1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara besar yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama adalah negara yang sangat majemuk yang nilai-nilai keberagamannya pada satu sisi bernilai sebagai aset kekayaan bangsa, namun pada sisi yang lain menjadi satu persoalan tersendiri. Hadirnya berbagai kelompok yang berdasar pada asas keagamaan khususnya agama islam yang dengannya dimaksudkan sebagai bentuk-bentuk dari upaya mentransformasikan nilai-nilai ideologi keagamaan kepada masayarakat luas pada banyak keadaannya dinilai cenderung bersifat radikal dan justru meresahkan masyarakat umum. Seperti pergerakan kelompok Front Pembela Islam (FPI), Ahmadiyah, Jaringan Al-Qaeda, termasuk Islam Jama‟ah. Adapun pengkategorisasian kelompok itu sendiri adalah merupakan satu kumpulan atau sistem individual yang melalui satu hiearki jenjang dan pembagian kerja, berupaya mencapai tujuan yang ditetapkan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai komunikasi antar manusia
(human
communication) yang terjadi dalam konteks kelompok. Ditinjau dari kebutuhan mendasarnya, manusia sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk ikut bergabung dalam sebuah kelompok maupun kelompok. Hal ini merupakan salah satu dari 5 jenjang tingkatan
2
kebutuhan
manusia
yang
telah
diuraikan
oleh
Abraham
Maslow
(Wahjosumidjo, 1987: 184) dalam Needs Theory nya, yakni: 1.
Kebutuhan yang bersifat fisiologis atau lahiriyah (Physiological Needs), yang manifestasinya secara jelas terlihat dalam tiga variabel pokok; sandang, pangan, dan papan. Pada keadaan konkritnya, seorang karyawan, misalnya, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang motivasi berupa hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll akan menjadi motif dasar baginya untuk bekerja, menjadi efektif, dan selanjutnya dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi kelompoknya.
2.
Kebutuhan keamanan dan keselamatan (Safety Needs). Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman, dan jaminan seseorang dalam lingkup personal, finansial, kesehatan, dan segala efek yang bisa membahayakannya. Secara konkrit, dalam dunia kerja yang nyata adalah meliputi
rasa
keamanan
seseorang dalam
kedudukan,
jabatan,
wewenang dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan keamanan secara formal atas kedudukan dan wewenangnya. 3.
Kebutuhan kasih sayang dan keterlibatan sosial (Social Needs atau Love and Belonging Needs). Yakni kebutuhan akan kasih sayang dan persahabatan, kekerabatan, serta kerjasama dalam suatu keluarga atau kelompok kerja bahkan antar kelompok-kelompok kerja. Kebutuhan ini juga meliputi keikutsertaan dalam meningkatkan relasi dengan pihak-
3
pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan yang mencakup adanya sense of belonging dalam kelompok tersebut. 4.
Kebutuhan akan penghargaan diri (Self-Esteem Needs). Kebutuhan ini secara garis besar mencakup keinginan mendasar dari seseorang untuk dihargai dan diterima keberadaannya sebagai individu yang dihargai. Pada skema nyata seperti dunia kerja, kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan kedudukan dan promosi dalam pekerjaan sebagai bentuk penghargaan yang pada tahap selanjutnya dimanfaatkan untuk mendapatkan pengakuan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini juga mencakup kebutuhan akan simbol-simbol dalam status seseorang serta prestise yang ditampilkannya.
5.
Kebutuhan pembuktian kapisitas diri (Self Actualization). Konsep dari kebutuhan ini adalah “Terhadap apa yang seseorang mampu, maka ia harus mewujudkannya”. Secara umum definisi tersebut memang begitu luas cakupannya, namun pada ranah yang lebih konkrit dapat dilihat pada kasus seseorang yang ingin menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya, memberikan jaminan pendidikan yang baik kepada mereka, dan menanamkan nilai-nilai yang diyakininya baik. Pada tahap kebutuhan ini, orang tua tidak hanya berharap akan kebaikan-kebaikan untuk anak-anaknya melainkan melakukan segala upaya yang sanggup dilakukannya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapan tersebut.
4
Salah satu tingkatan kebutuhan yang disebutkan oleh Maslow di atas adalah Kebutuhan Sosial (Social Needs) dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal inilah yang secara umum menjadi salah satu alasan mendasar bagi seseorang untuk ikut bergabung dalam sebuah kelompok atau kelompok, termasuk secara spesifik yang berkaitan dengan obyek penelitian ini yaitu terkait dengan para anggota dari kelompok atau kelompok Islam Jama‟ah. Selain itu, faktor pendorong lain yang telah terbukti menjadi alasan bagi seseorang untuk ikut bergabung dalam sebuah kelompok adalah kesamaan visi dan ideologi kelompok tersebut. Salah satu kelompok islam yang menarik untuk dikaji lebih dalam keberadaannya terkait dengan beberapa aspek yang telah dipaparkan dalam kerangka teori di atas dan yang akan datang kemudian adalah Islam Jama‟ah, mengingat kelompok atau kelompok ini merupakan salah satu organsasi islam yang besar dengan jaringan massa yang tidak hanya meliputi Indonesia melainkan juga
manca negara, dan secara khusus eksistensi massanya
ditemukan pula di Makassar – Sulawesi Selatan. Islam Jama‟ah adalah kelompok pergerakan yang berbasis pada simbol-simbol keislaman dan berpusat di Kota Burengan, Kediri – Jawa Timur - Indonesia. Kelompok ini merujuk pada kelompok islam yang secara historis didirikan oleh KH Nurhasan al Ubaidah Lubis al Musawa pada tahun 1941 dengan nama Darul Hadist yang kemudian berubah menjadi Islam Djama‟ah dan berubah nama lagi menjadi Yayasan Pendidikan Islam
5
Djama‟ah (YPID) lalu kemudian terus mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan nama pada format kelompok formalnya hingga saat ini. Beberapa karakteristik khas Islam Jama‟ah ditinjau dari ideologinya adalah: 1. Harus belajar dari orang yang bisa dirujuk hubungan guru-muridnya hingga ke rasulullah Shallallahu „Alaihi Wa Sallam. Secara khusus pengejawantahan makna dan aplikasinya adalah harus mengambil ilmu dari guru-guru mereka yang bersumber dari pusat kajian keilmuan mereka di beberapa kota di Indonesia yang tersentralisasi di Kediri, 2. Mempunyai pendapat bahwa bagi muslim yang belum memiliki imam, belum sah keislamannya; dari sini muncul praktek bai‟at di kalangan Islam Jama‟ah, 3. Tidak bermakmum di belakang imam yang tidak “diakui” oleh kelompoknya. 4. Siapapun yakni dari kalangan anggotanya yang mencabut janji ketaatan dan kepatuhan kepada imam Islam Jama‟ah akan dikategorasisasikan sebagai orang-orang yang meninggalkan agama islam atau murtad, Kelompok ini oleh salah satu komite yang dibentuk MUI dikategorisasikan
sebagai
kelompok
eksklusif-agresif,
karena
sifat
eksklusifnya (yang antara lain hanya mau bermakmum terhadap imam dari kalangan sesamanya saja), dan secara agresif mengembangkan pengaruhnya
6
dengan berbagai cara yang disebut “amar ma‟ruf”. Karakteristik yang dianggap tidak sejalan dengan pemahaman mayoritas ulama dan kesepakatan ummat islam secara keseluruhan ini antara lain adalah tentang keyakinan Islam Jama‟ah yang mengharuskan bai‟at pada sosok imam yang mereka pilih yang bermuara pada kepatuhan terhadapnya dalam pengertian patuh yang berlebihan. Di samping itu, mayoritas ulama di masa ini tidak mengenal kewajiban belajar pada guru yang harus sambung-menyambung dengan catatan yang jelas hingga ke rasulullah, yang oleh Islam Jama‟ah disebut dengan konsep “manqul”. Tentu, kita perlu meneladani rasulullah, dan contohcontoh penerapan nilai-nilai mendasar dari al-Qur‟an pun berasal dari beliau. Tetapi, hal ini tidak berarti adanya konsekwensi berupa syarat yang mutlak agar guru haruslah pernah belajar dari guru yang lain, dan guru lain tersebut pun haruslah belajar dari guru sebelumnya, dan seterusnya hingga para sahabat rasulullah yang belajar ke rasulullah, barulah melahirkan keabsahan amaliah seseorang. Konsep manqul seperti ini mengandung bahaya, karena bisa bermuara pada sikap mengkultuskan individu. Jika terjadi pengkultusan, maka kontrol terhadap pemimpin menjadi lemah. Karena itulah, dalam kelompok-kelompok dengan pengkultusan ini, sering terjadi sang pemimpin melakukan perbuatan-perbuatan yang berada di luar batas-batas kewajaran, misalnya berlaku melampaui batas terhadap yang lemah, khususnya kaum wanita, menyalah-gunakan kekayaan yang diperoleh
7
dari pengikutnya, dan lain-lain, dan tetap dianggap sebagai kebenaran oleh para pengkultusnya. Belakangan ini media, baik cetak maupun elektronik, banyak menayangkan potret wajah bangsa ini dari perspektif keberagaman yang mencuat sebagai masalah-masalah baru yang timbul akibat keberagaman itu sendiri, termasuk dalam kalangan internal kelompok Islam Jama‟ah sendiri. Melalui media massa, ideologi kelompok ini nampak sebagai realitas yang sesungguhnya namun pada sisi lain hanyalah merupakan bentuk dari politik pencitraan semata. Bagian yang menarik untuk diteliti dan diungkapkan sebagai satu fakta kajian ilmiah adalah bahwa hampir seluruh masyarakat yang bersinggungan dengan lapisan apapun dari kelompok ini tidak mengetahui keberadaan dan sikap sesungguhnya yang melekat pada nilai-nilai ideologi kelompok ini. Namun, sejak tahun 1970-an berbagai kasus internal maupun eksternal mulai muncul, adanya sebuah stigma dan vonis dari dalam kelompok ini yang menganggap bahwa masyarakat di luar kelompoknya yakni yang tidak membai‟at imam Islam Jama‟ah adalah kafir, hal ini menimbulkan gejolak baru secara internal maupun eksternal. Secara internal, misalnya, sikap pengkafiran tersebut mengakibatkan beberapa anggotanya, termasuk salah seorang dari petingginya, yakni tangan kanan Imam Islam Jama‟ah pada masa itu menilih untuk tidak lagi bergabung dengan kelompok ini. Fenomena serupa terus terjadi, salah satu kasus dengan gejolak yang sama terjadi belum lama ini pada salah satu mantan Anggota sekaligus pengurus Islam Jama‟ah
8
untuk wilayah Jakarta Timur, dia mengaku dipaksa oleh mertuanya yang juga merupakan salah satu pemimpin dalam Islam Jama‟ah wiilayah Jakarta Timur untuk menggugat cerai sang istri yang masih berstatus anggota Islam Jama‟ah aktif. Keluarnya ia sebagai anggota Islam Jama‟ah ini merupakan alasan utama ia dipaksa untuk menceraikan istrinya karena telah dianggap kafir oleh mertua dan anggota Islam Jama‟ah yang lain. Kasus lain dengan gejolak yang sama, yakni seputar fenomana pengkafiran ini juga terlihat dari sebuah kasus yang dialami oleh seorang gadis asal Pacitan, Jawa timur. Ia mengaku dijebak oleh satu anggota Islam Jama‟ah untuk “Nikah Dalam” yang dilakukan sesuai dengan tata cara yang standarisasinya dibenarkan dan dianggap sah oleh Islam Jama‟ah. Keyakinan dalam kelompok ini menilai bahwa untuk menikahkan seorang anggota Islam Jama‟ah haruslah orang dalam dari kelompok ini, karena mereka menganggap bahwa pernikahan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dinilai tidak sah, karena KUA bukanlah orang-orang Islam Jama‟ah. Selain dua kasus diatas, masih banyak lagi kasus-kasus yang pada titik tertentu menjadi satu akumulasi tekad yang melatar-belakangi keluarnya anggota-anggota Islam Jama‟ah. Secara khusus, untuk wilayah Sulawesi Selatan, pada akhir tahun 2010 hingga 2011 mencapai 180 anggota menyatakan keluar dari kelompok ini dan merupakan masalah besar dalam internal kelompok Islam Jama‟ah. Keluarnya seseorang dari sebuah kelompok, bisa saja dipengaruhi oleh konflik yang terjadi dalam kelompok tersebut. Konflik yang dimaksud
9
dalam hal ini adalah kurang sehatnya perilakukomunikasi yang dijalankan oleh pemimpin dengan anggotanya. Pada umumnya perilakukomunikasi yang dijalankan dalam kelompok Islam Jama‟ah adalah Downward Communication yang hanya terpusat pada keputusan pemimpin dalam kelompok tersebut sehingga lebih mengarah pada arus komunikasi yang bersifat vertikal. Selain itu, gaya kepemimpinan dalam sebuah kelompokpun turut mengambil andil terhadap keputusan seseorang untuk keluar dari sebuah kelompok. Gaya komunikasi atau communication style yang dipakai oleh seorang pemimpin ketika menjalankan aktivitas komunikasinya dalam sebuah kelompok akan memberikan gambaran bagaimana perilaku komunikasi antara pemimpin dan anggota sebuah kelompok ketika mereka melaksanakan interaksi komunikasi dalam berbagi informasi maupun gagasan. Fenomena-fenomena di atas menimbulkan ketertarikan bagi penulis untuk
terlibat
dan
mengakaji
lebih
dalam
tentang
bagaimana
perilakukomunikasi maupun perilaku komunikasi antara pimpinan dan para anggota kelompok ini yang pada titik tertentu berujung pada banyaknya anggota yang mengundurkan diri dari keanggotaan kelompok tersebut. Dan telah menjadi satu kejelasan bahwa salah satu konteks komunikasi kelompok yang paling menarik untuk dikaji adalah tindakan komunikasi dalam kelompok itu sendiri. Penulis menilai bahwa keluarnya seseorang, apakah lagi banyak orang, dari sebuah kelompok maupun kelompok dengan citra yang dikenal baik
pasti
dilatarbelakangi
oleh
masalah-masalah
tertentu
yang
10
kemungkinannya disebabkan oleh perilaku komunikasi yang tidak sehat di dalamnya. Selain itu, penulis menilai, adanya propagandis-propagandis yang dilancarkan oleh para pemimpin atau pengurus kelompok ini terhadap para mantan anggota kelompok atau kelompoknya menjadi satu bahasan menarik untuk diungkap sebagai satu kajian ilmiah yang diharapkan bermanfaat untuk kehidupan kebangsaan Indonesia yang belakangan semakin kompleks ini. Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis menilai perlunya untuk lebih dalam mengkaji beberapa aspek dan fenomena yang berhubungan dengan Kelompok Islam Jama‟ah ke dalam bentuk skripsi dengan judul: PERILAKU KOMUNIKASI ISLAM JAMA’AH TERHADAP MANTAN ANGGOTANYA (Sebuah Studi Komunikasi Kelompok)
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Perilaku komunikasi Islam Jama‟ah terhadap mantan anggotanya? 2. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi perilaku komunikasi Islam Jama‟ah? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui Perilaku komunikasi Islam Jama‟ah terhadap mantan anggotanya
11
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi perilaku komunikasi Islam Jama‟ah 2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis a) Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu komunikasi, terutama pengetahuan tentang studi kasus komunikasi kelompok. b) Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa komunikasi yang ingin mengkaji tentang perilaku komunikasi kelompok. b. Secara Praktis a) Sebagai referensi bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kelompok Islam Jama‟ah b) Sebagai referensi bagi kelompok-kelompok Islam lainnya dalam menjalankan perilaku komunikasi yang baik.
D. Kerangka Konseptual Ideologi Ideologi secara umum bermakna sebagai kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy ( Darma, 2009: 56 ) pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi berasal dari kata idea dan logos, yaitu ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan menyeluruh membahas gagasan, cita-cita, angan-angan, atau gambaran dalam pikiran untuk mendapatkan keyakinan mengenai hidup
12
dan kehidupan yang benar dan tepat. Dari dua pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ideologi itu memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1). Pandangan, 2). Tujuan, 3). Ajaran atau cara. Ideologi sebenarnya tidak hanya meliputi tujuan akhir yang akan dicapai, tapi ada sesuatu yang lebih mendasar lagi dari sekedar tujuan, yaitu paradigma atau cara pandang atau pandangan hidup. Paradigma yang benar, yang bersumber dari prinsip – prinsip yang benar, akan melahirkan tujuan dan cara yang benar. Ideologi secara sederhana dapat dipahami sebagai pengetahuan tentang gagasan yang berkaitan dengan sistem pemikiran, sistem kepercayaan, dan sistem tindakan. Dalam sistem pemikiran, ideologi sering dijadikan alat legitimasi terhadap kebenaran. Dalam sistem kepercayaan, ideologi dijadikan landasan keyakinan. Adapun dalam sistem tindakan, ideologi dijadikan pedoman perilaku manusia. Dengan demikian, ideologi dijadikan acuan berpikir, berkeyakinan, dan bertindak. Ideologi sebagai alat legitimasi digunakan oleh kelompok sosial yang dominan untuk menguasai kelompok-kelompok lain yang tidak dominan. Bagi kelompok yang tidak dominan, ideologi dijadikan alat resistensi untuk melakukan penolakan dan subversi terhadap ideologi dominan. Ideologi Marxis misalnya dijadikan alat resistensi dan subversi terhadap ideologi kapitalis. Anggapan bahwa ideologi sebagai kesadaran palsu pada dasarnya adalah pernyataan kritis untuk menolak dominasi ideologi. Dengan kata lain, antagonisme antara ideologi dominan dengan ideologi subversif merupakan
13
perseteruan antara ideologi yang berkuasa secara terbuka dengan ideologi yang dikuasai secara tersembunyi. Gambaran sederhana tentang hal ini adalah, bahwa ideologi itu tidak hanya sekedar perkara kendaraan (yang sering kita analogikan sebagai kelompok itu sendiri), yang digunakan untuk mengantarkan ke kota tujuan (yang kadang kita analogikan sebagai tujuan kelompok), tapi juga meliputi pengetahuan peta perjalanan ke „kota tujuan‟. Peta inilah pandangan hidup tadi. Peta yang benar, akan mampu mengantarkan kita pada „kota tujuan‟ yang benar pula. Sebaliknya, perjalanan tanpa pengetahuan peta yang benar mengenai kota tujuan, meskipun dengan kendaraan bagus, sangat rawan untuk tersesat.
Ideologi bagi kelas yang berkuasa merupakan alat untuk pertahanan diri, legitimasi, serta untuk mendominasi. Untuk menjadi suatu ideologi, yang kemudian dibawa oleh suatu organisisasi, ketiga unsur tidak bisa berdiri sendiri. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, para pendiri kelompok tidak akan lepas dari ideologi. Kesepakatan ideologi membuahkan satu kelompok.
Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi (Communication style) didefinisikan sebagai sperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu (a specialized set of interpersonal behaviors that are used in a given situation). Gaya komunikasi akan memberikan pengetahuan
14
tentang bagaimana perilaku orang-orang dalam suatu kelompok ketika mereka melaksanakan tindakan berbagi informasi dan gagasan.
Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respons atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver).
Ada 6 (enam) gaya komunikasi dalam komunikasi kelompok (Modul UT), , antara lain :
1. The Controlling style Gaya komunikasi ini bersifat mengendalikan, ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa, dan mengatur perilaku, pikiran, dan tanggapan orang lain. Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi ini dikenal dengan nama komunikator satu arah atau one way communicator. Komunikator yang menggunakan gaya ini cenderung berusaha menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk secara koersif memaksa orang lain mematuhi pandangan-pandangannya. 2. The Equalitarian style Aspek penting dalam gaya komunikasi ini adalah adanya landasan kesamaan. Gaya komunikasi ini ditandai dengan berlakunya arus penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua arah atau two way communication. Dalam gaya komunikasi ini, tindak
15
komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap anggota kelompok dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapatnya secara terbuka sehingga akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. 3. The Structuring style Gaya komunikasi yang terstruktur ini, memanfaatkan pesan-pesan secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus dilakukan sesuai dengan tugas dan pekerjaan serta struktur kelompok. Pengirim pesan (sender) lebih memberi perhatian kepada keinginan untuk memperngaruhi orang lain dengan jalan berbagi informasi tentang tujuan kelompok, jadwal kerja, aturan dan prosedur yang berlaku dalam kelompok tersebut. 4. The Dynamic Style Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif, pengirim pesan (sender) memahami bahwa lingkungan pekerjaan berorientasi pada tindakan. Tujuan utama dari gaya komunikasi yang satu ini adalah menstimuli atau merangsang anggota kelompok untuk bekerja lebih cepat dan lebih baik. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat kritis. 5. The Relinquishing style Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk memahami pendapat ataupun gagasan orang lain, daripada keinginan untuk memerintah, meskipun pengirim pesan (sender) memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Pesan-pesan dalam gaya
16
komunikasi ini akan efektif ketika pengirim pesan sedang bekerja sama dengan orang-orang yang berpengetahuan luas. 6. The Withdrawal Style Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut. Teori Disonansi Kognitif Teori Dissonansi Kognitif berkaitan dengan inkonsistensi psikologis antara apa yang diketahui seseorang dan bagaimana dia bertindak, atau berperilaku terhadap keadaan inkonsistensi tersebut. Dissonansi kognitif adalah suatu keadaan ketegangan psikologis yang terjadi, sehingga seseorang menjadi sadar akan adanya hubungan yang tidak serasi antara kognisi-kognisinya, perasaan-perasaannya, nilai-nilainya dan perilaku-perilakunya. Jika dissonansi muncul, selain seseorang berusaha mengurangi, maka dia juga secara aktif berupaya menghindari situasi-situasi dan informasi yang akan meningkatkan tingkat dissonansi tersebut. Seorang individu bisa mengatasi disonansi melalui tiga cara agar bisa mengurangi tingkat inkonsistensinya: 1. Mengubah elemen kognitifnya sehingga sesuai dengan perilakunya, dengan menipu diri sendiri, menolak kebenaran,
17
2. Mengubah elemen kognitifnya dengan berperilaku tertentu sehingga mengubah situasi yang tidak serasi, 3. Mencari informasi baru yang bisa membantu mengurangi dissonansinya, atau mengubah perilakunya, sehingga sesuai dengan informasi baru. Seseorang yang melakukan tindakan-tindakan atas dasar kepercayaankepercayaan yang bertentangan akan mengalami dissonansi kognitif. Hal ini bisa berarti bahwa semakin besar tekanan yang ada pada seseorang, karena banyaknya pilihan, atau imbalan yang ditawarkan, untuk melakukan kepercayaan
yang
bertentangan,
semakin
tinggi
tingkat
dissonansi
berlangsung. Konflik Yang dimaksud dengan konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika individu atau kelompok individu dapat mencapai tujuan dengan mengakibatkan kehancuran individu atau kelompok lain. Yang lain berpendapat bahwa konflik adalah suatu proses sosial ketika individu berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan atau dengan jalan ancaman dengan kekerasan. Sebab-sebab konflik Terjadinya konflik dijelaskan dalam hal-hal berikut (Sofyandi, 2007: 136) : 1. Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antar individu atau kelompok individu sehingga terjadi konflik di antara mereka,
18
2. Adanya perbedaan kepribadian di antara mereka yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang kebudayaan, 3. Adanya perbedaan kepentingan individu atau kelompok di antara mereka, 4. Adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat karena perubahan nilai/sistem yang berlaku. Bentuk-bentuk Pertentangan (Konflik) (Sofyandi, 2007:138): 1. Pertentangan pribadi, artinya pertentangan yang berlangsung antara dua orang 2. Pertentangan rasial, artinya pertentangan antar suku bangsa yang ada 3. Pertentangan kelas sosial, artinya pertentangan antar kelas yang ada dalam masyarakat 4. Pertentangan politik, artinya pertentangan yang menyangkut golongan atau kelompok di masyarakat 5. Pertentangan internasional, artinya pertentangan antar Negara yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan Akibat-akibat pertentangan (konflik) 1. Bertambahnya rasa solidaritas antar anggota 2. Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok 3. Adanya perubahan kepribadian individu 4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia
19
Maka berikut ini skema atau kerangka penelitan penulis berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas: Ideologi Organisasi
Disonansi Kognisi
Konflik Internal
Keluarnya Anggota
Perilaku Komunikasi terhadap mantan Anggota Gambar 1.1 Bagan kerangka konseptual E. Definisi Operasional 1. Perilaku Komunikasi adalah proses aksi dan reaksi baik oleh individu, kelompok, organisasi, yang dilakukan secara verbal maupun nonverbal baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Ideologi adalah suatu titik pandangan yang mengatur tingkah laku seseorang, dalam hal ini adalah kelompok Islam Jama‟ah dalam mengatur perilaku anggota maupun mantan anggotany. 3. Disonansi kognitif adalah penjelasan mengenai bagaimana keyakinan dan perilaku merubah sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada diantara kognisi-kognisi.
20
4. Konflik Internal adalah interaksi sosial yang bersifat negative yang terjadi
dalam
sebuah
kelompok
yang
diakibatkan
oleh
ketidaksepahaman akan sebuah realitas. 5. Islam Jama’ah: yaitu salah satu kelompok masyarakat yang terus berubah nama, yakni berdiri sejak tahun 1941 oleh pendirinya, KH Nurhasan al Ubaidah Lubis al Musawa, dengan nama Darul Hadist, dan kemudian berubah menjadi Islam Jama‟ah. Seiring dengan perkembangan situasi politik di Indonesia, kelompok ini akhirnya berubah nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (ISLAM JAMA‟AH) pada tahun 1990. Maka, Islam Jama‟ah (IJ) yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah semua orang yang berafiliasi dengan kelompok kemasyarakatan Lembaga Dakwah Islam Indonesia dan segenap sub afiliasinya yang akan peneliti sebutkan pada bagian pembahasan. 6. Mantan Anggota merujuk pada orang-orang yang pernah terlibat aktif di dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Islam Jama‟ah dan kemudian meninggalkannya, dengan beberapa indikator yang akan peneliti sebutkan pada bagian pembahasan. F. Metode Penelitian 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 s/d Februari 2012 yang akan dilaksanakan di Makassar. Penulis telah melakukan pra penelitian berupa penelusuran atas objek penelitian sejak
21
Agustus 2010. Sehingga, sangat diharapkan penelitian ini dapat selesai pada Februari 2012. 2. Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah sebuah kelompok islam yang telah berkembang sejak tahun 41-an yang bernama Islam Jam‟aah. Dalam perkembangannya, kelompok ini telah mengganti namanya yang kini lebih dikenal dengan nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). 3. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Hal ini dipilih karena peneliti berkeinginan mengungkap gejala yang ada pada obyek kajian sebagai satu bentuk penelitian komprehensif dan menyeluruh (holistic) yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan (contextual). Menurut Bogdan & Taylor (Moeloeng, 2002: 3) bahwa pendekatan ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data eksplorasi yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau fenomena realitas sosial dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. (Bungin, 2010 : 68).
22
Oleh karena penelitian ini adalah bersifat kasuistik, maka pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara, pengamatan, penelaahan dokumen-dokumen dan data apapun untuk menguraikan suatu kasus secara terperinci dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci. Metode ini lebih di dasarkan pada filsafat fenomenologis yang begitu mengutamakan penghayatan, sehingga metode ini selalu berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia pada keadaan tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. 4. Informan / Nara Sumber Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik dengan memilih orang yang berkompeten dan mempunyai relevansi dengan penelitian. Dalam hal ini, penelitian akan mengumpulkan data dari 5 orang informan yang merupakan mantan anggota dari Islam Jama‟ah atau yang kini dikenal dengan nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). 5 orang mantan anggota yang menjadi informan penelitian adalah; 1) Mantan Wakil Imam Daerah. Adapun Imam Daerah yang dimaksud adalah pimpinan Islam Jama‟ah yang setara dengan Gubernur. 2) Mantan Muballigh Daerah, yaitu mantan guru spiritual Islam Jama‟ah yang berada pada level propinsi. 3) Mantan Muballigh Kelompok, yaitu mantan guru spiritual Islam Jama‟ah yang berada pada level desa. 4) Mantan guru ASAD, yaitu guru bela diri khusus yang diajarkan dalam kalangan Islam Jama‟ah. 5)
23
Mantan Anggota Biasa atau dikenal dengan Rukyah Biasa dalam kalangan Islam Jama‟ah. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penulis berdasarkan kebutuhan analisis dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut sudah dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan yang sedang dikaji. Pengumpulan data yang dilakukan adalah : 1. Observasi Salah satu cara pengumpulan data yang utama dalam mengkaji objek penelitian adalah dengan menggunakan teknik observasi, yaitu peneliti berinteraksi secara penuh dalam situasi sosial dengan objek penelitian. 2. Wawancara Untuk memperoleh data yang memadai sebagai cross check , peneliti juga menggunakan teknik wawancara mendalam dengan objek penelitian yang terlibat dalam interaksi sosial yang dianggap memiliki
pengetahuan, mendalami
situasi
dan mengetahui
informasi untuk mewakili kelompok tersebut dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara mendalam merupakan interaksi antara peneliti dengan objek yang diteliti dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan dalam mencari informasi berdasarkan tujuan. 3.
Studi Dokumentasi / Kepustakaan
24
Data yang diperoleh melalui pengumpulan dan pengolahan data yang bersifat studi dokumentasi (analisis dokumen) berupa pengkajian terhadap dokumen pribadi, dokumen resmi kelompok, referensi-referensi atau literatur seperti laporan dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek penelitian. 6. Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu menggunakan fakta (menguraikan data dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dari penelitian) baik data primer maupun data sekunder dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami. Dimana data dan informasi diperoleh dari lapangan akan dideskripsikan secara kualitatif, dengan titik berat pada hubungan kausalitas setiap faktor yang mempengaruhi perilaku sebuah kelompok terhadap mantan anggotanya.