BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Perkembangan bahasa merupakan salah satu mata rantai pertumbuhan anak
(Indah, 2011:2). Anak mengalami sebuah proses belajar secara bertahap untuk mencapai sebuah keutuhan berbahasa. Ross dan Roe (via Zuchdi dan Budiasih, 1997:6) membagi fase perkembangan bahasa menjadi tiga tahap. Tahap pertama merupakan fase fonologis, yaitu fase ketika anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa, dimulai dengan berceloteh hingga menyebutkan kata-kata sederhana. Fase ini dimungkinkan terjadi pada anak yang baru lahir hingga berumur dua tahun. Pada umur 2—7 tahun, anak akan mengalami fase sintaksis. Pada fase kedua ini, anak menunjukkan kesadaran gramatis sehingga ia menunjukkan usaha berbicara menggunakan kalimat. Tahap terakhir adalah fase semantik. Di usia 7—11 tahun, anak mulai dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata. Piaget (via Resmini, 2011:6—7) menyatakan anak usia 7—11 tahun sudah mampu melihat struktur sebuah buku, misalnya kisah dalam kisah, alur sorot balik, dan mampu mengidentifikasi berbagai sudut pandang cerita. Sejalan dengan hal tersebut, Faisal (Tanpa Tahun:26) mengungkapkan bahwa anak usia 8 tahun mampu membuat alur cerita yang jelas. Pada umur tersebut mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi masalah dalam cerita. Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar atau pembaca atas cerita yang mereka buat.
1
2
Menurut Kusmarwanti (2011:6), cerita dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak melalui perbendaharaan kosakata yang sering didengarnya. Cerita anak yang tersebar di masyarakat antara lain berupa fabel, dongeng, legenda, dan beberapa cerita khusus yang sengaja ditulis untuk anak-anak. Sebelum tahun 1985, persebaran cerita anak masih menggunakan tradisi lisan. Para orang tua memberikan sebuah cerita secara langsung kepada anak-anak mereka, hingga muncul seorang pendongeng yang menyebarkan cerita melalui tulisan. Beberapa buku cerita anak terbit dari Enid Blyton, Tony Wolf, dan Astrid Lindgren yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama. Sejak saat itu, dongeng tidak lagi diterima anak-anak secara lisan, tetapi melalui tulisan (Sugihastuti, 1996:5). Kemampuan anak dalam bercerita, seperti yang disampaikan oleh Faisal dalam uraian sebelumnya, ternyata bukan bualan semata. Saat ini, cerita anak yang tertuang dalam bentuk tulisan itu tidak hanya dibuat oleh orang dewasa. Suara Hati Dewa, Nasi untuk Kakek, Forever Friends, Three Girls, Little Ballerina, dan Shopaholic Girl merupakan beberapa karya anak yang telah diterbitkan. Beberapa penerbit bahkan membuat kategori khusus untuk karyakarya pengarang muda itu. Penerbit Bentang Belia memberikan nama Bintang Kecil untuk buku-buku karya pengarang muda. Noura Books menyebut bukubuku karya pengarang muda itu dengan Penulis Cilik Punya Karya (PCPK). Hampir mirip pula, DAR! Mizan menamainya Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Dari ketiga penerbit di atas, kemunculan serial pengarang muda diawali oleh DAR! Mizan. KKPK merupakan salah satu lini DAR! Mizan yang dikhususkan
3
untuk tulisan karya anak usia 8—12 tahun. KKPK dibentuk sebagai wadah imajinasi anak-anak dalam mengembangkan kemampuan menulisnya. Pada Desember 2003, DAR! Mizan menerbitkan buku karangan Sri Izzati yang waktu itu baru berusia 8 tahun. Terlebih lagi, penerbit mengizinkannya untuk diterbitkan tanpa melalui proses penyuntingan. Karyanya yang berjudul Kado untuk Ummi mendapat sambutan positif dari para orang tua maupun anak-anak yang membacanya. Saat ini, Kado untuk Ummi sudah masuk pada jajaran best collection serial KKPK. Sri Izzati lahir pada tanggal 18 April 1995 di Bandung. Ia adalah anak bungsu tiga bersaudara dari pasangan Setyo U. Soekarsono dan Hetty Soekarsono. Setyo Soekarsono tinggal di Jakarta sejak kecil, sementara Hetty lahir dan besar di Bandung. Semenjak lahir, Izzati hanya sesekali pergi ke Solo untuk menengok kakek-nenek Ayahnya. Saat menulis naskah Kado untuk Ummi, Izzati berusia 8 tahun dan masih duduk di kelas V SD Istiqamah Bandung. Ayah Izzati masih bekerja di Industri Pesawat Terbang Nasional, sementara sang ibu memilih untuk berhenti bekerja sejak kelahiran anak pertamanya. Kedua orang tua Izzati adalah orang yang taat beragama islam. Saat ditanya mengenai alasan mereka memperkenalkan membaca kepada Izzati sejak usia dini, Ayahnya menjawab bahwa seperti itulah Allah mengajarkan kepada Nabi-Nya. Dalam hal ini, Setyo menggunakan metode yang disampaikan oleh Glen Doman dalam buku Mengajar Bayi Anda Membaca. Berkat metode itu, Izzati menjadi gemar membeli dan membaca buku. Orang tua Izzati kemudian membuat aturan bahwa buku yang dibaca wajib
4
diceritakan kembali melalui tulisan. Sejalan dengan hal itu, Ayah Izzati memberi keleluasaan pada putrinya untuk menggunakan aplikasi Microsoft Word. Keasyikan dalam kegiatan menceritakan kembali ini, mengantarkan Izzati pada percobaan membuat karangan. Pada akhirnya, ia mampu membuat dan merangkai ceritanya sendiri dalam bentuk soft file. Terbitnya buku Kado untuk Ummi bukanlah sesuatu yang disengaja. Bermula dari keinginan Izzati untuk mengabadikan tulisannya dalam bentuk buku, Ayahnya kemudian menghubungi dan meminta bantuan salah seorang rekan untuk membukukan naskah Powerful Girls secara pribadi. Tak disangka, rekannya itu justru menyerahkan naskah kepada penerbit tempat ia bekerja. Akhirnya, penerbit tersebut mencetak beberapa eksemplar buku untuk disebarluaskan hanya di kalangan keluarga dan kawan Izzati. Kemampuan menulis yang dimiliki oleh Izzati menjadikan sang Ayah ingin terus mengasah potensi putrinya. Oleh karena itu, beberapa eksemplar buku Powerful Girls milik Izzati itu dikirim ke beberapa penerbit. Hal ini dilakukan supaya Izzati mendapatkan pelatihan menulis dari penerbit. Namun, respon yang diterima oleh Ayahnya, berbeda. Salah satu penerbit justru meminta Izzati untuk mengirim satu naskah lagi. Naskah Kado untuk Ummi yang diterima oleh DAR! Mizan langsung dicetak tanpa melalui proses penyuntingan. Keputusan ini didasarkan pada kualitas tulisan Izzati yang dianggap mumpuni untuk diterbitkan. Sejak saat itu, penerbit DAR! Mizan mengklaim bahwa ia adalah penerbit pelopor untuk buku-buku tulisan anak. Sementara itu, Izzati juga dianggap sebagai pelopor penulis anak. Pada tahun 2010, Izzati mendapat penghargaan
5
sebagai peraih Islamic Book Fair (IBF) Award. Novel Kado untuk Ummi juga masuk pada jajaran Best Collection seri Kecil-Kecil Punya Karya milik penerbit DAR! Mizan. Setelah Kado untuk Ummi, DAR! Mizan kembali menerbitkan buku KKPK. Karya-karya anak yang diterbitkan KKPK itu secara berturut-turut adalah Untuk Bunda dan Dunia karya Abdurrahman Faiz, Dunia Caca karya Putri Salsa, dan May Si Kupu-Kupu karya Dena. Dua di antara empat anak itu, yaitu Sri Izzati dan Abdurrahman Faiz, menjadi pelopor lahirnya KKPK di Indonesia. Terbitnya buku cerita anak oleh pengarang muda itu memunculkan pertanyaan mengenai bahasa tulis yang digunakan. Berhubungan dengan tahap perkembangan bahasa anak, usia para penulis KKPK berada dalam fase semantik. Hal ini berarti bahwa terdapat kemungkinan penggunaan kata, frasa, atau kalimat yang lebih sederhana dibandingkan dengan buku cerita anak yang ditulis oleh orang dewasa. Dalam penelitiannya, Djatmika dkk. (2011:117) bahkan menyebutkan tulisan anak-anak usia sekolah dasar sulit dipahami. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesulitan para responden untuk menceritakan kembali secara utuh teks yang ditulis oleh siswa sekolah dasar. Namun demikian, apabila karya-karya anak yang sudah diterbitkan tersebut tidak dapat dipahami, lini tulisan anak pada berbagai penerbit akan berhenti berproduksi. Pada kenyataannya, lini tersebut terus bermunculan dan masih menerbitkan berbagai buku tulisan anak. Lebih hebatnya lagi, karya Kado untuk Ummi yang menjadi pelopor terbitnya buku karya anak terus dicetak. Hingga saat ini, Kado untuk Ummi sudah mengalami cetak ulang dan, seperti yang telah
6
disebutkan sebelumnya, menjadi karya best collection serial KKPK. Oleh sebab itu, cerita Kado untuk Ummi karya Sri Izzati dipilih untuk menjadi objek penelitian ini. Hal ini dapat memunculkan pandangan baru mengenai kemampuan menulis anak. Pada tahap belajar berbicara, seorang anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan meniru ucapan-ucapan yang ia dengar dari ibunya (Ajeng, 1999). Menurut Moskowitz, Pine, Barton, dan Tomasello (via Dardjowidjojo, 2000:49), bahasa sang ibu mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu (1) kalimatnya pendek-pendek, (2) tidak mengandung kalimat majemuk, (3) nada suara biasanya tinggi, (4) intonasinya agak berlebihan, (5) laju ujaran tidak cepat, (6) banyak redundansi, dan (7) banyak memakai sapaan. Sesuai dengan sifat anak yang suka meniru, karakteristik bahasa anak bisa jadi memiliki karakteristik yang sama dengan bahasa sang ibu. Hal tersebut menarik perhatian peneliti untuk mengamatinya lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan komprehensi yang dimiliki oleh anak dalam hal pemerolehan bahasa mereka. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti mendeskripsikan karakter kata dan kalimat yang dimiliki oleh Izzati dalam Kado untuk Ummi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk meneliti bahasa tulis anak secara umum.
1.2
Rumusan Masalah Sebagaimana uraian di atas, anak usia 8 tahun berada pada masa transisi
antara tahap sintaksis dan semantik dalam perkembangan bahasa. Hal ini
7
memunculkan anggapan bahwa anak usia 8 tahun telah memiliki kompetensi berbahasa yang baik jika dilihat dari segi kata dan kalimat. Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai karakteristik bahasa tulis anak usia 8 tahun. Oleh sebab itu, terdapat dua rumusan yang digunakan sebagai jalan untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan pokok tersebut. Kedua rumusan yang dimaksud adalah bagaimana karakteristik kata dan kalimat anak usia 8 tahun dalam Kado untuk Ummi karya Sri Izzati.
1.3
Tujuan Penelitian Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, dapat dikemukakan bahwa
penelitian ini memiliki tujuan utama untuk mengidentifikasi karakteristik bahasa tulis anak usia 8 tahun. Untuk mencapai hal tersebut, terdapat dua tujuan khusus yang dilakukan melalui karya Sri Izzati, yakni mengetahui karakteristik kata dan kalimat yang terdapat dalam Kado untuk Ummi.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan
praktis. Penelitian ini dapat menjadi pelengkap kajian linguistik, khususnya mengenai perkembangan bahasa tulis anak. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam menentukan strategi pembelajaran bahasa.
8
1.5
Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa tulisan lain yang terkait dengan topik penelitian ini,
antara lain “Analisis Struktur dan Tekstur Wacana Cerita Anak Berbahasa Inggris dan Peran Keduanya dalam Penyampaian Pesan Moral kepada Anak-Anak”. Tesis yang disusun oleh Kusumawardani (2011) ini mendeskripsikan struktur dan tekstur wacana cerita anak berbahasa Inggris serta menjelaskan peran keduanya dalam menyampaikan pesan moral kepada anak-anak. Sampel penelitian diambil secara acak dari beberapa cerita yang ada di dalam 15 buku. Hasil penelitian menunjukkan cerita anak berbahasa Inggris memiliki variasi struktur dan disusun oleh ikatan kohesi. Selain itu, cerita anak berbahasa Inggris memiliki peran dalam menyampaikan pesan moral. Selain itu, Erlina (2003) pernah melakukan penelitian terkait cerita anak yang ditulis dalam tesis berjudul “Kohesi dan Koherensi dalam Cerita Anak”. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerita-cerita anak berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang dewasa. Sampel dipilih berdasarkan sasaran penelitian dengan memperhatikan jenis-jenis dan penanda hubungan kohesi maupun koherensi antarkalimat. Hasil penelitian menunjukkan adanya lima jenis kohesi dan sebelas jenis koherensi antarkalimat dalam cerita anak. Sedikitnya penggunaan penanda kohesi dan koherensi dalam cerita anak sesuai dengan bahasa anak yang cenderung singkat, ringkas, dan sederhana. Hasil dua penelitian di atas menggambarkan aspek-aspek yang terdapat dalam cerita untuk anak yang ditulis oleh orang dewasa. Aspek-aspek tersebut tentunya dikaitkan dengan kemampuan bahasa yang dimiliki oleh anak. Bahasan
9
mengenai bahasa anak pernah diteliti oleh Budhiono (2008). Ia melakukan penelitian untuk mengetahui pemerolehan dan perkembangan bahasa anak usia 1—2 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati bahasa seorang anak perempuan bernama Azmirainy Azizah. Ciri bahasa anak yang ditemukan, antara lain (1) penyederhanaan dan pengadaptasian, (2) harmonisasi vokal, (3) nasalisasi, (4) ketidakkonsistenan, (5) pola intonasi, dan (6) unpredictable. Pada sisi sintaksis, perkembangan kata anak usia 1—2 tahun berada pada tahap telegrafis. Beberapa bentuk ujaran, seperti deklaratif, imperatif, interogatif, direktif, pasif, dan negatif juga sudah dikuasai oleh anak. Selain itu, bentuk pronomina dan nominalisasi serta deiksis, modifikator, kata depan, dan kata penyedap juga sudah muncul dalam tuturan anak. Buku yang berjudul Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia merupakan hasil penelitian longitudinal Dardjowidjojo (2000) terhadap cucu pertamanya sejak tahun 1994 hingga 1999, tepat ketika Echa berumur lima tahun. Dardjowidjojo menguji konsep universal perkembangan bahasa dan program genetik yang telah disampaikan oleh para pakar linguistik terhadap anak Indonesia. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan terdapat beberapa konsep universal yang dipatuhi oleh anak dalam pemerolahan bahasa, tetapi kepatuhan ini tidak merata pada semua komponen. Komponen yang banyak digunakan oleh anak berdasarkan konsep universal adalah komponen fonologi.
Komponen
leksikon, sintaksis, dan beberapa komponen lain ada yang mengikuti kecenderungan universal dan ada pula yang menyimpang (berbeda) dari pemerolehan pada anak-anak lain, khususnya anak-anak Barat. Kajian mengenai
10
urutan pemerolehan bahasa anak ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menemukan karakter bahasa tulis anak. Karakteristik bahasa anak telah disampaikan oleh Irawati (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Karakteristik Bahasa Indonesia Tuturan Siswa Kelas I SDN Kesatrian 1 Malang dalam Interaksi Belajar Mengajar”. Ada tiga hal yang dibahas dalam penelitian ini, yakni karakteristik kelas kata, bentukan kata, dan struktur kalimat. Berdasarkan hasil penelitiannya, kelas kata yang paling banyak digunakan siswa adalah nomina konkret. Bentukan kata yang digunakan oleh siswa kelas I SD adalah serapan bahasa daerah dan bentuk kata lain yang diperoleh dengan proses meniru. Sementara itu, kalimat tunggal sederhana dan kalimat elips merupakan struktur kalimat yang digunakan oleh siswa tersebut. Penelitian mengenai bahasa tulis anak pernah dilakukan oleh Kweldju (1997). Hasil penelitian itu dijabarkan dalam sebuah tulisan berjudul “Perkembangan Dimensi Fungsional Awal Keberwacanaan Tulis Anak: Sebuah Studi Kasus”. Melalui penelitian tersebut, ia menemukan sepuluh fungsi yang digunakan oleh anak usia 4.10 hingga 5.9 dalam tulisannya. Kesepuluh fungsi tersebut adalah bereksperimen, memberikan label, apologis, menyampaikan rencana, ekspresif dan signal, instrumental, regulatif/direktif, informatif, anganangan, puitis, serta simpati/empati. Genre dominan yang ditemukan dalam tulisan anak adalah naratif dan deskriptif. Dominasi genre naratif yang ditemukan oleh Kweldju menegaskan bahwa anak usia 8 tahun telah mampu menulis cerita. Cerita hasil tulisan anak pernah diteliti oleh Djatmika, dkk (2011) yang dituangkan dalam makalah berjudul
11
“Strategi Meningkatkan Kualitas Olah Bahasa untuk Cerita Pendek Siswa Sekolah Dasar dengan Pendekatan Genre-Based”. Djatmika menganalisis 34 cerita anak yang diperoleh dari kompetisi menulis untuk siswa-siswi sekolah dasar. Tiga puluh empat teks ini kemudian diteliti untuk menemukan struktur dan tekstur wacana cerita anak. Hasil penelitian menunjukkan pemilihan leksikon dan tata gramatika yang dibuat oleh anak-anak belum sempurna. Khusus anak usia 8 tahun, Kepirianto (2010) pernah meneliti variasi tutur mereka. Melalui makalah “Variasi Tutur Anak pada Masyarakat Bilingual: Studi Kasus Anak Usia 8 Tahun pada Sebuah Keluarga di Kota Semarang” dalam Jurnal Kajian Sastra Undip, Kepirianto menjelaskan wujud tutur anak. Wujud tutur anak ditandai dengan bentuk kata dan kalimat yang ringkas atau pendek, yang biasa dipakai pada ragam percakapan, seperti bahasa tutur di lingkungan anak. Kepirianto menambahkan bahwa kebahasaan anak sangat dipengaruhi oleh bahasa yang dipakai oleh masyarakat di lingkungan anak dan bahasa yang dikuasai anak adalah bahasa yang didengar dan diperoleh anak. Bahasa tulis anak juga pernah diteliti oleh Retnaningsih dalam tesis “Penggunaan Bahasa pada Karangan Berbahasa Indonesia oleh Anak Kelas VI Sekolah Dasar: Studi Kasus Empat Sekolah Dasar di Kabupaten Sleman”. Penelitian ini membahas penggunaan satuan-satuan kebahasaan dalam karangan berbahasa Indonesia oleh anak kelas VI sekolah dasar. Terdapat tiga rumusan yang diuraikan di dalamnya, yakni tipe-tipe karangan berdasarkan unsur-unsur pembentuknya, bentuk-bentuk nonstandar yang digunakan, serta korelasi antara latar belakang anak dengan performa karangan. Hasil penelitian menunjukkan
12
bahwa meskipun karangan tersebut disusun oleh anak pada tingkatan yang sama, didapati 4 tipe karangan yang berbeda berdasarkan unsur pembentuknya. Selain itu, ditemukan bentuk-bentuk nonstandar meliputi penulisan huruf, pemakaian tanda baca, penulisan kata, dan penerapan struktur. Sementara itu, latar belakang yang berkorelasi dengan performa karangan antara lain letak geografis tempat tinggal, kegemaran dan kebiasaan, penggunaan teknologi informasi/komunikasi dan jejaring sosial, serta motivasi. Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai bahasa anak seringkali berfokus pada anak usia di bawah 5 tahun. Hanya sedikit penelitian yang menganalisis bahasa anak di atas usia tersebut. Selain itu, objek penelitian hanya berkisar pada tuturan anak. Penelitian yang berfokus pada ragam tulis, jarang dilakukan. Penelitian mengenai cerita anak hanya hasil tulisan orang dewasa. Analisis cerita anak yang ditulis oleh anak-anak sudah dapat ditemui meski sebatas mencari struktur dan teksturnya saja. Berdasarkan hal tersebut dan sejauh pengetahuan penulis, penelitian dan perumusan karakteristik kata dan kalimat anak usia 8 tahun belum pernah dilakukan.
1.6
Landasan Teori Terdapat tiga teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori
mengenai perkembangan bahasa, morfologi, dan sintaksis. Teori perkembangan bahasa atau psikolinguistik digunakan untuk memahami pola perkembangan bahasa anak. Selain itu, teori ini dapat dijadikan dasar untuk mengenal cara anak dalam memperoleh bahasanya. Teori morfologi digunakan untuk menganalisis
13
data yang berupa kata, sedangkan sintaksis digunakan sebagai dasar dalam menganalisis kalimat dalam Kado untuk Ummi. 1.6.1
Perkembangan Bahasa Menurut Hurlock (via Kusmarwanti, 2011:6), salah satu hal penting yang
berhubungan dalam perkembangan bahasa anak adalah pengembangan kosakata. Anak mengembangkan kosakata seiring dengan bertambahnya waktu. Pada tahap belajar berbicara, seorang anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan meniru ucapan-ucapan yang ia dengar dari ibunya (Ajeng, 1999). Melalui meniru inilah, anak mulai memahami beberapa kosakata sederhana. Penguasaan kosakata pada anak tidak cukup hanya memahami saja, tetapi juga harus meliputi kemampuan penggunaan kosakata tersebut dalam kegiatan berkomunikasi (Qomariyah, 2012). Hal ini sesuai dengan pendapat Clark dan Clark (via Sukartiningsih, 2010:205) yang menyatakan tujuan berbahasa adalah untuk mengomunikasikan makna. Pada usia 8 tahun, anak sudah mampu mengomunikasikan makna, meskipun terkadang tidak menggunakan struktur yang baik. Hal ini disebabkan proses perkembangan aspek struktur bahasa tidak otomatis sejalan dengan proses perkembangan makna bahasa pada anak (Sukartiningsih, 2010:206). Akan tetapi, sebagaimana diungkap oleh Hurlock (1980:152), anak usia enam tahun seharusnya sudah menggunakan hampir semua jenis struktur kalimat. Pada umur enam sampai sembilan atau sepuluh tahun, panjang kalimat akan bertambah. Kalimat panjang biasanya tidak teratur dan terpotong-potong.
14
Struktur kalimat demikian memiliki keterkaitan erat dengan bahasa yang digunakan oleh seseorang untuk berbicara kepada anak. Menurut Moskowitz, Pine, Barton, dan Tomasello (via Dardjowidjojo, 2000:49), bahasa sang ibu mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu (1) kalimatnya pendek-pendek, (2) tidak mengandung kalimat majemuk, (3) nada suara biasanya tinggi, (4) intonasinya agak berlebihan, (5) laju ujaran tidak cepat, (6) banyak redundansi, dan (7) banyak memakai sapaan. Oleh karena itu, bahasa yang dipakai oleh anak juga memiliki ciri yang hampir mirip dengan bahasa sang ibu. Terdapat berbagai macam pendapat mengenai urutan pemerolehan bahasa. Pandangan yang banyak dianut orang adalah pendapat yang menyatakan pemerolehan bahasa mengikuti suatu proses yang bertolak dari sesuatu yang mudah menuju ke yang lebih sukar (Dardjowidjojo, 2000:26). Pada komponen sintaksis, anak berujar dari satu kata, dua kata, hingga nantinya sampai kepada makna kata. Menurut Dardjowidjojo (2000:36), kata-kata konkret dan ada di sekitar juga dikuasai paling awal oleh anak. Demikian pula untuk kata perbuatan, proses, dan keadaan juga dikuasai dini. Hal ini sebagai akibat dari lingkungan anak yang memaksanya untuk dapat memahami hal-hal tersebut, seperti kata benda yang disebut lebih dini oleh sang ibu daripada kata berkategori lain. Konsep semacam ini dapat disebut dengan here and now atau sini dan kini. Dardjowidjojo (2000:36) juga mengungkapkan beberapa poin urutan pemerolehan bahasa anak. Berikut uraian mengenai hal tersebut.
15
a.
Kata berkategori nomina memiliki persentase penggunaan yang lebih tinggi daripada verba. Konsep sini dan kini memang memicu munculnya nomina lebih banyak daripada verba karena nomina memiliki derajat kognitif yang lebih sederhana daripada verba.
b.
Prefiks akan muncul bersamaan atau lebih awal daripada sufiks apabila prefiks tersebut bersifat wajib dan dalam bahasa yang bersangkutan pola kalimat yang diwakili oleh prefiks tersebut adalah predominan.
c.
Bila ada konsep yang dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat aktif atau kalimat pasif, orang cenderung memilih yang pasif. Kemunculan bentuk prefiks {teR-} terdesak kehadirannya oleh prefiks {ke-}.
d.
Absensia kognitif mengakibatkan kalimat interogatif “ya/tidak” maupun kalimat interogatif “mana” tidak dominan. Sebagai penggantinya, cara yang digunakan adalah dengan intonasi atau kata bantu. Kalimat semacam Suka nggak? dan Sudah habis makannya? lebih banyak terdengar daripada Apa kamu suka? dan Apa kamu sudah habis makannya?.
e. Kalimat majemuk koordinatif disampaikan dengan cara memakai jeda atau langsung dengan konjungtor yang sifatnya spesifik. Urutan pemerolehan di atas dapat dijadikan sebagai gambaran ringkas pemerolehan bahasa pada anak. Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa perkembangan bahasa dapat diamati melalui tataran kata dan kalimat. 1.6.2
Kata O’Grady dan Dobrovolsky (via Ba’dulu, 2005:6) menyatakan kata
merupakan suatu bentuk bebas yang terkecil, yaitu suatu unsur yang dapat muncul
16
tersendiri dalam berbagai posisi dalam kalimat. Lebih lanjut, Kridalaksana (1996:12) menyampaikan bahan dasar kata adalah leksem. Leksem yang menyandang makna leksikal ini muncul dalam pelbagai ujud gramatika, seperti kata tunggal, kata kompleks (afiksasi, reduplikasi, abreviasi, dan sebagainya), serta kata majemuk (Kridalaksana, 1986:32—33). Kelas kata adalah perangkat kata yang sedikit banyak berperilaku sintaksis sama (Kridalaksana, 1986:41). Dalam bahasa Indonesia, kelas kata terbagi menjadi 13 jenis, yaitu verba, ajektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, fatis, dan interjeksi. Terdapat enam konsep perilaku sintaksis yang digunakan untuk menentukan kelas kata (Kridalaksana, 1986:42). Namun, hanya perilaku sintaksis (a—c) yang merupakan konsep utama, sedangkan (d—f) dapat digunakan seperlunya. a. Posisi satuan gramatikal yang mungkin atau yang nyata-nyata dalam satuan yang lebih besar. b. Kemungkinan satuan gramatikal didampingi atau tidak didampingi oleh satuan lain dalam konstruksi. c. Kemungkinan satuan gramatikal disubstitusikan dengan satuan lain. d. Fungsi sintaksis, seperti subyek, predikat, dan sebagainya. e. Paradigma sintaksis, seperti aktif-pasif, deklaratif-imperatif, dan sebagainya. f. Infleksi. Konsep tersebut digunakan untuk mengurangi kemungkinan adanya kata yang bertumpang tindih dalam suatu kelas kata. Meski demikian, tidak menutup
17
kemungkinan adanya perpindahan kelas kata. Hal ini dimungkinkan oleh adanya pelbagai proses morfologis (Kridalaksana, 1986: 43). 1.6.3
Kalimat Kalimat menurut Kridalaksana (2009:103) adalah satuan bahasa yang
secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa. Berdasarkan fungsi dalam hubungan situasi, kalimat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kalimat berita, tanya, dan suruh (Ramlan, 2005:26). Masing-masing jenis kalimat itu memiliki pola intonasi yang berbeda. Perbedaan yang utama terletak pada nada akhir (Ramlan, 2005:28). Pada kalimat tanya, pola intonasi bernada akhir naik dan nada suku terakhir lebih tinggi daripada nada suku terakhir pola intonasi kalimat berita. Kalimat juga dapat dibagi berdasarkan unsurnya. Ramlan (2005:21) membaginya menjadi dua, yaitu kalimat berklausa dan kalimat tak berklausa. Kalimat berklausa dapat memiliki satu atau lebih klausa dalam setiap kalimatnya. Oleh karena itu, kalimat jenis ini dapat dipilah lagi menjadi dua, yaitu kalimat sederhana dan kalimat luas. Kalimat sederhana adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa, sedangkan kalimat luas terdiri atas dua klausa atau lebih (Ramlan, 2005:43). Dalam kalimat luas, terdapat hubungan gramatik antara klausa yang satu dengan klausa lain yang menjadi unsurnya. Berdasarkan hal itu, klausa dapat dibedakan menjadi dua golongan, yakni kalimat luas setara dan tidak setara. Kalimat luas dikatakan setara jika suatu klausa tidak merupakan bagian dari klausa lainnya: masing-masing berdiri sendiri sebagai klausa yang setara, yaitu sebagai klausa inti.
18
1.7
Ruang Lingkup Buku Kado untuk Ummi ini terdiri atas 82 halaman. Beberapa topik yang
terdapat dalam buku tersebut secara runtut adalah Pengantar dari Orang Tua Izzati (hlm. 5—13), Pengenalan Tokoh (hlm. 15—20), Cerita “Kado untuk Ummi” (hlm. 21—56), Bonus Cerpen berjudul “Bagaikan Malaikat Tanpa Sayap” (hlm. 59—79), dan Profil Penulis (hlm. 81—82). Sesuai dengan fokus penelitian ini, penghitungan jumlah kata dimulai dari awal cerita hingga halaman akhir cerita Kado untuk Ummi, yaitu halaman 21—56. Penjelasan masing-masing tokoh di halaman sebelumnya, tidak menjadi bagian dari analisis ini. Oleh karena itu, kata-kata yang terdapat di dalamnya tidak masuk dalam hitungan. Selain itu, nama-nama hari yang menjadi subjudul juga tidak dihitung. Jadi, kata yang masuk dalam hitungan hanyalah kata yang terdapat di dalam naskah cerita. Hal ini dimaksudkan agar analisis ini terfokus pada cerita Kado untuk Ummi secara utuh. Data penelitian ini diambil dari kata dan kalimat yang terdapat dalam halaman cerita. Seperti saat penghitungan, kata dan kalimat yang tidak masuk dalam hitungan juga tidak termasuk dalam data penelitian.
1.8
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data,
analisis, dan penarikan kesimpulan. Metode yang digunakan saat pengumpulan data adalah metode simak. Metode simak dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2012:92). Dalam hal ini, penulis menyimak
19
penggunaan bahasa yang terdapat di dalam Kado untuk Ummi. Selanjutnya, teknik catat dilakukan saat memilah bahan mentah data. Pemilahan ini dilakukan dengan mengelompokkannya pada dua kategori besar, yaitu kata dan kalimat. Tahap kedua dimulai dengan mengidentifikasi data yang sudah dipilah tersebut. Metode yang digunakan dalam tahap analisis ini disesuaikan dengan identitas data, rumusan masalah, serta tujuan penelitian. Selain itu, dilakukan pula metode wawancara mengenai latar belakang kehidupan Sri Izzati kepada orang tuanya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor kemunculan kata maupun kalimat. Pengidentifikasian data yang berupa kata didasarkan atas bentuk, kelas, ranah semantik, serta kata pinjaman. Pada masing-masing klasifikasi kata tersebut dihitung jumlah frekuensi kemunculannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dominasi kata yang muncul dalam Kado untuk Ummi. Data yang berupa kalimat juga diklasifikasi atas bentuk, jenis, unsur, dan pola kalimat. Frekuensi kemunculan kalimat pada masing-masing klasifikasi tersebut juga dihitung. Di akhir pembahasan, analisis berdasarkan klasifikasi pada tataran kata maupun kalimat, masing-masing dihubungkan untuk menemukan pola kata dan kalimat anak usia 8 tahun. Tahap terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Hasil yang ditemukan pada tataran kata maupun kalimat dihubungkan untuk menemukan ciri umum. Pada akhirnya, ciri tersebut merupakan karakteristik bahasa tulis anak usia 8 tahun. Hal ini menjadi hasil akhir penelitian yang disajikan dalam bentuk tulisan.
20
1.9
Sistematika Penyajian Laporan penelitian yang disajikan dalam bentuk tulisan ini terdiri atas empat
bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, ruang lingkup, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua membicarakan bentuk kata, kelas kata, kata dalam ranah semantik, serta kata pinjaman yang terdapat dalam Kado untuk Ummi. Pada bab selanjutnya dibahas mengenai bentuk kalimat, jenis kalimat, unsur kalimat, dan pola kalimat anak usia 8 tahun dalam Kado untuk Ummi. Berdasarkan analisis pada bab II dan III, dirumuskan suatu kesimpulan mengenai karakteristik bahasa tulis anak usia 8 tahun. Rumusan tersebut disajikan dalam bab terakhir yang merupakan penutup. Selain kesimpulan, bab IV juga berisi saran mengenai kelanjutan penelitian.