1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersamasama maupun badan hukum) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.1 Pada dasarnya semua hak atas tanah dapat beralih maupun dialihkan. Beralih adalah pindahnya hak atas tanah karena hukum, dengan sendirinya, tidak ada perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain. Pindahnya hak atas tanah ini terjadi karena adanya pewarisan. Sedangkan dialihkan mengandung makna bahwa pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena adanya perbuatan hukum yang disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak lain, seperti jual-beli, hibah, tukar menukar, dan lain-lain. Jadi peralihan hak atas tanah adalah pindahnya hak atas tanah dari satu pihak kepada pihak lain, baik karena adanya perbuatan hukum yang disengaja maupun bukan karena perbuatan hukum yang sengaja.2 Peralihan hak atas tanah karena adanya suatu perbuatan hukum dilakukan dengan akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah selain pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, seperti Pejabat 1
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, (selanjutnya disebut Urip Santoso I), hal.82 2 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak-hak Atas Tanah dan Peralihannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 119 1
2 Lelang. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.3 Pentingnya pembuatan akta peralihan hak atas tanah oleh PPAT berkaitan dengan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah berupa sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.4 Tujuan dari dilaksanakannya pendaftaran tanah berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 24 Tahun 1997) Pasal 3 antara lain : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
3
Penjelasan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah 4 Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
3 b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Selanjutnya berkaitan dengan kegiatan pendaftaran tanah dalam Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jualbeli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pada ketentuan di atas dan sejalan dengan tujuan diadakannya pendaftaran tanah di Indonesia, PPAT diberi tugas dan wewenang sehingga kehadirannya untuk melayani masyarakat yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum dengan membuatkan akta peralihan haknya maupun akta pembebanan hak atas tanahnya. Keberadaan PPAT seperti di atas juga dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan: “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Pejabat lain yang dimaksud adalah Pejabat Lelang yang bertugas untuk membuat kutipan risalah lelang. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998) menentukan terdapat tiga macam PPAT yaitu :
4 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 2. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. 3. PPAT Khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Sedangkan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT ditentukan dalam Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menentukan bahwa, seseorang harus memenuhi beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu : a. Berkewarganegaraan Indonesia; b. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tigapuluh) tahun; c. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat; d. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; e. Sehat jasmani dan rohani; f. Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi; g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat ditunjuk sebagai PPAT berkaitan dengan kompetensi PPAT dalam pelaksanaan tugas yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan di dalam menuangkan maksud para pihak dalam suatu akta yang nantinya dipergunakan untuk melanjutkan ke proses pendaftaran tanah guna mendapatkan sertifikat hak atas tanah sebagai bukti pemilikan hak atas tanah yang kuat. Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
5 Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum.5 Perbuatan hukum yang dimaksud adalah : a. Jual-beli; b. Tukar menukar; c. Hibah; d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e. Pembagian hak bersama; f. Pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik; g. Pemberian hak tanggungan; h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai peralihan maupun pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli. Akta PPAT harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan dengan antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
5
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP No 37 Tahun 1998
6 Pada prinsipnya akta dibuat sebagai alat bukti yang fungsinya untuk memastikan bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum tentang apa yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam akta tersebut. Oleh karena itu, seorang PPAT harus menuangkan secara jelas perbuatan hukum-perbuatan hukum apa yang dilakukan oleh para pihak, yang ingin dibuktikan dan diketahui dari akta yang dibuat. Akta yang dibuat oleh PPAT jangan sampai memuat rumusan-rumusan yang dapat menimbulkan sengketa karena tidak lengkap dan jelas. Akta PPAT yang merupakan akta otentik mempunyai kekuatan mutlak mengenai hal-hal atau peristiwa yang disebut dalam akta, maka yang dibuktikan adalah peristiwanya.6 Dalam pembuatan akta otentik harus memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yaitu : a. Akta tersebut harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum; b. Akta tersebut harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan didalam undang-undang; c. Pejabat umum yang membuat akta harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut, baik kewenangan berdasarkan daerah (wilayah) kerjanya atau waktu pada saat akta tersebut dibuat. Sifat tertulis suatu perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta tidak membuat sahnya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari, karena suatu perjanjian harus dapat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akta PPAT terkait dengan keperluan penyerahan secara yuridis
6
hal.127
Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,
7 (juridische levering) disamping penyerahan nyata (feitelijk levering).7 Kewajiban penyerahan surat bukti hak atas tanah yang dijual sangat penting karena Pasal 1482 KUHPerdata menyatakan “kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika itu ada”. Jadi, penyerahan sebidang tanah meliputi penyerahan sertifikatnya. Peralihan hak atas tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering), merupakan penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat, dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, menggunakan dokumen, dibuat oleh/dihadapan PPAT.8 Dalam penulisan tesis ini, yang penting dari pemaparan diatas yang hendak dikaji adalah berkaitan dengan keberadaan PPAT Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah. Dimana camat ditunjuk oleh Menteri sebagai PPAT Sementara, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menentukan : untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus : a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara; b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi
7
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal.79 Abdul Kadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.55-56 8
8 negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus; Penunjukan camat sebagai PPAT Sementara dilakukan dalam hal di daerah kabupaten/kota sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT. Keputusan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara ditetapkan oleh Kepala Badan yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. Untuk keperluan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan penunjukan sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Badan dengan melampirkan salinan atau fotocopy keputusan pengangkatan sebagai camat melalui Kepala Kantor Wilayah. Perihal kedudukan camat sebagai PPAT Sementara, sebelumnya telah pernah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No 10 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Pejabat Yang Dimaksudkan Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah Serta Hak dan Kewajibannya (selanjutnya disebut PMA Nomor 10 Tahun 1961). Dalam ketentuan tersebut, camat secara eks officio ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Namun dalam ke dua peraturan di atas tidak memberi batasan atau pengertian berikut penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menjabat secara eks officio selaku PPAT Sementara. Secara eks officio dalam hal camat selaku PPAT sementara yang dimaksud di atas adalah camat karena jabatannya sebagai kepala kecamatan yang dipimpinnya otomatis di tunjuk sebagai PPAT Sementara tanpa harus melalui suatu ujian yang diadakan khusus oleh BPN, dengan demikian suatu jabatan PPAT secara eks officio berarti bahwa jabatan PPAT tersebut diberikan kepada jabatan camat dan bukan kepada orangnya atau pejabat camatnya. Hal tersebut
9 dapat dilihat dalam kenyataan bahwa apabila seorang camat yang menjabat di suatu kecamatan yang secara eks officio selaku PPAT Sementara, kemudian pindah tugas di atau ke kecamatan lain, camat pengganti secara langsung menjadi PPAT Sementara di kecamatan tersebut, demikian sebaliknya, setiap camat yang baru pindah dan menjabat di kecamatan tersebut secara langsung menjabat juga selaku PPAT Sementara. Pemberian kewenangan camat secara eks officio sebagai PPAT Sementara pada saat berlakunya PMA Nomor 10 Tahun 1961 terletak pada jabatan camat yang serta merta dapat menjadi PPAT Sementara walaupun telah berpindah tugas ke kecamatan lain dan berlaku juga bagi penggantinya. Saat berlakunya peraturan tersebut, akta yang dibuat oleh camat merupakan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (beschiking) mengingat akta dibuat oleh pejabat camat, sehingga secara yuridis yang bertindak adalah jabatan camat yang merupakan Jabatan Tata Usaha Negara. Saat sekarang, camat selaku PPAT Sementara berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2 yang menentukan bahwa : “ PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT ”. Untuk pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara, diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PKBPN Nomor 1 Tahun 2006). Dalam PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 tersebut diatur beberapa pasal
10 mengenai pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara yaitu Pasal 19 ayat (3) yang menentukan: “untuk keperluan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan penunjukan sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Badan dengan melampirkan salinan atau fotocopy keputusan pengangkatan sebagai Camat melalui Kepala kantor Wilayah”. Selain itu dalam Pasal 18 ayat (2) menentukan : “sebelum camat ditunjuk sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT”. Berdasarkan ke dua pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan camat selaku PPAT Sementara oleh BPN dilakukan dengan mengajukan permohonan dari camat yang bersangkutan kepada Kepala BPN dengan melampirkan copy keputusannya sebagai camat melalui Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dan wajib lulus dalam mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk menjabat selaku PPAT. Dari deskripsi di atas diperoleh pemahaman bahwa keberadaan camat sebagai PPAT Sementara berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 berbeda dengan makna, maksud dan tujuan seperti yang diatur dalam PMA Nomor 10 Tahun 1961. Sebab, berdasarkan PP Nomor 37 tahun 1998 camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara dan apabila camat tersebut diganti maka camat pengganti juga tidak otomatis sebagai PPAT Sementara.9 Dengan kata lain, kedudukan camat selaku PPAT Sementara berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 tidak bersifat eks officio namun harus mengikuti mekanisme/tata cara 9
A.P.Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, hal.186
11 pengangkatan
camat
sebagai
PPAT
Sementara
sebagaimana
umumnya
pengangkatan PPAT lain yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) PKBPN Nomor 1 Tahun 2006. Perbedaan tersebut mengandung konsekuensi dalam praktek pengangkatan camat selaku PPAT sementara yang berimplikasi terhadap wewenang, produk akta yang dibuat dan tanggung jawab camat selaku PPAT akibat terjadinya kesalah pengertian tentang apa yang dimaksud dengan PPAT Sementara. Sebab pada dasarnya seorang camat merupakan pegawai negeri yang merupakan pimpinan di tingkat kecamatan atau sebagai Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ke dua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU Nomor 51 Tahun 2009), dalam Pasal 1 angka 8-nya menentukan bahwa Pejabat Tata Usaha Negara adalah “ badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif, dan yang dimaksud dengan pemerintah adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh para badan dan Pejabat Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Pejabat TUN) yang bukan pembuatan peraturan dan mengadili. Badan atau Pejabat TUN merupakan unsur pokok dan terbesar dari penguasa di antara sekian banyaknya penyelenggaraan urusan pemerintahan. Mereka yang disebut penguasa terutama berada dan berasal
12 dari lingkungan eksekutif di pusat maupun di daerah, sejak dari presiden sampai perabot kelurahan terendah.10 Dari sisi wewenang atau produk hukumnya, camat dalam kedudukannya selaku Pejabat TUN berupa keputusan Tata Usaha Negara, sehingga jika merugikan pihak-pihak tertentu dapat dijadikan objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PERATUN).11 Berbanding terbalik dengan kedudukannya selaku PPAT Sementara bukanlah merupakan Putusan TUN karena menjalankan urusan pemerintahan berupa rangkaian yang merupakan satu kesatuan dari proses pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT, sehingga tidak termasuk objek gugatan di PERATUN. Dalam PERATUN yang dapat menjadi pangkal sengketa adalah adanya Keputusan Badan atau Pejabat TUN yang merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.12 Akta PPAT dikatakan bukan merupakan Keputusan TUN karena tidak memenuhi unsur final, akta PPAT merupakan syarat untuk didaftarkannya peralihan hak atas tanah ke Kantor BPN, yang bersifat final dari rangkaian pendaftaran tanah adalah sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh BPN.
10
H.A Muin Fahmal, 2006, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, hal. 26 11 Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68 12 Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No 5 Tahun 1986
13 Setelah penulis telusuri melalui media internet untuk mengetahui orisinalitas di dalam penulisan tesis, penulis telah menemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan kedudukan camat sebagai PPAT Sementara yaitu: pertama, tesis yang berjudul Kedudukan dan fungsi camat sebagai PPAT Sementara di kabupaten Sleman, Yogyakarta, penulis Suwasti Yudani, Magister kenotariatan Universitas Gajah Mada, Tahun 2007 dengan rumusan masalah : - Bagaimanakah kedudukan camat sebagai PPAT Sementara setelah berlakunya UUJN di kabupaten Sleman Yogyakarta? - Bagaimanakah pelaksanaan tugas camat sebagai PPAT Sementara di kabupaten Sleman Yogyakarta ? Tesis kedua, berjudul Peranan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara, penulis Yulis Rumanti, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponogoro, Tahun 2010 dengan rumusan masalah : -
Mengapa camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak semuanya menjadi PPAT Sementara ?
-
Bagaimanakah peran camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara dalam proses pendaftaran tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara ?
-
Apakah kendala-kendala yang dihadapi camat sebagai PPAT Sementara dalam proses pendaftaran tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara ?
14 Tesis ketiga, berjudul Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) dalam pembuatan akta jual-beli tanah (Studi kasus di Kecamatan Balikpapan Selatan dan Balikpapan Timur di Kota Balikpapan), penulis oleh Mitha Septiani Khair, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, dengan rumusan masalah : -
Bagaimana implementasi tanggung jawab PPAT dan PPAT Sementara dalam pembuatan akta jual-beli tanah di kota Balikpapan ?
-
Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pendaftaran pembuatan sertifikat tanah ?
Maka dari itu timbul ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul :“WEWENANG CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
(PPAT)
SEMENTARA
DALAM
PEMBUATAN
AKTA
PERALIHAN HAK ATAS TANAH ”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah ? 2. Bagaimanakah tanggung jawab camat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya ?
15 1.3 Tujuan penelitian Tujuan dari penulisan tesis ini dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum dan pengembangan bidang ilmu hukum kenotariatan tentang kewenangan camat selaku PPAT Sementara dalam kedudukannya sebagai Pejabat Tata Usaha Negara terutamanya yang berkaitan dengan keberadaannya dalam membuat akta PPAT sebagai suatu akta otentik yang dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanah, serta guna memperoleh pengetahuan tentang tanggung jawab camat selaku PPAT Sementara yang dalam menjalankan jabatannya tersebut juga selaku Pejabat TUN sehingga diperoleh pemahaman terhadap tanggung jawab tersebut apakah sebagai tanggung jawab pribadi/personal camat selaku PPAT Sementara ataukah merupakan tanggung jawab institusi atau lembaga camat. 1.3.2. Tujuan Khusus. Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami dan menganalisa kewenangan camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah. 2. Untuk memahami dari tanggung jawab camat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.
16 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Sebagai bahan untuk menambah khasanah keilmuan di bidang ilmu hukum bagi para akademisi dan dunia pendidikan pada umumnya, khususnya dibidang kenotariatan dalam kaitannya dengan wewenang, kedudukan dan tanggung jawab camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta PPAT. 1.4.2 Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangan pemikiran serta pertimbangan dalam mengkaji undang-undang serta praktek penerapan Undang-undang dalam rangka penegakan hukum di bidang agraria khususnya mengenai praktek pembuatan akta tanah oleh camat dalam kedudukannya dan fungsinya sebagai PPAT Sementara.
1.5 Landasan teoritis Dalam penelitian ini, guna menjawab masalah dalam topik bahasan tesis ini digunakan teori kewenangan, teori hierarki norma hukum, konsep perbuatan melawan hukum dan teori tanggung jawab hukum. Penjelasan mengenai teoriteori tersebut dan hubungannya dengan penyelesaian permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut : 1.5.1 Teori Kewenangan Teori kewenangan digunakan sebagai pisau dalam menjawab masalah pertama dalam topik tesis ini yaitu : “Bagaimanakah kewenangan camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah. Oleh karena
17 Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang. Mengenai wewenang itu, H.D Stout dalam buku Hukum Administrasi Negara oleh Ridwan HR mengatakan bahwa : “Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik”. Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.13 Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, menurut P.Nicolai adalah sebagai berikut :14 Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).15
13
Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.99 14 Ibid 15 Ibid
18 Seiring dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, di atribusi dilahirkan suatu kewenangan baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara :16 a. yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah. b. yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tertentu. Delegasi adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya, jadi suatu
16
Ibid hal. 101
19 delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.17 Pada mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang, dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apa pun (dalam arti yuridis formal) yang ada hanyalah hubungan internal, sebagai contoh Menteri dengan pegawai, Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementrian. Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan, dengan kata lain organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan, jadi dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern. Pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya, sehingga tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil
17
Indroharto, op.cit, hal.91
20 mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.18 Pengangkatan seseorang menjadi PPAT diangkat dengan Surat Keputusan (selanjutnya disebut SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia yang mendapatkan kewenangannya secara atribusi yang telah ditentukan dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut PerPres Nomor 10 Tahun 2006)
yang menentukan bahwa salah satu
tugas
BPN
yaitu
menyelenggarakan fungsi pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan. Berbeda halnya dengan camat yang dalam penunjukannya sebagai PPAT Sementara diangkat berdasarkan SK yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi yang memperoleh kewenangan secara delegasi dengan menjalankan sebagian kewenangan dari Kepala BPN Republik Indonesia. Keabsahan tindakan pejabat atau organ pemerintahan (termasuk pejabat umum) salah satunya dapat dilihat dari dasar kewenangan yang diperoleh, dimana telah dijelaskan diatas bahwa kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Setiap kewenangan yang diperoleh oleh pejabat pemerintah dibatasi oleh isi/materi, wilayah, maupun waktu, dalam kaitannya dengan kewenangan, camat selaku PPAT Sementara sumber kewenangannya berdasarkan atas apa yang telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 37 Tahun 1998. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kewenangan camat selaku
18
Ridwan HR, op.cit, hal.105-106
21 PPAT Sementara dalam membuat akta-akta pertanahan merupakan kewenangan atribusi karena berdasarkan suatu Pasal di Peraturan Pemerintah, tetapi dalam membuat akta-akta otentik mengenai pertanahan untuk dapat dikatakan sah atau tidaknya kewenangannya tersebut maka didasarkan atas isi/materi, wilayah maupun waktu sesuai dengan syarat-syarat suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik yaitu dengan mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata. 1.5.2 Teori Hirarki Norma Teori hirarki norma (stufenbau theory) adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).19 Menurut Kelsen terdapat perbedaan antara “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) sebagai dua unsur dari pengetahuan manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan fakta (yang seluruhnya dikuasai oleh rumus sebabakibat) sedangkan bidang sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia (yang dikuasai beban dan tanggung jawab), itulah sebabnya dalam bidang sollen, digumuli soal kebebasan dan tanggung jawab manusia itu. Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia memikul tanggung jawab menciptakan hidup bersama yang tertib, untuk mewujudkan hidup bersama yang
19
Anonim, diakses tanggal 15 Desember 2013, Teori Stufenbau, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau
22 tertib itu, perlu pedoman-pedoman obyektif yang harus dipenuhi bersama pula. Pedoman inilah yang disebut hukum.20 Sumber obyektif yang dimaksud oleh Kelsen adalah apa yang disebut olehnya sebagai grundnorm yang menyerupai sebuah pra-anggapan yang berdasarkannya sistem hukum sebagai suatu kesatuan kaidah-kaidah dapat dipahami,21 dengan menggunakan konsep stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut aselon) Kelsen mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis, dalam konstruksi ini ditemukan jenjang perundang-undangan. Seluruh sistem perundangundangan mempunyai struktur piramida mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya, jadi menurut Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah dengan mengeceknya melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama.22 Analisis hukum yang menyingkap karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma dasar juga menunjukkan kekhususan lebih lanjut dari hukum, yaitu hukum mengatur kriterianya sendiri sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi norma dari tersebut. Norma yang menentukan pembuatan norma lain dan norma adalah disebut dengan superior, sedangkan norma yang dibuat disebut dengan inferior. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma yang lebih rendah ditentukan dengan norma lain yang 20
Satjipto Raharjo, 2013, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, hal.114-115 21 Arief Shidarta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, PT Refika Aditama, Bandung, hal.43 22 Satjipto Raharjo, Loc.cit
23 lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.23 Di Indonesia seperti yang kita ketahui terdapat tata urutan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undangundang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (selanjutnya disebut UU nomor 12 Tahun 2011), terdiri atas : a. b. c. d. e. f. g.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (TAP MPR); Undang-undang/ Peraturan pengganti undang-undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya mengenai peraturan perundang-undangan lainnya yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu : Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksan Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Jenis Peraturan Perundang-undangan yang ditentukan dalam Pasal 8 di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan.
23
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal.109-110
24 Grundnorm peraturan diatas adalah Pancasila karena validitasnya tidak dapat diturunkan dari norma yang lebih tinggi. Pancasila merupakan norma dasar yang membentuk suatu sistem norma atau aturan. Tidak mustahil terjadi konflik antara kepentingan peraturan perundang-undangan, antara undang-undang dengan kebiasaan, antara undang-undang dengan putusan pengadilan, apabila terjadi konflik misalnya antara dua undang-undang, akan berlaku secara konsisten asasasas preferensi yaitu :lex specialis derogate legi generalis, lex posterior derogate legi priori, lex superior derogate legi inferiori. 24 a. Lex specialis derogate legi generalis adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (spesialis) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general). b. Lex posterior derogate legi priori adalah peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lama. c. Lex superior derogate legi inferiori adalah
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hubungan antara teori hirarki norma ini dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis adalah untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai kewenangan camat sebagai pejabat TUN dalam menjalankan tugasnya sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah. PPAT
24
Zainudin Ali, 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.118
25 sementara dalam menjalankan kewenangannya untuk membuat akta-akta otentik mengenai pertanahan, diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi yang memperoleh kewenangannya tersebut secara delegasi yaitu untuk menjalankan sebagian tugas dari Kepala BPN Republik Indonesia, sedangkan seorang PPAT diangkat oleh seorang Kepala BPN Republik Indonesia yang memperoleh kewenangannya tersebut secara atribusi yaitu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari cara pengangkatan antara PPAT dengan PPAT Sementara terdapat perbedaan dari instansi yang mengangkat. Perbedaan pengangkatan antara PPAT dengan PPAT Sementara ini berpengaruh terhadap produk akta yang dihasilkan oleh PPAT Sementara apakah akan menjadi akta otentik atau tidak. 1.5.3 Konsep Perbuatan Melawan hukum Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan, sebab untuk tindakan perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah “perbuatan pidana” mempunyai arti, konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah “perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain”, dalam ilmu hukum dikenal 3 kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut : -
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan; Unsur kesengajaan dianggap ada manakala dengan perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja tersebut telah menimbulkan konsekuensi
26 tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau properti dari korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut. Unsur kesengajaan dianggap ada dalam suatu tindakan apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :25 Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan; Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya perbuatan saja; Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi tersebut. -
Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian);
-
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian berbeda dengan perbuatan
melawan
hukum
dengan
unsur
kesengajaan,
dengan
kesengajaan, ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, atau paling tidak dapat mengetahui secara pasti bahwa akibat dari perbuatannya tersebut akan terjadi. Pada kelalaian, niat atau sikap mental tersebut tidak menjadi penting, yang penting dalam kelalaian adalah sikap lahiriah dari perbuatan yang dilakukan, tanpa terlalu mempertimbangkan apa yang ada dalam pikirannya. Dalam ilmu hukum
25
Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Kontemporer, Citra aditya Bakti, Bandung, hal.47
Hukum
Pendekatan
27 diajarkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian, haruslah memenuhi unsur pokok sebagai berikut 26: Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan; Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care); Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut; Adanya kerugian bagi orang lain; Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul. Berdasarkan dengan apa yang telah ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, secara umum memberikan gambaran mengenai batasan ruang lingkup akibat dari suatu perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan melawan hukum secara yuridis mempunyai konsekuensi terhadap pelaku maupun orangorang yang mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan melawan hukum, jadi akibat yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian terhadap korban yang mengalami.27 Seseorang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada korban maka orang tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum atas perbuatannya yang berkaitan dengan liability yaitu dalam hal ini berkenaan dengan tanggung gugat. Seorang camat selaku PPAT Sementara apabila dalam membuat akta otentik tidak 26
Ibid, hal.72-73 Nin Yasmine Lisasih, diakses tanggal 20 September 2012, Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum, http://ninyasmine.wordpress.com/2012/05/31/ perbuatan_melawan_hukum 27
28 memenuhi salah satu syarat dari suatu akta otentik yang dapat mengakibatkan terdegradasinya akta tersebut menjadi akta di bawah tangan, dan apabila para pihak mengalami kerugian atas kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh camat, maka camat tersebut dapat dimintakan tanggung gugat sepanjang akta yang dibuatnya ditandatangani oleh para pihak. Camat dapat dimintakan tanggung gugat karena sebagai PPAT Sementara seorang camat bertanggung jawab secara pribadi apabila akta yang dibuatnya menimbulkan suatu akibat hukum berupa kebatalan akta yang dibuatnya tersebut. 1.5.4 Teori Tanggung jawab Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkirakan, dan sebagainya).28 Terdapat dua istilah pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu liability dan responsibility. Liability menunjuk kepada hampir semua karakter dan resiko atau tanggung jawab yang meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Liability merupakan pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum.
Responsibility berarti hal
yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban termasuk juga putusan, ketrampilan, 28
hal.576
Daryanto,s.s, 1997, Kamus Bahasa Indonesia, Apollo Lestari, Surabaya,
29 kemampuan dan kecakapan yang meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Responsibility merupakan pertanggung jawaban politik.29 Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig terdapat dua teori yang melandasinya, yaitu: 30 a. Teori fautes personalles Teori fautes personalles adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya tersebut telah menimbulkan kerugian, dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services Teori fautes de services adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini, tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Kerugian yang timbul disesuaikan apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan. Berat atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Seseorang dikatakan bertanggung jawab secara hukum untuk suatu perbuatan hukum tertentu adalah dengan dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam
29
Ridwan HR, op.cit, hal.318-320 Sonny Pungus, diakses tanggal 10 Juni 2013, Teori Pertanggungjawaban, http://Sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban.html 30
30 pertanggungjawaban yang dibedakan atas : pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) dan pertanggung jawaban mutlak (absolute responsibility)31. Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya pada Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 1366 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip pertanggungjawaban atas kesalahan menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum (PMH) mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu : adanya perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang diderita; dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Prinsip pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility) adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan. Tanggung jawab mutlak juga disebut dengan tanggung jawab tanpa kesalahan32. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu 31 32
Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Op.cit, hal.61 Munir Fuady, op.cit, hal.173
31 perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”. Selanjutnya Hans kelsen membagi mengenai tanggung jawab yang terdiri atas : tanggung jawab individual dan tanggung jawab kolektif.33 Pada dasarnya apa yang dimaksud oleh Hans Kelsen mengenai tanggung jawab individual sama dengan apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban atas kesalahan, demikian juga halnya dengan tanggung jawab kolektif yang dapat disamakan dengan prinsip pertanggungjawaban mutlak. Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun di dalam menjalankan kewenangannya sebagai PPAT Sementara seorang camat diwajibkan untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh BPN, tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang camat bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihaknya. Camat yang melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Berdasarkan apa yang diatur dalam PMA Nomor 10 Tahun 1961, pada saat itu seorang camat diangkat sebagai PPAT Sementara secara eks officio yang diangkat karena jabatannya sebagai pejabat pemerintahana, apabila camat dalam menjalankan tugasnya selaku PPAT Sementara melakukan kesalahan dalam penulisan akta baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja yang akibat perbuatannya tersebut dapat menimbulkan akibat hukum, maka seorang camat pada saat itu bertanggung jawab atas dasar jabatannya sebagai Pejabat 33
Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Op.Cit, hal.63
32 TUN. Hal berbeda diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 1998, seorang camat harus mengajukan permohonan untuk dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara, berdasarkan PP ini camat tidak diangkat secara eks officio lagi, jabatan sebagai camat tidak menjamin seseorang dapat diangkat menjadi seorang PPAT Sementara. Dalam PP ini, seorang camat diangkat menjadi PPAT Sementara karena pejabatnya bukan karena jabatannya, jadi apabila camat tersebut melakukan kesalahan-kesalahan dalam pembuatan akta pertanahan yang dilakukan baik sengaja maupun karena lalai dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait dengan akta tersebut sehingga berdasarkan tanggung jawab fautes de personalles dan berdasarkan tanggung jawab pribadi, ditanggung oleh camat tersebut secara pribadi.
1.6 Metode penelitian Penelitian (research) pada hakikatnya adalah suatu kegiatan pencarian kebenaran dari ilmu pengetahuan yang diawali karena adanya keraguan atau keingintahuan dari seorang peneliti terhadap suatu masalah hukum yang ada atau dialaminya. Pada umumnya permasalahan adalah kesenjangan antara yang seharusnya dengan yang senyatanya, antara cita-cita hukum dengan senyatanya, dan antara teori dengan pelaksanaannya.34 Dari segi etimologi, metode berarti jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan, sehingga metode penelitian merupakan jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian. Pengertian di atas menunjukkan bahwa metode sangat berperan penting dalam 34
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.34
33 kegiatan penelitian.35 Menurut Romy Hanintijo Sumitro tentang penelitian hukum, bahwa penelitian dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis.36 1.6.1 Jenis penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif yang berangkat dari adanya kekaburan norma pada Pasal 5 ayat (3) PP No 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat dibawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus...”. Dalam Pasal tersebut dipahami bahwa camat diangkat oleh Menteri dalam penunjukannya sebagai PPAT Sementara tetapi dalam PKBPN Nomor 1 Tahun 2006, camat diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi yang menerima kewenangan secara delegasi dari Menteri Agraria/Kepala BPN RI. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, pada penelitian jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam Peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
35
Astiti rahayu, diakses tanggal 24 Maret 2013, Metode dan Desain Penelitian, http://astitirahayui.wordpress.com/2012/05/15/metodologi-penelitian 36 Romy Hanintijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalis, Jakarta, hal.11
34 manusia yang dianggap pantas37. Penelitian hukum normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :38 - Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum dengan praktek; - Tidak menggunakan hipotesis; - Menggunakan landasan teoritis; - Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penulisan penelitian ini menggunakan penelitian yang bersifat eksploratif, dimana penelitian eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai suatu gejala tersebut. 1.6.2 Jenis Pendekatan. Didalam penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan, dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatanpendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah : 1. Pendekatan kasus (the case approach); 2. Pendekatan peraturan perundang-undangan (the statute approach) ; 3. Pendekatan fakta (the fact approach); 4. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach); 37
Amiruddin dan Zaenal Asikin, op.cit, hal.118 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal.48 38
35 5. Pendekatan frasa (words and phrase approach); 6. Pendekatan sejarah (historical approach); 7. Pendekatan perbandingan (comparative approach); Penulisan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan analisis konsep hukum (the analytical and conceptual approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legilasi dan regulasi.39
Pendekatan
peraturan
perundang-undangan
dilakukan
dengan
menelaah, mengkaji dan menganalisis semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PPAT, pendaftaran tanah dan peralihan hak atas tanah. Pendekatan analisis konsep hukum adalah dengan memakai konsep-konsep hukum yang terdapat didalam norma-norma suatu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan sejarah dilakukan dengan meneliti sejarah pendaftaran tanah di Indonesia dan sejarah peralihan hak atas tanah melalui jual-beli menurut hukum adat maupun menurut UUPA. 1.6.3 Sumber bahan hukum. Didalam suatu penelitian normatif, sumber data yang digunakan terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,40 yang dimaksud dengan bahan hukum primer adalah seluruh hukum perundangundangan yang berlaku dan/atau yang pernah berlaku, sementara itu yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder ialah seluruh karya akademik (mulai
39
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
hal.97 40
Amaruddin dan Zaenal Asikin, op.cit, hal. 116
36 dari yang deskriptif sampai yang berupa komentar-komentar penuh kritik) yang akan dapat memperkaya pengetahuan orang tentang hukum positif yang tengah berlaku (ius constitutum)41. Bahan-bahan hukum yang digunakan sebagai sumber data oleh penulis yaitu : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011, di dalam penulisan penelitian ini peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum primer adalah : a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata); c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; d. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 juncto Undangundang Nomor 51 Tahun 2009; e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; f. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; g. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah;
41
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, 2011, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal.90
37 h. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT; i. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan j. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; k. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan didalamnya. Jenis bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian adalah buku-buku, tesis, jurnal, dan dokumen-dokumen. Bahan hukum sekunder yang digunakan didalam penulisan penelitian ini adalah dengan menggunakan bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan penelitian ini serta memakai pendapat-pendapat para ahli hukum. 3.
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
38 1.6.4 Teknik pengumpulan bahan hukum. Alat pengumpul data (instrument) menentukan kualitas data, kualitas data akan menentukan kualitas dari sebuah penelitian. Agar data penelitian mempunyai kualitas yang cukup tinggi, maka suatu alat pengumpul data harus memenuhi syarat-syarat : - Akurasi dari instrument yang pada hakikatnya berkaitan dengan validitas instrument yang dapat dikategorikan dengan validitas kualitatif dan validitas kuantitatif; - Presisi instrument berkaitan erat dengan kemampuan memberikan kesesuaian hasil pada pengulangan pengukuran. Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan, dan observasi.42 Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis gunakan didalam penulisan penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumen/bahan pustaka. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik hukum normatif maupun sosiologis), karena penelitian hukum selalu bertitik tolak dari premis normatif. 1.6.5 Teknik analisis bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi-analisis dan teknik interpretasi. Teknik deskripsi-analisis merupakan teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari
42
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Hukum, UI Press, Jakarta, hal.114
39 proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Analisis merupakan memberikan suatu simpulan berdasarkan uraian-uraian ataupun suatu kondisi norma hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat, jadi deskripsi analisis merupakan menguraikan suatu kondisi permasalahan yang ada yang kemudian disimpulkan agar mendapatkan jawaban-jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini. Teknik interpretasi merupakan penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum. Penafsiran hukum adalah aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan sejak hukum berbentuk tertulis. Penafsiran atau interpretasi hukum menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk menjadikan hukum bersifat dinamis, bisa mengikuti zaman.43 Teknik interpretasi yang akan digunakan dalam menjawab adanya kekaburan norma dalam Pasal 5 ayat (3) PP No 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT yang tidak menjelaskan secara lebih lanjut didalam peraturan pemerintah tersebut mengenai apa yang dimaksud sementara dalam jabatan camat sebagai PPAT sementara adalah interpretasi tata bahasa/gramatikal dan interpretasi sistematis. Penafsiran tata bahasa/gramatikal merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan Undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya, dan interpretasi sistemasis dilakukan dengan menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan, atau pada perundang-undangan hukum yang lainnya atau dengan
43
Moh. Nashirudin, diakses tanggal 11 Agustus 2013, Interpretasi Hukum (Menuju Penafsiran Hukum Yang Berkeadilan), http://sofianasma.wordpress.com /2010/12/6/interpretasi-hukum-menuju-penafsiran-hukum-yang-berkeadilan/
40 membaca penjelasan suatu perundang-undangan sehingga didapatlah sebuah kejelasan tentang sesuatu. Dengan menggunakan metode interpretasi tersebut diharapkan mampu menjawab adanya kekaburan norma yang terjadi.
41 BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Camat Secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri.44 Otonomi daerah merupakan suatu wewenang untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri (local self government) yang memiliki dua unsur utama, yaitu mengatur (rules making, regeling) dan mengurus (rules application, bestuur).45 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) diatur pemberian otonomi luas kepada daerah, khususnya daerah Kabupaten dan Kota, dalam Pasal 1 angka 5 ditentukan bahwa : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan daerah otonom sebagaimana dimaksud di atas diatur dalam Pasal 1 angka 6-nya, menentukan : “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
44
Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta, hal. 81 45 Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, Laksbang Justitia, Surabaya, hal.8 41
42 Esensi dari pemberian otonomi daerah adalah desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 1 angka 7 undang-undang di atas menentukan tujuan dari asas desentralisasi dan otonomi daerah adalah :46 1. Untuk mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan; 2. Agar daerah tidak perlu menunggu instruksi pusat dalam menangani masalah yang amat mendesak dan membutuhkan tindakan cepat; 3. Untuk mengurangi efek negatif dari birokrasi, yaitu keputusan mendesak dapat segera diambil dan dilaksanakan; 4. Untuk mengurangi kesewenang-wenangan Pusat; 5. Untuk memberikan kepuasan kepada Daerah. Berdasarkan ketentuan di atas, maka tujuan dari asas desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan pusat menjadi kewenangan daerah, sehingga pemerintahan daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya yang pelaksanaannya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan, maka Menteri Dalam Negeri melalui pemerintah pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat dalam daerah/wilayah kerjanya. Pejabat-pejabat yang dimaksud disini adalah kepala wilayah yang 46
M. Cholil Mansyur, 1981, Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Usaha Nasional, Surabaya, hal.18
43 merupakan penguasa di wilayah kerjanya untuk melakukan pembinaan masyarakat dalam berbagai bidang dan salah satu kepala wilayah yang dimaksud adalah camat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, camat adalah Pegawai Pamong Praja yang mengepalai kecamatan,47 sedangkan dalam Pasal 126 UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan : “Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”, diperoleh pengertian tentang camat yaitu sebagai pimpinan di suatu wilayah bernama kecamatan yang dalam pelaksanaan tugas jabatannya tersebut berdasar pada pelimpahan wewenang dari bupati atau walikota. Demikian juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan (PP Nomor 19 Tahun 2008) memberi pengertian tentang camat sebagaimana ditentukan Pasal 1 angka 9, bahwa : Camat atau sebutan lain adalah pemimpin atau koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Ketentuan di atas memberi pengertian tentang camat bahwa selain sebagai pemimpin adalah juga sebagai koordinator dalam penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya yaitu kecamatan, sehingga camat bertugas dan mempunyai wewenang sebagai koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan setingkat dibawah kabupaten/kota.
47
Daryanto, s.s, Op.cit, hal. 125
44 2.2 Kedudukan, Wewenang, dan Tanggung Jawab Camat Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota dan kedudukannya setingkat di bawah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh camat. Kedudukan camat sebagai kepala kecamatan berada di bawah bupati/walikota dan diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,48 menguasai pengetahuan teknis yang digunakan sebagai syarat untuk dapat diangkat menjadi camat ditentukan dalam Pasal 25 PP Nomor 19 Tahun 2008 yang meliputi : menguasai
bidang
ilmu
pemerintahan
yang
dibuktikan
dengan
ijazah
diploma/sarjana pemerintahan; dan pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun. Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat menjadi camat tidak menguasai pengetahuan teknis yang diharuskan dalam pengangkatannya maka wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan yang nantinya akan dibuktikan dengan sertifikat. Camat dalam menjalankan jabatannya mempunyai tugas-tugas yang harus dikerjakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 yaitu : (1) Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi : a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
48
Penjelasan Pasal 24 PP Nomor 19 Tahun 2008
45 c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e. Mengkoordinasikan penyelenggaran pemerintahan di tingkat kecamatan; f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan; (2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah yang meliputi aspek : a. Perizinan; b. Rekomendasi; c. Koordinasi; d. Pembinaan; e. Pengawasan; f. Fasilitasi; g. Penetapan; h. Penyelenggaraan; dan i. Kewenangan lain yang dilimpahkan. Ketentuan di atas yang memberi rincian tentang tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh camat, maka dapatlah dikatakan bahwa camat berada pada ruang lingkup hukum administrasi negara dengan posisi sebagai badan atau pejabat TUN, dalam kedudukannya seperti itu, camat sudah tentu berhak untuk melakukan segala tindakan administrasi, seperti mengeluarkan surat keputusan yang sesuai dengan kewenangannya. Menurut Indroharto ukuran untuk dapat disebut badan atau pejabat TUN adalah fungsi yang dilaksanakan, bukan nama sehari-hari, bukan pula kedudukan strukturalnya dalam salah satu lingkungan kekuasaan
dalam
negara.
Dalam
rangka
itu,
Indroharto
kemudian
46 mengelompokkan organ pemerintahan atau Tata Usaha Negara itu sebagai berikut:49 a. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif; b. Instansi-instansi dalam lingkungan negara di luar lingkungan kekuasaan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan urusan pemerintahan; c. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan; d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pihak pemerintahan dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan; e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan Peraturan perundangundangan dan sistem perizinan melaksanakan tugas pemerintahan. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa camat dalam menjalankan tugas-tugasnya
memperoleh
pelimpahan
kewenangan
pemerintahan
dari
bupati/walikota, hal ini berarti bahwa kewenangan yang diperoleh camat sebagai kepala kecamatan dan sekaligus sebagai pejabat TUN merupakan kewenangan berdasarkan pada delegasi. Berdasar pada pelimpahan wewenang dari bupati/walikota tersebut mengandung konsekuensi bahwa camat bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah mengenai pelaksanaan tugas-tugasnya. Sehingga dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut camat sebagai seorang pejabat TUN, harus bertumpu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Van Wijk/Willem Konijnenbelt berpendapat sebagai berikut :50 Organ-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan; hukum tertulis, di samping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik. 49 50
Indroharto, Op.cit, hal. 137 Ridwan HR, Op.cit, hal.235
47 Dengan demikian maka asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan instrument untuk peningkatan perlindungan hukum bagi warga negara dari tindakan pemerintah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang dalam hal ini menyangkut mengenai seorang camat harus didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik juga diatur di dalam Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu : “asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas”, sehingga apabila seorang camat mengeluarkan keputusan dalam pelaksanaan tugasnya tidak sesuai dengan asas-asas umum penyeleggaraan pemerintahan yang baik, maka tindakan yang dilakukan oleh camat tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Deskripsi di atas jika dikaitkan dengan salah satu prinsip negara hukum yaitu asas legalitas, mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.51
51
Ridwan HR, Op.cit, hal.339
48 2.3 Pengertian PPAT Tentang PPAT pengaturan hukumnya dilakukan berdasarkan PMA Nomor 10 Tahun 1961 akan tetapi tidak memberi batasan tentang pengertian/definisi PPAT, hanya mengatur mengenai daerah kerja PPAT, tata cara pengangkatan serta hak dan kewajiban PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya. Kemudian peraturan pemerintah tersebut diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah diundangkan/diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 yang baru mengatur tentang pengertian PPAT. Dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”. Dari ketentuan-ketentuan di atas, maka PPAT merupakan pejabat umum yang diberi wewenang dan tugas serta tanggung jawab membuat akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu tentang tanah seperti : akta jualbeli, akta tukar-menukar, akta hibah, akta pemasukan dalam perusahaan, akta pembagian harta bersama maupun pembebanan hak mengenai hak atas tanah maupun satuan rumah susun. Selain berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 tahun 1998, pengertian tentang apa atau siapa yang dimaksud dengan PPAT juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu : a. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat
49 umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. b. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, menentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah”. c. Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, menentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”. Dari beberapa peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan PPAT adalah sebagai pejabat umum. Istilah PPAT sebagai pejabat umum untuk pertama kali terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan tetapi baik di dalam undang-undang tersebut maupun di dalam peraturan perundang-undangan yang lain seperti disebut di atas tidak memberi batasan tentang pengertian pejabat umum. Tentang pengertian PPAT, Boedi Harsono mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pejabat umum adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu.52 Berdasarkan pada pendapat tersebut selanjutnya Sri Winarsi memberi pandangannya dengan menyatakan bahwa pengertian pejabat umum mempunyai 52
Boedi Harsono,2007, PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI No 844.IV, Jakarta, hal.11
50 karakter yuridis, yaitu selalu dalam rangka hukum publik. Sifat publiknya dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, kewenangan PPAT.53 Dalam doktrin ilmu hukum, istilah pejabat umum berasal dari istilah openbare amtbtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum, yaitu pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan public,54 dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa untuk dapat menjadi menjadi pejabat umum apabila diangkat dan diberhentikan oleh Negara dan diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk melayani masyarakat dalam bidang tertentu.55 Dengan demikian, maka PPAT sebagai pejabat umum mengandung pengertian bahwa PPAT diangkat oleh negara melalui Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk diserahi tugas melaksanakan sebagian urusan pemerintahan di bidang pendaftaran tanah yaitu dengan membuat akta otentik mengenai peralihan hak atas tanahnya. Dalam kaitannya dengan itu, Habib Adjie memberi pandangannya bahwa :56
53
Sri Winarsi, 2002, Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum, majalah YURIDIKA Vol.17 No 2, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 186 54 Habib Adjie, 2007, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Rafika Aditama, Surabaya,(selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 27 55 Husni Thamrin, Op.cit. hal.103 56 Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal.102
51 1. Kedudukan atau eksistensi PPAT sebagai pejabat umum setara dengan pejabat negara dan Pejabat TUN; 2. Pejabat yang satu dengan yang lainnya tidak dapat menjadi bawahan atau subordinasi pejabat lainnya, misalnya pejabat umum menjadi bawahan atau subordinasi Pejabat TUN; 3. Tiap-tiap pejabat tersebut mempunyai wewenang sendiri-sendiri sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, ada pula yang menempatkan jabatan PPAT sebagai atau termasuk ke dalam Pejabat TUN. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Indroharto yang mengatakan bahwa, sebutan sebagai Pejabat TUN tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara struktural memangku suatu jabatan TUN tetapi juga ditujukan kepada siapa saja yang melaksanakan urusan pemerintahan (fungsional), maka yang berbuat demikian bisa dianggap sebagai Pejabat TUN, sehingga segala keputusan yang mereka keluarkan yang memenuhi syarat sebagai keputusan TUN jika merugikan para pihak, keputusan tersebut dapat dijadikan objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.57 Demikian juga dengan Habib Adjie yang berpendapat bahwa dalam hal tertentu tidak selalu semua keputusan yang dibuat oleh Pejabat TUN memenuhi syarat sebagai Keputusan TUN, hal ini berlaku pada PPAT yang secara fungsional jabatan PPAT termasuk ke dalam kategori Pejabat TUN yaitu ketika menjalankan urusan pemerintahan berupa
57
Indroharto, Loc.cit, hal.68
52 rangkaian yang merupakan satu kesatuan dari proses pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT.58 Dari pendapat di atas ternyata PPAT ditempatkan juga sebagai pejabat TUN dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia, secara fungsional sebagai pejabat TUN yaitu ketika penjalankan urusan pemerintah berupa rangkaian proses pendaftaran tanah. Selanjutnya oleh Habib Adjie dikatakan pula bahwa akta PPAT bukanlah suatu Keputusan TUN karena tidak memenuhi unsur-unsurnya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu tidak memenuhi unsur fina, oleh karena itu akta yang dibuat PPAT tidak dapat digugat di Pengadilan TUN.59 Terhadap hal tersebut Philipus M. Hadjon juga berpendapat bahwa figur hukum akta PPAT bukan Keputusan TUN karena akta PPAT :60 1. Tidak memenuhi hakikat Keputusan TUN sebagai suatu besluit. Suatu besluit pada hakikatnya adalah suatu belissing. Akta PPAT bukanlah suatu belissing dari PPAT; 2. Bukan norma hukum sebagaimana halnya Keputusan TUN yang merupakan norma penutup dalam rangkaian norma hukum; 3. Tidak memenuhi unsur Keputusan TUN menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Kedudukan PPAT sebagaimana tersebut di atas ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia :
58
Habib Adjie II, Op.cit, hal.102 Habib Adjie I, Op.cit, hal.24 60 Habib Adjie I, Loc.cit 59
53 1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 27 juli 2001, ditegaskan bahwa PPAT sebagai Pejabat TUN, namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak sebagai pejabat umum dalam bidang perdata, dan akta PPAT bukanlah Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara; 2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 februari 2000, ditegaskan bahwa PPAT adalah Pejabat TUN karena melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yakni Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi akta jual-beli yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan Keputusan TUN karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat Keputusan TUN.61 Berdasarkan deskripsi di atas, maka PPAT merupakan pejabat umum yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk membuat akta otentik tentang setiap perbuatan-perbuatan hukum yang mengandung peralihan hak-hak atas tanah dan aktanya tersebut digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan haknya pada kantor pertanahan kabupaten/kota dimana tempat tanah tersebut berada. Dari sisi yang disebut terakhir ini, maka PPAT dapat pula dikatakan secara fungsional dalam rangka proses pendaftaran tanah membantu kantor pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah, yaitu melaksanakan tugas untuk membuat aktaakta yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1998. Meskipun PPAT membantu kantor pertanahan seperti itu namun bukan berarti PPAT merupakan subordinasi atau bawahan Kantor Pertanahan, karena PPAT dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum bersifat : mandiri; tidak memihak siapapun (imparsial); dan tidak bergantung pada siapapun (independen) yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya PPAT tidak dapat dicampuri oleh
61
Habib Adjie I, Op.cit, hal.25
54 pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain; serta akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat, pemerintah dan Tuhan.
2.4 Dasar Hukum Kewenangan Yang Diperoleh PPAT Setelah dipahami tentang jabatan PPAT sebagaimana dideskripsikan di atas, selanjutnya dipaparkan perihal dasar hukum kewenangannya tersebut selain yang secara normatif ditegaskan dalam PP Nomor 37 Tahun 1998, sebab secara hakekat atau filosofis jabatan PPAT melaksanakan sebagian proses pendaftaran tanah dengan membuat akta peralihan haknya. Terhadap hal tersebut dapat digali dari norma hukum tentang kewenangan PPAT dalam rangka menjalankan sebagian kewenangan negara atas tanah sebagaimana termaktub dan diperintahkan oleh Pembukaan UUD 1945 alenia IV yang menyatakan : Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Anak kalimat : “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 di atas dapat diartikan juga bahwa negara atau pemerintah diamanatkan untuk melindungi segenap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan alam sebagai sumber kehidupan bagi segenap bangsa Indonesia. Guna melaksanakan
55 amanat tersebut diaturlah dalam suatu pasal dalam konstitusi negara/undangundang dasar negara yakni UUD 1945, yaitu Pasal 33 ayat (3) yang menentukan : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari ketentuan pasal tersebut di atas, jika ditelaah lebih jauh maka terdapat dua kata yang menentukan yakni perkataan “dikuasai” dan “dipergunakan”. Perkataan “dikuasai” sebagai dasar wewenang negara yang merupakan badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia biasa,62 sedangkan perkataan “dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut tidak menyebutkan tentang kewenangan apa saja yang ada atau dipunyai negara sebagai pemegang kekuasaan atas sumber daya alam yang ada. Hanya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang diundangkan tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 2043 (selanjutnya disebut UUPA) yang merupakan implementasi atau sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur dan memberi batas ruang lingkup wewenang negara dalam rangka menguasi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA ditentukan bahwa kewenangan hak menguasai negara yaitu :
62
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara atas Tanah, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hal. 3
56 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Berdasarkan kekuasaan seperti yang diuraikan di atas, negara dapat memberi hakhak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut keperluan dan peruntukkannya,63 adapun hak-hak atas tanah yang dapat diberi oleh negara seperti dimaksud di atas adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UUPA, yaitu : “Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak-hak lain yang tidak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA”. Adanya pelaksanaan dari wewenang negara sebagai hak menguasai tanah seperti disebutkan di atas ditujukan agar supaya tanah dapat digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam rangka tercapainya tujuan tersebut, oleh negara diberikan hak-hak atas tanah kepada setiap warga negara terutamanya kepada orang perorangan dalam bentuk hak milik, karena dengan diberikan tanah berikut hak-hak atas tanah kepada orang perorang selaku warga negara, diharapkan tanah sebagai bagian dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara langsung menyentuh kehidupan warga negara dalam upaya mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Diberikannya tanah hak milik kepada warga negara oleh negara, karena 63
K. Wantjik Saleh, 1985, Hak Anda Atas Tanah, Cetakan kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.13
57 hak milik menurut Pasal 20 UUPA, merupakan hak yang bersifat turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah. Dalam kaitannya kedudukan hak milik sebagai hak perseorangan dari setiap warga negara, menurut Curzon yang mendefinisikan hak milik dengan property yakni :64 The following are examples of many definitions of “property” : the highest right menhave to anything; a right over a determinate thing either a tract of land or a chattel; an exclusive right to control economic good; an aggregate of rights guaranteed and protected by the government; everything which is the subject of ownership; a social institution whereby people regulate the acquisition and use of the resources of our environment according to a system of rules; a concept that refers to the rights, obligations, privilages and restrictions that govern the relations of men with respect to things of value. Apabila diterjemahkan, isi dari definisi hak milik menurut Curzon adalah sebagai berikut : Berikut ini adalah contoh dari banyak definisi mengenai “properti” : hak tertinggi yang dimiliki oleh orang-orang terhadap sesuatu; hak atas benda tertentu baik sebidang tanah atau harta; hak ekslusif untuk menguasai barang ekonomi; sekumpulan hak yang dijamin dan dilindungi oleh pemerintah; segala sesuatu yang merupakan subjek kepemilikan; lembaga sosial dimana orang mengatur perolehan dan penggunaan sumber daya lingkungan kita sesuai dengan sistem peraturan; suatu konsep yang mengacu pada hak, kewajiban, hak istimewa dan batasan yang mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bernilai. Menurut pendapat di atas, hak milik merupakan hak tertinggi, hak terkuat seseorang untuk memiliki tanah, sehingga untuk mempertahankan hak tersebut dari gangguan pihak lain diperlukan suatu aturan yang dapat memberikan kepastian hukum pemiliknya.
64
L.B Curzon, 1999, Land Law, seventh edition, Pearson Education Limited, Great Britain, hal. 8-9
58 Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan hak milik dapat terjadi karena suatu perbuatan hukum oleh pemiliknya atau karena peristiwa hukum tertentu, misalnya kematian pemilik yang menyebabkan terjadinya peralihan hak milik kepada anak-anak selaku ahli waris, yang dikenal dengan pewarisan. Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya.65 Selain wewenang yang dipunyai negara yang bersumber dari Pasal 2 ayat (2) UUPA seperti yang telah dideskripsikan di atas, kewenangan lainya adalah menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang ini secara langsung dimaksudkan untuk memberi wewenang kepada negara untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang atau antara orang dengan badan hukum selaku warga negara tentang tanah. Hubungan-hubungan hukum itu dapat dalam bentuk peristiwa hukum, seperti pewarisan maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan hukum, seperti jualbeli, tukar-menukar, hibah, wakaf dan lainnya yang pada dasarnya merupakan suatu hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya yang dapat mempunyai hak-hak atas tanah di Indonesia. Dalam kenyataannya wewenang negara sebagaimana dimaksud di atas, dilimpahkan pelaksaannya kepada PPAT, sehingga wewenang PPAT sebagai wewenang untuk mengesahkan segala hubungan-hubungan hukum antara orang 65
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal.6
59 dengan orang atau antara orang dengan badan hukum dalam bentuk dibuatnya akta PPAT merupakan kewenangan atributif. Hal tersebut terkait pula dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yang menentukan : “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut
ketentuan-ketentuan
yang
diatur
dengan
peraturan
pemerintah”. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran tanah (PP Nomor 10 Tahun 1961). Dalam Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 menentukan bahwa : Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut penjabat). Dalam menafsirkan ketentuan tersebut, pemerintah kemudian membentuk jabatan baru yaitu PPAT yang diberi kewenangan khusus untuk membuat akta di bidang pertanahan. Dari uraian Pasal 19 tersebut ternyata bahwa PPAT berwenang untuk membuat akta untuk mutasi hak (jual-beli, hibah, tukar menukar, pemasukan dalam perseroan dan pembagian warisan) dan dengan memberikan suatu hak baru atas tanah yaitu hak guna bangunan dan hak pakai di atas hak milik.66 Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam PMA Nomor 10 Tahun 1961 untuk mengetahui siapa saja yang dimaksud dengan dan yang seterusnya akan disebut sebagai PPAT.67 Tugas pokok PPAT menurut PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah
66
AP.PArlindungan, op.cit. hal 170 J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.107 67
60 membantu Menteri Agraria untuk membuat akta-akta pemindahan hak, pemberian hak baru, penggadaian tanah, dan pemberian hak tanggungan atas tanah.68 Saat PP Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi maka digantilah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Buku Tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.69 Dasar hukum bagi PPAT dalam menjalankan kewenangannya sebagai Pejabat umum yang diberi tugas untuk membuat akta-akta otentik mengenai pertanahan selanjutnya diatur dalam Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan : “dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Berdasarkan Pasal 7 PP tersebut dibentuklah suatu Peraturan Jabatan PPAT yaitu PP Nomor 37 Tahun 1998. Dari uraian diatas telah jelas dasar hukum pemberian kewenangan PPAT sebagai pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik mengenai perbuatanperbuatan hukum mengenai tanah. Peran PPAT dalam pendaftaran tanah adalah 68
J. Kartini Soendjendro, 2002, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, hal.85 69 Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal.81
61 untuk melaksanakan recording of deeds of conveyance, yaitu perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai agunan (Hak Tanggungan), mendirikan hak baru diatas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau Hak Pakai di atas Hak Milik).70
2.5 Wewenang, Hak dan Kewajiban Serta Tanggung Jawab PPAT Setiap perbuatan yang dilakukan oleh pejabat maupun badan TUN haruslah berdasarkan pada kewenangan yang diperoleh secara sah, oleh karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun bagi setiap badan.71 Kewenangan yang sah dimaksud adalah kewenangan yang berdasarkan undang-undang yang dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu : atribusi, delegasi dan mandat, dimana PPAT menjalankan tugas jabatannya berdasarkan pada suatu peraturan pemerintah yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 menentukan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas : a. b. c. d. e. f. g.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
70
AP.Parlindungan, Op.cit, hal.82-83 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, hal.77 71
62 Dapat dilihat bahwa suatu peraturan pemerintah merupakan peraturan yang dibentuk sebagai peraturan yang menjalankan Undang-Undang, atau peraturan yang dibentuk agar ketentuan dalam Undang-undang dapat berjalan yang kedudukan Peraturan Pemerintah tersebut berada di bawah Undang-undang. Peraturan
pemerintah
dibentuk
oleh
Presiden
dan
berfungsi
untuk
menyelenggarakan ketentuan Undang-Undang baik yang secara tegas-tegas maupun secara tidak tegas menyebutnya,72 dengan demikian maka PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya didasarkan pada kewenangan yang lahir karena undang-undang sehingga kewenangan PPAT merupakan kewenangan atribusi. Selanjutnya Maria Farida mengatakan bahwa peraturan pemerintah merupakan peraturan yang mendapatkan delegasi dari Undang-undang yang fungsinya adalah untuk mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan dalam Undang-undang yang tegas-tegas menyebutkan dan menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.73 Berdasarkan PP No 37 Tahun 1998 diatur tugas dan wewenang PPAT. Dalam Pasal 2-nya menentukan bahwa tugas PPAT adalah : -
-
ayat (1) : PPAT bertugas melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuatkan akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. ayat (2) : perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : 72
Maria Farida Indrati, 1996, Ilmu Perundang-undangan jenis, fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Jakarta, hal.244 73 Ibid, hal 221-222
63 a. b. c. d. e. f. g. h.
Jual beli; Tukar menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); Pembagian hak bersama; Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik; Pemberian hak tanggungan; Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa: “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, menempatkan PPAT mempunyai peran penting dalam pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah. Kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 di sini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang dapat diperintah olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.74 PPAT diangkat oleh pemerintah dengan tugas memberikan pelayanan dalam bentuk pembuatan akta atas permintaan orang-orang dan badan hukum yang melakukan perbuatanperbuatan hukum peralihan hak atas tanah, dan pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan menurut ketentuan yang diatur dalam PP No 24 Tahun
74
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada media Grup, Jakarta, (selanjutnya disebut Urip Santoso II), hal. 316
64 1997,75 demikian juga berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) bahwa PPAT berwenang untuk membuat akta otentik yang digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah maupun satuan rumah susun dalam bentuk akta jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan, pemberian hak tanggungan dan pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan. Dari dua macam kegiatan pendaftaran tanah, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam PP No 24 Tahun 1997, kegiatan yang menjadi tugas pokok PPAT adalah kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Terdapat perbuatan hukum yang memerlukan bantuan PPAT untuk membuat akta dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah A.P. Parlindungan menyatakan bahwa tugas PPAT adalah melaksanakan suatu recording of deed conveyance, yaitu suatu perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak Tanggungan, mendirikan hak baru atas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau Hak Pakai di atas Hak Milik) ditambah surat kuasa memasang Hak Tanggungan.76 Pada dasarnya tugas PPAT dalam pendaftaran tanah adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan salah
75
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Nasional, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 385 76 A.P.Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal.83
65 satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 PP No 24 Tahun 1997, yaitu untuk terwujudnya tertib administrasi pertanahan.77 PPAT dalam menjalankan tugasnya harus mandiri dan tidak memihak kepada salah satu pihak. Irawan Soerodjo menyatakan bahwa jabatan PPAT merupakan suatu profesi yang mandiri, yaitu : a. Mempunyai fungsi sebagai pejabat umum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan mendapat kewenangan dari pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk membuat akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang merupakan alat bukti yang autentik. b. Mempunyai tugas sebagai recording of deed conveyance (perekaman dari perbuatan-perbuatan) sehingga wajib mengkonstatir kehendak para pihak yang telah mencapai suatu kesepakatan di antara mereka. c. Mengesahkan suatu perbuatan hukum di antara para pihak yang bersubstansi mengesahkan tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perbuatan hukum dan menjamin kepastian tanggal penandatanganan akta. Mengenai kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 3 PP No 37 Tahun 1998, yaitu : (1) untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta autentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. (2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
77
Urip Santoso II, op.cit, hal.345
66 Berdasarkan pasal di atas PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT yang sudah sesuai dengan formasi PPAT yang telah ditetapkan oleh Menteri, sehingga apabila seorang PPAT melaksanakan kewenangannya tidak berdasarkan daerah penunjukannya sebagai PPAT maka akta yang dibuat tersebut dapat dikatakan cacat kewenangan yang akan mengakibatkan akta tersebut tidak menjadi akta otentik. Tidak setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan Rumah Susun dibutuhkan akta PPAT sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum tersebut, perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak dibuat oleh PPAT adalah :78 a. Pemberian hak atas tanah negara dengan Surat Keterangan Pemberian Hak yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat lain yang diberikan kewenangan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. b. Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dengan Perjanjian Penggunaan Tanah antara pemegang Hak Pengelolaan dengan calon pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. c. Perubahan Hak Guna Bangunan untuk rumah tinggal atau hunian menjadi Hak Milik dengan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. d. Pemindahan hak karena lelang dengan Risalah Lelang atau Berita Acara Lelang oleh pejabat dari Kantor Lelang.
78
Urip Santoso II, Op.cit, hal-348-349
67 e. Perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah dengan Surat Keputusan oleh pejabat dari Badan Pertanahan Nasional. f. Pembaruan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah dengan Surat Keputusan oleh pejabat dari Badan Pertanahan Nasional. g. Pencabutan hak atas tanah dengan Surat Keputusan Presiden. h. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan akta notaris atau Surat Pernyataan Pelepasan atau Penyerahan Hak Atas Tanah oleh pemegang haknya. i. Pembatalan hak atas tanah dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. j. Wakaf tanah Hak Milik dengan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. k. Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian dibuat dengan perjanjian tertulis oleh kedua belah pihak. PPAT selaku pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik dalam menjalankan tugas jabatannya melekat pula kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan, sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 45 PMA/PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 bahwa PPAT mempunyai kewajiban : a. Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
68 b. Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT; c. Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; d. Menyerahkan protokol PPAT; e. Membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah; f. Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat; g. Berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT; h. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan; i. Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan; j. Memasang papan nama dengan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan; k. Lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan. Selain
mempunyai
kewajiban,
PPAT
juga
memiliki
hak
dalam
melaksanakan tugas jabatannya yang dalam Pasal 36 peraturan diatas ditentukan bahwa PPAT berhak untuk mengajukan cuti, memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta yang besarnya sesuai Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998, memperoleh informasi mengenai perkembangan peraturan perundangundangan tentang pertanahan, serta memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT. Diperlukan adanya pengawasan terhadap PPAT sebagai konsekuensi dari suatu jabatan agar dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku dan terhindar dari penyalahgunaan kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya, dimana pengawasan juga dilakukan agar hak, kewenangan dan kewajiban PPAT dijalankan berdasarkan Undang-undang
69 yang berlaku, etika dan moral agar perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam bidang pertanahan dapat terwujud. Pengawasan terhadap PPAT dilakukan oleh Kepala BPN, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai pejabat umum, seorang PPAT harus memegang teguh etika profesi PPAT, dalam kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa etika adalah “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)”.79 Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral tersebut merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Frans Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat mendasari kepribadian profesional hukum. Kelima kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :80 a. Kejujuran. Tanpa kejujuran maka professional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia akan menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu sikap terbuka dan sikap wajar. Sikap terbuka berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara bayaran atau secara cuma-cuma, sedangkan sikap wajar berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas dan tidak memeras.
79
Daryanto, s.s, Op.cit hal.198 Supriadi, 2010, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal.19 80
70 b. Autentik. Autentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi professional hukum antara lain : tidak menyalahgunakan wewenang, tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (perbuatan tercela), mendahulukan kepentingan klien, berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana. c. Bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tugasnya, professional hukum wajib bertanggung jawab artinya kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk dalam lingkup profesinya, bertindak secara proporsional tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo). d. Kemandirian moral. Keberanian moral adalah tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian sendiri. Untuk menghindari agar tidak sampai terjadi penyimpangan terhadap menjalankan profesi, khususnya profesi hukum, maka dibentuklah suatu norma yang wajib dipatuhi oleh orang yang bergabung dalam sebuah profesi yang lazim disebut sebagai etika profesi, dengan harapan bahwa para professional tersebut tunduk dan patuh terhadap kode etik profesinya.81 Sementara itu, dalam UUD Tahun 1945 yang secara tegas menentukan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum dimana prinsip negara hukum adalah menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. 81
Abdul kadir Muhammad, 1991, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.66
71 Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan tujuan ideal tersebut salah satunya adalah dengan ditunjuk dan diadakannya suatu jabatan yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus juga diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Berdasarkan uraian diatas, PPAT merupakan Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai pertanahan, selain akta otentik yang dibuat dihadapan PPAT sesuai dengan apa yang diharuskan oleh peraturan perundangan, tetapi juga akta otentik dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Guna tercapainya hakekat dari akta otentik, khususnya akta PPAT, maka PP Nomor 37 tahun 1998 dan PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 telah menentukan larangan-larangan PPAT dalam menjalankan tugasnya yang apabila larangan-larangan tersebut baik secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan maka dapat dikatakan bahwa PPAT tersebut telah melanggar kode etik profesinya. Pelanggaran kode etik ini akan berpengaruh pada produk hukum yang dibuat oleh PPAT tersebut entah akta tersebut menjadi akta di bawah tangan, ataukah akta tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan, sehingga seorang PPAT harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran kode etik yang telah dilakukan.
72 2.6 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT Untuk dapat diangkat menjadi seorang PPAT harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menentukan syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah : a. Berkewarganegaraan Indonesia; b. Berusia sekurang-kurangnya 30(tigapuluh) tahun; c. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat; d. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; e. Sehat jasmani dan rohani; f. Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi; g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai PPAT menurut PKBPN Nomor 1 Tahun 2006, yaitu : 1. Untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia. Ujian PPAT diselenggarakan untuk mengisi formasi PPAT di Kabupaten/kota yang formasinya belum terpenuhi. 2. Sebelum mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT. Pendidikan dan pelatihan PPAT dimaksudkan untuk mendapatkan calon PPAT yang professional dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Materi ujian PPAT terdiri dari :
73 a. Hukum Pertanahan Nasional; b. Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan; c. Pendaftaran Tanah; d. Peraturan Jabatan PPAT; e. Pembuatan Akta PPAT; dan f. Etika Profesi. 3. Untuk dapat mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan berusia paling kurang 30 (tigapuluh) tahun dan wajib mendaftar pada panitia pelaksana ujian Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dengan melengkapi persyaratan : a. Fotokopi KTP yang masih berlaku; b. Fotokopi sertifikat Pendidikan dan Pelatihan Pertama PPAT yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang; c. Pas foto berwarna dengan ukuran 4x6 sebanyak tiga lembar; d. Fotokopi ijazah S1 dan Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang; dan e. Fotokopi ijazah Program Spesialis Notariat atau Magister Kenotariatan yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. 4. Calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT mengajukan permohonan pengangkatan sebagai PPAT kepada Kepala BPN Republik Indonesia. Permohonan pengangkatan sebagai PPAT, dilengkapi dengan persyaratan :
74 a. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan/atau surat keterangan kejahatan yang dikeluarkan oleh instansi kepolisian; b. Surat keterangan kesehatan dari dokter umum atau dokter spesialis yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani; c. Surat pernyataan bermaterai cukup dari yang bersangkutan yang menyatakan kesediaannya untuk ditunjuk sebagai penerima protokol PPAT lain; d. Surat pernyataan bermaterai cukup dari yang bersangkutan yang menyatakan tidak rangkap jabatan; e. Fotokopi sertifikat Pendidikan dan Pelatihan Pertama PPAT yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang; f. Daftar riwayat hidup; g. Fotokopi ijazah Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Magister Kenotariatan yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang; dan h. Fotokopi ijazah S1 dan Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan lembaga pendidikan tinggi yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. 5. Berdasarkan permohonan pengangkatan PPAT, Kepala BPN Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Pengangkatan PPAT. 6. Bagi calon PPAT yang akan diangkat sebagai PPAT, sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengikuti pembekalan teknis pertanahan yang
diselenggarakan
oleh
BPN
Republik
Indonesia
yang
penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT;
75 7. Keputusan pengangkatan PPAT diberikan kepada yang bersangkutan setelah selesai pembekalan teknis pertanahan. Tembusan Keputusan Pengangkatan PPAT disampaikan kepada pemangku kepentingan; 8. Untuk keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan PPAT, setelah menerima keputusan pengangkatan PPAT, calon PPAT wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat paling lambat tiga bulan. Apabila calon PPAT tidak melapor dalam waktu tiga bulan sejak diterima Surat Keputusan Pengangkatan PPAT, maka keputusan pengangkatan PPAT yang bersangkutan batal demi hukum. Dari ketentuan-ketentuan di atas, salah satu syarat selain syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi untuk dapatnya seseorang diangkat selaku PPAT adalah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam ketentuan Pasal 6 huruf g PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menentukan bahwa untuk dapat diangkat menjadi PPAT harus lulus ujian yang diselenggarakan oleh BPN kemudian ditindak lanjuti dengan PKBPN Nomor 1 Tahun 2006, sebagai peraturan pelaksanaanya. PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu, yaitu satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebelum menjalankan jabatannya PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di daerah kerja PPAT yang bersangkutan. Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melaksanakan pengambilan sumpah jabatan sebagai PPAT dalam waktu satu bulan setelah diterimanya laporan keputusan pengangkatan sebagai PPAT. PPAT yang belum mengucapkan sumpah jabatan
76 dilarang menjalankan jabatannya sebagai PPAT dan apabila larangan tersebut dilanggar, maka akta yang dibuat tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data dalam pendaftaran tanah. Dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 menentukan bahwa PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, konsultan atau Penasihat hukum dan PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai : a. Pengacara atau advokat; b. Pegawai negeri, atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Ketentuan di atas mengandung konsekuensi bahwa PPAT dapat merangkap jabatan sebagai notaris, konsultan atau penasehat hukum tetapi dilarang merangkap jabatan selaku pengacara atau advokat dan pegawai negeri atau pegawai di lingkungan badan usaha milik negara/daerah, karena untuk merangkap jabatan sebagaimana dimaksud di atas, PPAT bersangkutan wajib mengajukan permohonan berhenti sebagai PPAT kepada Kepala BPN Republik Indonesia. Terhadap hal tersebut, dalam PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 lebih jauh mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 31. Adapun ketentuan tersebut masing-masing menentukan :
Pasal 30 ayat (1) : PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi : a. advokat; b. pegawai negeri, pegawai badan usaha milik negara/daerah; c. lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan. ayat (2) : PPAT yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan berhenti kepada Kepala Badan.
77 ayat (3) : PPAT yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila masa tugasnya berakhir dapat mengajukan permohonan kembali sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 31 : apabila dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak PPAT yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) tidak mengajukan permohonan berhenti, maka Kepala Badan memberhentikan dengan hormat yang bersangkutan sebagai PPAT. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, jika ada PPAT yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998, apabila masa tugas jabatan yang dirangkapnya tersebut berakhir, dapat mengajukan permohonan pengangkatan kembali sebagai PPAT, sedangkan apabila dalam waktu paling lambat tiga bulan sejak PPAT yang merangkap jabatan tidak mengajukan permohonan berhenti maka Kepala BPN Republik Indonesia memberhentikan dengan hormat yang bersangkutan sebagai PPAT. Dalam kaitannya dengan itu, Urip Santoso berpendapat bahwa : larangan rangkap jabatan PPAT ditujukan atau dimaksudkan untuk menjaga dan mencegah agar PPAT dalam menjalankan jabatannya tidak menimbulkan akibat yang memberikan kesan bahwa PPAT telah mengganggu keseimbangan kepentingan para pihak. Ketentuan larangan jabatan bagi PPAT dibuat agar PPAT dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya demi melayani kepentingan umum dan melaksanakan tugas secara mandiri dan tidak memihak kepada salah satu pihak.82 Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 menentukan bahwa PPAT berhenti dari jabatannya karena : a. Meninggal dunia; b. Telah mencapai usia 65 (enampuluh lima) tahun; atau
82
Urip Santoso II, op.cit, hal. 335
78 c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau d. Diberhentikan oleh Menteri. Dalam ketentuan di atas diatur sebab-sebab berakhirnya jabatan PPAT dan bagi PPAT yang telah meninggal dunia, telah mencapai usia 65 (enampuluh lima) tahun,
melaksanakan
jabatan
sebagai
notaris
ditempat
selain
wilayah
kewenangannya selaku PPAT dan diberhentikan oleh Menteri tidak lagi memangku jabatannya dan/atau telah menyelesaikan penugasannya untuk itu tidak diperlukan keputusan pemberhentiannya. PPAT yang akan berhenti karena telah mencapai usia 65(enampuluh lima) tahun paling lambat 3 (tiga) bulan sebelumnya harus melaporkan kepada kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat mengenai PPAT yang bersedia menerima protokol PPAT-nya, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi, sedangkan untuk PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT karena diangkat dan mengangkat sumpah jabatan notaris di Kabupaten/Kota yang lain dari pada daerah kerjanya dapat diangkat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten/Kota tempat kedudukannya sebagai Notaris, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seorang PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, yaitu :83
83
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 37 tahun 1998
79 a. Permintaan sendiri; b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. pelanggaran ringan yang dimaksud disini adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28 ayat (3) PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 yang menentukan : a) Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan; b) Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5); c) Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; d) Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1); dan e) Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan. d. Diangkat sebagai Pegawai negeri sipil atau ABRI. PPAT yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya disahkan dengan Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN Republik Indonesia. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan oleh Kepala BPN Republik Indonesia berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi,84 selain diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, seorang PPAT juga dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya yang dapat disebabkan oleh :85
84 85
Urip Santoso II, Op.cit, hal.337 Penjelasan Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998
80 a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Melakukan pelanggaran berat yang dimaksud adalah seperti apa yang diatur dalam Pasal 28 ayat (4) PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 : a) Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; b) Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; c) Melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3); d) Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; e) Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46; f) Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT; g) Pembuatan akta PPAT dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak hadir di hadapannya; h) Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta; i) PPAT tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang dibuatnya; j) PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; k) PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti; l) Lain-lain yang ditetapkan badan. b. Dijatuhi hukuman kurungan penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
81 PPAT yang diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya diterbitkan Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN Republik Indonesia. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan berdasarkan usulan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui Kepala Kanwil Provinsi setempat. Pemberhentian PPAT dari jabatannya baik karena alasan melakukan pelanggaran ringan ataupun telah melakukan pelanggaran berat dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan dirinya kepada Kepala BPN Republik Indonesia.
82 BAB III CAMAT SEBAGAI PPAT SEMENTARA
3.1. Pengertian Dan Dasar Hukum Camat Sebagai PPAT Sementara Camat adalah pegawai pamong praja yang mengepalai suatu wilayah kecamatan. Kedudukannya seperti tersebut bersumber pada UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang otonomi daerah, dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 menegaskan bahwa otonomi daerah adalah “hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sedangkan daerah otonom berdasarkan angka 6-nya merupakan “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
sebagaimana
dimaksud di atas pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pejabat-pejabat dalam daerah/wilayah kerjanya, salah satunya adalah kepala wilayah yang merupakan penguasa di wilayah kerjanya adalah camat. Hal demikian juga ditentukan dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 Pasal 1 angka 9 bahwa camat atau sebutan lain adalah pemimpin atau koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari
82
83 Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, sehingga camat bertugas dan mempunyai wewenang sebagai koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan setingkat dibawah kabupaten/kota. Salah satu tugas dan tanggung jawab camat selaku pelaksana tugas-tugas pemerintahan di tingkat kecamatan dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi masyarakat di wilayah kerjanya, maka camat wajib mengkoordinasikan perangkat pemerintahannya dalam pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah untuk mengedukasi masyarakat pemilik tanah yang belum mempunyai bukti hak atas tanahnya, yaitu sertipikat sehingga tumbuh kesadarannya untuk mendaftarkan hak-hak atas tanahnya pada yang berwenang yakni kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota setempat letak tanah tersebut berada. Selain itu, di dalam praktek camat juga dapat berperan selaku PPAT sementara yang diberi wewenang membuat akta PPAT tentang peralihan hak atas tanah, sehingga kedua jenis pelaksanaan tugas dan wewenang camat seperti tersebut mampu mewujudkan tujuan untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar. Kedudukan camat selaku PPAT Sementara pada dasarnya diperoleh dari keberadaan akta PPAT yang dibuatnya sebagai alat pendaftaran peralihan hak berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan : peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jualbeli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
84 yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan tersebut PPAT merupakan pejabat yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik yang digunakan sebagai alat pendaftaran hak pada kantor Pertanahan sebagaimana dimasudkan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Selain berdasar pada ketentuan di atas, kedudukan camat selaku PPAT Sementara secara lebih spesifik diperoleh berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 yang memberi batasan atau pengertiannya bahwa : “PPAT Sementara adalah pejabat pemerintahan yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT”. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut maka camat selaku pejabat Tata Usaha Negara/pejabat pemerintahan yang mempunyai tugas pokok sebagai kepala wilayah kecamatan, yang menjalankan tugas jabatannya berdasar pada undang-undang kepegawaian juga berkedudukan selaku PPAT Sementara yang diberi wewenang membuat akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut. Apabila ditelaah lebih lanjut tentang pengertian PPAT Sementara yang sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, maka kedudukan selaku PPAT Sementara mengandung unsur-unsur yaitu : (1) pejabat pemerintahan yang ditunjuk karena jabatannya dan (2) di daerah yang belum
85 cukup terdapat PPAT. Dalam hal itu berdasar pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa : “untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara, maka camat diangkat serta diberi wewenang selaku PPAT Sementara”. Selain ketentuan di atas dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998 juga menentukan : untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyararakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT sementara atau PPAT Khusus : a. Camat atau kepala desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara; b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus. Merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penunjukan camat sebagai PPAT Sementara, dimana camat yang pada dasarnya adalah seorang pejabat Tata Usaha Negara/pejabat pemerintahan diberi wewenang berdasarkan jabatannya untuk dapat bertindak secara hukum membuat akta otentik/akta PPAT mengenai perbuatan-perbuatan hukum, khususnya tentang peralihan hak atas tanah.
3.2 Tata Cara Pengangkatan Camat Sebagai PPAT Sementara Camat adalah pejabat Tata Usaha Negara/pejabat pemerintahan yang mengepalai suatu wilayah kecamatan, sehingga merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota dan kedudukannya setingkat di bawah Kabupaten/Kota, sebagai
86 pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu tentu mempunyai tata cara atau tata kelola pemerintahan yang sudah baku berdasarkan pada peraturan perundang-undangan untuk itu, tidak terkecuali dengan pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara. Kedudukan camat sebagai kepala kecamatan yang secara struktural pemerintahan daerah berada di bawah bupati/walikota dan diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.86 Menguasai pengetahuan teknis yang digunakan sebagai syarat untuk dapat diangkat menjadi camat ditentukan dalam Pasal 25 PP Nomor 19 Tahun 2008 yang meliputi : “menguasai bidang ilmu pemerintahan yang dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan; dan pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun”. Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat menjadi camat tidak menguasai pengetahuan teknis yang diharuskan dalam pengangkatannya maka wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan yang nantinya akan dibuktikan dengan sertifikat. Dari deskripsi di atas lebih lanjut dapat dipaparkan bahwa dalam hal pengangkatan camat sebagai pejabat Tata Usaha Negara/pejabat pemerintahan maka pengangkatannya dilakukan oleh pejabat setingkat di atas jabatannya, yaitu Bupati atau Walikota. Tidak demikian halnya dengan pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara dimana pengangkatannya dilakukan oleh Kepala Kantor
86
Penjelasan Pasal 24 PP Nomor 19 Tahun 2008
87 Wilayah Badan Pertanahan Nasional di provinsi dimana letak wilayah kerja camat tersebut, sedangkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 PP Nomor 19 Tahun 2008 yang salah satu ketentuannya mengandung perintah bahwa apabila seorang Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat menjadi camat tidak menguasai pengetahuan teknis yang diharuskan dalam pengangkatannya maka wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan yang nantinya akan dibuktikan dengan sertifikat. Hal tersebut berlaku pula bagi camat yang hendak dangkat sebagai PPAT Sementara dan apabila ternyata tidak atau belum menguasai pengetahuan teknis yang diharuskan dalam pengangkatannya, maka camat tersebut wajib mengikuti pendidikan teknis tentang ke-PPAT-an sebagaimana maksud ketentuan Pasal 16 PKBN Nomor 1 Tahun 2006, yang menentukan : Sebelum camat dan/atau kepala desa ditunjuk sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT. Kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan dikecualikan bagi camat dan/atau kepala desa yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara, apabila di daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum ada PPAT. Pendidikan dan pelatihan dimaksudkan untuk menambah kemampuan PPAT Sementara dalam melaksanakan tugas jabatannya. Seorang camat diangkat menjadi PPAT Sementara pada saat berlakunya PMA Nomor 10 Tahun 1961 karena jabatannya sebagai camat, jadi yang ditunjuk sebagai PPAT adalah jabatan camatnya bukan camat sebagai diri pribadi. Seorang camat karena menjabat sebagai pimpinan atau kepala dari kecamatan yang dipimpinnya secara langsung/secara eks officio diangkat menjadi seorang PPAT terlebih lagi kewenangan menjalankan jabatannya tersebut tidak hanya dalam kecamatan yang dipimpinnya tetapi apabila kecamatan di sampingnya belum
88 terdapat PPAT, camat tersebut dapat membuatkan akta di wilayah yang bukan merupakan kepemimpinannya sebagai kepala wilayah kecamatan. Camat pengganti pada sebuah kecamatan yang dulunya merupakan PPAT Sementara juga secara langsung diangkat menjadi PPAT Sementara selama dalam kecamatan tersebut belum terpenuhi jumlah PPAT yang diperlukan. Adapun tata cara penunjukan camat sebagai PPAT Sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:87 1. Camat yang wilayah kerjanya berada dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPATnya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara; 2. Surat
Keputusan
Penunjukan
Camat
sebagai
PPAT
Sementara
ditandatangani oleh Kepala Kantor BPN Provinsi atas nama Kepala BPN Republik Indonesia; 3. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan atau fotokopi keputusan pengangkatan tersebut; 4. Penunjukan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara oleh BPN Republik Indonesia setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di wilayah desa tersebut.
87
Penjelasan Pasal 19 PMNA/KBPN Nomor 1 Tahun 2006
89 Selain ketentuan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara, terdapat juga syarat-syarat untuk dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara dalam PKBPN Nomor 1 Tahun 2006 , yang menentukan : 1. Dalam hal tertentu, Kepala BPN Republik Indonesia dapat menunjuk camat dan/atau kepala desa karena jabatannya sebagai PPAT Sementara; 2. Sebelum camat dan/atau kepala desa ditunjuk sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT. Kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan dikecualikan bagi camat dan/atau kepala desa yang
ditunjuk
sebagai
PPAT
Sementara,
apabila
di
daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum ada PPAT. Pendidikan dan pelatihan dimaksudkan untuk menambah kemampuan PPAT Sementara dalam melaksanakan tugas jabatannya. 3. Penunjukan camat sebagai PPAT Sementara dilakukan dalam hal di daerah kabupaten/kota sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT. Keputusan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara ditetapkan oleh Kepala BPN Republik Indonesia yang pelaksanaannya dapat diselenggarakan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. 4. Untuk keperluan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan penunjukan sebagai PPAT Sementara kepada Kepala BPN Republik Indonesia dengan melampirkan
90 salinan atau fotokopi keputusan pengangkatan sebagai camat melalui Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. 5. Dalam hal keputusan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara diselenggarakan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi, keputusan penunjukannya ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atas nama Kepala BPN Republik Indonesia. 6. Bagi camat sebagai PPAT Sementara sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengikuti pembekalan teknis pertanahan yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT. 7. Keputusan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara diberikan kepada yang bersangkutan setelah pelaksanaan pembekalan teknis pertanahan. 8. Tembusan keputusan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara disampaikan kepada pemangku kepentingan. 9. Untuk keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT Sementara, setelah menerima keputusan penunjukan sebagai PPAT Sementara, camat yang bersangkutan wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat paling lambat tiga bulan. 10. Apabila camat yang telah ditunjuk sebagai PPAT Sementara tidak melapor dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, maka keputusan penunjukan sebagai PPAT Sementara yang bersangkutan batal demi hukum. Ketentuan dan syarat-syarat seorang camat diangkat sebagai PPAT Sementara juga berlaku bagi camat penggantinya, misalnya dalam kecamatan A,
91 camat tersebut telah menjadi PPAT Sementara dengan wilayah kerja kecamatan A, setelah masa jabatannya berakhir apabila dia tidak dilantik lagi menjabat dalam kecamatan tersebut maka akan digantikan dengan camat yang baru. Camat pengganti darinya tidak akan secara langsung menjabat sebagai PPAT Sementara melainkan harus mengajukan permohonan juga agar dapat dilantik sebagai seorang PPAT Sementara dalam Kecamatan A. Begitu juga sebaliknya apabila camat dari kecamatan A berpindah menjabat ke kecamatan B, maka jabatannya sebagai PPAT Sementara tidak akan mengikuti artinya camat tersebut harus mengajukan permohonan lagi agar ditunjuk sebagai PPAT Sementara di kecamatan B. Dari tata cara penunjukan camat sebagai PPAT Sementara diatas jelas bahwa dalam PP Nomor 37 Tahun 1998, camat tidak diangkat secara langsung sebagai PPAT Sementara terlihat dari keharusan camat mengajukan permohonan untuk diangkat sebagai PPAT Sementara. Terdapat perbedaan dalam penunjukan camat sebagai PPAT Sementara, bahwa untuk diangkat menjadi PPAT saja seseorang harus memenuhi syaratsyarat yang salah satunya adalah lulusan program pendidikan spesialis notariat, apabila seseorang tersebut tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam PP Nomor 37 Tahun 1998, maka ia tidak akan dapat diangkat menjadi seseorang PPAT, sedangkan untuk camat tidak ada keharusan dalam pemenuhan syarat lulusan program spesialis notariat ini berdasarkan syarat pengangkatan camat yang telah diatur dalam Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20 PKBPN Nomor 1 Tahun 2006. Walaupun seorang camat dalam pengangkatannya diwajibkan untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh BPN tentu akan berbeda keilmuan yang
92 diberikan pada pendidikan perguruan tinggi dengan pendidikan BPN. Apalagi belum tentu camat yang diangkat menjadi PPAT Sementara adalah orang yang mengerti mengenai apa sebenarnya yang mendasari seorang PPAT diberikan tugas untuk membuat akta otentik, mengenai sahnya suatu perjanjian, mengenai bagaimana akta tersebut bisa dikatakan otentik dan hal-hal yang dapat membuat akta otentik terdegradasi, dan deretan pengetahuan yang harus diketahui untuk dapat membuat suatu akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Harus diketahui, PPAT dalam membuat akta otentik mengenai peralihan ataupun pembebanan hak atas tanah apalagi saat ini yang tidak menggunakan formulir lagi, harus dapat merumuskan hal-hal sekecil apapun yang dimaksud oleh para pihak dengan tepat, cermat, teliti sehingga dapat meminimalisir terjadinya sengketa karena kesalahan dalam pembuatan akta. Begitu banyak yang harus dipahami oleh seorang PPAT yang kadang dengan pendidikan perguruan tinggi pun tidak akan cukup bagi seorang calon PPAT yang nantinya akan menjalankan tugas sebagai Pejabat umum. Maka dari itu, sebelum calon PPAT mengajukan permohonan SK, mereka akan menempuh magang terlebih dahulu di kantor-kantor PPAT yang sudah berpraktek selama minimal 10 tahun yang tujuannya adalah untuk lebih memantapkan lagi keilmuan yang telah mereka dapatkan dengan menempuh pendidikan spesialis notariat, jadi menurut pemerintah adalah hal yang sangat mudah untuk mengangkat seorang camat sebagai PPAT Sementara yang hanya diberikan pendidikan dan pelatihan oleh BPN. Telah dijelaskan sebelumnya, camat sebagai Pejabat TUN juga tidak
93 menjalankan tugas yang sedikit, karena pada dasarnya seorang camat harus benarbenar mengemong masyarakat dan wilayah dalam kecamatan yang dipimpinnya, apabila ditambah dengan menjalankan kewenangannya sebagai PPAT Sementara, apakah mampu seorang camat melakukan itu semua tanpa meng-anaktirikan salah satu kewenangan yang diberikan kepadanya.
3.3 Wewenang Camat Sebagai PPAT Sementara Dalam Membuat Akta Peralihan Hak Atas Tanah Akta peralihan hak atas tanah dimaksudkan adalah suatu akta otentik yang di dalamnya mengandung/substansinya berisi tentang perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, atau dengan kata lain suatu akta peralihan hak atas tanah merupakan akta otentik yang isinya tentang perbuatan hukum dalam mana satu pihak mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada pihak lain. Di dalam praktek akta peralihan hak atas tanah dikenal dalam bentuk akta Perikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB), yaitu akta perjanjian yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum, substansinya berisi perikatan jual-beli antara pemilik tanah selaku penjual melepaskan hak atas tanahnya kepada pembeli yang telah membayar lunas seluruh harga tanah dimaksud. Biasanya akta PPJB seperti tersebut diikuti dengan akta Kuasa (untuk menjual) kepada pembeli dari pemilik tanah/penjual guna kepentingan perilhan hak dimaksud dikemudian hari baik kepada dirinya sendiri pembeli atau kepada pihak lain yang ditunjuk oleh pembeli. Akta peralihan hak atas tanah lainnya, dikenal dengan Akta Jual Beli (AJB) balik nama, yaitu akta otentik yang dibuat oleh PPAT yang substansi/isinya sama dengan akta PPJB hanya perbedaanya terletak pada kedudukannya sebagai alat pendaftaran peralihan
94 hak atas tanahnya di kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dimana letak tanah tersebut berada. Suatu akta autentik adalah akta yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu akta otentik adalah : (1) suatu akta yang dibuat didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, (2) dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu; dan (3) dibuat di tempat di mana akta itu dibuatnya. Syarat agar suatu akta dapat dikatakan akta otentik apabila dibuat oleh atau dibuat di hadapan seorang pejabat umum, dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam undang-undang dan dibuat di wilayah kerja pejabat umum yang membuat akta tersebut. Mengacu ketentuan di atas, agar suatu akta PPAT agar dapat dikatakan sebagai akta otentik, maka akta PPAT harus memenuhi syarat-syarat : Pertama, dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang ditunjuk oleh Undangundang, maksud dari syarat tersebut adalah dibuat oleh seorang pejabat umum dalam hal ini adalah camat selaku PPAT Sementara yang penunjukannya di dasarkan
pada
sebagaimana
ketentuan
telah
peraturan
dipaparkan
dalam
perundang-undangan
yang
pembahasan-pembahasan
berlaku di
atas.
Keberadaan camat selaku PPAT Sementara merupakan Pejabat Umum berwenang membuat akta otentik/akta PPAT yang merupakan akta tentang perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, seperti jual-beli tanah misalnya, adalah Pejabat TUN karena menjalankan sebagian urusan pemerintahan yaitu dalam hal pendaftaran tanah. Maka dari itu sebagai pejabat umum, camat selaku PPAT Sementara diserahi tugas melayani kepentingan publik atau warga masyarakat di wilayah
95 kecamatannya di bidang pembuatan akta otentik khususnya dalam hal terjadinya perbuatan-perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, menentukan : a. b. c. d. e. f. g. h.
Akta Jual-beli; Akta Tukar menukar; Akta Hibah; Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan; Akta Pembagian Hak Bersama; Akta Pemberian Hak Tanggungan; Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik; Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik. Kedua, akta yang dibuat oleh atau dibuat di hadapan pejabat umum dalam
bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-undang. Terhadap akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh camat selaku PPAT Sementara bentuknya saat ini diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perkabadan Nomor 8 tahun 2012). Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa seorang PPAT dapat membuat blanko (minuta/asli) akta sendiri hanya tata cara, hal-hal pokok sebagai isi akta/ diperjanjikan,
ukuran/jenis
huruf/tulisan
diatur
sehingga
menjadi
harus
sama/seragam. Berbeda dengan peraturan sebelumnya yang mengatur tentang hal yang sama, dalam ketentuan mana mengenai bentuk akta PPAT dibuat dalam bentuk blanko yang dicetak dan dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, PPAT pada saat itu hanya tinggal mengisi perbuatan dan peristiwa hukum para pihak.
96 Ketiga, pejabat umum yang membuat akta harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut, baik kewenangan untuk membuat akta tersebut atau waktu pada saat akta tersebut dibuat, wewenang Pejabat umum dalam melaksanakan tugas untuk membuat akta otentik meliputi empat hal, yaitu :88 1. Pejabat umum harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat itu; Wewenang PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain maka PPAT berwenang untuk membuat akta yang dimaksud, dan mengenai akta-akta pertanahan apa saja yang dapat dibuat oleh PPAT telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan. 2. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk siapa kepentingan akta itu dibuat; Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta tersebut dibuat, mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat harus ada keterkaitan yang jelas. Misalnya, jika akan dibuat akta pengikatan jual-beli yang diikuti dengan akta kuasa menjual, pihak yang akan menjual berhak untuk menjualnya kepada siapa pun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu seorang pejabat umum akan melihat surat asli dan meminta fotokopi atas identitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta oleh
88
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie III), hal.271-275
97 pejabat umum dalam pembuatan akta adalah KTP dan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang yang namanya tersebut dalam KTP dan sertifikat bukan orang yang sama artinya pemilik sertifikat bukan orang yang sesuai dengan KTP. Bukan itu saja, meskipun seorang PPAT dapat membuat akta untuk setiap orang, tetapi agar dapat menjaga netralitas PPAT dalam membuat akta, terdapat batasan-batasan yang ditentukan dalam Pasal 23 PP Nomor 37 Tahun 1998 bahwa : PPAT dilarang membuat akta untuk PPAT Sendiri, suami atau istrinya, keluarga sedara atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain. 3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat. Maksudnya adalah seorang pejabat umum hanya berwenang melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan daerah kerjanya. 4. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Pejabat umum dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Pejabat umum yang sedang cuti ataupun diberhentikan sementara waktu tidak berwenang untuk membuat akta. Sehubungan dengan hal di atas dalam kaitannya untuk menjawab permasalahan pertama dari penelitian ini tentang wewenang camat selaku PPAT Sementara, maka paparan tersebut dapat memberi deskripsi akta PPAT sebagai
98 akta otentik bahwa camat selaku PPAT Sementara, yakni berwenang membuat akta PPAT sebagai akta otentik harus dibuat dengan memenuhi syarat otentitas suatu akta otentik berdasar pada Pasal 1868 KUHPerdata. Salah satu syarat keotentikan akta PPAT agar berkedudukan sebagai akta otentik, harus dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu dalam hal ini adalah camat. Dengan kata lain apakah camat selaku PPAT Sementara telah sah atau belum sah menurut hukum, khususnya dalam proses pengangkatannya selaku PPAT Sementara sehingga berwenang membuat akta PPAT sebagai akta otentik. Sebagaimana dipaparkan di depan, keberadaan camat selaku PPAT Sementara adalah didasarkan pada ketentuan mengenai penunjukan camat sebagai PPAT Sementara yang ditetukan dalam Pasal 19 PKBPN Nomor 1 Tahun 2006, yang menentukan untuk keperluan penunjukan camat sebagai PPAT Sementara yang bersangkutan harus mengajukan permohonan penunjukan sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Badan dengan melampirkan fotocopy keputusan pengangkatan sebagai Camat melalui Kepala Kantor Wilayah, kemudian ditetapkan oleh Kepala Badan dalam keputusan bahwa penunjukannya didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan Surat Keputusan (SK) penunjukan tersebut ditadatangani oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Kepala Badan, sehingga pengangkatan/penunjukan camat sebagai PPAT Sementara dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah. Dari dasar hukum serta proses pengangkatan camat selaku PPAT Sementara tersebut di atas, ada beberapa hal yang disimpangi seperti ketentuan syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g
99 dan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g ditentukan bahwa harus lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional sedangkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) menentukan PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Serta bertentangan (konflik norma) dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf b yang menentukan bahwa seorang PPAT dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Mengacu dari fakta hukum diatas, bahwa pengangkatan camat selaku PPAT Sementara tidak sepenuhnya memenuhi syarat agar dapat diangkat menjadi PPAT, dan kurang sesuai dengan larangan yang tidak boleh dijabat oleh PPAT. Hal itu menempatkan proses pengangkatan camat selaku PPAT Sementara berpotensi mengandung cacat hukum. Hal tersebut dapat pula dikaji dengan menggunakan Teori hirarki norma (stufenbau theory) sebagai pisau analisa dalam mengkaji dasar hukum pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara. Teori mana diajarkan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).89 Teori tersebut, dalam hukum di Indonesia diimplementasikan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang memberi ketentuan tentang tata urutan peraturan perundang-undangan sekaligus mengandung makna bahwa setiap peraturan-perundang-undangan
89
Anonim, diakses tanggal 15 Desember 2013, Teori Stufenbau, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau
100 setingkat dibawahnya secara berjenjang harus berdasar dan bersumber pada norma hukum di atasnya. Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan dimaksud terdiri atas : a. b. c. d. e. f. g.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat ( TAP MPR); Undang-undang/ Peraturan pengganti undang-undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya mengenai peraturan perundang-undangan lainnya yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu : Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksan Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undangatau pemerintah atas pemerintah Undang-undang , Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan yang ditentukan dalam Pasal 8 di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan. Apabila mengacu pada teori dan dalam implementasi di atas, maka terhadap keberadaan SK camat selaku PPAT Sementara yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah dilihat dari dasar peraturan dikeluarkannya SK tersebut dalam tata urutan peraturan perundang-undangan posisinya berada di bawah Peraturan Pemerintah. Seperti yang telah di dijelaskan sebelumnya bahwa seorang PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria berdasarkan atas Pasal 5 ayat (1)
101 PP Nomor 37 Tahun 1998, tetapi lain halnya dengan camat dimana camat sebagai PPAT Sementara diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi berdasarkan Pasal 19 PKBPN Nomor 1 Tahun 2006. Perbedaan cara pengangkatan antara PPAT dan PPAT Sementara yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang setingkat yaitu Peraturan Pemerintah menjadikan jabatan camat sebagai PPAT Sementara yang diberi kewenangan untuk melaksanakan tugas PPAT yang merupakan seorang pejabat umum dengan membuat akta otentik belum terpenuhi. Selain itu, dari sudut sumber kewenangan yang dipunyai Kepala Kantor Wilayah mengeluarkan SK pegangkatan adalah berdasarkan pada delegasi. Sementara sebagaimana telah dipaparkan dalam bab di atas kewenangan PPAT adalah bersumber pada kewenangan atribusi, sehingga kewenangan PPAT Sementara pun seyogyanya bersumber pada atribusi dan bukan pada delegasi, yaitu penyerahan kewenangan dari Kepala Badan kepada Kepala Kantor Wilayah. Hal itu sejalan dengan pendapat Indroharto yang mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut maka pemberian kewenangan tersebut akan dilahirkan suatu kewenangan baru.90 Sekalipun pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha
90
Ridwan HR, Op.Cit, hal. 101
102 Negara lainnya, jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.91 Dari paparan di atas, maka pegangkatan camat selaku PPAT Sementara yang tidak sesuai dengan syarat-syarat pengangkatannya berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 yaitu diangkat di daerah-daerah yang belum cukup terdapat PPAT secara yuridis normatif mengandung kelemahan. Demikian pula aturan hukum yang melandasi pengangkatannya kurang sesuai dengan teori hierarki norma hukum sehingga keberadaannya selaku PPAT Sementara yang diberi kewenangan untuk menjalankan tugas PPAT yang merupakan Pejabat umum tidak terpenuhi dan mengandung konsekuensi hukum pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, menjadi tidak terpenuhi.
91
Indroharto, op.cit, hal.91
103 BAB IV TANGGUNG JAWAB CAMAT SEBAGAI PPAT SEMENTARA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA
4.1 Akta PPAT sebagai akta otentik Akta PPAT sebagai akta otentik merupakan suatu produk hukum yang dibuat oleh PPAT, mulai dari pembuatannya dalam bentuk tindakan para penghadap sampai pada akhir, yaitu pada saat penandatanganan akta oleh PPAT semuanya dilangsungkan dengan mengikuti aturan-aturan hukum yang berlaku untuk itu, yakni PP Nomor 37 Tahun 1998. Untuk itu, dalam sub bab ini akan lebih menjelaskan bagaimanakah pembuatan akta PPAT yang nantinya dapat dikatakan sebagai akta otentik. Mengingat suatu akta PPAT tidak hanya dibuat karena harus otentik saja, tetapi juga harus dapat berlaku sebagai dasar dilaksanakannya pendaftaran peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek akta tersebut, sehingga akta PPAT dalam pembuatannya harus pula berdasarkan pada beberapa ketentuan dalam pendaftaran tanah. Sebagaimana telah dipaparkan di depan bahwa tujuan dibuatnya suatu akta otentik adalah agar dapat digunakan sebagai alat pembuktian yang sempurna di kemudian hari, sehingga apabila dalam pembuatannya mengandung cacat yaitu kurang memenuhi salah satu syarat, akan mengakibatkan akta tersebut tidak
104 mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dalam kaitannya dengan pembuktian, menurut George Whitecross Patton alat bukti dapat berupa: 92 1. Oral (word spoken by a witness in court) / lisan (kata-kata yang diucapkan oleh seorang saksi di Pengadilan); 2. Documentary (the production of a admissible documents) / dokumen (pembuatan dokumen yang diterima); 3. Material (the production of physical res other than a documents) / materi (pembuatan res secara fisik selain dokumen). Alat bukti yang bersifat oral yang dimaksud oleh Patton adalah alat bukti yang diucapkan secara lisan termasuk kesaksian dan sumpah. Alat bukti yang tergolong dalam documentary adalah alat bukti tertulis sedangkan alat bukti material adalah alat bukti dalam wujud benda konkret selain pada alat bukti tertulis, sementara itu mengenai alat bukti, Sir Roland Burrows juga mengklasifikasikan pembagian alat bukti menjadi :93 1. Original evidence and unoriginal evidence (bukti asli dan bukti tidak asli); yang dimaksud dengan original evidence adalah alat bukti kesaksian, yaitu saksi yang langsung mengucapkan kesaksiannya di muka persidangan pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan unoriginal evidence adalah keterangan saksi yang dilakukan secara tertulis.94
92
George Whitecross Patton, 1953, A Text Book Jurisprudence, at the clarendon Press, Oxford, second edition, hal. 481 93 Sir Roland Burrows, 1952, Phipson on the law of Evidence, Ninth Edition, Sweet and Maxwell Limited, London, hal. 2-4 94 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.75
105 2. Primary evidence and secondary evidence (bukti primer dan bukti sekunder); Alat bukti primer adalah alat bukti yang diutamakan, sedangkan alat bukti sekunder adalah alat bukti yang baru dibutuhkan jika alat bukti primer tidak ada.95 3. Direct evidence and indirect evidence (bukti langsung dan bukti tidak langsung). yang termasuk dalam direct evidence adalah alat bukti tertulis, kesaksian, sumpah dan pengakuan, sedangkan indirect evidence adalah persangkaanpersangkaan. Akta otentik sebagai alat bukti tertulis mempunyai beberapa kekuatan pembuktian, yaitu :96 1. Kekuatan pembuktian diri Kekuatan pembuktian diri adalah suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta tersebut bukanlah akta otentik dengan membuktikan bahwa akta tersebut: - Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang, atau - Tanda tangan pejabat di dalamnya adalah palsu, atau - Isi yang terdapat di dalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat. 95
Ibid Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.566569 96
106 2. Kekuatan pembuktian formil Kekuatan pembuktian formil dalam partij akta berarti bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam akta keinginan para pihak sebagaimana yang tercantum dalam akta dan untuk akta pejabat ini berarti kebenaran dalam akta tersebut adalah sesuai dengan yang dilihat, didengar dan disaksikannya dalam menjalankan jabatannya tersebut.97 Kebenaran yang tercantum dalam akta tidak hanya sebatas pada keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya tetapi juga kebenaran formil yang dicantumkan mengenai tanggal yang tertera dalam akta, tanggal tersebut harus dianggap benar, berdasarkan kebenaran formil mengenai tanggal maka tanggal pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan hakim. 3. Kekuatan pembuktian materiil Apa yang dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar dan pasti serta menjadi sebagai yang terbukti sah diantara para pihak dan para ahli waris serta penerima hak mereka dengan pengertian : - Bahwa akta itu apabila digunakan dimuka pengadilan adalah cukup; - Bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alatalat pembuktian biasa yang diperbolehkan untuk itu oleh Undangundang. Sifat tertulis suatu perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta tidak membuat sahnya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis tersebut dapat 97
Ikatan Notaris Indonesia Pengurus Wilayah Bali dan NTT, 2010, Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta, Denpasar, hal.57
107 digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari, karena suatu perjanjian harus dapat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri; Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya,98 atau dengan kata lain kesepakatan adalah kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas yang apabila terdapat unsur paksaan, penipuan ataupun kekhilafan, maka perjanjian yang dibuat adalah tidak sah sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang menentukan : “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; Mengenai kecakapan seseorang dalam hukum untuk membuat suatu perjanjian yang dalam Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan bahwa orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : - Orang-orang yang belum dewasa; - Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan; - Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang.
98
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 162
108 Kecakapan bertindak dalam membuat perjanjian tidak hanya berdasar dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata tetapi juga dilihat dari kewenangan seseorang untuk bertindak dalam hukum. Kecakapan dalam bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum, sedangkan dalam kewenangan terkait dengan kapasitas orang tersebut dalam melakukan tindakan hukum.99 Masalah kewenangan bertindak orang-perorangan dalam ilmu hukum dapat dibedakan menjadi :100 - Kewenangan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya sendiri untuk bertindak dalam hukum; - Kewenangan bertindak selaku kuasa pihak lain; - Kewenangan bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain. Atas dasar perbedaan kewenangan bertindak di atas, seseorang yang sudah dinyatakan cakap untuk bertindak dalam hukum belum tentu berwenang atas tindakan hukumnya tersebut begitu juga sebaliknya seseorang yang berwenang melakukan tindakan hukum karena suatu suatu hal akan menyebabkan ia tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. PPAT dalam membuat akta otentik yang penting untuk diperhatikan adalah apakah para pihak yang mengikatkan dirinya tersebut cakap dalam
99
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 127 100 Ibid, hal 127
109 melakukan suatu perbuatan hukum, setelah itu barulah dilakukan pengecekan bahwa para pihak yang mengikatkan dirinya tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dimaksud, misalnya dalam hal ini adalah jual beli, setelah PPAT yakin bahwa para pihak ini cakap, barulah selanjutnya dilihat apakah para pihak wenang untuk melakukan peralihan hak objeknya tersebut. 3.
Suatu hal tertentu; Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang atau jasa yang dapat dinilai dengan uang.101 Mengenai objek perjanjian yang dapat diperjanjikan dalam suatu akta, dalam Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi pokok perjanjian”, ini artinya dalam ketentuan pasal tersebut pokok perjanjian haruslah sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang apabila nantinya terjadi pelanggaran dalam perjanjian tersebut dapat diganti dengan ganti rugi uang atau benda yang dapat dinilai dengan uang. Selain itu dalam Pasal 1333 KUHPerdata juga menentukan “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya”, artinya barang yang diperjanjikan paling tidak dapat ditentukan jenisnya yang dapat ditentukan dengan cara mengukur,
101
Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal.58
110 menimbang, menghitung, menakar, menentukan batas dan menentukan kualitas. Akta PPAT yang berhubungan dengan pertanahan tentu saja objeknya adalah tanah dan satuan rumah susun, dalam menyusun suatu akta harus jelas ditentukan dalam akta tersebut mengenai apa yang diperjanjikan. Dalam hal tanah ataupun satuan rumah susun harus jelas mengenai batasbatas objek, luas objek, letak objek, surat ukur, IMB, Nomor sertipikat. 4.
Suatu sebab yang halal. Sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan. Perjanjian yang tanpa sebab, dibuat karena sebab yang palsu atau sebab yang terlarang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah termasuk ke dalam sebab yang tidak halal.102
Syarat sahnya perjanjian yang mengenai kesepakatan dan kecakapan para pihak adalah merupakan syarat subyektif karena menyangkut mengenai para subyek yang mengadakan suatu perjanjian, sedangkan syarat sahnya suatu perjanjian mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat obyektif karena berkaitan dengan objek yang dijadikan suatu perjanjian. Keharusan untuk memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian akan berhubungan dengan akibat yang akan ditimbulkan apabila akta yang merupakan suatu perjanjian tidak memenuhi ketentuan tersebut, dimana akibat cacatnya akta
102
Ibid, hal.59
111 yang telah dibuat oleh PPAT akan menimbulkan kebatalan yang dapat dibedakan menjadi batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Seorang PPAT dalam membuat akta partij yang telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, baru kemudian melaksanakan kewenangannya membuat akta otentik dengan mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata yang telah dijelaskan diatas berdasarkan kewenangannya sebagai pejabat umum, setelah itu dilanjutkan dengan mengacu pada PP No 37 Tahun 1998 yang merupakan etika PPAT menjalankan tugas jabatannya sebagai Pejabat umum. Akta yang telah sesuai dengan ketentuan mengenai pembuatan akta PPAT telah dipenuhi barulah mengacu pada PP
Nomor 24 tahun 1998 mengenai apa saja yang harus
diperhatikan ataupun dilakukan seorang PPAT agar akta otentik yang dibuatnya dapat digunakan sebagai dasar dalam pendaftaran tanah. Jadi dari penjelasan diatas telah dapat dianalisis bahwa akta PPAT dibuat bukan hanya harus mengacu pada syarat otentik dan sahnya suatu akta saja, akan tetapi akta tersebut juga dibuat karena akta PPAT merupakan dasar untuk dapat dilakukan pendaftaran mengenai peralihan hak atas tanah yang telah dilakukan oleh para pihak. Sehingga untuk dibuatnya akta tersebut juga harus memenuhi aturan-aturan yang telah ditentukan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berkaitan dengan sahnya akta tersebut digunakan untuk pendaftaran tanah dan PP Nomor 37 tahun 1998 yang berkaitan dengan kode etik seorang PPAT.
112 4.2 Kedudukan Akta PPAT dalam Pendaftaran Tanah Setiap hak atas tanah termasuk perubahan dan juga peralihan serta pembebanannya harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tanah tidak hanya dilakukan terhadap tanah-tanah yang belum didaftar tetapi juga dilakukan terhadap tanah-tanah yang sudah didaftar yang telah terjadi perubahan data baik mengenai tanahnya maupun mengenai pemiliknya, dimana perubahan tersebut dapat disebabkan karena adanya peralihan hak, dibebani suatu hak maupun tanah tersebut musnah atau hilang. Dasar hukum dari pendaftaran tanah yang merupakan tugas dari pemerintah ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPA, bahwa : (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kewajiban pendaftaran tanah tidak hanya ditujukan kepada pemerintah sebagai pelaksana tetapi berdasarkan UUPA setiap pemegang tanah juga wajib untuk mendaftarkan tanahnya, maka sebagai tindak lanjut dari perintah Pasal 19 UUPA diatas, dikeluarkanlah PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 dan sebagai peraturan pelaksanannya dikeluarkanlah Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
113 pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.103 Tujuan dari dilaksanakannya pendaftaran tanah berdasarkan pada PP nomor 24 Tahun 1997 dalam Pasal 3 antara lain : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana yang dikatakan oleh Douglass J. Willem adalah merupakan pekerjaan yang berkesinambungan dan konsisten atas hak-hak seseorang atas tanah sehingga nantinya akan memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang didaftarkan, lengkapnya disebutkan :104 The register consists of individual grant, sertificates of folios contained whitin it at anygiven time added to these are documents that may bedeemed to be embodied in the register upon registration. Together these indicated the parcel of land in particular title, the personen entitle to interst there in and the nature and extent of these interests. There are also ancillary register wich assist in the orderly administration of the system such as a parcel index, a
103
Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah 104 Douglass J. Whillan, 1982, The Torren System in Australia, Sydney, hal.18
114 nominal index losting registered proprietors an a day book in wich documents are entered pending final registration. Apabila diterjemahkan maka maksud dari Douglass J. Whillan mengenai pendaftaran tanah adalah : Daftar (register) terdiri dari hibah individu, sertifikat folio yang terkandung di dalamnya pada waktu tertentu ditambahkan ke register ini adalah dokumen yang dapat dianggap dapat dimasukkan ke dalam register setelah pendaftaran. Bersama dengan ini menunjukkan sebidang tanah dalam bentuk tertentu, orang tersebut berhak atas hak di dalamnya sesuai dengan sifat dan tingkat kepentingan tersebut. Ada juga daftar tambahan yang membantu dalam sistem tertib administrasi seperti indeks bidang, indeks nominal yang mencatat daftar pemilik yang terdaftar dalam buku harian di mana dokumen yang dimasukkan menunggu pendaftaran akhir. Sistem pendaftaran tanah yang digunakan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles), yang dapat dilihat dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar, dimana akta yang dibuat oleh PPAT tentang adanya suatu peralihan hak merupakan sumber data dari pendaftaran tanah yang dimaksud.105 Mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997, disebutkan bahwa terdapat 2 (dua) pelaksanaan pendaftaran tanah yaitu : a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap tanah-tanah yang belum pernah di daftar menurut ketentuan peraturan pendaftaran tanah, dalam masyarakat sering disebut dengan pensertipikatan tanah atau pendaftaran tanah karena konversi,
105
Erni Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, hal.177
115 karena pendaftaran tanah ini hak yang akan diberikan kepada pemiliknya berasal dari konversi hak atas tanah yang ada sebelum UUPA.106 b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah Pemeliharaan pendaftaran data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah yang ditujukan bagi tanah yang pernah didaftar akan tetapi kemudian terjadi perubahan-perubahan yang berkaitan dengan tanah tersebut, baik mengenai tanahnya maupun mengenai pemengang haknya. Pemeliharaan data pendaftaran tanah ini meliputi pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, serta pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya,107 dalam pemeliharaan data pendaftaran tanah inilah peran PPAT diperlukan, yaitu apabila terjadi perubahan data pendaftaran tanah yang disebabkan terjadinya perbuatan hukum yang berupa peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Peralihan hak harus diikuti pendaftarannya pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat yang dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya dari akta PPAT yang telah dibuat disamping bahwa akta tersebut memang membuktikan telah terjadi peralihan hak atas tanah yang dilakukan serta sahnya peralihan hak tersebut. Tata usaha PPAT sifatnya tertutup untuk umum, sehingga pembuktian peralihan hak atas tanah berlakunya hanya sebatas antara para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan, untuk itu agar orang lain juga mengetahui bahwa terjadi peralihan hak perlu untuk didaftarkan yang nantinya akan akan memperoleh alat 106 107
Ibid, hal.180 Ibid hal. 183
116 bukti yang kuat berupa sertipikat atas nama penerima hak yang mempunyai kekuatan hukum terhadap pihak ketiga, ini dikarenakan tata usaha pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan mempunyai sifat terbuka untuk umum. Salah satu bentuk peralihan hak atas tanah yang akan penulis gunakan dalam membahas kedudukan akta yang dibuat PPAT dalam pendaftaran tanah adalah melalui jual-beli. Dengan dilakukannya jual-beli di hadapan PPAT maka akan dipenuhi syarat terang yaitu melakukan suatu perbuatan hukum tidak secara sembunyi-sembunyi. Akta jual-beli antara para pihak akan membuktikan bahwa telah terjadi peralihan hak antara penjual kepada pembeli disertai dengan pembayaran harga (dipenuhi syarat tunai) yang membuktikan secara nyata perbuatan hukum jual-beli para pihak telah dilaksanakan. Selain itu pentingnya perbuatan hukum dicatatkan dalam suatu perjanjian juga dikemukakan oleh Judith Law yang mengatakan essentials for the contract for sale :108 1. The Contract for sale of land must be in writing; 2. It must contain all the terms of the agreement; 3. It must be sign by both the parties. Apabila diterjemahkan, maksud dari Judith Law mengenai hal yang penting untuk perjanjian jual-beli adalah : 1. Perjanjian jual-beli tanah harus tertulis; 2. Harus berisikan semua ketentuan perjanjian; 3. Harus ditandatangani oleh kedua belah pihak.
108
hal.89
Judith Bray, 2010, Unlocking Land Law, Hodder Education, British,
117 Terdapat dua syarat jual beli tanah yaitu syarat materiil dan syarat formil, yaitu :109 1. Syarat materiil Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual-beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut : a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan yang berhak menjual suatu bidang tanah adalah pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut sebagai pemilik., apabila pemilik dari sebidang tanah tersebut hanya seorang maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu, tetapi apabila pemilik sebidang tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual adalah kedua orang itu secara bersama-sama.110 c. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak dalam sengketa
109
Adrian Sutedi, Op.cit, hal.77-78 Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.2 110
118 Mengenai tanah-tanah hak apa saja yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 28 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 35), Hak Pakai (Pasal 41). 2. Syarat formil Setelah semua syarat materiil dipenuhi maka PPAT akan membuatkan akta jual-beli terhadap bidang tanah yang dijadikan objek perjanjian. Maka dari itu untuk mewujudkan suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997 telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT,111 jadi yang dimaksud syarat formil disini adalah meliputi akta yang menjadi bukti perjanjian jual-beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut. Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual-beli. Jual-beli tersebut masih bisa dibuktikan dengan alat pembuktian lainnya, tetapi dalam sistem pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 pendaftaran peralihan hak atas tanah hanya dapat dilakukan apabila dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Orang yang melakukan jual-beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat hak atas tanah walaupun jual-beli yang dilakukan sah menurut hukum.112
111
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Hukum tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hal.23 112 Adrian Sutedi, Op.cit, hal.79
119 Sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat yang artinya keteranganketerangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus dianggap sebagai keterangan yang benar, selama tidak terdapat alat pembuktian lainnya yang membuktikan sebaliknya sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997. PPAT bertugas untuk membuat, mencatat dan melaporkan setiap akta yang dibuatnya supaya terjadi koordinasi dan pengawasan terhadap setiap bidang tanah yang akan beralih haknya kepada orang lain, dengan adanya pencatatan dan pengawasan yang dilakukan Kantor Pertanahan dengan dibantu oleh PPAT maka setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tersebut dapat dikontrol dan diawasi. Pendaftaran tanah bukan merupakan syarat terjadinya peralihan hak karena pada dasarnya peralihan hak atas suatu tanah sudah terjadi setelah dilakukan jualneli di hadapan PPAT, dengan demikian jual beli tanah telah sah dan selesai dengan pembuatan akta PPAT dan akta PPAT tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi jual-beli yakni bahwa pembeli telah menjadi pemiliknya dan pendaftaran peralihan hak di Kantor Agraria bukanlah merupakan syarat bagi sahnya transaksi jual-beli tanah dan pendaftaran hanya berfungsi untuk memperkuat pembuktiannya terhadap pihak ketiga atau umum.113 Memperkuat pembuktian maksudnya adalah memperkuat pembuktian mengenai telah terjadinya jual-beli dengan dicatatkan pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah, sedangkan memperluas pembuktian adalah untuk memenuhi asas publisitas, dimana asas publisitas pendaftaran tanah yaitu setiap orang dapat
113
Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal.84
120 mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah, dan data yuridis berupa subyek hak, status hak, dan peralihan hak atas tanah yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan. Terdapat beberapa tahapan dalam peralihan hak atas tanah melalui jual beli agar akta yang dibuat dapat dijadikan dasar pendaftaran tanah yaitu persiapan jual-beli, pembuatan akta dan pendaftaran akta ke Kantor Pertanahan: - Pertama, persiapan pembuatan akta; Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual-beli hak atas tanah, PPAT wajib melakukan pemeriksaan terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan setempat untuk mengetahui kesesuaian sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan memperlihatkan sertipikat aslinya. Alasan pemeriksaan ini wajib dilakukan agar tidak terjadi transaksi jual-beli dengan menggunakan sertipikat palsu atau sertipikat ganda atau sertiikat asli tapi palsu yang dilakukan untuk menghindari terjadinya penipuan dalam transaksi tanah dimana pihak penjual bukan merupakan pihak yang mempunyai kewenangan untuk perbuatan hukum yang dimaksud (hal ini berkaitan dengan kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian). Sebelum dibuatkan akta, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan :114 a. bahwa yang bersangkutan dengan peralihan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan peraturan perundnagundangan yang berlaku;
114
Erna Sri Wibawanti dan Murjiyanto, Op.cit, hal.168
121 b. bahwa yang bersangkutan dengan peralihan hak atas tanah tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi objek landreform; d. bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya apabila pernyataan a dan b tidak benar. Tidak semua transaksi mengenai jual-beli dibuatkan aktanya oleh PPAT, dalam keadaan dan dalam hal tertentu PPAT harus menolak pembuatan akta jual-beli hak atas tanah berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam pasal 39 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, yaitu antara lain : a. penjual tidak menyerahkan sertipikat hak atas tanah tersebut atau jika sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar yang ada di kantor pertanahan atau dengan perkataan lain sertipikat hak atas tanah diragukan keasliannya atau patut diduga sebagai sertipikat palsu; b. salah satu atau kedua belah pihak tidak berwenang melakukan jual-beli tanah tersebut, misalnya hak atas tanah yang hendak dijual bukan milik penjual, atau saksi yang akan menandatangani akta tidak berhak dan tidak memenuhi syarat untuk bertindak dalam jual-beli; c. salah satu atau kedua belah pihak, terutama pihak penjual, bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum peralihan hak. Dimana surat kuasa mutlak telah dilarang berdasarkan PP ini untuk digunakan sebagai dasar dilakukannya jual-beli; d. syarat adanya ijin untuk melakukan jual-beli tidak dipenuhi padahal terdapat keharusan adanya ijin dari pejabat yang berwenang untuk mengalihkan hak atas tanah bersangkutan; e. pembuatan akta jual-beli tidak boleh dilakukan jika objek jual-beli yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau data yuridis, terutama jika sengketa tersebut telah masuk ke pengadilan sebagai akibat adanya gugatan dari pihak lain; f. pembuatan akta jual-beli tanah tidak boleh dilakukan jika tidak dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan atau dilanggar larangan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
122
Menurut penulis, tahapan dalam persiapan pembuatan akta peralihan hak ini berkaitan dengan sahnya suatu perjanjian yang telah ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata karena PPAT dalam tahap ini lebih memastikan apakah suatu akta dapat dibuat atau tidak. -
Kedua, pembuatan dan penandatanganan akta; Setelah semua persyaratan dan ketentuan dalam persiapan pembuatan akta dipenuhi, maka kemudian dilanjutkan dengan tahap pembuatan dan penandatangan akta jual-beli oleh PPAT. Pembuatan akta jual-beli harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana surat kuasa bagi penjual harus dengan akta notaris sedangkan surat kuasa pembeli boleh dibuat dengan akta di bawah tangan.115 Pada saat penandatanganan akta jual-beli di hadapan PPAT, di samping ditandatangani oleh PPAT dan kedua belah pihak juga harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Saksi-saksi tersebut memberi kesaksian mengenai kehadiran para pihak ataupun kuasanya, adanya dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum oleh para pihak yang bersangkutan, sebelum akta ditandatangani, PPAT wajib
115
Andy Hartanto, 2009, Problematika Hukum Jual-beli Tanah belum Bersertifikat, laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal.62
123 membacakan isi akta kepada para pihak dan memberikan penjelasan mengenai maksud dan isi pembuatan akta, dan prosedur dalam melakukan pendaftaran tanah. Analisis penulis mengenai tahapan ini adalah berkaitan dengan kewajibankewajiban PPAT dalam membuat akta peralihan hak atas tanah yang berkaitan dengan kode etik, selain itu dalam pembuatan akta yang tujuan dibuatnya adalah digunakan sebagai alat bukti untuk memastikan suatu peristiwa hukum PPAT harus menuangkan/mengkonstatuir perbuatanperbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak memuat rumusan-rumusan yang dapat menimbulkan sengketa karena tidak lengkap ataupun tidak jelas dan apa yang ingin dibuktikan itu diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat. -
Ketiga, pendaftaran akta peralihan hak atas tanah. Setelah akta tersebut ditandatangani, tahap selanjutnya adalah pendaftaran akta jual-beli tersebut. Telah ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1), PPAT dalam menyampaikan akta jual-beli dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan dalam jangka waktu paling lambat 7(tujuh) hari kerja sejak penandatanganan akta dilakukan. Dalam pengajuan pendaftaran akta jual-beli untuk keperluan dilakukan balik nama dari penjual ke pembeli, terdapat dokumen yang harus dilampirkan yaitu : a. Surat permohonan pendaftaran pemindahan hak yang ditandatangani oleh penerima hak (pembeli) atau kuasanya; b. Surat kuasa tertulis penerima hak (pembeli) apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran pemindahan hak bukan penerima hak (pembeli),
124
c.
d. e. f. g. i. j.
demikian pula jika yang mengajukan permohonan pendaftaran adalah PPAT atau pegawai PPAT maka harus disertai dengan surat kuasa; Akta jual-beli yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta tersebut PPAT bersangkutan masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan; Fotocopy identitas dari pihak yang mengalihkan hak (penjual); Forocopy identitas dari pihak yang menerima hak (pembeli); Sertipikat hak atas tanah asli yang dialihkan (dijualbelikan); Izin pemindahan hak dari pejabat yang berwenang apabila diharuskan adanya ijin untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut; Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dalam hal bea tersebut terutang; Bukti pelunasan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
Setelah permohonan pendaftaran diperiksa oleh kantor Pertanahan dan dokumen-dokumen yang diperlukan dinilai sudah lengkap, kemudian kantor Pertanahan akan memberikan tanda penerimaan. PPAT memberitahukan kepada penerima hak (pembeli) bahwa permohonan dan dokumen yang diperlukan sudah diserahkan pada Kantor Pertanahan setempat, dalam hal peralihan hak atas tanah yang belum terdaftar, maka akta PPAT yang bersangkutan dijadikan alat bukti dalam pendaftaran pertama hak tersebut atas nama pemegang hak terakhir. 116 Berdasarkan penjelasan di atas, kedudukan akta PPAT dalam pendaftaran tanah khususnya dalam pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah sebagai bukti yang sah bahwa benar telah terjadi peralihan hak maupun pembebanan suatu hak terhadap objek. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan hukum dan jaminan kepastian hukum.
116
Yamin Lubis dan Rahim Lubis, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, hal.491
125 4.3 Tanggung Jawab Camat Sebagai PPAT Sementara Terhadap Akta Yang Dibuatnya Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab III di depan, bahwa keberadaan camat selaku PPAT Sementara adalah tidak sah karena secara yuridis pengangkatannya sebagai PPAT Sementara adalah cacat hukum serta tidak mempunyai dasar hukum dengan mendasarkan pada teori hierarki norma hukum yang membawa konsekuensi hukum/akibat hukum pada produk hukumnya yakni akta PPAT, menjadi tidak otentik. Sudikno Mertokusumo dalam hal ini juga mengatakan bahwa suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa adanya kewenangan dan kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, maka tidaklah dianggap sebagai suatu akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.117 Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam kaitannya dengan menjawab masalah kedua dari tesis ini, yaitu tentang tanggung jawab camat sekalu PPAT Sementara terhadap akta yang dibuatnya, maka dapat dipaparkan sebagai berikut, bahwa Camat diangkat menjadi PPAT Sementara hanya apabila formasi PPAT dalam suatu daerah belum mencukupi, ini berarti dalam daerah tersebut camat dipercaya untuk membantu masyarakat di wilayahnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dari peralihan hak yang telah mereka lakukan. Sehingga camat harus mengerti apa-apa saja yang perlu disiapkan atau yang diperiksa sebelum membuat suatu akta karena apabila satu saja syarat dalam pembuatannya
117
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 120
126 diabaikan oleh camat akan menimbulkan akibat hukum yang dapat merugikan para pihak. Selain itu, kedudukan camat sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugasnya sebagai PPAT Sementara berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 yang diberikan kewenangan untuk membuat otentik harus mengikuti kewajiban dan larangan jabatan PPAT. Kesalahan maupun kelalaian camat dalam membuat akta PPAT akan mengakibatkan antara lain terdegradasinya akta tersebut sebagai alat pembuktian yang kuat dan terpenuh serta batalnya akta tersebut. Degradasi dalam kamus bahasa Indonesia mempunyai arti penurunan, tentang pangkat, mutu, moral dan sebagainya, kemunduran, kemerosotan atau dapat juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih rendah.118 Berkaitan dengan alat bukti, suatu akta PPAT yang merupakan akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan memiliki kekuatan mengikat, ini artinya dalam suatu perkara perdata apabila salah satu pihak mengajukan akta otentik maka hakim harus menerima dan menganggap benar apa yang tertulis dalam akta otentik tersebut. Tetapi akta otentik dapat mengalami penurunan mutu yang kekuatannya akan menjadi akta dibawah tangan dan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sempurna lagi yang menyebabkan terjadinya kebatalan atau ketidak absahan akta tersebut. Degradasi suatu akta dapat terjadi apabila dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat-syarat berdasarkan peraturan yang berlaku, salah satu diantaranya diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan bahwa agar
118
Daryanto, S.S, Op.cit hal. 158
127 suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai akta otentik maka harus dipenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu : a. Akta itu harus di buat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum; b. Akta itu harus di buat dalam bentuk yang di tentukan oleh Undang-undang; c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut di buat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Dalam membuat suatu akta, PPAT diberi wewenang untuk menuangkan semua perbuatan dan perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak atau pihakpihak yang sengaja datang kehadapan PPAT untuk mengkonstatir keteranganketerangan tersebut dalam suatu akta otentik, dalam membuat akta tersebut PPAT wajib memenuhi semua ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT serta ketentuan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah. Kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan dalam membuat akta peralihan hak atas tanah berlaku juga untuk Camat selaku PPAT Sementara hanya saja akta yang dibuatnya bukan sebagai akta otentik melainkan sebagai akta di bawah tangan karena menyangkut dengan kewenangannya sebagai pejabat umum yang tidak sah. Oleh karena kewenangan camat sebagai PPAT Sementara adalah tidak memenuhi syarat pengangkatan sebagai pejabat umum maka terhadap akta yang dibuat oleh camat akan kehilangan sifat keotentikannya tetapi sebagai akta dibawah tangan, akta tersebut tetap sah dan mengikat. Dalam Pasal 1869
128 KUHPerdata menentukan bahwa suatu akta tidak memiliki akta otentik dan hanya memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan dalam hal :119 a. Pejabat umum tidak berwenang untuk membuat akta tersebut; b. Pejabat umum tidak mampu atau tidak cakap untuk membuat akta tersebut; c. Cacat dalam bentuknya. Pasal di atas mengandung arti bahwa apabila suatu akta di buat oleh pejabat yang tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk itu dan di buat dalam bentuk yang cacat, maka akta tersebut akan mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan sepanjang akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Camat sebagai PPAT Sementara tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya apabila akta yang dibuatnya menjadi akta di bawah tangan jika menyangkut tentang kewenangannya sebagai pejabat umum, tetapi apabila akta yang dibuat oleh camat sebagai PPAT Sementara menimbulkan kerugian bagi para pihak akibat dari cacat dari bentuknya, barulah camat tersebut dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Mulai berlakunya degradasi kekuatan pembuktian akta camat menjadi akta di bawah tangan karena cacat hukum dibuktikan setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, artinya selama belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka akta tersebut tetap dianggap sah dan mengikat para pihak, ahli waris dan orangorang yang mendapatkan hak daripadanya.120
119
N.G Yudara, 2006, Pokok-pokok Kajian Bahasan di Seputar Kedudukan Akta PPAT Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Otentik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.64-65 120 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal.130
129 Selain menyangkut mengenai kewenangannya sebagai pejabat umum, kriteria suatu akta camat mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan sepanjang akta tersebut ditandatangani oleh para pihak : -
Akta yang dibuat oleh camat melanggar ketentuan Pasal 22 PP Nomor 37 Tahun 1998 bahwa akta PPAT harus dibacakan atau paling tidak dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri sekurang-kurangnya 2(dua) orang saksi sebelum ditandatangani saat itu juga oleh para pihak, para saksi dan PPAT. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikatakan cacat dalam bentuknya karena tidak memenuhi aspek formal suatu akta.
-
Pelanggaran Pasal 23 PP Nomor 37 Tahun 1998 bahwa adanya pelarangan seorang PPAT untuk membuat akta untuk dirinya sendiri, suami ataupun istrinya, keluarga yang sedarah maupun semenda dalam garis lurus tanpa adanya batasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua. Ini berkaitan dengan netralitas seorang PPAT yang tidak memihak salah satu pihak dalam pembuatan suatu akta otentik. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dimasukkan dalam pejabat umum tidak berwenang untuk membuat akta. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh camat dalam membuat
suatu akta peralihan hak atas tanah yang cacat hukum dapat mengakibatkan akta tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai sahnya suatu perjanjian yang apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan akta tersebut cacat hukum yang artinya akta tersebut dapat batal atau dapat dibatalkan. Syarat adanya
130 suatu kesepakatan dan kecakapan membuat suatu perjanjian merupakan syarat subjektif yang apabila dilanggar maka aktanya dapat dibatalkan, artinya para pihak yang terkait dengan akta tersebut dapat mengajukan pembatalan atas akta yang dibuat di hadapan camat selaku PPAT Sementara. Pembatalan dapat diminta oleh salah satu pihak apabila : dalam pembuatan akta tidak adanya kesepakatan bebas dari pihak yang bersangkutan baik itu karena kekhilafan, penipuan ataupun paksaan; dan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak cakap maupun tidak wenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan dilakukannya pembatalan maka semua kebendaan dan orang-orang dipulihkan keadaannya sama seperti keadaan sebelum perjanjian tersebut dibuat, sebaliknya suatu akta dapat dikatakan batal demi hukum apabila dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat objektif dari sahnya suatu perjanjian yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Berdasarkan penjelasan di atas, camat dapat dimintakan pertanggung jawabannya apabila akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya cacat hukum yang dapat mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan, maka berdasarkan teori tanggung jawab yang digunakan dalam landasan teori penulisan tesis ini, tanggung jawab seorang Camat sebagai PPAT Sementara berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah tanggung jawab pribadi atau fautes de personales, sehingga camat harus bersedia menanggung tanggung gugat dari perbuatan melawan hukumnya tersebut. Berkaitan
dengan
tanggung
jawab,
PPAT
dalam
melaksanakan
kewenangannya membuat akta peralihan hak atas tanah apabila melanggar
131 ketentuan-ketentuan yang dalam Peraturan Jabatan PPAT akan dikenakan sanksi administratif seperti yang ditentukan dalam Pasal 28 PKBPN Nomor 1 Tahun 2006, dimana PPAT sebagai pejabat umum dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya ataupun diberhentikan secara tidak hormat sebagai pejabat umum. Bentuk sanksi administratif yang dikenakan berupa : 1. Dalam hal diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : a. Permintaan PPAT itu sendiri; b. PPAT tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai PPAT karena keadaan kesehatan badan setelah diadakan pemeriksaan oleh tim pemeriksa kesehatan; c. PPAT tersebut melakukan tindakan ringan terhadap kewajiban dan larangan sebagai PPAT yang meliputi : - Memungut uang jasa tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; - Tidak menyampaikan laporan bulanan yang menjadi kewajibannya; 2. Dalam hal diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya dengan alasan: a. PPAT tersebut melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan sebagai PPAT yang meliputi : - Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; - Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; - Melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya; - Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; - Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
132 - Pembuatan akta PPAT dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai dengan peraturan perundangundangan tidak hadir di hadapannya; - Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta; - PPAT tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang dibuatnya; - PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hukuman kurungan atau penjara minimal 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. Melanggar kode etik profesi. Berbeda dengan camat, yang apabila dalam melakukan tugasnya membuat akta peralihan hak atas tanah menyebabkan akta tersebut cacat hukum, tidak dapat dikenakan sanksi yang sama dengan PPAT, Ini dikarenakan kewenangan camat sebagai pejabat umum dalam membuat akta peralihan hak atas tanah adalah tidak sah. Berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum, seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara tanggung gugat dari kesalahan ataupun kelalaian yang menyebabkan orang lain mengalami kerugian, dalam hal camat melakukan perbuatan melawan hukum, bentuk pertanggungjawabannya adalah dengan menerima sanksi perdata. Bentuk dari sanksi perdata ini adalah penggantian biaya, bunga dan ganti rugi. Camat sebagai PPAT Sementara dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa akta yang dibuatnya cacat hukum berdasarkan
133 putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa akta tersebut cacat hukum. Sanksi keperdataan adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang terjadi karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).121 Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga yang akan diterima oleh camat dari gugatan para pihak apabila akta peralihan hak atas tanah hanya mempunyai pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta batal demi hukum. Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga dapat digugat kepada camat dengan mendasarkan pada suatu hubungan hukum antara camat dan para pihak yang menghadap, apabila ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari akta peralihan hak yang dibuat oleh camat, maka yang bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap camat. Mengenai akta peralihan hak atas tanah, dalam sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa jangka waktu dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah 7 (tujuh) hari dari dilakukannya penandatanganan akta oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Jadi, apabila akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh camat menimbulkan akibat hukum, langkah yang dapat dilakukan para pihak adalah : 1. Apabila akibat hukum akta tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum maka dalam waktu belum 7 (tujuh) hari atau sebelum permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara, pembuatan akta pembatalan dapat dilakukan dengan datang
121
Ibid, hal. 195
134 kembali ke kantor PPAT Sementara yang bersangkutan. Dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat para pihak lagi dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut; 2. Apabila setelah dilakukan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah baru diadakan pembatalan maka penyelesaiannya adalah melalui pengadilan umum karena akta PPAT bukan termasuk Keputusan TUN tetapi dalam hal belum diterbitkannya sertipikat hak atas nama pembeli. Apabila sertipikat sudah di balik nama maka penyelesaiannya melalui Peradilan TUN karena sudah termasuk dalam kewenangan BPN, dimana BPN berwenang untuk melakukan pembetulan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembuatan akta peralihan hak atas tanah berkaitan dengan apakah PPAT Sementara mengerti nilai-nilai dan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari pembuatan akta tersebut. Mungkin saja Camat selaku PPAT Sementara telah menganggap bahwa akta yang dibuatnya telah sah apabila para pihak telah sepakat, masing-masing pihak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, serta terdapat objek dan kausa yang diperbolehkan, tetapi sebenarnya masih banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi, jangankan Camat yang hanya sementara menjabat sebagai PPAT, Notaris yang menjadi PPAT pun dapat melakukan kesalahan-kesalahan dalam pembuatan akta yang disebabkan kurangnya
135 pengetahuan dan kurangnya pengalaman. Inilah alasan pentingnya dalam penunjukannya PPAT maupun PPAT Sementara tidak dibedakan dalam pengangkatannya. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan dengan sengaja maupun dengan kelalaian yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan kurangnya pengalaman itulah yang bisa mengakibatkan akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum baik itu terdegradasi atau dapat dibatalkan/batal demi hukum. maka dari kesalahan-kesalahannya tersebut tanpa terkecualikan seorang camat-pun dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Mengenai batasan seorang PPAT maupun PPAT Sementara juga masih dalam perdebatan. Menyangkut batasan PPAT Sementara dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 27 ayat (2) menentukan : “PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara menyerahkan protokol kepada PPAT Sementara yang menggantikannya”. Dari ketentuan pasal tersebut tersirat bahwa meskipun camat tidak menjabat lagi sebagai PPAT Sementara pertanggung jawaban yang ditanggung tidak mengenal batas waktu, tetapi ketentuan ini dianggap menimbulkan ketidak adilan karena bagaimana bisa seorang yang sudah tidak menjabat lagi dikenakan sanksi sebagai bentuk pertanggung jawabannya. Batasan tanggung jawab camat sebagai PPAT Sementara adalah selama camat tersebut masih menjabat sebagai PPAT Sementara di kecamatan yang dipimpinnnya, apabila camat tersebut berpindah tugas ke kecamatan lainnya dan ditunjuk lagi sebagai PPAT Sementara dengan SK penunjukan yang baru dia tidak dapat lagi dimintai pertanggung jawaban hukum dalam daerah kewenangannya yang terdahulu.
136 Walaupun akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh camat tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik, tetapi akta tersebut masih mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat sebagai akta di bawah tangan, apabila akta yang dibuat oleh camat digugat di pengadilan sedangkan camat tersebut tidak dalam wilayah kewenangannya lagi, maka hakim harus mempercayai bahwa akta tersebut dibuat berdasarkan dengan apa yang sesungguhnya karena pada dasarnya camat harus membuat akta berdasarkan apa yang dikehendaki oleh para pihak. Jadi dari penjelasan di atas penulis dapat memberikan masukan untuk akta camat yang dibuat dapat terhindarkan dari degradasi akta apabila dalam menjalankan kewenangan itu seorang camat : -
Membuat akta peralihan hak atas tanah dalam wilayah kerjanya yaitu hanya terbatas dalam wilayah kecamatan yang dipimpinnya;
-
Akta tersebut dibuat saat camat masih dinyatakan aktif dalam menjalankan tugas sebagai PPAT Sementara, maksudnya adalah camat tersebut tidak sedang masa cutinya;
-
Akta PPAT yang dibuat oleh camat sesuai dengan kepentingan untuk siapa akta tersebut dibuat.
137 BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari seluruh uraian pembahasan dalam penulisan tesis ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Proses pengangkatan camat selaku PPAT Sementara yang secara yuridis normative mengandung kekurangan dari tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 mengenai syarat pengangkatan PPAT dan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 mengenai PPAT diangkat oleh Menteri serta ketentuan larangan jabatan PPAT telah menempatkan pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara berpotensi cacat hukum. Hal ini didukung pula oleh adanya SK pengangkatan camat yang dikeluarkan oleh Kanwil BPN berdasarkan Pasal 19 PKBPN tidak mempunyai dasar hukum yang sejajar dengan seorang PPAT yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, sehingga mengandung konsekuensi hukum pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, menjadi tidak terpenuhi. Berdasarkan fakta hukum di atas, maka akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh camat sebagai PPAT Sementara tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik. 2. Tanggungjawab camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum yaitu mengakibatkan kebatalan suatu akta dimana akta tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan, sesuai dengan teori pertanggungjawaban hukum
138 adalah merupakan tanggungjawab pribadi (fautes de personalles) dalam hal camat bertindak tidak menurut aturan-aturan yang berlaku. Camat dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila dapat dibuktikan telah melakukan suatu perbuatan hukum dalam membuat akta yang merugikan para pihak. Bentuk pertanggungjawaban camat yang telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah dikenakan sanksi perdata atau tanggung gugat yang berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.
5.2 Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas terhadap wewenang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah adalah sebagai berikut : 1. Disarankan kepada BPN-RI agar dalam pengangkatan camat sebagai PPAT Sementara tidak terdapat perbedaan dengan pengangkatan PPAT baik syarat-syarat maupun SK yang dikeluarkan karena dengan adanya perbedaan seperti saat ini menjadi tidak jelas apakah camat masih diangkat secara eks officio atau tidak, agar camat dapat menjalankan kewenangan sah secara hukum. 2. Disarankan kepada camat yang telah diangkat sebagai PPAT Sementara untuk lebih memahami syarat sahnya suatu perjanjian dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah agar sesuai dengan tugasnya sebagai PPAT Sementara yang membantu masyarakat dalam mendapatkan jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah.
139 DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Adjie, Habib, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2007, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Rafika Aditama, Surabaya. Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group. Ali, Zainudin, 2006, filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Artadi, Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. Bray, Judith, 2010, Unlocking Land Law, Hodder Education, British. Burrows, Sir Roland, 1952, Phipson on the law of Evidence, Ninth Edition, Sweet and Maxwell Limited, London. Curzon, L.B, 1999, Land Law, seventh edition, Pearson Education Limited, Great Britain. Daryanto,s.s, 1997, Kamus Bahasa Indonesia, Apollo Lestari, Surabaya. Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Hukum tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung.
140 Effendi, Lutfi 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang. Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara atas Tanah, Kreasi Total Media, Yogyakarta. Fuady, Munir, 2010, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra aditya Bakti, Bandung. Harahap, Yahya, 2005, Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. Harsono, Boedi 2007, Hukum Agraria Nasional, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Hartanto, Andy, 2009, Problematika Hukum Jual-beli Tanah belum Bersertifikat, laksbang Mediatama, Yogyakarta. Hutagalung, Arie S, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. Ikatan Notaris Indonesia Pengurus Wilayah Bali dan NTT, 2010, Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta, Denpasar. Indrati, Maria Farida, 1996, Ilmu Perundang-undangan jenis, fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Jakarta. Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2011, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Lubis, Yamin dan Rahim Lubis, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung. Mansyur, M. Cholil, 1981, Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Usaha Nasional, Surabaya Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdul Kadir 1994, Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
141
_______, 1991, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muin Fahmal, H.A, 2006, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta. Murhaini, Suriansyah, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, Laksbang Justitia, Surabaya. Parlindungan, A.P, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung. Patton, George Whitecross, 1953, A Text Book Jurisprudence, at the clarendon Press, Oxford, second edition. Perangin, Effendi, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar. Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Salam, Dharma Setyawan, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta. Saleh, K. Wantjik, 1985, Hak Anda Atas Tanah, Cetakan kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta. Salim, HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada media Grup, Jakarta. _______, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta. Satjipto, Raharjo, 2013, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
142 Shidarta, Arief, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, PT Refika Aditama, Bandung. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Hukum, UI Press, Jakarta. Soemitro, Romy Hanintijo, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalis, Jakarta. Soendjendro, J. Kartini, 2002, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. Supriadi, 2010, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta. Thamrin, Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Whillan, Douglass J, 1982, The Torren System in Australia, Sydney. Wibawanti, Erna sri dan R. Murjiyanto, 2013, Hak-hak Atas Tanah dan Peralihannya, Liberty, Yogyakarta. Yudara, N.G, 2006, Pokok-pokok Kajian Bahasan di Seputar Kedudukan Akta PPAT Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Otentik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. II. Majalah Harsono, Boedi, 2007, PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI No 844.IV, Jakarta. Winarsi, Sri, 2002, Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum, majalah YURIDIKA Vol.17 No 2, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
143 III. Internet Anonim, diakses tanggal 15 Desember 2013, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau
Teori
Stufenbau,
Astiti rahayu, diakses tanggal 24 Maret 2013, Metode dan Desain Penelitian, http://astitirahayui.wordpress.com/2012/05/15/metodologi-penelitian Moh. Nashirudin, diakses tanggal 11 Agustus 2013, Interpretasi Hukum (Menuju Penafsiran Hukum Yang Berkeadilan), http://sofianasma.wordpress.com/ 2010/12/6/interpretasi-hukum-menuju-penafsiran-hukum-yang-berkeadilan/ Nin Yasmine Lisasih, diakses tanggal 20 September 2012, Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum, http://ninyasmine.wordpress.com/2012/05/31/ perbuatan_melawan_hukum Sonny Pungus, diakses tanggal 10 Juni 2013, Teori Pertanggungjawaban, http://Sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban.html
IV. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Prof.R. Subekti, S.H. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ke Dua Atas Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079. Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
144 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4826. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.