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat teguran yang diterbitkan sebesar Rp. 31.752.403.016 dapat tertagih Rp. 11.128.565.676 dengan persentase efektivitas 35.05% yang indikatornya tergolong kurang efektif. Pada tahun 2014 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat teguran mengalami peningkatan dimana penerbitan sebanyak 1783 lembar dapat tertagih sebanyak 204 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat teguran yang diterbitkan sebesar Rp. 72.928.021.890 dapat tertagih Rp. 45.046.810.218 dengan persentase efektivitas 61.77% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Pada tahun 2015 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat teguran mengalami penurunan tergolong belum efektif, dimana penerbitan sebanyak 1815 lembar dapat tertagih sebanyak 185 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat teguran yang diterbitkan sebesar Rp. 80.873.281.727 dapat tertagih Rp. 36.506.545.552 dengan persentase efektivitas 45.14% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Berdasarkan uraian
10
di atas menunjukan bahwa tingkat efektivitas pelunasan utang pajak dari surat teguran yang diterbitkan masih belum berjalan dengan maksimal. Hal tersebut bisa disebabkan karena masih adanya wajib pajak yang masih menghiraukan surat teguran yang diterbitkan dari kantor pelayanan pajak. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, yang dimaksud dengan penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyederaan, menjual barang yang telah disita (www.ortax.org). Berdasarkan keterangan diatas untuk mengetahui pengaruh penerbitan surat paksa terhadap penerimaan pajak sebagai berikut:
Tabel 1.4 Data Deskriptif Penagihan Pajak dengan Surat Paksa pada KPP Pratama Bandung Cibeunying 2011-2015 Surat Paksa Penerbitan Pelunasan Tahun Lembar Rupiah Lembar Rupiah 2011 284 Rp 20,503,955,000 54 Rp 2,018,876,000 2012 326 Rp 18,525,341,000 35 Rp 8,622,282,692 2013 367 Rp 42,122,041,734 78 Rp 21,008,917,471 2014 535 Rp 35,653,004,750 86 Rp 22,330,672,000 2015 570 Rp 43,789,423,508 375 Rp 25,602,712,549 Sumber: KPP Pratama Bandung Cibeunying
% 9.85% 46.54% 49.88% 62.63% 58.47%
Dilihat dari tabel 1.4 disimpulkan bahwa penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa pada tahun 2011 tergolong belum efektif karena dengan penerbitan sebanyak 284 lembar hanya dapat tertagih sebanyak 54 lembar
11
dan dilihat dari nilai nominal surat teguran yang diterbitkan sebesar Rp. 20.503.955.000 hanya dapat tertagih sebesar Rp. 2.018.876.000 dengan persentase efektivitas 9,85% tergolong belum efektif. Sedangkan pada tahun 2012 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa mengalami peningkatan dimana penerbitan sebanyak 326 lembar dapat tertagih sebanyak 35 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat paksa yang diterbitkan sebesar Rp. 18.525.341.000 dapat tertagih Rp. 8.622.282.692 dengan persentase efektivitas 46.54% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Pada tahun 2013 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa mengalami peningkatan dimana penerbitan sebanyak 367 lembar dapat tertagih sebanyak 78 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat paksa yang diterbitkan sebesar Rp. 42.122.041.734 dapat tertagih Rp. 21.008.917.471 dengan persentase efektivitas 49.88% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Pada tahun 2014 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa mengalami peningkatan dimana penerbitan sebanyak 535 lembar dapat tertagih sebanyak 86 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat paksa yang diterbitkan sebesar Rp. 35.653.004.750 dapat tertagih Rp. 22.330.672.000 dengan persentase efektivitas 62.63% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Pada tahun 2015 penagihan tunggakan pajak dengan menggunakan surat paksa mengalami peningkatan, dimana penerbitan sebanyak 570 lembar dapat tertagih sebanyak 375 lembar dan dilihat dari nilai nominal surat paksa yang diterbitkan sebesar Rp. 43.789.423.508 dapat tertagih Rp. 25.602.712.549 dengan persentase efektivitas 58.47% yang indikatornya tergolong cukup efektif. Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa tingkat
12
efektivitas pelunasan utang pajak dengan surat paksa yang diterbitkan masih belum berjalan dengan maksimal. Hal tersebut bisa disebabkan karena masih adanya wajib pajak yang tetap membandel meskipun sudah diterbitkan surat paksa dari kantor pelayanan pajak. Penerbitan Surat Paksa menurut pasal 8 ayat 1 (UU Penagihan dengan Surat Paksa), Surat Paksa diterbitkan apabila: 1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang jelas. 2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, atau 3. Penganggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Pada dasarnya Surat paksa diterbitkan setelah Surat Teguran, atau Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan oleh Pejabat. Dalam hal penagihan seketika dan sekaligus Surat Paksa diterbitkan oleh pejabat baik sebelum maupun sesudah Penerbitan Surat Teguran , atau Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis. Berdasarkan fenomena di atas penerbitan surat paksa merupakan salah satu cara bagi Kantor Pelayanan Pajak dalam meningkatan penerimaan pajak, maka perlu upaya penerbitan surat paksa agar wajib pajak dapat mematuhi kewajibannya. Hal ini diharapkan dapat menambah dan mendorong sumbersumber penerimaan dari dalam negeri terutama dari sektor pajak untuk membantu kelancaran dalam hal pembangunan. Namun sebelum diterbitkannya surat paksa,
13
petugas pajak akan menerbitkan terlebih dahulu surat teguran kepada wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak. Maka penulis bermaksud ingin meneliti lebih jauh mengenai penerimaan pajak melalui surat teguran dan surat paksa yang di terbitkan, dengan judul sebagai berikut : “Pengaruh Penangihan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak” (Studi Kasus Pada KPP Pratama Bandung Cibeunying). 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas,
maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat pengaruh penagihan dengan surat teguran terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. 2. Apakah terdapat pengaruh penagihan dengan surat paksa terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. 3. Apakah terdapat pengaruh penagihan dengan surat teguran dan surat paksa terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. 1.3
Tujuan Penelitian Maksud dilakukannya penelitian ini adalah agar dapat memberikan
kontribusi bukti empiris mengenai masalah yang diteliti yakni pengaruh penagihan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap Penerimaan Pajak. Kemudian, sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
14
1. Untuk mengetahui apakah penagihan dengan surat teguran berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. 2. Untuk mengetahui apakah penagihan dengan surat paksa berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. 3. Untuk mengetahui apakah penagihan dengan surat teguran dan surat paksa berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. 1.4
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan
manfaat pada beberapa pihak diantaranya : 1. Bagi Penulis Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi (S1) pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama, serta untuk menambah wawasan pengetahuan dan daya nalar sebagai bagian dari proses belajar sehingga dapat lebih memahami bagaimana sebenarnya aplikasi dari teori-teori yang telah penulis peroleh selama duduk di bangku kuliah, tentunya dengan topik yang penulis pilih. 2. Bagi KPP Pratama Bandung Cibeunying memberikan sumbangan informasi dan data yang kongkrit unuk mengukur pengaruh penerbitan surat teguran dan surat paksa terhadap penerimaan pajak. 3. Bagi Pihak Lain
15
Sebagai masukan untuk meningkatkan pengetahuan dan menjadi bahan referensi untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. 1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, Penulis akan
melaksanakan penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibeunying di Jalan Purnawarman No. 21 Bandung, yang dilaksanakan pada bulan November tahun 2015 sampai dengan bulan Desember 2015.