BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis (suku bangsa) dan keyakinan agama. Pada satu sisi, kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain, pluralitas kultural tersebut memiliki potensi terjadinya disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku, agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenaranya faktor–faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan– persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Rahardjo, 2005 : 1). Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997, banyak terjadi konflik sosial di Indonesia, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal. Konflik horizontal, antara lain peristiwa perusakan tokotoko milik warga keturunan Tionghoa di berbagai kota, seperti Jakarta, Medan,
Universitas Sumatera Utara
dan kota-kota lainnya di Indonesia. Konflik antar umat beragama di Ambon, konflik antar etnik di Sambas, dan terjadinya konflik antar pemuda dan antar desa di berbagai tempat di Indonesia. Sedangkan konflik yang bersifat vertikal, yaitu konflik antara masyarakat dengan aparat pemerintah, seperti terjadinya pembakaran kantor polisi, pengrusakan kantor DPRD, dan yang paling mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia adalah adanya pergolakan di daerah Papua dan Aceh yang menghendaki kemerdekaan. Masyarakat di kota Medan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama merupakan daerah yang rawan akan terjadinya konflik sosial. Namun sampai saat ini, konflik sosial yang terjadi di Medan masih berada pada batasbatas kewajaran. Perkelahian antar kelompok pemuda yang pernah terjadi di Medan, dengan segera dapat diatasi pihak keamanan. Terjadinya berbagai peristiwa peledakan bom di Gereja dan tempat-tempat lain di kota Medan, ternyata tidak menyebabkan terjadinya konflik sosial yang bersifat terbuka pada masyarakat. Kondisi yang tampak dipermukaan, menunjukkan bahwa masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun, dengan pengertian tidak terjadi pertentangan atau konflik secara terbuka. Peristiwa konflik sosial, adakalanya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Bahkan ada kemungkinan, sebagian besar konflik sosial yang terjadi di masyarakat merupakan proses yang panjang; mungkin diawali dengan terjadinya salah faham antar individu, berkembang menjadi sikap antipati antar kelompok, dan dalam perkembangan selanjutnya meningkat menjadi konflik sosial. Kondisi
Universitas Sumatera Utara
tersebut bisa diperburuk ketika masyarakat yang berkonflik dipengaruhi oleh sikap “etnosentrisme.” Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang normanorma dan nilai-nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme menyebabkan adanya prasangka dalam setiap etnis yang dapat memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai barbar, kafir dan tidak mempunyai peradaban. Etnosentrisme dapat membangkitkan sikap “kami” dan “mereka”, lebih khusus dapat membentuk subkultural–subkultural yang bersumber dari suatu kebudayaan yang besar Etnosentrisme sangat berpengaruh
dalam
komunikasi
antarbudaya,
misalnya
meningkatkan
kecenderungan untuk memilih dengan siapa anda berkomunikasi (Liliweri, 2004 : 138). Untuk menghindari muculnya konflik yang disebabkan etnosentrisme dan faktor-faktor penyebab konflik lainnya, dibutuhkan komunikasi yang efektif didalam masyarakat multikultural. Hal ini dapat membantu terbentuknya hubungan yang harmonis didalam suatu masyarakat. Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dan interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Masyarakat Keluarahan Polonia merupakan masyarakat yang terdiri dari beberapa etnis dan agama. Masyrakat ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang multietnis dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling
Universitas Sumatera Utara
menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain. Terdapat beberapa etnis yang termasuk kedalam ingroup atau etnis mayoritas yaitu etnis Jawa, Batak, Sunda, Minangkabau dll. Selain itu ada juga etnis minoritas yaitu etnis Tamil, Cina, Punjabi dll . Suku Tamil adalah sebuah kelompok etnis yang berasal dari Asia Selatan. Komunitas Tamil yang paling tua berasal dari India bagian selatan dan Sri Lanka bagian timur laut. Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah Malah nama Indonesia sendiri berasal dari bahasa Latin Indus "India" dan bahasa Yunani nêsos "pulau" yang secara harafiah berarti 'Kepulauan India'. Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama menetap di Indonesia. Salah satunya adalah kelompok suku masyarakat Tamil dari India Selatan banyak terdapat di daerah Sumatera Utara (Medan, Pematang Siantar, dll). Banyak dari mereka yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk bekerja di perkebunanperkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Suku Tamil di Indonesia dianggap sebagai Keturunan asing pada masa orde baru dan kini telah disahkan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia atau disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Saat ini diperkirakan ada sekitar 70.000 warga keturunan Tamil India yang bermukim di Medan ( http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tamil ). Masyarakat Tamil masih berpegang teguh terhadap budaya dan adat istiadat mereka. Mereka memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang sampai sekarang masih dijalankan oleh Masyarakat Tamil di kota Medan maupun di kota–kota besar lainnya di Indonesia. Ada beberapa kebudayaan Tamil yang dilaksanakan masyarakat Hindu tamil yang tidak asing lagi bagi masyarakat
Universitas Sumatera Utara
kota Medan seperti perayaan Adhi Tiruvilla (Upacara tolak bala) dan Navaratri (penghormatan kepada tiga dewi yaitu Dewi Durga, Dewi Laksmi dan Dewi Saraswathi). Pada perayaan–perayaan ini biasanya warga Tamil melakukan arakarakan mengelilingi kota dan tidak sedikit etnis non-Tamil yang ikut menyaksikan perayaan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara etnis Tamil dan etnis non-Tamil yang saling mendukung dan mau ikut serta dalam perayaan kebudayaan dan perayaan keagamaan tersebut walaupun hanya dengan menyaksikannya. Tersedianya tempat–tempat ibadah seperti Gereja, Masjid, Kuil, Pura, Vihara dan Guruduwara di Kelurahan Medan Polonia menunjukkan bahwa adanya kesetaraan dalam pembangunan tempat–tempat agama. Dan adanya saling menghormati sehingga tetap terjadi kerukunan antar umat agama sehingga eksistensi tempat–tempat beribadah dan umat–umatnya tetap terjaga. Hal ini menunjukkan bagaimana setiap etnis di Kelurahan Medan Polonia baik etnis Tamil maupun etnis non-Tamil dapat menjaga harmonisasi diantara etnis yang berbeda. Keharmonisan membawa kebahagiaan, sebaliknya ketidakharmonisan menciptakan banyak persoalan. Dalam suasana harmonis, damai, tentram secara fisik sangat mendukung terciptanya ketentraman internal (Suamba, 2003 : 38). Masyarakat Tamil dalam filsafat Hindu percaya bahwa keharmonisan diri dengan alam dan lingkungan sekitar merupakan bagian dari keagamaan yang harus dilaksanakan. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat hidup tanpa alam sekitar. Jadi harus adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kemajemukannya, masyarakat Kelurahan Polonia tetap dapat menjaga integrasi bangsa. Semua suku tetap mempertahankan identitas masing– masing tanpa harus adanya etnosentrisme atau menjadi lawan dari suku lainnya. Mereka tetap dapat bekerjasama di dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti sejauhmana peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis di antara Etnis Tamil dan Non-Tamil di Kelurahan Polonia, karena hubungan yang harmonis bisa saja terjadi karena besarnya toleransi dan keterbukaan diri suku mayoritas dan juga bisa saja dikarenakan kerendahan hati suku Tamil sehingga mereka mau beradaptasi dengan suku mayoritas melalui peranan komunikasi antarbudaya di dalam masyarakat tersebut. Pemilihan lokasi penelitian ini setelah penulis mengetahui bahwa di Keluarahan Polonia ini, masyarakat heterogen, terdiri dari etnis Tamil dan NonTamil dan terjadi pembauran diantara mereka. Selain itu keberadaan masyarakat Tamil di Kelurahan Polonia termasuk salah satu pemukiman masyarakat Tamil yang cukup besar. Selain itu Kelurahan Polonia daerah pintu gerbang Kota Medan, yang merupakan pintu masuk dari daerah lainnya baik Regional maupun Internasional melalui transportasi udara karena terdapat Bandara Internasional Polonia sebagai pelabuhan udara yang mampu dilandasi jenis pesawat berbadan lebar seperti Air Bus dan mempunyai jalur penerbangan keberbagai daerah/kota secara Regional maupun Internasional. Dengan adanya Bandara International Polonia ini menjadikan lokasi ini penting sebagai gerbang Kota Medan dan masyarakatnya sebaiknya menjaga keharmonisan agar dapat menjadi contoh yang
Universitas Sumatera Utara
baik untuk kelurahan–kelurahan lainnya. Hal ini juga yang menjadi alasan peneliti memilih Kelurahan Polonia sebagai Lokasi Penelitian. I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: •
Sejauhmanakah komunikasi antarbudaya berperan dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia?
•
Bagaimanakah keadaan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh komunikator dan komunikan dari etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia?
I.3 Pembatasan Masalah Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti perlu membuat pembatasan masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah yang ditetapkan peneliti adalah sebagai berikut: 1. Responden yang dipilih adalah penduduk Kelurahan Polonia, yang terdiri dari Etnis Tamil dan non Tamil. 2. Studi korelasional tentang peran komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis hanya dilakukan penelitiannya di Kelurahan Polonia dan dibatasi pada penduduk kelurahan Medan Polonia yang berusia 15 – 54 tahun. 3. Etnis Tamil dan etnis China merupakan etnis pendatang, sedangkan etnis Non Tamil lainnya merupakan etnis lokal.
Universitas Sumatera Utara
4. Penelitian dibatasi hanya sampai kepada faktor yang menjadi latar belakang terjalinnya hubungan yang harmonis di Kelurahan Polonia. I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peranan unsur–unsur komunikasi dalam menyumbangkan efektifitas komunikasi antarbudaya. 2. Mengetahui keadaan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh komunikator dan komunikan dari etnis yang berbeda. 3. Mengetahui perbedaan persepsi etnis yang berbeda yang menimbulkan stereotip pada etnis Tamil dan non Tamil. 4. Mengetahui peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia. I.4.2 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara Teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi khususnya komunikasi antarbudaya sebagai bagian dari ilmu komunikasi. 2. Secara Akademis, penenlitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian di departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya mengenai
komunikasi
antarbudaya
yang
juga
diharapkan
dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi pembacanya. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masalah-masalah antarbudaya, khususnya peningkatan sosial di kota
Universitas Sumatera Utara
Medan, maupun masyarakat lainnya yang memiliki keragaman budaya dan etnik sehingga dapat memelihara hubungan yang harmonis sesama masyarakat. I.5 Kerangka Teori Rancangan penelitian yang baik dan memenuhi standar ilmiah haruslah menyertakan kajian teori atau perspektif teoritik yang dipandang relevan untuk membantu memahami atau menjelaskan fenomena sosial yang diteliti (Bungin, 2007:45). Sedangkan Kerlinger menjabarkan pengertian teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 1998 : 6) Dalam penelitian ini teori yang digunakan agar permasalahan lebih jelas adalah sebagai berikut: I.5.1 Teori Komunikasi Antarbudaya Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar I.1 Model Komunikasi Antarbudaya Budaya A
Budaya B
Budaya C
Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998 : 21 Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B. Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan sesuatu kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda. Penyandian dan penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini menunjukkan pengiriman pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dikehendaki oleh penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik, pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik (decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah selama fase penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki decoder tidak mengandung makna–makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder. Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara orang–orang yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur dan subkelompok yang berbeda (Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20).
Universitas Sumatera Utara
I.5.2 Teori Masyarakat Majemuk Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok atau strata sosial, ekonomi, suku, bangsa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan–rintangan yang sistematik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk, 2002:107). Masyarakat majemuk menurut KBBI, ialah masyarakat yang terbagi dalam kelompok persatuan yang sering memiliki budaya yang berbeda. S.Furnivall merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep masyarakat majemuk berdasarkan kajiannya di Indonesia dan Burma. Menurutnya ciri
utama
masyarakat
majemuk
adalah
kehidupan
masyarakat
yang
berkelompok–kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka terpisah– pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuat unit politik (Liliweri, 2004: 166). Ciri–ciri masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah: 1. Walaupun kelompok – kelompok yang tergabung dalam satu masyarakat itu berada dalam satu sistem politik yang sama, tetapi kehidupan mereka sendiri – sendiri. 2. Interaksi sosial antar kelompok kurang sekali, dan reaksi yang terjadi cenderung terbatas pada sektor ekonomi saja. 3. Suatu campuran berbagai kelompok manusia itu dikatakan muncul akibat denominasi kolonialisme.
Universitas Sumatera Utara
4. Tidak ada atau lemah dalam “common sense will” atau keinginan akan kebersamaan sosial, yaitu suatu perangkat nilai – nilai yang disepakati warga masyarakat untuk member panduan dan mengontrol tingkah laku warga masyarakatnya (Lubis, 1993:34). I.5.3 Teori Etnosentrisme Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme, pandangan hidup, nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip. Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain.
Universitas Sumatera Utara
Poortinga (dalam Liliweri, 2001 :173) menyatakan bahwa ada 3 faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi antarbudaya, yaitu : a. Stereotip Streotip berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi citra yang telah ada dan terbentuk secara turun–temurun. Ia tidak hanya mengacu pada citra negatif tetapi juga positif. b. Jarak sosial Jarak Sosial adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang berbeda tingkat peradabannya dengan orang lain atau masyarakat lain meskipun itu berada dalam zaman atau masa yang sama. Jarak sosial membedakan kelompok-kelompok masyarakat secara horizontal berdasarkan jarak peradabannya. c. Diskriminasi Diskriminasi adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur atau karakteristik yang lain.
Universitas Sumatera Utara
I.5.4 Teori Hubungan yang Harmonis Hubungan yang harmonis merupakan suatu pertalian/persahabatan dan kontak yang dilakukan antara anggota–anggota masyarakat yang mana mereka saling bersangkutan dalam suatu hubungan yang selaras dan serasi dalam hidup bermasyarakat, bertetangga, berteman, bersaudara dan sebagainya. Berikutnya, faktor–faktor yang mendukung terjalinnya hubungan yang harmonis adalah sebagai berikut: a. Imitasi Imitasi atau meniru adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik ( http://id.wikipedia.org). b. Sugesti Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain atau kelompok lain mengenai pandangan hidup, sikap, dan perilaku tertentu yang diterima tanpa dipikirkan secara kritis akibatnya-akibatnya. Pengaruh sugesti ini sangat kuat jika berasal dari orang-orang yang berwibawa atau berpengaruh dalam masyarakat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan emosi, stress, sedih, atau tertekan biasanya akan mudah terpengaruh oleh sugesti. c. Identifikasi Identifikasi merupakan usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada yang dilakukan dalam
Universitas Sumatera Utara
imitasi. Atau bisa juga diartikan sebagai dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Proses identifikasi
mula–mula
berlangsung
secara
tidak
sadar
(dengan
sendirinya), kemudian irrasional, yaitu berdasarkan kecenderungan– kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan berguna untuk melengkapi sistem–sistem norma, cita–cita dan pedoman– pedoman tingkah laku orang yang mengindentifikasi itu (Ahmadi, 1991 : 63). d. Simpati Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaaan sebagaimana proses identifikasi. Simpati menghubungkan seseorang dengan orang lain (Gerungan, 2004 : 74). e. Empati Empati diidefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sebagai kajian multikultural meruapakan suatu penyelidikan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan hambatan kultural dapat diatasi dengan cara menempatkan diri pada posisi lawan bicara (Puwasito, 2003: 182).
Universitas Sumatera Utara
I.6 Kerangka Konsep Teori–teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat menghasilkan beberapa konsep yang disebut dengan kerangka konsep. Menurut Nawawi (1995: 40) kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Agar konsep–konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Dalam penelitian ini, ada 3 kategori yang diteliti yaitu: 1. Kategori berdasarkan pelaksanaan komunikasi antarbudaya Yang kehendak diteliti adalah mengenai faktor–faktor yang menghambat terjadinya komunikasi yang efektif, seperti prasangka yang ditandai dengan adanya stereotip, jarak sosial dan diskrimasi yang sering terjadi diantara individu–individu yang berbeda etnis dan budaya. 2. Kategori berdasarkan terjalinnya hubungan yang harmonis Yang diteliti dalam kategori ini adalah proses terjalinnya hubungan yang harmonis di dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya imitasi, identifikasi, simpati dan empati. 3. Kategori berdasarkan karakteristik responden Yaitu sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap proses terjalinnya hubungan yang harmonis didalam masyarakat. Karakteristik responden meliputi, etnis, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama, lama tinggal dan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
I.7 Model Teoritis Berdasarkan kerangka konsep yang ada, untuk memudahkan kelanjutan penelitian maka akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut: Gambar I.1 Model Teoritis Komunikasi Antarbudaya • Etnosentrisme • Prasangka Sosial • Stereotip • Jarak Sosial • Diskriminasi
Hubungan yang Harmonis • Imitasi • Identifikasi • Simpati • Empati
Karakteristik Responden • Usia • Jenis Kelamin • Suku • Agama
I.8 Operasional Variabel Berdasarkan teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk memudahkan penelitian perlu dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian sebagai berikut: Tabel I.1 Operasional Variabel Variabel Teortis Komunikasi Antarbudaya
Variabel Operasional •
Etnosentrisme
•
Prasangka Sosial
•
Stereotip
Universitas Sumatera Utara
Hubungan yang harmonis
Karakteristik Responden
•
Jarak Sosial
•
Diskriminasi
•
Imitasi
•
Sugesti
•
Identifikasi
•
Simpati
•
Empati
•
Usia
•
Jenis kelamin
•
Suku
•
Agama
I.9 Defenisi Operasional Menurut Singarimbun (1995: 46), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara untuk mengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini, variabel – variabel dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Variabel bebas : Komunikasi Antarbudaya a. Etnosentrisme adalah suatu kecenderungan untuk memandang normanorma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
b. Prasangka sosial adalah sikap perasaan orang – orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. c. Stereotip adalah suatu sikap atau karakter yang dimiliki oleh
untuk
menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif. d. Jarak sosial adalah perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. e. Diskriminasi antaretnik adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. 2. Variabel terikat : Hubungan yang Harmonis a. Imitasi adalah sikap meniru orang lain baik dalam bahasa maupun bertingkah laku. b. Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain mengenai pandangan hidup, sikap dan perilaku. c. Identifikasi adalah usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi. d. Simpati adalah perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. e. Empati adalah sikap membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. 3. Variabel Antara : Karakteristik Responden a. Usia
: Usia responden
b. Jenis Kelamin : Jenis kelamin responden pria/wanita. c. Suku
: Suku/etnis responden
Universitas Sumatera Utara
d. Agama
: Agama/kepercayaan yang dianut oleh responden
I.10 Hipotesis Hipotesis adalah pernyatuaan yang bersifat dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Champion, hipotesis adalah penghubung antara teori dengan dunia empiris (Rakhmat, 2004: 14) dan merupakan jawaban sementara atas pertanyaaan penelitian yang kebenarannya akan diuji berdasarkan data yang dikumpulkan. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ho : Tidak terdapat hubungan peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia. Ha
: Terdapat hubungan peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin
hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia.
Universitas Sumatera Utara