BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagai sebuah bentuk kesenian, film memiliki persamaan dengan media artistik lainnya; seperti seni lukis, seni pahat, seni musik, puisi, drama, dsb. Hal ini disebabkan film juga memiliki sifat-sifat dasar dari media artistik lain tersebut (Boggs, 1992:4). Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog dan komunikasi nonverbal melalui gerak (Boggs, 1992:4). Menurut Harymawan (1984:5), drama adalah kualitet komunikasi, situasi, aksi, (segala apa yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting) dan ketegangan pada pendengar atau penonton. Drama dapat pula diartikan sebagai cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan aksi di hadapan penonton (audience) (Harymawan, 1984:5). Seperti drama, film juga memiliki kemampuan untuk menimbulkan perhatian dan ketegangan pada penonton melalui adegan-adegan dan suara-suara serta dialog yang terdapat di dalamnya. Perbedaan antara film dengan drama terletak pada visualisasinya. Drama divisualisasikan secara langsung dalam sebuah panggung, sedangkan film divisualisasikan dalam bentuk digital. Menurut Boggs (1992:5), film melebihi drama karena film dapat mengambil gerak, waktu, dan sudut pandang bermacam-macam. Berbeda dari drama panggung, film memiliki kemampuan untuk menyajikan suatu arus yang terus menerus dan tidak 1
2
terpatah-patah, yang memperkecil transisi waktu dan tempat sambil tetap mempertahankan suatu kejelasan. Hal pokok yang dibutuhkan sebuah produksi film adalah skenario film. Skenario memegang peranan yang sangat penting dalam membuat film karena skenario merupakan landasan sebuah cerita dalam film. Menurut Sumarno (1996:116), skenario merupakan naskah yang siap dijadikan sebagai titik tolak produksi film. Pada umumnya, skenario memuat petunjuk-petunjuk gerakan kamera. Akan tetapi, petunjuk gerak kamera tersebut tidak selalu dicantumkan secara lengkap. Skenario awalnya merupakan sebuah kerangka cerita atau sinopsis dan tidak seperti naskah drama yang dimainkan secara persis sama. Penulisan skenario biasanya merupakan proses bertahap yang berawal dari materi tertulis yang lain, seperti cerpen, novel, naskah drama mau pun karya yang lain. Namun, tidak jarang seorang sutradara merangkap menjadi penulis skenario atau naskah yang tidak didasarkan pada karya sastra lain (Sumarno, 1996:44). Baik dan buruk sebuah skenario ditentukan oleh efektivitasnya ketika dipergunakan sebagai petunjuk dalam pembuatan film yang berisi deskripsi visual, gerak kamera, ritme adegan, dan dialog (Sumarno, 1996:48). Menurut Winarno (1979:ix), kekhasan membaca skenario hadir karena penulisan skenario diorganisasikan sedemikian rupa untuk menjamin penyajian filmis yang enak ditonton. Dengan kata lain, skenario ditulis sebagai suatu pengarahan bagi sutradara, pemain, juru kamera, penyunting gambar, dan seluruh kelengkapan personalia film lainnya.
3
Sebagai salah satu media hiburan selain media kesenian lain; seperti seni lukis, seni pahat, seni musik, puisi, drama, dsb. Film cukup diminati masyarakat di seluruh dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Minat masyarakat Indonesia terhadap film telah ada sejak film pertama kali diperkenalkan pada masyarakat Indonesia sekitar tahun 1925 (Ismail, 1983:53).
Pada masa itu, film hanya
digunakan sebagai sarana hiburan dan alat untuk memperoleh keuntungan. Pada saat Jepang menjajah Indonesia, corak komersialisme dan Amerikanisme dalam film Indonesia digantikan dengan corak propaganda politik dan kemasyarakatan. Pengertian fungsi film sebagai alat komunikasi sosial mulai disadari oleh para sineas
pada
masa
tersebut
dan
kemudian
berguna
bagi
usaha-usaha
membangunkan film nasional pada masa kemerdekaan (Ismail, 1983:55). Pada era tahun 1980-an hingga sekarang, perfilman Indonesia mengalami perkembangan. Film berkembang menjadi suatu usaha komersial bagi pihak swasta dan menjadi awal perkembangan film di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan mulai banyak sineas yang muncul. Beberapa sineas tersebut adalah Arifin C. Noer, Eros Djarot, Sophan Sophian, Garin Nugroho, Deddy Mizwar, Dimas Djayadiningrat, Hanung Bramantyo, Nia Dinata, Lola Amaria, Riri Riza, Rizal Mantovani, Rudi Soedjarwo, Ifa Isfansyah, Robby Ertanto Soediskam, dsb. Masing-masing sineas telah banyak menciptakan film yang diminati oleh masyarakat, baik masyarakat kelas menengah
ke bawah maupun masyarakat
kelas menengah ke atas. Salah satu sineas yang karya-karyanya diminati masyarakat adalah Robby Ertanto Soediskam.
4
Film-film yang sudah berhasil diciptakan oleh Robby Ertanto Soediskam di antaranya adalah Takut: Faces of Fear (2008), 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (2010), dan Dilema (2012). Melalui film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang telah dibuatnya, Robby Ertanto Soediskam mendapatkan penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia tahun 2010. Pada festival tersebut, Robby Ertanto Soediskam mendapatkan penghargaan dalam kategori Penulis Skenario Cerita Asli dan Adaptasi Terbaik (http://filmindonesia.or.id). Skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita menceritakan tujuh orang perempuan yang memiliki latar belakang dan masalah yang berbeda dan dihubungkan oleh seorang tokoh utama bernama dr. Kartini. Ketujuh tokoh perempuan tersebut dipertemukan di ruang Melati, Rumah Sakit Fatmawati tempat dr. Kartini bekerja. Ketujuh tokoh perempuan tersebut terdiri dari seorang rekan kerja dr. Kartini bernama dr. Rohana dan enam pasien dr. Kartini, yaitu Yanti, Lastri, Ratna, Rara, Lili, dan Ningsih. Dokter Kartini merupakan tokoh utama dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang digunakan sebagai penghubung cerita. Penggunaan nama Kartini sebagai tokoh utama dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita memiliki dua alasan. Pertama, nama Kartini merupakan nama seorang tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan pada masa penjajahan Belanda. Kedua, penggunaan nama Kartini digunakan sebagai petunjuk untuk mengarahkan penonton terhadap tujuan film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang bertema perempuan. Skenario film ini berusaha mengangkat isu-isu perempuan dengan menyajikan beragam masalah khas perempuan yang dialami oleh masing-masing
5
tokoh. Masalah-masalah dikhianati, terpojokkan, dan menjadi korban merupakan permasalahan khas yang dialami oleh banyak perempuan di Indonesia. Keseluruhan permasalahan tersebut memiliki satu persamaan yaitu ketidakadilan gender yang dilakukan oleh laki-laki. Ketidakadilan gender terhadap perempuan tersirat pula dalam judul film tersebut, yaitu 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Penggunaan angka “7” dalam judul tersebut menunjukkan jumlah tokoh yang mengalami ketidakadilan gender berbeda pada film tersebut. Penggunaan kata “hati” dan “cinta” menunjukkan sebagian besar kasus ketidakadilan gender terjadi pada relasi percintaan tokoh dengan pelaku ketidakadilan gender. Penggunaan kata “wanita” menunjukkan tokoh yang mengalami ketidakadilan gender adalah perempuan yang sebagian besar telah berada pada usia dewasa. Hal tersebut menjadikan dasar ketertarikan untuk mengkaji isu-isu perempuan melalui skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sebagai dasar dalam pembuatan film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Isuisu perempuan yang tertulis dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita akan dianalisis menggunakan kritik sastra feminis perspektif liberal. Pemilihan skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita memiliki dua alasan. Pertama, skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita banyak menampilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, seperti kekerasan yang dialami Lili, praktik poligami yang dilakukan oleh Marwan dan Hadi, latar belakang praktik pelacuran oleh Yanti, beban kerja ganda yang dialami Ratna, dan sebagainya. Kedua, tokoh-tokoh perempuan dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita memperlihatkan gagasan dan tindakan yang mengarah pada feminisme
6
melalui tindakan tokoh-tokoh tersebut. Hal ini merupakan salah satu wujud perjuangan perempuan dalam melawan ketidakadilan gender. Terdapat dua alasan dipilihnya pendekatan kritik sastra feminis sebagai alat untuk menganalisis skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kedua alasan tersebut adalah, pertama, skenario film tersebut menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang mengalami ketidakadilan gender oleh laki-laki. Kedua, skenario film tersebut mengandung ide-ide feminis yang digunakan oleh perempuan untuk melawan ketidakadilan gender yang dilakukan laki-laki. Kedua alasan tersebut menimbulkan ketertarikan pada skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita untuk dikaji lebih lanjut. Diksi ‘perempuan’ merupakan diksi yang sering digunakan dalam tulisantulisan serta penelitian-penelitian yang menyangkut perempuan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diksi yang digunakan adalah diksi ‘perempuan’, kecuali penyebutan judul objek kajian yaitu skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Alasan pemilihan diksi ‘perempuan’ sebagai diksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, pertimbangan konotasi positif dan nilai rasa yang tinggi terhadap diksi ‘perempuan’, sedangkan diksi ‘wanita’ cenderung bermakna peyoratif. Kata perempuan berasal dari kata pu kemudian mpu lalu empu yang berarti juga berarti “tuan”, “orang yang dihormati”, atau “ahli dalam suatu bidang”. Kata tersebut kemudian berarti “pemilik”. “Perempuan” dapat diartikan sebagai “orang yang dihormati” (Keraf, 1986:55). Menurut Budiman (1999:93—94), kata wanita diduga bersumber dari bahasa Sansekerta, yaitu vanita yang berarti diinginkan (oleh kaum laki-laki). Kedua, pertimbangan generalisasi penggunaan diksi yaitu
7
diksi ‘perempuan’ dianggap lebih umum digunakan dalam segala jenjang umur, sedangkan diksi ‘wanita’ dianggap hanya digunakan untuk jenjang tertentu (dewasa). Wanita adalah perempuan dewasa (KBBI, 2008:1556), sedangkan perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita (KBBI, 2008:1054). Diksi ‘wanita’ merepresentasikan tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang sebagian besar adalah perempuan dewasa.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan beberapa masalah. Beberapa masalah yang ditemukan adalah sebagai berikut. a. Deskripsi dan identifikasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. b. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. c. Ide-ide feminis yang terdapat dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.
1.3 Tujuan Penelitian Terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, di antaranya tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis yang terdapat dalam penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui deskripsi tokoh-tokoh perempuan dan lakilaki dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kedua, untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam skenario film
8
7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Ketiga, untuk mendapatkan makna yang terkandung dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita serta mendapatkan pesan yang tersirat dalam skenario film tersebut. Tujuan praktis dalam penelitian ini adalah pertama, memberikan sumbangan pemahaman kepada pembaca mengenai bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita secara teoretis, ilmiah, dan sistematis. Kedua, menambah wawasan pembaca mengenai skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang menceritakan praktik-praktik ketidakadilan gender terhadap perempuan oleh lakilaki. Ketiga, membuka wacana masyarakat mengenai ketidakadilan gender yang dialami perempuan yang tercermin dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita serta diwujudkan dalam bentuk film sehingga menghasilkan ide-ide feminis sebagai bentuk perlawanannya.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian dengan menggunakan objek kajian skenario film telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut di antaranya adalah pertama, tesis Program Studi S2 Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM berjudul “Teks Skenario William Shakespeare’s Romeo+Juliet: Sebuah Tinjauan Estetika Responsif” yang ditulis oleh Herry Nur Hidayat pada tahun 2004. Penelitian ini menggunakan tinjauan estetika responsif untuk membahas teks skenario film William Shakespeare’s Romeo+Juliet dengan memperbandingkan antara teks skenario film tersebut dengan teks dramanya Romeo and Juliet. Hidayat menyimpulkan
9
bahwa perbedaan kedua teks itu menunjukkan adanya reaksi dan respons pembaca dalam membaca sebuah karya sastra. Respons dan interpretasi terhadap sebuah karya sastra yang menghasilkan karya baru menunjukkan bahwa sebuah karya sastra dapat terus hidup dalam kondisi sosial dan budaya yang berbeda karena sifat karya sastra yang terbuka terhadap interpretasi (Hidayat, 2004). Kedua, tesis Program Studi S2 Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM berjudul “Poligami dalam Perspektif Posfeminis Analisis Skenario Film Berbagi Suami” yang ditulis oleh Ika Qurrota A’yunin pada tahun 2008. Penelitian ini menggunakan perspektif posfeminis untuk membahas kasus poligami yang terdapat dalam skenario film Berbagi Suami. Menurut A’yunin, poligami secara sosial memiliki peran yang besar dalam peledakan penduduk dan penambahan persoalan
sosial
baru,
seperti:
pengangguran
meningkat,
gelandangan,
bertambahnya angka kemiskinan, kebutuhan sandang dan pangan meningkat, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain (A’yunin, 2008). Ketiga, skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM berjudul “Gerakan Mahasiswa Angkatan 66 dalam Skenario Film Gie Karya Riri Riza: Sosiologi Sastra” yang ditulis oleh Wahyu Budi Utomo pada tahun 2012. Penelitian ini menggunakan sosiologi sastra untuk menganalisis skenario film Gie. Menurut Utomo, skenario film Gie secara utuh memberikan gambaran sejarah Indonesia, tepatnya era pemerintahan Soekarno. Riri Riza sebagai penulis kenario film ini berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat melalui nilai-nilai sejarah yang terdapat pada skenario film tersebut. Beberapa bagian pada skenario ini bahkan mengutip dari catatan asli Soe Hok Gie yang berupa pemikiran-
10
pemikiran dan pendapat-pendapat Soe Hok Gie. Pemikiran-pemikiran tersebut menurut Utomo, masih relevan dengan masa kini. Selain berusaha memberikan pendidikan pada masyarakat, memurut Utomo skenario film ini juga digunakan oleh Riri Riza untuk memberikan kritik terhadap keadaan yang ada pada masa kini (Utomo, 2012). Dari sekian banyak skenario film yang digunakan sebagai objek penelitian, skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita belum pernah digunakan sebagai bahan kajian. Namun, sebagai sebuah film, film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita telah banyak mendapatkan respons di internet. Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita secara umum memiliki persamaan dengan skenario filmnya. Karakter-karakter yang sengaja ditonjolkan untuk memperkuat cerita dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita tetap dipertahankan dalam filmnya. Selain itu, ekspresi kebahasaan dalam bentuk lisan dan gerak yang ditampilkan dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sesuai dengan yang terdapat dalam skenario filmnya. Persamaan tersebut memungkinkan untuk menggunakan respons-respons terhadap film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sebagai salah satu sumber referensi. Dari respons-respons terhadap film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, dipilih beberapa ulasan yang dianggap mewakili keseluruhan respons di internet serta memadai untuk digunakan sebagai tinjauan pustaka. Ulasan pertama, berjudul “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita: Penghormatan Laki-Laki Indonesia terhadap Perempuan” yang ditulis oleh Elessar Kartowidjojo pada tanggal 22 Mei 2011. Menurut Elessar, dari pengetahuan dan pemahaman cerita, film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sangat menarik karena ditulis dan dibuat oleh seorang laki-laki. Film ini adalah
11
film yang mampu menceritakan problem perempuan Indonesia dengan baik, jelas, terbuka, dan tanpa diperhalus. Film ini efektif dalam menyampaikan ceritanya karena tidak semua kisah disampaikan dalam dialog karakter-karakternya. Elessar menambahkan, emosi yang dituturkan melalui gambar-gambar yang efektif memperlihatkan bahwa sutradara tidak hanya sebatas mengemukakan problem yang dihadapi perempuan Indonesia yang nyaris selalu ditutup-tutupi karena alasan adat dan ketabuan, tetapi film ini juga menunjukkan kecintaan dan penghormatan sutradara sebagai laki-laki terhadap perempuan Indonesia. (http://kartowidjojo.blogspot.com). Kedua, resensi berjudul “Mereka yang Menolak untuk Menjadi Korban: Perihal dr. Kartini SpOG dan Percakapan di Ruang Melati” yang ditulis oleh Ekky Imanjaya pada tahun 2011. Resensi tersebut membahas tema perempuan yang digunakan dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Menurut Iman, sutradara memiliki keberanian dan keterusterangan dalam menyelami sisi gelap sekaligus karakter perempuan yang kuat, dan karakter laki-laki yang lemah. Hal tersebut merupakan bagian dari fenomena dobrakan baru dalam perfilman Indonesia pasca-Soeharto. Pada masa Soeharto, perempuan sebagian besar direpresentasikan sebagai sosok yang diam, pasif, tak berdaya, dan negatif (http://new.rumahfilm.org). Penelitian mengenai ketidakadilan gender dalam karya sastra, baik berupa skripsi maupun tesis telah banyak dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian yang memuat ketidakadilan gender sebagai masalah utama. Pertama, tesis Program Studi S2 Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM yang ditulis oleh Asep Dikdik Sodikin tahun 2011 berjudul “Perlawanan Perempuan terhadap Ketidakadilan
12
Gender: Tinjauan Kritik Sastra Feminis dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari”. Pada penelitian tersebut, Sodikin mengungkapkan bahwa dalam novel Entrok perempuan menulis gagasan perlawanan terhadap ketidakadilan gender dengan menyuarakan beragam fakta yang dialami perempuan dari sudut pandang mereka. Perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender dalam novel tersebut dilakukan dengan membuat tahapan-tahapan membangun perlawanan berupa penguasaan perempuan terhadap bidang pendidikan dan ekonomi di sektor publik dan domestik (Sodikin, 2011). Kedua, Skripsi Jurusan Bahasa Korea, Fakultas Ilmu Budaya, UGM yang ditulis oleh Evita tahun 2011 berjudul “Ide-Ide Feminis sebagai Resistensi terhadap Ketidakadilan Gender: Kajian Kritik Feminis terhadap Film Hwang Jin Yi”. Pada penelitian tersebut, Evita menyimpulkan bahwa dalam film Hwang Jin Yi tokoh utama berusaha melawan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dengan menyampaikan kritik terhadap dominasi kekuasaan laki-laki (Evita, 2011). Ketiga, Skripsi Jurusan Bahasa Korea, Fakultas Ilmu Budaya, UGM yang ditulis oleh Edlina Adiaty tahun 2013 berjudul “Ide-Ide Feminis sebagai Bentuk Perlawanan terhadap Ketidakadilan Gender dalam Film 아의초 (The Potrait of Beauty) Kajian Kritik Sastra Feminis”. Padapenelitian tersebut, Adiaty mengungkapkan bahwa film tersebut mengangkat isu perempuan pada zaman kerajaan Joseon. Film tersebut berusaha menampilkan perlawanan terhadap ketidakadilan gender terhadap perempuan pada zaman itu melalui tindakan tokoh utamanya yang bersikap dan berpenampilan seperti laki-laki.
13
Keempat, Skripsi Jurusan Bahasa korea, Fakultas Ilmu Budaya, UGM yang ditulis oleh Winni Jati Islami tahun 2013 berjudul “Ide-Ide Feminis sebagai bentuk Perlawanan terhadap Ketidakadilan Gender dalam Cerpen 경헤 (Kyeonghee) Karya 나 혜석 (Na Hyeseok): Kajian Kritik Sastra Feminis”. Pada penelitian tersebut, Islami menyimpulkan bahwa cerpen tersebut berisi bentukbentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan berupa subordinasi terhadap perempuan, keterbatasan pilihan hidup, dan stereotip negatif terhadap perempuan. Namun, ketidakadilan gender terhadap perempuan yang terjadi pada cerpen tersebut tidak menyebabkan adanya perlawanan dari perempuan secara nyata. Keinginan mereka untuk menyejajarkan perempuan dengan laki-laki hanya sebatas ide meskipun mereka mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kritik sastra feminis perspektif liberal telah digunakan sebagai teori pada beberapa penelitian karya sastra, baik dalam bentuk skripsi maupun tesis. Berikut ini beberapa penelitian yang dianggap memadai sebagai tinjauan pustaka. Pertama, tesis Program Studi S2 Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM berjudul “Intelektualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya Abidah El Khalieqy: Kritik Sastra Feminis” yang ditulis oleh Imma Goldamestika S. pada tahun 2009. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa ketiga novel karya Abidah El Khalieqy, yaitu novel Perempuan Berkalung Sorban, Atas Singgasana, dan Geni Jora menggambarkan tokoh-tokoh perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki potensi intelektual serta memiliki kapasitas mental yang kuat. Potensi intelektual dan kapasitas mental yang dimiliki tokoh-tokoh perempuan dalam
14
ketiga novel tersebut digunakan sebagai alat untuk menyikapi permasalahan yang dihadapi tokoh-tokoh perempuan tersebut. Perempuan dalam tiga novel Abidah ini belajar untuk berani menggunakan pandangannya untuk mempertahankan eksistensi diri mereka (Goldamestika S., 2009). Kedua, skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM berjudul “Peran Domestik dan Peran Publik Perempuan dalam Novel Jalan Bandungan Karya N.h. Dini: Analisis Kritik Sastra Feminis” yang ditulis oleh Wijaya Tri Hutami pada tahun 2010. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa novel Jalan Bandungan merupakan novel feminis karena memiliki banyak ide feminis yang sejalan dengan ide feminisme liberal yaitu perempuan harus berpendidikan, berkemandirian secara ekonomi, dan berkesetaraan gender dalam hukum negara (Hutami, 2010). Melalui uraian di atas, terlihat bahwa penelitian yang menggunakan skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sebagai objek kajian belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan membahas ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan yang dilakukan oleh tokoh laki-laki dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Objek kajian ini akan dikaji dengan menggunakan kritik sastra feminis perspektif liberal sehingga ketidakadilan gender yang dialami perempuan dan ide-ide feminis yang terdapat dalam objek kajian dapat diketahui.
1.5 Landasan Teori Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (KBBI, 2008:390). Menurut
15
Fakih (2008:79), feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan diekploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Feminisme menurut Goefe (Sugihastuti dan Suharto, 2002:18) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Dari pengertian-pengertian di atas, diketahui bahwa feminisme adalah suatu gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki di bidang politik, ekonomi, dan sosial untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian perempuan oleh laki-laki. Sebelum membahas feminisme, harus dipahami terlebih dahulu konsep seks dan konsep gender. Konsep gender dan konsep seks dalam pengertian masyarakat dewasa ini masih dipandang sebagai konsep yang sama, padahal kedua konsep tersebut memiliki perbedaan. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Fakih (2008:8) menyatakan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurut Rubin (via Nugroho, 2008:ix) gender adalah pembedaan peran perempuan dan laki-laki yang dibentuk dari konstruksi sosial dan kebudayaan, bukan karena konstruksi yang dibawa sejak lahir. Gender tidak bersifat universal, namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal, yaitu; 1) gender tidak identik dengan
16
jenis kelamin, dan 2) gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat (Gallery via Nugroho, 2008:6). Pengertian gender berbeda dengan seks. Pengertian seks (jenis kelamin) merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 2008:7−8). Alatalat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan bersifat permanen, tidak berubah, dan tidak dapat dipertukarkan. Ketentuan biologis tersebut sering disebut dengan kodrat (Nugroho, 2008:2). Masalah ketidaksetaraan hubungan perempuan dan laki-laki sebagian besar dibentuk oleh pembedaan konstruksi secara sosial budaya, dan bukan secara biologis. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan adanya kaitan erat antara perbedaan gender dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas (Fakih, 2008:3). Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Namun, pada kenyataannya perbedaan gender telah menimbulkan berbagai ketidakadilan gender bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan. Menurut Rosaldo (via Humm, 2007:218—219), ketidakadilan gender tidak hanya memberikan kenaikan otoritas laki-laki atas perempuan secara universal, tetapi juga penilaian lebih tinggi terhadap peran laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Ketidakadilan gender adalah suatu tindakan berdasarkan perbedaan gender yang memberikan penilaian lebih tinggi terhadap peran laki-laki sehingga
17
terjadi marginalisasi, subordinasi, stereotip negatif, tindak kekerasan dan pembebanan waktu lebih lama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2008:12—13). Marginalisasi adalah usaha membatasi; pembatasan (KBBI, 2008:879). Marginalisasi perempuan adalah usaha membatasi peran perempuan dalam kehidupan sosial sehingga terjadi pemiskinan secara mental, sosial, dan ekonomi (Fakih, 2008:15). Marginalisasi terhadap kaum perempuan dapat terjadi di tempat pekerjaan, dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat-istiadat maupun tafsir keagamaan. Subordinasi adalah kedudukan bawahan (terutama dalam kemiliteran) (KBBI, 2008:1345). Subordinasi perempuan adalah penilaian suatu peran yang dilakukan oleh perempuan lebih rendah daripada peran yang dilakukan oleh lakilaki. Millet (via Humm, 2007:460) menyatakan bahwa perempuan merupakan kelas jenis kelamin yang tergantung di bawah dominasi patriarkat. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 2008:15). Dalam rumah tangga,
18
masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa ‘menganggap penting’ kaum perempuan. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat (KBBI, 2008:1339). Prasangka yang subjektif tersebut terkadang menimbulkan pelabelan negatif. Pelabelan negatif adalah perbuatan memberi label yang kurang baik pada seseorang. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya (http://www.menegpp.go.id). Pelabelan negatif dapat dilakukan berdasarkan anggapan gender dan biasanya yang dikenai pelabelan negatif adalah perempuan. Pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, terutama kaum perempuan, mengakibatkan terjadinya diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Fakih (2008:74) mengemukakan bahwa dalam masyarakat, banyak sekali stereotip yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (KBBI, 2008:677). Menurut Fakih (2008:17), kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan gender pada dasarnya disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya
19
pemerkosaan terhadap perempuan, pemukulan dan serangan fisik terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution), kekerasan dalam bentuk pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana
(enforced
sterilization),
kekerasan
terselubung
(molestation),
pelecehan seksual, dan penciptaan ketergantungan. Pemerkosaan
terjadi
jika
seseorang
melakukan
paksaan
untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh pelbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, dan tidak ada pilihan lain (Fakih, 2008:18). Pemerkosaan tidak hanya terjadi di luar perkawinan saja, tetapi juga dapat terjadi di dalam perkawinan jika tidak ada kerelaan salah satu pihak (laki-laki maupun perempuan) untuk melakukannya. Bentuk tindak kekerasan lain selain pemerkosaan adalah tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence) (Fakih, 2008:18). Pelacuran juga merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelacuran diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang (Fakih, 2008:18—19).
20
Laki-laki, pada sebagian besar budaya, memiliki akses pada posisi publik lebih kuat dibandingkan perempuan; sedangkan bagi perempuan, pengaruhnya lebih condong pada wilayah domestik dan nonpublik. Pada keduanya, pengaruh yang ada dibatasi oleh wilayah masing-masing. Karena wilayah privat bergantung pada tempatnya di tengah-tengah wilayah publik, posisi puncak seorang perempuan domestik di dalam orde sosial bergantung pada posisi partner lakilakinya di tengah masyarakat (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:54). Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan (Fakih, 2008:21). Peran gender perempuan mengelola, menjaga, dan memelihara kerapian telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik (Fakih, 2008:75—76). Ketidakadilan gender yang dialami perempuan menyebabkan lahirnya feminisme yang berusaha untuk menyetarakan kedudukan dan derajat perempuan dengan kedudukan laki-laki. Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut sebagai kodrat (Fakih, 2008:78). Pada umumnya, kaum feminis mengakui bahwa feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan
21
dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut (Fakih, 2008:79). Menurut Tong (2010:1), pemikiran feminis meresistensi kategorisasi, terutama kategorisasi berdasarkan label dari “bapak” pemikiran itu. Label tersebut membantu menandai cakupan dari pendekatan, perspektif, dan bingkai kerja yang berbeda, yang telah digunakan beragam feminis untuk membangun penjelasan atas opresi terhadap perempuan dan pemecahan yang ditawarkan untuk menghapusnya. Menurut Fakih (2008:79), aliran feminisme terbagi menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran konflik dan aliran fungsionalisme. Aliran paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan sebagai pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan. Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi dan hubungan. Perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya akan dilihat dari konflik antardua kepentingan (Fakih, 2008:84). Di antara berbagai aliran feminisme, terdapat empat aliran feminisme yang cukup menonjol dan termasuk ke dalam dua aliran besar feminisme. Keempat aliran tersebut, antara lain, adalah feminisme radikal, feminisme marxis, dan feminisme sosialis yang termasuk ke dalam aliran feminisme paradigma konflik, serta feminisme liberal yang termasuk ke dalam aliran feminisme paradigma fungsionalisme. Menurut aliran fungsionalisme, harmoni dan integrasi dipandang fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik harus
22
dihindari termasuk yang berkenaan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Fakih, 2008:80—81). Pengaruh fungsionalisme tersebut dapat ditemui dalam pemikiran feminisme liberal. Aliran ini menurut Fakih (2008:81) muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Fakih (2008:81) mengungkapkan bahwa asumsi dasar feminisme berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan (Fakih, 2008:81). Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan penting bagi kaum feminis liberal dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Asumsinya, karena perempuan juga makhluk yang rasional sama dengan laki-laki (Fakih, 2008:81—82). Feminisme liberal memiliki dasar filosofis bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Feminisme liberal bertujuan membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan, baik dalam bidang akademik, forum, maupun pasar (Tong, 2008:48). Menurut feminisme liberal, agar
23
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dapat terjamin pelaksanaannya, perlu ditunjang oleh dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu, feminisme liberal lebih memfokuskan perjuangan mereka pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi patriarkat (Nugroho, 2008:65). Teori feminisme liberal berpendapat bahwa selama ini perempuan tidak terwakili atau sama sekali tidak diikutsertakan dalam semua aspek kehidupan (Nugroho, 2008:65). Pembatasan itu terjadi karena ada keyakinan yang salah bahwa perempuan tidak sekuat dan tidak secerdas laki-laki. Feminisme liberal percaya bahwa untuk menyejajarkan perempuan dengan laki-laki, semua tatanan ataupun sistem yang membatasi aktualisasi diri perempuan harus dihapuskan (Nugroho, 2008:66). Analisis mengenai ketidakadilan gender yang dialami perempuan oleh laki-laki dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita tidak terlepas dari konsep feminisme liberal yang digunakan sebagai teori analisis. Analisis terhadap skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita bertujuan untuk membongkar ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh perempuan oleh tokoh-tokoh laki-laki. Dengan bersandar pada kerangka analisis dari feminisme liberal, analisis terhadap skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita diharapkan dapat mengungkap fakta subordinasi, dominasi, dan stereotip yang dialami perempuan dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita serta perlawanan terhadap ketidakadilan gender. Feminisme berhubungan erat dengan konsep kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis adalah suatu alat untuk mengamati sebuah pengetahuan baru. Sebuah konsep untuk mengembalikan komponen yang tidak tampak dari gender,
24
pada semua tulisan yang dihasilkan oleh manusia dan ilmu pengetahuan sosial. Teori kritik sastra feminis berpandangan bahwa sastra merupakan konkretisasi dari berbagai kekuatan fundamental yang diwarisi dari masyarakat dan diwariskan pada masyarakat. Masyarakat mengalami perubahan jika pandangan-pandangan tersebut diralat atau diganti sama sekali dengan yang baru. Penggunaan kritik sastra feminis diharapkan mampu membuka pandangan baru, terutama yang berkaitan dengan bagaimana karakter-karakter perempuan yang diwakili melalui tokoh dan penokohan perempuan dalam sastra sekaligus menyimpulkannya (Ruthven, 1985:24). Showalter (Sugihastuti dan Suharto, 2002:18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Menurut Yoder (Sugihastuti dan Suharto, 2002:5), kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang memengaruhi situasi karang-mengarang.
25
Culler (1983:47) mengemukakan bahwa batasan umum kritik sastra feminis adalah “membaca sebagai perempuan”. Yang dimaksud “membaca sebagai perempuan” adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Membaca sebagai perempuan berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkat. Perbedaan jenis kelamin pada diri pencipta, pembaca, unsur karya, dan faktor luar itulah yang memengaruhi situasi sistem komunikasi sastra (Sugihastuti dan Suharto, 2002:19).
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan tiga metode, yaitu metode kualitatif, metode analisis induktif, dan metode deskriptif melalui studi pustaka dan analisis datadata berupa teks yang berhubungan dengan permasalahan. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis dalam objek kajian sehingga dalam melakukan analisis, penelitian ini tidak menggunakan angka dan penghitungan sebagai alatnya, tetapi menggunakan metode kualitatif. Moleong (2001:5) mengungkapkan bahwa metode kualitatif merupakan metode yang lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi serta lebih mudah melakukan penyesuaian apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Selain menggunakan metode kualitatif, dalam melakukan analisis, digunakan pula metode analisis induktif. Menurut Moleong (2001:5), metode analisis induktif dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat
26
dalam data dan lebih dapat menguraikan latar secara penuh, serta dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. Hasil analisis dalam penelitian kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif. Laporan penelitian menggunakan kutipan-kutipan data dari objek kajian sebagai pendukung dalam menganalisis data yang sangat kaya dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya (Moleong, 2001:6). Objek penelitian ini terdiri dari dua objek, yaitu objek formal dan objek material. Objek formal dalam penelitian ini adalah kritik sastra feminis perspektif feminis liberal untuk mengungkap motivasi seorang perempuan dalam melakukan tindakan untuk melawan ketidakadilan gender. Selain itu, penelitian ini berusaha mencari cara pandang kritik sastra feminis perspektif liberal dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita melalui permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang ditulis oleh Robby Ertanto Soediskam yang juga menjadi sutradara dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Penelitian ini menggunakan kajian kritik sastra feminis perspektif feminis liberal. Kajian kritik sastra feminis tidak memiliki metode khusus, maka kajian ini memerlukan metode bantu sebagai pendekatannya. Metode bantu yang digunakan adalah konsep reading as a woman, yang diperkenalkan oleh Jonathan Culler. Reading as a woman adalah membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang bersifat patriarkat. Konsep penting reading as a woman menurut Culler (1983:44−51) adalah sebagai berikut.
27
1. Ketika memosisikan sebagai pembaca perempuan, maka yang perlu diperhatikan secara substansial adalah dengan melihat pengalaman yang sedang dilihatnya, melihat sebagai “seorang perempuan” yang dibatasi dan dimarginalkan. 2. Konsep dari pembaca perempuan adalah kontinuitas pengalaman perempuan pada sosial dan struktur familial serta pengalaman mereka sebagai pembaca. Dalil kontinuitas diperlukan dengan memperhatikan keadaan dan situasi psikologi pada karakter perempuan untuk mengungkap sikap dan imaji tentang perempuan dalam kerangka seorang pengarang. 3. Mengidentifikasi karakter perempuan, kemudian karakter laki-laki yang telah melawan kepentingan mereka sebagai perempuan. 4. Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi dan asumsi politis yang berkamuflase dalam karya sastra. Berdasarkan uraian di atas, maka teknik pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data utama dan data pendukung. Data utama diambil dari skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita yang berupa kata-kata, frasa, dan kalimat. Data pendukung terdiri dari referensireferensi dan materi yang berhubungan dengan skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, ketidakadilan gender dan kritik sastra feminis perspektif feminis liberal. Data-data tersebut berupa buku, hasil penelitian, jurnal dan data dari internet. Analisis dilakukan pada data-data yang telah dikelompokkan sebelumnya dengan menggunakan teori kritik sastra feminis perspektif feminis liberal. Data-data tersebut kemudian diolah melalui cara berikut, (1) mengidentifikasi tokoh-tokoh
28
perempuan dan tokoh-tokoh laki-laki yang profeminis serta kontrafeminis (2) mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (3) mendeskripsikan ide-ide feminis yang terdapat dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Analisis tersebut dilakukan dengan membaca dan menentukan data utama dan data pendukung yang dibutuhkan, kemudian memaknainya dengan penafsiran serta menggunakan teori yang telah ditentukan. Berdasarkan rumusan cara di atas, secara keseluruhan langkah kerja penelitian ini meliputi beberapa tahap. Pertama, menentukan karya yang akan dijadikan objek material penelitian, yaitu skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kedua, menghubungi penulis skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita melalui jejaring sosial dan telepon. Ketiga, menemui penulis skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita secara langsung untuk mendapatkan skenario film tersebut dan melakukan wawancara. Keempat, melakukan pembacaan terhadap skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kelima, menentukan masalah pokok dalam penelitian, yaitu bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan oleh laki-laki dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita serta ide-ide feminis yang terdapat di dalamnya. Keenam, melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-data yang mendukung penelitian objek kajian. Ketujuh, melakukan analisis dan interpretasi terhadap skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sebagai objek kajian. Kedelapan, mengidentifikasi dan mendeskripsikan tokoh-tokoh perempuan dan tokoh-tokoh laki-laki pada skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kesembilan, mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat
29
dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kesepuluh, mengidentifikasi ide-ide feminis yang terdapat dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Kesebelas, mengambil kesimpulan.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan penelitian ini tersusun ke dalam enam bab. Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika laporan penelitian. Bab II berisi deskripsi dan identifikasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki yang memiliki potensi bersikap profeminis dan kontrafeminis dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Bab III berisi bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Bab IV berisi ide-ide feminis yang terdapat dalam skenario film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Bab V berisi kesimpulan.