BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Era globalisasi ekonomi di Indonesia pada saat ini sangat berpengaruh bagi
pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas bisnisnya, karena para pelaku usaha belum siap menghadapi proses penyertaan kedalam ruang lingkup aktivitas bisnis tersebut, apalagi krisis ekonomi yang melanda dunia pada saat ini seperti juga pernah terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, yang menimbulkan kerusakan pada aktivitas bisnis, dan mengakibatkan potensi kegagalan pembayaran utang, kegagalan pelaksanaan proyek, pembatalan kesepakatan berinventasi, kegagalan pemenuhan produksi dan distribusi yang semuanya mengarah pada kewenangan bagi pihak-pihak yang dirugikan untuk meminta ganti rugi. Dalam kedaan seperti ini, para pelaku usaha berkeinginan untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya tersebut dapat diselesaikan secara serta merta, dengan waktu yang singkat dan dengan mengeluarkan biaya yang serendah mungkin. Satu-satunya pintu yang dapat ditempuh atas penyelesaian tersebut adalah melalui jalur upaya hukum, yaitu dengan mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga. Berbicara tentang Pailit, maka tidak terlepas dari peranan Advokat, karena pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga harus dilakukan oleh Advokat. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat
1
2
UUK-PKPU) menyebutkan “Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207 dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat.” 1 Dalam Pasal 6 ayat (1) UUK-PKPU secara tegas menyebutkan “Permohonan Pernyataan Pailit diajukan ke Ketua Pengadilan”. 2 Pengadilan yang dimaksudkan oleh pasal tersebut adalah Pengadilan Niaga yang sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1 ayat (7) UUK-PKPU yang berbunyi “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.” 3 Dalam penanganan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak terlepas dari bukti awal yang dimiliki oleh Pemohon Pailit, apakah alat-alat bukti yang dimiliki oleh Pemohon Pailit tersebut sudah merupakan bukti yang membuktikan berdasarkan fakta dan keadaan hukum yang bersifat sederhana, sesuai dengan apa yang dimaksud bunyi Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang berbunyi “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. Didalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan bahwa fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar”. 4
1
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor.131. 2 Ibid, Pasal 6 ayat (1). 3 Ibid, Pasal 1 ayat (7) . 4 Penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004, Pasal 8 ayat (4).
3
Pembuktian secara sederhana adalah yang lazim disebut pembuktian secara sumir. Secara sumir ialah bila dalam mengambil keputusan itu tidak diperlukan alatalat pembuktian seperti diatur dalam Buku keempat KUHPerdata, cukup bila peristiwa itu terbukti dengan pembuktian yang sederhana 5. Masalah pembuktian adalah masalah hukum yang utama di pengadilan khususnya pada Pengadilan Niaga. Peran pembuktian dalam suatu proses hukum di Pengadilan Niaga sangatlah penting, karena keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Niaga selalu dan terfokus kepada alat-alat bukti formal yang terungkap dipersidangan, Hal ini disebabkan hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan perkara-perkara niaga adalah hukum acara perdata sesuai dengan bunyi Pasal 299 UUK-PKPU, yang menyebutkan “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata”. 6 Sistem pembuktian yang dianut hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran 7. Dalam bidang hukum perdata, yang dicari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya (materil), bahkan suatu kebenaran yang bersifat
5
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta : PT Sofmedia, 2010), hal.70. Pasal 299 Undang-undang No. 37 Tahun 2004. 7 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset), 2005, hal. 498. 6
4
“kemungkinan” (probable) saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam peraktik. 8 Kenyataannya dalam peraktik di Pengadilan Niaga tidaklah seindah yang dilukiskan oleh hukum, karena peranan alat bukti adalah salah satu faktor penting yang dimiliki oleh Pemohon Pailit untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga. Hakim Niaga sangat sensitif dan tajam dalam memberikan penilaian pada setiap pertimbangan hukum keputusannya. Batasan tentang pembuktian yang sederhana tidak secara tegas disebutkan didalamUndang-undang Pailit, sehingga kewenangan Hakim Pengadilan Niaga sangat besar tanpa batasan yang jelas diberikan oleh Undang-Undang. Berkaitan dengan pembuktian, didalam UUK-PKPU tidak ada mengaturnya. Sesuai dengan Pasal 299 dipergunakanlah HIR dan RBG, kecuali apabila telah ada undang-undang yang khusus mengatur hal tersebut. 9 Namun, apabila diperhatikan Pasal 42 dan Pasal 44 UUK-PKPU, diatur mengenai Asas Beban Pembuktian Terbalik (Omkering Van Bewijstlast), artinya bahwa yang mendalilkan wajib membuktikan dalilnya tersebut apabila dalilnya disangkal. 10 Menurut Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR yang disebut sebagai bukti, yaitu : “bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah.” 11
8
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), 2006, hal.3. Sunarmi, op.cit, hal.80. 10 Ibid, hal.81. 11 Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 164 H.I.R. 9
5
Kenyataannya dalam peraktik, dalam perkara pailit di Pengadilan Niaga, Hakim hanya mempertimbangkan bukti formalnya saja yaitu bukti surat, terhadap bukti yang lainnya jarang sekali Hakim mempertimbangkan dalam pertimbangan hukumnya dalam hal membuat keputusan. Berbicara mengenai asas pembuktian sederhana (sumir), erat kaitannya dengan kewenangan relatif Pengadilan Niaga, khususnya berkenaan dengan perkaraperkara kepailitan. Namun demikian, kewenangan Relatif Pengadilan Niaga tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, tapi diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Perpu ini selanjutnya ditetapkan menjadi undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, kemudian disempurnakan di dalam UUK-PKPU yakni Undang-undang No. 37 tahun 2004. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus atau diferensiasi yang berada dalam lingkup Peradilan Umum (Pengadilan Negeri). Berbeda dari putusan Peradilan Umum, putusan Pengadilan Niaga ini tidak dapat diajukan banding, Jika ada pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga maka ia dapat langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 12 Pengadilan
Niaga
di
khususkan
untuk
memeriksa
dan
memutuskan
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan utang-piutang. Pada awalnya proses pendirian Pengadilan Niaga tersebut dilakukan secara cepat seiring dengan langkah reformasi undang-undang. Undang-undang Kepailitan dalam upaya membangun keprcayaan para investor dipaksakan keberlakuannya melalui Perpu No.4 Tahun 1998 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998, dimana setelah 6 tahun kemudian disempurnakan kembali menjadi Undangundang No. 37 tahun 2004. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan PKPU, Pengadilan Niaga hanya berwenang untuk memutuskan seorang debitur pailit 12
Achmad Fauzan, Perundang-Undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 9.
6
dalam hal dibuktikan bahwa debitur tersebut memiliki paling sedikit dua kriditur dimana minimum satu dari utang tersebut dapat dibuktikan secara sederhana, telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Undang-undang Kepailitan dan Pengadilan Niaga ini memberi suatu alternatif yang luas bagi pelaku usaha yang benar-benar tidak lagi dapat mememnuhi kewajibannya untuk menempuh jalan kepailitan (Voluntary petition for bankrupt), atau memohonkan PKPU untuk memperjuangkan kesempatan merestruktur perusahaannya yang sedang tidak berdaya akan tetapi masih mempunyai pengharapan yang besar untuk kembali sehat bila diberikan kesempatan tersebut, agar dapat dengan lebih baik melaksanakan penyelesaian-penyelesaian kewajibannya kedepan jika langkah penyehatan melalui restrukturisasi tersebut berhasil didapatkan dan dijalankan 13. Situasi gagal bayar dan juga kegagalan dalam pelaksanaan prestasi yang semakin banyak terjadi dikalangan pelaku usaha dan bahkan telah pula membangkrutkan perusahaaan-perusahaan membuat kehadiran Pengadilan Niaga di Indonesia menjadi salah satu pertaruhan untuk membangun kenyamanan kepada para investor dan para pelaku usaha lainnya, bahwa Pengadilan Niaga Indonesia secara teori memang dipersiapkan untuk menjadi pengadilan yang dapat menyelesaikan sengketa-sengketa utang piutang secara cepat, efesien, transparan dan berkeadilan. Analisa keberadaan dan prestasi Pengadilan Niaga Indonesia merupakan suatu faktor yang sangat penting sebagai penilaian berbisnis di Indonesia, khususnya dalam penilaian tentang; getting credit, protecting investors, dan enforcing contracts. 14 Walaupun pada awalnya Pengadilan Niaga tersebut secara khusus difungksikan untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan dn PKPU, akan tetapi dalam
13
Ricardo Simanjuntak, Krisis Ekonomi Global,Potensi Commercial Disputes Yang Bagaimana Mungkin Timbul Diantara Pelaku Usaha Sebagai Efek Dari Krisis Tersebut Dan Bagaimana Hukum Komersial Serta Institusi Penyelesaian Sengketa Indonesia Menyikapinya, Seminar Sehari DPC IKADIN Medan, 14 Nopember 2008, hal.19. 14 Ibid. hal. 20.
7
jangka panjang berdasarkan pasal 280 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 yang terwujud menjadi pasal 300 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 diperluas kewenangannya untuk mengadili seluruh perkara-perkara yang berhubugan dengan aktivitas komersial. Dalam perkembangannya, Pengadilan Niaga telah pula diberi perluasan kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yangberhubugan dengan HAKI seperti perkara penyalahgunaan Merek dan Paten. 15 Hal inilah yang memang harus diwujudkan agar Indonesia mempunyai pengadilan yang secara khusus difungsikan untuk memeriksa dan memutus perkaraperkara komersial yang terjadi dalam masyarakat, kehadiran Pengadilan Niaga dengan kewenangan yang luas meliputi kewenangan untuk memeriksa seluruh perkara-perkara komersial ini akan membangkitkan upaya yang terkonsentrasi untuk memastikan penanganan yang baik, cepat, transparan dan berkeadilan terhadap seluruh perkara komersial yang terjadi di Indonesia, karena pembuktian kinerja Pengadilan Niaga yang baik, akan dengan sangat cepat mengangkat kepercayaan dunia terhadap kepastian dan keamanan serta perlakuan adil dalam berinvestasi ataupun melakukan aktivitas perdagangan di dan ataupun dengan Indonesia. Namun kenyataannya dalam peraktik keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam perkara pailit, sebagian besar pertimbanganpertimbangan hukumnya menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Pailit tidak lagi bersifat sederhana sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 8 15
Ibid.
8
ayat (4) UUK-PKPU melainkan bersifat complicated sehingga lebih tepat apabila permohonan kepailitan dari Pemohon Pailit diajukan melalui gugatan perdata biasa 16. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebutlah, sehingga keputusan Hakim Pengadilan Niaga dengan tegas menolak Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh para Pemohon Pailit. Complicated artinya rumit, sulit, ruwet, menyulitkan, atau menyukarkan 17, maka yang dimaksud dengan bukti yang Complicated adalah bukti yang tidak sederhana dan menyulitkan. Sedangkan pengertian dan pembatasan tentang alat bukti yang sederhana dan bukti yang complicated tidak ada diatur secara tegas didalam undang-undang. Dalam Peraktik, jawaban/tanggapan Termohon atau Para Termohon Pailit dipersidangan Pengadilan Niaga, dapat mempengaruhi pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga dengan menilai bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Pailit. Walaupun didalam UU No. 37 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas pengaturan tentang hak Termohon Pailit mengajukan jawaban/tanggapan atas Permohonan Pemohon Pailit, akan tetapi oleh karena hukum acara dalam perkara pailit adalah hukum acara perdata, maka Termohon Pailit atau Para Termohon Pailit secara tidak langsung dibenarkan menjawab atau menanggapi permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit berdasarkan Pasal 144 RBG/120 HIR ayat (2) yang berbunyi :
16
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No.02/Pailit/2009/PN,Niaga/ Medan, tanggal 13 Nopember 2009, hal. 123. 17 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia, 2000), hal.133.
9
“Ketika memanggil tergugat harus diserahkan juga kepadanya sehelai salinan surat gugatan, dengan memberitahukan kepadanya, bahwa ia kalau mau dapat menjawab gugatan itu dengan tertulis.” 18 Apabila putusan Hakim Niaga mengabulkan Permohon Pernyataan Pailit dari Pemohon Pailit, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu (serta merta), berdasarkan Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU, yang berbunyi “Putusan atas permohonan Pernyataan Pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”. Oleh karena itu penilaian alat bukti menurut undang-undang dan penilaian bukti menurut kewenangan dan keyakinan Hakim Pengadilan Niaga sangat sulit untuk diukur kebenaran dan kepastian hukumnya, oleh karena itulah penulis merasa tertarik untuk membahas tentang hal tersebut sehingga dituangkan kedalam bentuk sebuah tesis dengan judul : “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan.”
B.
Permasalahan Berdasarkan hal hal yang telah diuraikan pada Latar Belakang diatas, maka
terdapat beberapa permasalahan hukum dalam peneltian ini yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 18
hal.19.
K.Wantjik Saleh,SH, Hukum Acara Perdata Rbg/HIR, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981),
10
1.
Bagaimanakah pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan ?
2.
Mengapa Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan ?
3.
Bagaimanakah Hakim melakukan pembuktian dalam perkara kepailitan yang mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga ?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Pembuktian Complicated
dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam perkara Kepailitan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan. 2.
Untuk mengetahui dan menganalisis alasan-alasan Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan.
3.
Untuk mengetahui dan menganalisis cara kerja Hakim melakukan pembuktian dalam perkara-perkara kepailitan yang diputuskannya yang mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian yang berjudul “Pembuktian
Complicated Dikaitkan dengan
Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan” diharapkan
11
dapat memberikan manfaat baik kegunaan dalam pegembangan ilmu atau manfaat dibidang teoritis dan manfaat dibidang prakris, antara lain sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a. Sebagai bahan masukan bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya. b. Memperkaya literatur di perpustakaan. 2. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi Debitor, Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawasan pasar Modal, dan Menteri Keuangan Republik Indonesia, apabila hendak mengajukan permohon Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga. b. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi atau Advokat-Advokat selaku kuasa Pemohon Pailit dalam hal mengajukan permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan
pada repository.usu.sc,id., bahwa penelitian dengan judul : “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan” dengan rumusan permasalahan sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah pada point sebelumnya belum didapati judul dan permasalahan yang sama. Namun mungkin ada kemiripan judulnya dengan yang lain, maka hasil yang didapat antara lain :
12
1.
Victorianus, dengan judul “Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit”, Tahun 2007.
2.
Belinda, dengan judul “Peranan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan”, Tahun 2008. Penulisan tesis ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
berbeda, begitu juga dengan kajiannya yaitu: tentang Pembuktian dan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit, terbatas pada peraturan dan perundang-undangan serta keputusan-keputusan Pengadilan Niaga yang telah diputus yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban tersebut dapat berupa isi dan kasus-kasus yang dipaparkan dalam tesis ini.
F.
Kerangka Teori dan Konsep
1.
Kerangka Teori Kerangka teori menguraikan dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian
terdahulu yang memberikan dukungan dalam kegiatan penelitian 19. Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam kajian Pembuktian Complicated Kompetensi Relatif
Dikaitkan dengan
Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan sebagai dasar
analisis. Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum, kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan 19
Tim Penulis, Tips dan Cara Menyusun Skripsi Tesis Disertasi, (Bandung : Shira Media, 2009), hal.73.
13
ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh). Kepastian Hukum memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakan sewenang-wenang pihak lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam masyarakat 20 Sebenarnya persoalan dari tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang yaitu : a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis, tujuan hukum dititikbertakan pada segi kepastian hukumnya. b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititik-beratkan pada segi keadilan. c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum ditik-beratkan pada segi kemanfaatan 21. Gustav Radbruch mengemukakan 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, sebagai asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemafaatan, dan terakhir kepastian hokum. 22 Dalam
peraktik
peradilan,
sangat
sulit
bagi
seorang
Hakim
untuk
mengakomodir ketiga asas tersebut di dalam satu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutus suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan (asas prioritas yang kasuistis). Jika diibaratkan dalam sebuah garis, Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berada (bergerak) di antara 2 20
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam persfektif Hukum Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.131. 21 Ibid, hal 132. 22 Ibid. hal.132.
14
(dua) titik pembatasan dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomastis, Hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula Hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. 23 Kepastian Hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian kepastian hukum menjadi sistem norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstelasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Menurut David M.Trubek, rule of law merupakan hal penting bagi pertumbuhan ekonomi dan membawa dampak yang luas bagi reformasi sistem ekonomi di seluruh dunia yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi. 24 Selanjutnya sebagai pendukung toeri kepastian hukum dalam menjawab permasalahan yang dicari dalam penelitian ini dikemukan beberapa teori yaitu: a. Teori Pembuktian Yang Relevan. Masalah alat-alat bukti yang relevan adalah merupakan persoalan yang sangat utama harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Hakim dalam proses pembutian
23 24
Ibid, hal. 133. Ibid.
15
suatu fakta di pengadilan. Relevansi alat-alat bukti merupakan salah satu pertimbangan Hakim disamping berbagai alasan lain untuk menolak diajukannnya suatu alat bukti dalam suatu perkara. Dengan demikian timbul permasalahan dalam peraktik, apakah yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan itu ? Sebagaimana Munir Fuady mengatakan : Yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di mana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, relevansi alat bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. 25 Agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti tersebut haruslah relevan dengan apa yang akan dibuktikan, jika alat bukti tersebut tidak relevan, pengadilan harus tegas untuk menolak bukti-bukti tersebut, karena menerima bukti yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan yaitu : 1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan. 2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu. 3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proporsional, dengan membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecil-ngecilkan yang sebenarnya benar. dan 4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional. 25
Munir Fuady, op.cit, hal. 27
16
Sehubungan dengan hal itu, perlu dibedakan antara masalah relevan alat bukti dan materialitas dari alat bukti tersebut. Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari apakah alat bukti tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Dalam peraktik antara relevansi alat bukti dan materialitas alat bukti sering disatukan dalam satu istilah “relevansi” alat bukti. 26 Meskipun persyaratan bahwa suatu alat bukti harus relevan berlaku dalam hukum Indonesia, bahkan berlaku juga dalam hukum di negara manapun di dunia ini, kapan suatu alat bukti dikatakan relevan dan kapan alat bukti tersebut dianggap tidak relevan tidak ada ketentuan yang tegas, baik dalam hukum acara perdata Indonesia maupun dalam hukum acara pidana. Hal ini tergantung kepada Hakim Pengadilan untuk menimbang-nimbang mana yang relevan dan mana yang tidak relevan tersebut, dengan memperhatikan dalil-dalil umum dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam hukum pembuktian dengan memakai logika hukum dan keyakinan Hakim ketika mengadili suatu perkara. Para Pihak yang berpekara boleh ikut menilai, tetapi putusan tetap ditangan Hakim yang mengadili perkara tersebut. 27 Dalam persoalan-persoalan tertentu, undang-undang telah dengan tegas menentukan siapa pemikul beban pembuktian, tetapi bukan dalam arti beban pembuktian mutlak (strict liability), karena itu unsur “kesalahan” masih dipersyaratkan contohnya, dalam hal keadaan memaksa, harus dibuktikan oleh Debitur, yang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1244 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut :
26 27
Ibid, hal. 27. Ibid, hal. 28.
17
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” 28 Logikanya, debiturlah yang berkepentingan agar suatu keadaan dinyatakan sebagai keadaan memaksa, seperti untuk menghindari pemberian suatu ganti rugi. 29 Dalam hal perbuatan melawan hukum, pihak yang menuntut ganti rugi tersebut yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku yang melakukan perbuatan mealwan hukum tersebut. b. Teori Penjatuhan Putusan Pemahaman dan pengertian atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukan oleh Jonh Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (impartiality). Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat. 30 Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuatan kaeda-kaedah hukum positif dalam konkretisasi oleh Hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang
28
Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Munir Fuady, op cit, hal. 49. 30 Pontang Moerad,B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hal.21. Sebagaimana dikutip Ahmad Rifai, op cit, hal. 102. 29
18
diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah : Hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. 31 Fungsi utama dari seorang Hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, putusan Hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. Adapun dalam memeriksa perkara perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengekata yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa, pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berpekara dan bukan oleh hakim. Akan tetapi, Hakim harus aktif membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran dari peristiwa hukum yang menjadi sengketa di antara para pihak. Sistem pembuktian positif (positive weterlijke) digunakan Hakim dalam penyelesaian perkara perdata, dimana apabila ada pihak yang mengaku atau menyatakan mempunyai sesuatu hak, maka ia harus membuktikan kebenaran dari pengakuan dan pernyataanya, dengan didasarkan pada bukti-bukti formil, yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat dalam hukum acara yang berlaku. 32
31 32
Ibid. hal.102. Ibid, hal.103.
19
Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, dalam era keterbukaan pada saat ini, dunia peradilan mulai digugat untuk membuka diri, sehingga putusan Hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian ilmu hukum saja, tetapi akan lebih baik jauh menjadi konsumsi publik untuk dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan Hakim yang dirasakan kurang memuaskan masyarakat sebagai pencari keadilan. 33 Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu : 34 1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan. 2) Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan Hakim, dan 3) Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi Hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi Hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya kepada diri sendiri, sudah benar dan jujurkah dirinya dalam mengambil suatu keputusan yang dibuatnya, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya, apakah keputusanya akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah keputusan akan 33
Ibid, hal.104. Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 249 Bulan Agustus 2006, Ikahi Jakarta, 2006, hal.5, Sebagai dikutip Ahmad Rifai, Ibid, hal. 104. 34
20
dibuatnya atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang akan dijatuhkan oleh seorang Hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat yang sedang mencari keadilan. 35 Pembuktian menurut UUK-PKPU, adalah pembuktian yang bersifat sederhana, sehubungan dengan pembuktian sederhana atas permohonan pailit oleh kreditor yang sebagaimana dikemukan oleh undang-undang tersebut tidaklah mungkin, karena apabila tidak terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana berkaitan dengan permohonan pernyataan pailit, maka permohonan pailit itu harus ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga. Berkaitan dengan persoalan tersebut apakah untuk perkara pembayaran utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang fakta dan keadaannya tidak dapat dibuktikan secara sederhana, tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan kepada Pengadilan Niaga. 36 Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pemeriksaan kasasi, putusan No.32K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Bank Internasional Indonesia Tbk, melawan (1) Abu Hermanto, (2) Wahyu Budiono, dan (3) PT.Surya Andalas Corporation, berpendapat bahwa apabila pembuktian tidak sederhana, maka pokok sengketa masih harus dibuktikan di Pengadilan Negeri. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan bahwa Permohonan Pailit tidak memenuhi syarat Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, karena dalam pembuktian ternyata tidak sederhana. Dalam kasus tersebut, ternyata persoalan yang
35 36
Ibid, hal.105. Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2009, hal. 44
21
disengketakan berkaitan dengan hukum Inggris (sesuai dengan perjanjian antara pemohon dan termohon kasasi) sehingga tentang pokok sengketa harus dibuktikan di Pengadilan Negeri (Perdata). 37 Mengacu
kepada
putusan
Mahkamah
Agung
tersebut
diatas,
dapat
menimbulkan kekeliruan dalam ber-agumentasikan hukum, karena Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 Joncto Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa apabila Permohonan Pernyataan Pailit tidak dapat dibuktikan secara sederhana, perkara tersebut tidak dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim Pengadilan Niaga. Bila pasal tersebut ditafsirkan seperti itu, maka perkara utang-piutang yang sangat ruwet (contohnya perkara-perkara perbankan) menjadi tidak mungkin lagi kreditor untuk mengajukan Permohonan Pailit terhadap Debitur. Akibatnya, menjadi tidak ada artinya ketentuan pasal 1131 KUHPerdata yang merupakan
sumber
hukum
kepailitan,
sehingga
penafsiran
tersebut
dapat
mengakibatkan kreditor menjadi terpasung haknya untuk dapat mengajukan Permohonan Pailit. Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU hanya bertujuan mewajibkan Hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana. Namun, bukan berarti jika ternyata dalam perkara yang diajukan Pailit itu tidak dapat dibuktikan Pemohon secara sederhana atas fakta dan keadaannya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib
37
Ibid, hal. 45.
22
monolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan, karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan Pengadilan Niaga. 2.
Kerangka Konsep Dalam memahami penelitian secara lebih lanjut, penulis memaparkan batasan
konsepsional atau definisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga untuk memberikan pedoman pada proses penelitian. Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, pembuktian yang Complicated dan pembuktian yang bersifat Sederhana dalam perkara Permohonan Pernyataan Pailit. Kedua, Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan. Dari uraian kerangka teori diatas, penulis akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain : 1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang. 2. Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. 3. Termohon Pailit adalah pihak yang tertarik ke dalam perkara pailit atas pernyataan Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit ke Pengadilan Niaga.
23
4. Pembuktian adalah suatu proses, baik dalam hukum acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya. Dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosudur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan. 38 5. Hukum Pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. 6. Bukti adalah alat pembenaran suatu peristiwa atau keadaan. 7. Pembuktian Sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar. 8. Pembuktian Yang Complicated adalah pembuktian yang tidak bersifat sederhana maksudnya alat-alat bukti yang menyulitkan, rumit, menyukarkan, merumitkan keadaan dan fakta yang sederhana. 9. Kompetensi Relatif adalah Kewenangan Hakim Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara di Pengadilan Negeri terhadap perkara tertentu. 10. Pembuktian yang relevan adalah pembuktian yang bersangkut paut antara bukti dengan suatu peristiwa hukum. 11. Teori Hukum adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sistem dari hokum. 39
38 39
Munir Fuady, op.cit. hal. 1. Bahan Kuliah, Teori Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum, USU.
24
12. Kepastian Hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak secara langsung maupun tidak langsung wajib untuk menghormati dan menegakkan substansi hukum yang berlaku. 40 13. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan dalam lingkup peradilan umum yang mengeluarkan putusan pailit dan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. 14. Putusan Serta Merta adalah putusan Pengadilan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, walaupun ada banding, verzet, maupun kasasi.
G.
Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. 41 Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang digunakan. Jika cara pendekatannya tidak tepat, maka bobot penelitian tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan. 42 40
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, Edisi Revisi, Cet, 3, (Bandung : Book Terrace & Library, 2009) 41 Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.1. 42 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, (Malang : Bayumedia Publishing, 2008), hal. 299.
25
Penelitian ini dilakukan secara Juridis Normatif. Cara pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normative. 43 Pendekatan ini digunakan untuk mengadakan pendekatan terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum pembuktian yaitu tentang Pembuktian yang bersifat sederhana atau complicated dan melihat serta meneliti putusan-putusan Pengadilan Niaga yang telah diputus dalam menerapkan hukum pembuktian, baik sederhana maupun complicated dan dikaitkan dengan kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan, dengan tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam peraktik hukum. 1.
Jenis dan sifat Penelitian Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-
bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal decision making) terhadap kasus-kasus hukum yang konkret. 44 Masalah yang diangkat dalam penelitian ini haruslah mengandung issu hukum yaitu mengenai pembuktian yang bersifat sederhana atau complicated yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara kepailitan. Jadi, jenis penelitian yang digunakan adalah
43 44
Ibid, hal. 300. Ibid, hal. 299.
26
menggunakan pendekatan Content Analysis (analisis isi), yang bertujuan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum 45 dan pendekatan kasus (case approach) yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam peraktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus dalam penelitian ini. 46 Selanjutnya dengan memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan dan menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum. Sedangkan sifat penelitian dari penulisan tesis ini adalah deskriptif Analitis yang ditujukan untuk mengambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis tentang penerapan hukum pembuktian bagi pengajuan permohonan Pernyataan Pailit yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara kepailitan. 2.
Sumber Bahan Penelitian Sumber bahan penelitian yang dibutuhkan dalam hal ini adalah wujud sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat. Ketiga
45 46
Ibid. hal. 310. Ibid, hal. 321.
27
jenis data tersebut diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yakni : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini yang terdiri dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan, Hukum Acara Perdata Indonesia
(HIR/Rbg), dan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga dalam perkara Kepailitan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terutama adalah buku teks (text book) karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandanganpandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. Disamping buku teks, bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal yang relevan dengan topik penelitian. Tulisan-tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan atau isu-isu yang aktual di bidang Hukum Kepailitan. Dengan terlebih dahulu merujuk kepada bahan-bahan tersebut, peneliti dapat mengetahui tentang perkembangan terbaru dari sasaran yang akan diteliti. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan non hukum berupa kamus hukum dan non hukum, ensiklopedia, buku-buku mengenai ekonomi, filsafat, ataupun laporan-laporan
28
penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneltian. 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian berupa keputusan-keputusan pengadilan dan peraturan perundangan-undangan, buku-buku dan makalah-makalah ilmiah lainnya. 4.
Analisis Data Analisis
data
dalam
penelitian
ini
mempelajari,
menganalisis,
dan
memperhatikan kualitas serta kedalam data, sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Setelah semua data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research),
maka
dilakukan
pemeriksaan
dan
evaluasi
untuk
mengetahui
keabsahannya dan validasinya, selanjutnya data diseleksi, lalu diolah dan dikelompokkan atas data-data yang sejenis, dianalisis sesua dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecendrungan yang ada. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Metode deduktif melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum yang dikaitkan dengan putusanputusan Hakim-Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri, walaupun tidak
29
pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum untuk mengkaji alat bukti Pemohon Pailit dan penerapan hukum pembuktian pada pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusan Hakim Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara kepailitan. Dengan mengunakan metode deduktif ini, maka akan diperoleh tentang bagaimana tepatnya alat-alat bukti yang dipergunakan Pemohon Pailit ketika mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga. Dan bagaimana sebenarnya penerapan hukum pembuktian yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara kepailitan. Serta apakah Pemohon Pailit dapat menggugat secara perkara perdata biasa, jika Permohonan Pailitnya ditolak disebabkan bukti Pemohon Pailit bukti yang Complicated. Dari hasil pembahasan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti tersebut.
H.
Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab pertama, yang merupakan bab
pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab kedua dibahas mengenai Pembuktian dalam Perkara Kepailitan, yang terdiri dari pembuktian, pembuktian sederhana, pembuktian complicated, dan pembuktian dalam perkara kepailitan.
30
Pada bab ketiga dibahas mengenai Alasan Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, yang meliputi alasan-alasan pentingnya pembuktian sederhana, dan putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan yang mengandung unsur pembuktian yang bersifat sederhana. Pada bab keempat dibahas pembuktian (yang dilakukan hakim dalam perkara kepailitan) yang mengandung unsur complicated dan kaitannya dengan kompetensi relatif pengadilan niaga. Bab keempat ini terdiri dari putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan yang mengadung unsur pembuktian bersifat complicated, cara kerja hakim dalam melakukan pembuktian yang bersifat complicated, dan kompetensi relatif pengadilan niaga. Penulisan Tesis ini akan diakhiri dengan sebuah bab penutup yang merupakan Bab kelima berisi kesimpulan dan saran.