1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan secara fisik. Masyarakat berperilaku berdasarkan dengan pola pikir yang telah dikondisikan secara sosialkultural bahwa memiliki kelebihan dari orang lain adalah wajar. Hal tersebut karena manusia dilahirkan dengan membawa gen bawaannya masing-masing. Apabila dari perbedaan ini sampai memunculkan prasangka, maka dapat mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi terganggu. Perasaan dan prasangka akan kelebihan serta perbedaan tersebut kemudian mengendap dan berpotensi melahirkan rasisme. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya (Wikipedia). Istilah rasisme sering kali gunakan untuk menggambarkan permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain. Pengertian rasisme klasik menekankan perbedaan yang tajam terhadap warna kulit, hitam atau putih. Kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, rasisme justru berkembang luas dan merambah dimensi-dimensi lain bahkan hingga perbedaan kodrati
2
yaitu gender, perempuan atau laki-laki. Sikap antipati terhadap suatu kelompok, tidak lagi sekedar wacana, tetapi telah menjurus pada sikap dan pola perilaku destruktif, melebihi prasangka awalnya. Sekarang rasismepun mengalami penambahan kata, yaitu menunjukkan kelompok etnis tertentu (etnosentris), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe). Tindakan rasisme paling terkenal yaitu sistem apartheid di Afrika yang mendiskriminasi orang kulit hitam saat itu dan ideologi fasis der fuhrer (Hitler) di Jerman dengan Holocaust-nya yang menelan korban enam juta jiwa. Wilkinson dalam bukunya New Fasists mengemukakan bahwa coretancoretan bernada merendahkan pada sinagog dan serangan pada komunitas imigran, serta tindakan kekerasan di Bologna, Munich, dan Paris adalah sebuah pengingat tragis bahwa penaklukan militer yang menghancurkan berbagai negara fasis pada Perang Dunia Kedua tidak benar-benar mampu memusnahkan ambisi, sikap, dan kepercayaan kaum fasis. Selain itu, pada tanggal 14 Oktober 2010, Sihem Souid - polisi wanita Prancis, meluncurkan sebuah buku yang mengungkap rahasia kelam yang ada di dalam kepolisian negara itu. Buku yang berjudul Omerta Dans La Police (Omerta di Kepolisian) itu mengungkap rasisme dan diskriminasi penegakan hukum yang kerap dilakukan kepolisian terhadap orang-orang Arab dan afrika (Republika Online). Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa sampai saat ini tindakan rasisme masih terjadi.
3
Sebagai warisan ideologi kolonial, rasisme harus terus diwaspadai, karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan. Rasisme bisa tumbuh subur di mana-mana termasuk di kepala kita masing-masing. Namun, rasisme tidak begitu saja timbul secara spontan dalam masyarakat. Prasangka etnis dan ideologi-ideologinya dipelajari, umumnya melalui proses komunikasi, baik berupa teks maupun pembicaraan. Representasi mental rasis diformulasikan, dipertahankan, dan diekspresikan dalam wacana. Hal ini menjadi dasar bagaimana rasisme dipelajari di masyarakat. Setiap wacana memiliki ideologi yang pada akhirnya wacana akan berperan sebagai distributor ideologi tersebut dan selanjutnya ideologi itu akan mempengaruhi beragam bentuk representasi sosial dalam masyarakat (Darma, 2009: 129). Wacana, selain secara lisan, dapat pula direalisasikan dalam bentuk karangan utuh (buku/novel, seri ensiklopedi, majalah, koran, dsb), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat lengkap. Dengan kata lain media massa mengandung wacana baik lisan maupun tulisan dalam bentuk cetak dan elektronik. Salah satu media massa yang memiliki peran penting dalam penyebaran ideologi yaitu buku/novel. Seperti bentuk media lain, buku/novel adalah teks yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama, secara pengertian umum adalah teks. Demikian pula Rowling dan hasil karyanya, novel Harry Potter. Di dalam novel Harry Potter yang penuh dengan fantasi dan imajinasi ini
4
terdapat berbagai respon Rowling terhadap berbagai teks yang dia hadapi di dunia nyata. Seperti hasil karya sastra anak lain, novel ini pun tidak lepas dari ideologi penulisnya. Buku/novel Harry Potter (terbagi dalam tujuh seri) karya penulis Inggris J.K Rowling ini berkisah tentang seorang anak laki-laki bernama Harry Potter yang dibesarkan dan hidup bersama paman dan bibinya serta sepupunya yang tidak memperlakukan dia dengan baik. Sikap tidak ramah keluarga bibinya itu disebabkan karena ia, Harry Potter, adalah keturunan penyihir dari orang tuanya yang juga penyihir terkenal, James Potter (darah murni) dan Lily Potter (muggle). Pada ulang tahunnya yang ke-11, Harry akhirnya mengetahui bahwa ia seorang penyihir dan bersekolah di Sekolah Sihir Hogwarts. Di sana ia berteman dengan Ron Weasly (darah murni) dan Hermione Granger (muggle). Penyihir "berdarah-murni" (mereka yang keluarganya seluruhnya adalah penyihir) dianggap sebagai yang paling tinggi, penyihir "berdarah-campuran" (mereka yang memiliki keturunan penyihir dan Muggle) pada tingkat menengah, dan "kelahiran-Muggle" (mereka yang tanpa keturunan penyihir) sebagai yang terendah. Cerita berpusat pada pertarungan Harry dan teman-temannya melawan penyihir jahat Lord Voldemort, yang menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry serta berambisi menguasai dunia sihir dengan menyingkirkan penyihir "berdarah-campuran" dan "kelahiran-Muggle". Para pendukung kemurnian-darah percaya bahwa hanya mereka yang "berdarah-murni"-lah yang berhak mengontrol dunia sihir dan tidak menganggap bahwa penyihir "kelahiran-Muggle" sebagai penyihir
5
yang sesungguhnya. Beberapa dari mereka bahkan bertindak terlalu jauh dengan membunuhi para "kelahiran-Muggle" agar tidak dapat mempelajari sihir. Sejak kemunculannya yang pertama, Harry Potter telah banyak memenangkan penghargaan, di antaranya Whitaker Platinum Books Award, Nestle Smarties Book Prize, Children’s Book of the Year Award, atau Scottish Arts Council Book Award. Saat ini, Harry Potter bisa disebut sebagai ikon budaya populer dalam sastra anak. Ia menjadi simbol bacaan anak-anak di seluruh dunia dan menginspirasi terbitnya buku/novel lain yang sejenis. Ia telah mementahkan pendapat banyak kalangan dan ahli pendidikan yang mengatakan bahwa buku bacaan anak-anak mesti tipis dan bergambar. Harry Potter and the Order of Phoenix, misalnya, memiliki 896 halaman dan mereka rela antri panjang mendapatkannya. Tanggal 20 Juni 2003 ribuan orang mengantri untuk membeli. Harganya juga tergolong selangit untuk novel anak-anak; rata-rata serial tersebut berharga Rp 200.000/eksemplar dan terjual sebanyak 15 juta eksemplar dalam 24 jam pertama. Selain kesuksesan, novel Harry Potter juga menuai banyak kontroversi. Di kalangan agama kisah Harry dianggap mengajarkan okultisme dan disebut sebagai “Handbook of Magic and Occult” karena mengisahkan dunia sihir dan mistis yang bertentangan dengan nilai ketuhanan. Ada juga beberapa pihak yang menyatakan bahwa Harry Potter berdasarkan Kabbalah dan sangat Yahudi. Lalu tak sedikit pula yang menafsirkan kisah Harry Potter merepresentasikan prasangka etnis atau nilai-nilai rasisme. Novel anak
6
tersebut pun tidak lepas dari isu-isu rasisme. Ini merupakan salah satu alasan penulis meneliti novel seri Harry Potter yang fenomenal dan kontroversial itu disamping kegemaran penulis terhadap buku/novel. Selain itu, buku merupakan salah satu media massa yang relevan bagi kajian analisis wacana mengenai ideologi dan realitas sosial masyarakat. Selanjutnya dijelaskan oleh Wright dalam Baran & Davis (2009: 292) bahwa media massa dibagi menjadi empat fungsi yang dikenal dengan The Classic Four Functions of The Media, yakni: 1. Surveillance of the environment Surveillance dalam Kamus Inggris-Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily diartikan sebagai pengawasan atau penjagaan. Jadi di sini media massa memiliki fungsi pengontrol lingkungan sosial masyarakat. 2. Correlation of the parts of society Media massa menjadi penghubung bagian antar masyarakat dengan lingkungan sekitar. Media mempunyai fungsi untuk menyalurkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu individu ke individu lain. 3. Transmission of the social heritage Media massa memiliki kemampuan mengkomunikasikan nilai- nilai, norma, dan gaya hidup dari satu generasi ke generasi lain.
7
4. Entertainment Media massa memiliki fungsi untuk menghibur masyarakatnya tanpa mengharapkan efek-efek tertentu. Fungsi surveilance dari novel Harry Potter yaitu secara tersirat memberikan informasi akan adanya nilai-nilai rasisme dalam kisahnya. Fungsi Correlation buku/novel tersebut adalah menjadi sarana interpretasi terhadap makna dibalik kisah Harry Potter akan nilai rasis sehingga masyarakat dapat mengkorelasikannya terhadap pengetahuan yang dimiliki. Fungsi transmission-nya, novel ini mengkomunikasikan bahwa rasisme masih ada di masyarakat serta memberikan pendidikan moral melaui kisah fantasi. Sedangkan fungsi entertainment novel Harry Potter ini sangat jelas karena menyajikan sebuah kisah fantasi baru tentang dunia sihir berbeda dari yang umumnya diceritakan di buku cerita anak yang lain. Media massa cetak meliputi koran (harian mingguan, tabloid), majalah (berita, khusus, hiburan), buletin atau terbitan berkala, buku/novel (pengetahuan, cerita, komik), dan selebaran lepas. Jelas bahwa novel Harry Potter merupakan salah satu bentuk media dalam komunikasi massa. Buku sama halnya dengan koran dan majalah menjadi konsumsi publik karena dicetak dan disebarluaskan ke khalayak, sehingga terjadi komunikasi massa antara penulis buku/novel dengan masyarakat/konsumen/pembaca. Buku menjadi salah satu kajian analisis wacana yang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan
8
dengan konteks (Eriyanto, 2009: 7). Menurut Fairlough dan Wodak dalam Eriyanto (2009: 7), praktik wacana bisa juga menampilkan efek ideologi mengenai realitas sosial. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu kewajaran/alamiah. Dengan demikian, buku dengan penggunaan bahasa yang luas dan bebas mengekpresikan ideologi penulisnya. Melalui kisah dalam novel Harry Potter, J.K Rowling, menyalurkan pandangannya akan realitas sosial secara tidak langsung. Analisis wacana mencoba mengkaji dan mengungkap fungsi dan makna di balik penggunaan teks/unsur bahasa, struktur sosial, serta mengapa dan bagaimana konteks tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Salah satu seri novel Harry Potter yang menarik yaitu seri ke-lima Harry Potter and The Order of The Phoenix atau Harry Potter dan Orde Phoenix, selain merupakan seri paling tebal di antara tujuh seri dengan 1200 halaman, seri ke-lima ini juga menghadirkan masalah yang lebih kompleks dibandingkan dengan enam seri lainnya. Mulai dari bangkitnya Voldemort, yang menjadi titik awal menuju klimaks cerita, pergolakan batin Harry sebagai seorang remaja, pertarungan Dumbledore dan Voldemort, hingga kematian ayah baptis Harry, Sirius Black. Selain itu, surat kabar Amerika, USA Today, mengatakan bahwa sebagian besar kritikan negatif terhadap seri ke-lima novel Harry Potter yaitu mengenai adanya isu kekerasan dan moral pada keseluruhan novel tersebut.
9
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis memilih untuk mengkaji seri ke-lima dari novel Harry Potter ke dalam bentuk skripsi dengan judul:
ANALISIS WACANA KRITIS NILAI-NILAI RASISME DALAM NOVEL SERI HARRY POTTER DAN ORDE PHOENIX
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada pemaparan sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana representasi nilai rasisme dalam seri novel Harry Potter dan Orde Phoenix? 2. Bagaimana konstruksi ideologi J.K Rowling dalam seri novel Harry Potter dan Orde Phoenix?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui representasi nilai rasisme dalam seri novel Harry Potter dan Orde Phoenix. b. Untuk mengetahui konstruksi ideologi J.K Rowling dalam seri novel Harry Potter dan Orde Phoenix.
10
2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis a) Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu komunikasi, terutama pengetahuan tentang analisis wacana buku. b) Sebagai bahan referensi mengenai komunikasi massa dan analisis teks media. c) Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa komunikasi yang ingin mengkaji tentang analisis wacana. b. Secara Praktis a) Untuk menambah pengetahuan dalam bidang jurnalistik dan pengembangan ilmu komunikasi. b) Untuk menambah literatur kepustakaan atau referensi mengenai analisis wacana, khususnya yang menyangkut nilai rasisme. c) Untuk masukan kepada pembaca terutama yang tertarik dengan pembahasan analisis wacana pada buku.
D. Kerangka Konseptual a. Bahasa, Teks, Konteks, dan Makna Bahasa, bagi linguistik, yaitu sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kushartanti,
11
2009: 3). Jelasnya bahwa bahasa memiliki fungsi yang bergantung pada faktor siapa, apa, kepada siapa, tentang siapa, dimana, bilamana, beberapa lama, untuk apa, dan dengan apa bahasa itu diujarkan. Bahasa itu bermakna, berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat yang memakainya. Manusia mengucapkan pikirannya lewat bahasa, pikiran memakai bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan suatu hal. Dalam falsafat bahasa, suatu realitas dibentuk dan diciptakan oleh manusia lewat bahasa dengan mengungkap hal-hal tersembunyi menjadi nyata. Menurut Halliday dalam Sobur (2009: 17), ketika kita menggunakan bahasa, maka bahasa itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman dunia nyata, termasuk dunia dalam dan dari kesadarannya sendiri, tentang proses, orang-orang, keadaan, hubungan, dan sebagainya. Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Dalam teori bahasa, teks tidak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dalam sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga ketika dibaca dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya. Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi nyata. Bagi Barthes dalam Sobur (2009: 52 - 53), teks adalah sebuah objek kenikmatan, seperti yang ia lukiskan: “What I enjoy in a story, is not
12
derictly its content, nor even its structure, but the abrasion I impose on the fine surface: I speed ahead, I skip, I look up, I dip in again” (Apa yang aku senangi dalam sebuah cerita, bukan secara langsung isinya, bahkan bukan pula strukturnya, tetapi pengikisan yang aku terapkan pada permukaan dasarnya: aku ngebut ke depan, aku lewatkan, aku perhatikan, aku cari, aku masuk ke dalam lagi). Dengan membaca kembali dan berulang-ulang
sebuah
teks
dengan
memotong-motongnya
dan
menyusunnya kembali, Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksud. Jika sebuah teks tidak diteliti dan diinterogasi secara kritis, bisa-bisa kesadaran kognitif kita akan dijajah oleh teks. Pembaca perlu “curiga” atau kritis terhadap diri sendiri dan terhadap teks, agar terjadi wacana yang cerdas dan se-objektif mungkin antara pihak pembaca dan penulis (Hidayat, dalam Sobur, 2009: 55) Konteks adalah kondisi dimana suatu keadaan terjadi. Ada beberapa jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata, pemandangan, dan lain sebagainya. Konteks menurut faktor sosio-psikologis menyangkut faktor-faktor seperti status orang-orang yang terlibat dalam hubungan komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi pemilihan waktu atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan peristiwa
yang
dirasakan
terjadi
sebelum
peristiwa
komunikasi
(Wikipedia). Menurut Guy Cook, konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
13
partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Studi mengenai bahasa memasukkan konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan lainnya. (Eriyanto, 2001: 9) Menurut Syafi’ie dalam Sobur (2009: 57), pada dasarnya konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 1) Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa kemunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi. 2) Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar. 3) Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi. 4) Konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar belakang yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar. Makna ada dalam diri manusia tidak terletak pada kata-kata. Menurut De Vito: “Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang
14
kita pakai untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah” (dalam Sobur, 2009: 20). Bahasa bukan hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai pengungkapan maksud dan makna tersembunyi dari orang yang mengemukakan suatu pernyataan. Menurut Alfred Schutz dalam Sobur (2009: 22), untuk dapat memahami tindakan manusia dengan baik, kita harus memahami pula motif dasarnya dengan cara menempatkan diri kita pada posisi sang pembicara. Sebelum kita menjelaskan suatu kata atau istilah, terlebih dahulu kita memeriksa dalam situasi yang bagaimana kata itu dipergunakan agar tidak terjebak dalam kerancuan bahasa karena suatu kata bergantung pada penggunaan kalimat dan arti kalimat bergantung pada penggunaan bahasa. Pengetahuan dan pengalaman manusia sebagai sumber informasi disimpan dalam otak sebagai kesatuan mental yang disebut konsep. Makna merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Analisis makna dapat dilakukan melalui prototipe. Prototipe adalah representasi mental yang mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Pembentukan prototipe dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat bahasa (Kushartanti, 2009: 121 – 122). Broadbeck, seperti dikutip dalam Sobur (2009: 25), mengemukakan tiga pengertian tentang konsep makna, yaitu: 1). Makna referensial, makna
15
suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah tersebut; 2). Makna istilah, lambang atau istilah “berarti” sejauh ia berhubungan secara “sah” dengan istilah yang lain, konsep yang lain. Jika tidak dihubungkan dengan berbagai konsep lain, ia tidak mempunyai arti; 3). Makna intentional, bahwa arti suatu istilah atau lambang bergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu. Jenis makna pada umumnya dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif. Sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum, disebut kata konotatif (Keraf, 2010: 27 – 31). b. Wacana dan Konstruksi Realitas Wacana adalah kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bentuk bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana juga terikat pada konteks. Wacana dibedakan atas teks, tuturan, bacaan, tulisan yang mengacu pada makna yang sama, yaitu wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar. Jika kita menggunakan fungsi bahasa dari Leech dalam Kushartanti (2009: 93 – 94), wacana diklasifikasikan atas: a) Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan/informasi, seperti wacana berita dalam media massa;
16
b) Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu; Jika ditinjau dari segi realitas, sebuah wacana berbentuk rangkaian kebahasaan dengan semua kelengkapan struktural bahasa seperti adanya. Pengaruh terhadap wacana dari pribadi penulis dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya. Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku kontstruksi memakai suatu strategi tertentu. Strategi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf, pilihan fakta, dan pilihan teknik menampilkan wacana di depan publik/khalayak. Hasil dari proses tersebut adalah wacana atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan, ucapan, dan tindakan. Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentukan wacana Realitas pertama: kesadaran, benda, pikiran, orang, peristiwa...
Dinamika internal & eksternal pelaku konstruksi
Sistem komunikasi yang berlaku
Faktor internal: ideologis, idealis.. Faktor eksternal: pasar, sponsor..
Proses konstruksi realitas oleh pelaku
Strategi mengonstruksi realitas
Fungsi bahasa
Strategi framing
Realitas yang dikonstruksikan (teks, talk, act, artifact)
Makna, citra, dan kepentingan di balik wacana 1.1 Hamad dalam Darma (2009: 8)
17
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik dalam maupun luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan merekonstruksikannya dalam dunia nyata serta memantapkan realitas itu berdasarkan pandangan subjektif individu. Konstruksi juga sarat dengan kepentingan, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri mereka melalui hal-hal yang mereka miliki. Menurut Berger dan Luckmann dalam Bungin (2010: 7), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkatnya, maka seluruh isi media merupakan realitas yang dikonstruksikan. Sedangkan bahasa bukan saja alat untuk merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Oleh karena itu, media massa melakukan berbagai tindakan dalam konstruksi
realitas
dimana
hasil
akhirnya
berpengaruh
terhadap
pembentukan makna suatu realitas. Media massa tidak hanya dianggap sebagai penghubung antara pengirim pesan kepada penerima pesan. Intinya terletak pada bagaimana pesan/teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna. (Fiske, dalam Sobur, 2009: 93).
18
c. Pendekatan Wacana Kritis Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks yang disebut wacana (Littlejohn, dalam Sobur, 2009: 48). Analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks, menekankan pada pemaknaan teks karena dasar analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran peneliti. Analisis wacana memfokuskan pada pesan tersembunyi dengan fokus terhadap muatan, nuansa, dan makna dalam teks media. Adapun analisis wacana kritis yang dijadikan perangkat analisis adalah analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk. Menurut Van Dijk (Eriyanto, 2009: 221), penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga diperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Model analisis Van Dijk sebagai berikut:
Teks Kognisi Sosial Konteks 1.2. Sumber: diadopsi dari Eriyanto (2009: 225)
19
Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, lalu menggabungkannya ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana sturktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial, proses produksi teks atau kesadaran mental penulis dalam membuat suatu teks. Pada aspek ketiga mempelajari bentuk wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Titik perhatian Van Dijk terutama pada studi mengenai rasialisme serta bagaimana kognisi dan kesadaran membentuk dan mempengaruhi teks tertentu. Secara umum, ada tiga tingkatan analisis wacana, yaitu analisis mikro, fokus analisis pada teks terutama unsur bahasa yang digunakan; analisis makro, analisis struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat; dan analisis meso, analisis pada diri individu/khalayak sebagai penghasil dan konsumen teks. Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini adalah skema atau kerangka penelitan penulis: Novel Harry Potter
Konstruksi Realitas Sosial
Analisis Wacana Van Dijk
1. Teks 2. Kognisi Sosial 3. Konteks
Representasi Nilai-nilai Rasisme 1.3 Kerangka Konseptual
20
E. Definisi Operasional 1. Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman ( Roger Fawler dalam Eriyanto, 2001: 2) 2. Analisis wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah melalui aneka fungsi bahasa (Sobur, 2001: 48). Analisis wacana mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang tersembunyi dalam sebuah teks. 3. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial. (Wikipedia) 4. Buku/novel Harry Potter merupakan novel fantasi karangan J.K Rowling mengenai
seorang
pertarungannya
anak
laki-laki
bernama
melawan
penyihir
jahat
Harry
Lord
Potter
Voldemort
dan yang
menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry. Buku/novel ini terbagi atas tujuh seri dan telah diangkat menjadi film layar lebar.
21
F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan&Taylor dalam Moeloeng, 2002: 3). Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata/gambar dan bukan angka-angka. Hal ini dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu (Moeloeng, 2002: 6). Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau fenomena realitas sosial dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. (Bungin, 2010: 68). 2. Objek Penelitian dan Waktu Penelitian a. Objek Penelitian Objek penelitian yang dimaksud, yaitu tujuh buah buku/novel seri Harry Potter karya J.K Rowling yang berjudul:
22
“Harry Potter dan Orde Phoenix” b. Waktu Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Pebruari sampai Juni tahun 2011. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui: a. Pengumpulan data berupa novel Harry Potter dan Orde Phoenix serta sejumlah data yang berkaitan dengan objek penelitian tersebut, seperti berita-berita terkait, biografi penulis/penerjemah dan dokumen-dokumen lainnya. b. Penelitian pustaka dengan mengkaji dan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas. c. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat dipertanggungjawabkan
secara
akademis.
Peneliti
memilih
sumber-sumber data online mana yang kredibel dan dikenal banyak kalangan. 4. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kategotri Analisis Wacana dalam Kelompok Metode Analisis Teks dan Bahasa.
23
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis teks tentang nilai-nilai rasisme dalam novel Harry Potter dan Orde Phoenix karya J.K Rowling. Berdasarkan kerangka model Van Dijk, penelitian
ini
menggabungkan
analisis
teks,
yaitu
menganalisis
bagaimana strategi wacana dan strategi tekstual yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu; analisis kognisi sosial, yaitu menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu; dan analisis konteks sosial, yaitu menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Dalam mengungkapkan makna sebuah wacana tidak hanya dilihat dari teks yang ada, tetapi mengaitkan dengan konteks yang melingkupi kehadiran teks tersebut. Van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur /tingkatan; 1) Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa, 2) Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana stuktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, dan 3) struktur mikro adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, para frase yang dipakai, dan sebagainya. Struktur wacana Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:
24
STRUKTUR WACANA Struktur Makro
Superstruktur
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
HAL YANG DIAMATI Tematik (apa yang dikatakan) Elemen: Topik/tema Skematis (bagaimana pendapat disusun dan dirangkai) Elemen: Skema Semantik (apa arti pendapat yang ingin disampaikan?) Elemen: latar, detail, maksud, pengandaian, penalaran Sintaksis (bagaimana pendapat disampaikan?) Elemen: koherensi, nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti Stilistik (pilihan kata apa yang dipakai?) Elemen: leksikon, kata kunci, pemilihan kata Retoris (dengan cara apa pendapat disampaikan?) Elemen: gaya, interaksi, ekspresi, metafora, visual image
UNIT ANALISIS Teks
Teks
Paragraf
Kalimat proposisi
Kata
Kalimat proposisi
1.1 Struktur Analisis Teks
Dalam kerangka analisis wacana Van Dijk, perlu ada penelitian mengenai kognisi sosial: kesadaran mental penulis (media cetak) yang membentuk teks tersebut. Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Bagaimana suatu peristiwa dipahami dan dimengerti didasarkan pada skema/model. Skema bekerja untuk mengkonstruksi realitas, membantu memandu apakah yang harus dipahami, maknai, dan diingat
25
tentang sesuatu. Model adalah suatu kerangka berpikir individu dalam memandang dan memahami suatu masalah. Keyakinan dan pandangan masyarakat mempengaruhi pandangan penulis sangat bergantung pada pengalaman, memori, interpretasi penulis. Ini berhubungan dengan proses psikologis individu penulis. Dimensi ketiga Van Dijk adalah analisis sosial/konteks sosial. Dilakukan penelitian bagaimana wacana atau isu rasisme diproduksi dan berkembang di masyarakat. Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah bagian yang penting dalam kerangka Van Dijk, maka skema penelitian dan metode yang dilakukan sebagai berikut: STRUKTUR Teks Menganalisis bagaimana strategi wacana atau tekstual yang dipakai dalam novel Harry Potter untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu, dalam hal ini nilai rasisme. Kognisi Sosial Menganalisis bagaimana kognisi individu J.K Rowling dalam memahami nilai rasisme yang ditulis dalam novelnya. Konteks Sosial Menganalisis bagaimana wacana rasis yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi rasisme yang digambarkan.
METODE
Critical linguistik
Riwayat penulis atau biografi penulis (J.K Rowling) Studi pustaka dan penulusuran sejarah
1.2 Metode Analisis Wacana Kritis
Jika suatu teks mempunyai ideologi atau kecenderungan tertentu, maka itu berarti menandakan dua hal. Pertama, penulis (J.K Rowling) menghasilkan buku/novel kemungkinan mempunyai pandangan tertentu mengenai rasisme. Kedua, kemungkinan teks tersebut merefleksikan
26
wacana masyarakat tentang rasisme. Untuk itu diperlukan analisis yang luas, bukan hanya analisis pada teks tetapi juga terhadap kognisi individu dan masyarakat.