BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya kecantikan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan paten.
Kecantikan merupakan sesuatu yang bersifat cair. Konsep mengenai kecantikan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, konsep ini pun terus berubah dari waktu ke waktu. Seiring dengan gerakan feminisme yang terus berkembang di dunia, kecantikan mulai dilihat secara lebih kritis dan dikaji secara terus menerus. Beberapa pakar berpendapat bahwa konsep mengenai kecantikan yang beredar di masyarakat banyak merugikan kaum perempuan dalam praktiknya sehingga dirasa perlu dikaji ulang. Isu gender yang banyak diangkat dalam karya sastra angkatan tahun 2000—an menjadikan kecantikan sebagai salah satu aspek yang perlu dikaji ulang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya sastra yang menyikapi kecantikan dengan cara yang cukup kritis. Salah satunya adalah cerpen “Qurban Iklan” karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini bercerita mengenai seorang perempuan yang harus menahan sakit karena ingin memiliki bentuk tubuh yang langsing. Ia harus merasakan derita yang disebabkan oleh tuntutan kecantikan yang diinginkan oleh lingkungannya. Selain itu, cerpen lainnya adalah “Tahi Lalat di Punggung Istriku” karya Ratih Kumala. Cerpen ini menceritakan
1
seorang perempuan yang cemburu karena suaminya lebih mencintai tahi lalat yang dimilikinya daripada dirinya. Bagi suaminya, tahi lalat merupakan kecantikan yang dipuja olehnya. Oleh karena kecemburuannya tersebut, ia pun terpaksa melakukan operasi plastik agar suaminya dapat mencintai dirinya sepenuhnya. Selain dua cerpen tersebut, karya sastra yang mencoba bersikap lebih kritis terhadap konsep kecantikan adalah novel Maya karya Ayu Utami. Ayu Utami mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami. Ia dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Sepanjang kariernya sebagai seorang penulis, ia telah menulis sepuluh novel, yaitu Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Lalita (2012), Cerita Cinta Enrico (2012), Eks Parasit Lajang (2013), Maya (2013), dan Simple Miracle (2015). Novel pertamanya, yakni Saman, sempat menggegerkan jagad kesusastraan Indonesia karena keberaniannya dalam mengangkat hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Di dalam novel pertamanya tersebut, Ayu Utami mencoba “mengizinkan” tubuh perempuan untuk berbicara sebagai subjek. Hal ini bertentangan dengan keadaan di dalam masyarakat—khususnya Indonesia—yang selalu memandang perempuan sebagai objek dan memandang laki-laki sebagai subjek. Novel ini pun menjadi pemenang sayembara novel DKJ pada tahun 1998 dan mendapatkan penghargaan Prince Claus Award pada tahun 2000.
2
Novel Maya (2013) merupakan serial novel pertualangan dan teka-teki tentang pusaka nusantara yang melibatkan tokoh-tokoh dari novel Bilangan Fu (2008), yakni Parang Jati, Marja Manjali, dan Sandi Yuda1. Novel ini merupakan novel ketiga Seri Bilangan Fu yang menghubungkan antara novel dwilogi Saman-Larung dan Seri Bilangan Fu. Tidak seperti novel-novel Seri Bilangan Fu lainnya, novel ini memunculkan kembali tokoh yang terdapat di dalam novel Saman (1998) dan Larung (2001)2. Novel ini dibagi menjadi tiga bab besar, yaitu bab kini, bab dulu, dan bab sekarang. Secara garis besar, novel ini bercerita tentang Yasmin yang mendapat surat dari Saman setelah dua tahun Saman dinyatakan hilang. Ia pun mendatangi salah satu tokoh spiritual terkenal bernama Suhubudi untuk mendapatkan jawaban atas surat-surat dari Saman dan mendapatkan informasi mengenai keberadaan Saman. Awal pertemuannya dengan Suhubudi membuat Yasmin terlibat dalam suatu kejadian yang merupakan perjalanan batin untuk memahami dirinya sendiri, cintanya, dan negerinya. Berbeda dengan novel Seri Bilangan Fu lainnya, novel ini mencoba mengangkat fenomena mitos kecantikan. Konsep-konsep mengenai kecantikan dipertanyakan kembali di dalam novel ini. Namun, apabila dibandingkan dengan “Qurban Iklan” karya Djenar Maesa Ayu dan “Tahi Lalat di Punggung Istriku” karya
1
Oleh karena di novel ini merupakan novel yang menghubungkan dwilogi Saman—Larung dengan novel Bilangan Fu, di dalam ini tokoh yang muncul hanya Parang Jati. Hal ini disebabkan oleh latar waktu yang digunakan di dalam novel ini mengacu pada latar waktu ketika Parang Jati masih kecil. 2
Tokoh-tokoh dari novel dwilogi Saman (1998) dan Larung (2001) yang muncul di dalam novel Maya (2013) adalah Yasmin, Larung, dan Saman.
3
Ratih Kumala, konsep kecantikan yang terdapat di dalam novel Maya dapat dikatakan berbeda. Novel ini memperlihatkan bahwa tidak hanya perempuan yang dirugikan oleh adanya konsep kecantikan yang beredar sekarang ini—yaitu konsep kecantikan yang memuja kecantikan fisik. Konsep kecantikan ini telah menjadi mitos yang terus mengungkung tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Konsep tentang kecantikan telah menjadi sebuah senjata politis yang digunakan untuk menekan seseorang. Inilah yang disebut oleh Naomi Wolf sebagai mitos kecantikan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba membahas mitos kecantikan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga akan membongkar makna yang terkandung di balik mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel ini
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3
a.
Penanda-penanda kecantikan dalam novel Maya
b.
Mitos kecantikan dalam novel Maya
c.
Makna di balik mitos kecantikan dalam novel Maya
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis.
Secara teoretis, penelitian ini dilakukan untuk menguraikan tiga hal. Pertama,
4
penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penanda-penanda kecantikan dalam novel Maya. Kedua, menganalisis mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Ketiga, penelitian ini bertujuan untuk membahas makna di balik mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Secara praktis, penelitian ini dilakukan untuk menambah pemikiran mengenai penerapan teori mitos kecantikan yang dikemukakan oleh Naomi Wolf melalui karya sastra. Selain itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tekanan yang disebabkan oleh mitos kecantikan. Penelitian ini juga dilakukan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, khususnya pada genre prosa.
1.4
Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan teori mitos kecantikan
telah dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Penelitian yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Afiyah dari Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 ini berjudul “Pembentukan Kecantikan dalam Novel The Bluest Eye Karya Toni Morisson”. Dengan menggunakan teori mitos kecantikan yang dikemukakan oleh Naomi Wolf dan dibantu dengan teori pascakolonial, skripsi ini membahas cara pandang tokoh utama melihat konsep kecantikan yang dikontruksikan oleh orang kulit putih, konsekuensi akan cara pandang tokoh utama tersebut, dan dampak dari padanya. Adapun hasil dari tulisan ini adalah kedua tokoh di dalam novel 5
ini tidak berhasil membentuk dan menentang konsep cantik yang mereka percayai cukup lama. Akan tetapi, mereka berhasil menjadi pribadi yang berbeda dengan penjajah mereka dahulu. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Nadya Fathalia Mardhani dari Program Studi Sastra Jepang, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Penelian ini berjudul “Penindasan terhadap Perempuan melalui Mitos Kecantikan yang Dialami oleh Tokoh Oba Nobuko dalam Drama Rebound Karya Nagumo Seiichi” (2013). Dalam penelitian ini, Mardhani meneliti serial drama yang berjudul Rebound karya Nagumo Seiichi. Dengan menggunakan teori mitos kecantikan yang dikemukakan oleh Naomi Wolf, Mardhani membahas penindasan terhadap perempuan yang dialami oleh tokoh Oba Nobuko dalam drama Rebound. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya penindasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki, institusi tempat kerja, dan dokter kecantikan terhadap tokoh Oba Nobuko. Hal ini menyebabkan tokoh Oba Nobuko mengalami rasa lapar dan anoreksia demi menjadikan tubuhnya kurus. Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Elmy Selviana Malik dari Program Studi Ilmu Sastra, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dengan judul “Menjadikan Cantik dalam Novel Memoirs of a Geisha Karya Arthur Golden” (2014). Dalam tesisnya ini, Malik meneliti novel Memoirs of a Geisha (MOAG) karya Arthur Golden dengan menggunakan teori mitos kecantikan yang dikembangkan oleh Naomi Wolf. Tesis ini membahas dua hal, yakni bentuk-bentuk kecantikan dan kepentingan yang terdapat di dalam novel tersebut. Hasil 6
dari penelitian ini adalah ditemukannya keinginan Arthur Golden untuk mengukuhkan citra kecantikan ideal yang berlaku dalam masyarakat patriarki. Perempuan-perempuan dalam novel MOAG diharuskan memenuhi citra “wajah cantik” agar dapat dihargai dan memperoleh kehidupan yang layak. Perempuan yang dianggap tidak mampu memenuhi citra “wajah yang cantik” tersebut tidak akan dihargai lingkungannya dan pada akhirnya akan tersisih. Perempuan dalam novel ini juga belum sepenuhnya merasakan kebebasan meskipun mereka telah memasuki ruang publik dengan berprofesi sebagai geisha. Para perempuan geisha ini diharuskan patuh pada PBQ di lingkungan kerjanya. PBQ menuntut perempuan yang berprofesi sebagai geisha dalam novel MOAG untuk menjadi “cantik” dengan memakai make up khusus geisha, menata rambutnya, dan mengenakan kimono untuk memenuhi kualifikasi kecantikan geisha. Selain itu, mereka yang berprofesi sebagai geisha juga dituntut untuk memiliki sikap dan pembawaan diri yang “feminin”. Usaha-usaha yang dilakukan perempuan untuk memenuhi kriteria kecantikan dalam novel MOAG membuat mereka tertindas dan terbelenggu meskipun mereka telah bebas dari mistik domestisitas. Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh La Ode Gusman Nasiru dari Program Studi Ilmu Sastra, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dengan judul “Redefinisi Perempuan Cantik dalam Cerpen Ratih Kumala dan Agus Noor” (2014). Penelitian ini menggunakan teori mitos kecantikan yang dikembangkan oleh Naomi Wolf. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Melalui TPI dan KYJ kedua pengarang berusaha melepaskan diri dari kekangan mitos kecantikan. Akan tetapi, secara tidak sadar mereka malah 7
melanggengkannya melalui pembentukan konsep ideal pada tokoh. Terjadi kontestasi antara keinginan pengarang untuk keluar dari lajur mitos kecantikan dan kenyataan bahwa mereka masih terkurung dalam tangkup mitos kecantikan itu sendiri. Benturan-benturan ide tidak hanya terjadi antara pengarang dan mitos kecantikan, tetapi juga antara tokoh dan pengarang. Demi menghadapi kenyataan yang membelenggu
dan
menindas
tubuh
mereka,
para
tokoh
berusaha untuk
meruntuhkan konsep ideal yang telah diredefinisi oleh pengarang. Hasil akhirnya, kontestasi dan benturan tersebut semakin memperkukuh kenyataan bahwa konsep cantik ideal hanyalah sebentuk ide yang nisbi belaka. Penelitian kelima adalah penelitian yang dilakukan oleh Annisa Lazuardi Rahma dari Program Studi Sastra Prancis, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya dengan judul “Mitos Kecantikan dalam Dongeng Bergambar La Belle Au Bois Dormant dan La Belle Et La Bete” (2015). Dalam skripsinya ini, Rahma meneliti dua dongeng bergambar, yaitu La Belle Au Bois Dormant karya Charles Perrault dan La Belle et La Bete karya Jeanne Marie Le Prince de Beaumont dengan teori mitos yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Penelitian ini membahas dua hal, yakni makna yang terkandung dalam mitos kecantikan yang ditampilkan dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat Prancis pada abad XVIXVII yang melandasi perwujudan gambaran kecantikan tokoh utama. Adapun hasil dari penelitian ini adalah mitos kecantikan yang ditampilkan melalui penggambaran nilai-nilai kecantikan tokoh utama. Kecantikan yang dimaksud di sini adalah kecantikan fisik yang meliputi: bentuk wajah, muda, tubuh ramping, tinggi, kulit putih 8
mulus, hidung mancung, bibir penuh, dan lain sebagainya. Mitos kecantikan yang ditampilkan tersebut merupakan bentuk perwujudan dari nilai-nilai dominan yang berlaku dalam masyarakat Prancis pada abad XVI-XVII. Nilai yang dominan tersebut adalah pemujaan terhadap nilai-nilai kesempurnaan manusia dan juga pencarian akan keindahan, keagungan, dan kemegahan. Selain itu, penelitian yang berkaitan dengan novel Maya juga pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan oleh Siti Istiqomah dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Penelitian dengan judul “Fenomena Batu Akik pada Masa Orde Baru di Masyarakat Gunung Kidul dalam Novel Maya Karya Ayu Utami: Kajian Antropologi Sastra” (2015) ini menggunakan teori antropologi sastra sebagai alat bedahnya dan menggunakan metode deskriptif. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya budaya-budaya Jawa yang terdapat di dalam novel Maya. Salah satu budaya tersebut adalah adanya fenomena batu akik yang dihubungkan dengan simbol kekuasaan Soeharto. Penulis juga menemukan sebuah resensi novel Maya yang dimuat dalam salah satu surat kabar. Stebby Julionatan menulis artikel mengenai buku ini dalam surat kabar Harian Tribun Jogja edisi 9 Februari 2014. Menurutnya, dalam novel ini, Ayu Utami mencoba untuk menggali sejarah-sejarah yang terjadi di Indonesia, mulai dari sejarah mengenai Candi Prambanan sampai kisah runtuhnya masa Orde Baru di Indonesia. Melalui novel ini, Ayu Utami berusaha melawan lupa akan sejarah-sejarah kelam Indonesia. Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan dapat dimungkinkan bahwa penelitian yang membahas perihal mitos kecantikan dalam novel Maya karya Ayu 9
Utami
belum
pernah
dilakukan.
Oleh
karena
itu,
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan orisinalitasnya.
1.5
Landasan Teori
1.5.1
Semiotika Penelitian ini akan menggunakan teori semiotika yang dikembangkan oleh
Roland Barthes. Dalam bukunya yang berjudul Mitologi, mula-mula Barthes menjelaskan perihal mitos. Barthes (2015:151—152) mengungkapkan bahwa mitos merupakan sebuah sistem komunikasi. Ia merupakan sebuah pesan. Mitos tak bisa menjadi objek, konsep, atau ide, tetapi mitos merupakan cara penandaan itu sendiri. Segala sesuatu dapat menjadi mitos apabila disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara ia mengutarakan mitos itu sendiri. Pada dasarnya, segala sesuatu tidaklah diekspresikan dalam waktu yang bersamaan, tetapi beberapa objek menjadi mangsa wicara mitis untuk sementara waktu, lalu sirna, yang lain menggeser tempatnya dan memperoleh status sebagai mitos (Barthes, 2015:152—153). Mitos memiliki landasan historis karena mitos merupakan tipe wicara yang dipilih oleh sejarah. Ia tidak mungkin lahir begitu saja. Wicara jenis ini adalah sebuah pesan. Ia tidak terbatas pada wicara lisan saja, tetapi juga bisa terdiri dari berbagai bentuk tulisan atau representasi yang bisa menjadi pendukung wicara mitis. Wicara mitis terbentuk oleh bahan-bahan yang telah dibuat sedemikian rupa agar cocok untuk komunikasi. Itu semua karena bahan dari mitos menggunakan sebuah kesadaran akan penandaan sehingga seseorang bisa berpikir tentang bahan-bahan 10
tersebut dengan mengabaikan substansinya. Mitos tidak akan pernah dapat dihancurkan, tetapi mitos dapat ditaklukkan. Barthes (2015:197) mengatakan bahwa teramat sulit menaklukkan mitos dari dalam karena seseorang yang dapat lari dari kuncian satu mitos akan menjadi mangsa mitos yang lainnya. Senjata yang paling ampuh untuk melawan sebuah mitos adalah memitoskan mitos itu kembali dan menghasilkan sebuah mitos artifisial yang baru. Mitos pada dasarnya adalah salah satu wilayah dari sebuah ilmu yang umum, yakni ilmu semiotika. Barthes (2012:v) mengungkapkan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda. Dalam bahasannya mengenai tanda, Barthes mengambil pernyataan Saussure. Menurut de Saussure (1993:147), tanda memiliki tiga wajah, yakni penanda atau citra akustik, petanda atau konsep, dan tanda. Ikatan antara penanda dan petanda tidak bersifat alamiah, tetapi hubungan keduanya merupakan hubungan yang arbitrer. Yang dimaksud arbitrer di sini adalah berdasarkan kesepakatan suatu masyarakat tertentu. Dengan menggunakan konsep yang diambil dari Saussure mengenai tanda tersebut, Barthes mencoba mengembangkannya untuk menganalisis gejala-gejala budaya yang terdapat di dalam masyarakat, seperti majalah, gulat, dan lain sebagainya. Mitos bekerja pada dua tataran sistem, yakni sistem semiotika tingkat pertama dan sistem semiotika tingkat kedua. Jika digambarkan, diagramnya adalah sebagai berikut.
11
1. Penanda
2. Petanda
3. Tanda
2.
(Konsep)
Bahasa 1. Penanda (Bentuk) Mitos
3. (Penandaan)
Akan tetapi, untuk menyebut sistem semiotika tingkat kedua, Barthes menggunakan istilah lain, yakni istilah bentuk (form), konsep (concept) dan penandaan (signification). Istilah bentuk (form) sejajar dengan penanda pada tingkat pertama, konsep (concept) sejajar dengan petanda pada tingkat pertama, dan penandaan (signification) sejajar dengan tanda pada tingkat pertama. Sunardi (2004:89) mengungkapkan bahwa pembedaan ini dilakukan oleh Barthes karena proses penandaan (signification) dalam semiotika tidak persis sama. Sistem kedua memang mengambil model tingkat pertama, tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pada sistem kedua. Tanda dalam sistem tataran tingkat pertama dijadikan landasan oleh mitos untuk membentuk sistem semiotik tingkat kedua. Penanda mitos berdiri dalam keadaan rancu. Pada saat yang bersamaan, ia adalah makna sekaligus bentuk. Di salah satu sisi penuh, di lain sisi kosong. Sebagai makna, penanda telah memostulatkan adanya sebuah pembacaan atau pemahaman. Oleh karena itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada tataran sistem semiotika tingkat kedua, Barthes memperkenalkan istilah baru, yakni bentuk (form) dan konsep (concept). Penggunaan istilah baru pada tataran sistem tingkat kedua ini
12
bertujuan untuk menghindari kebingungan. Sebab lainnya adalah karena proses pemaknaan dalam sistem semiotik tingkat pertama dan sistem semiotik tingkat kedua tidak sama persis (Sunardi, 2004:89).
1.5.2
Mitos Kecantikan Setelah gerakan feminisme melampaui dua gelombang, perempuan telah
berhasil mendapatkan hak-hak yang diperjuangkan oleh mereka, yaitu hak berpolitik, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan keluar dari area domestik yang mengungkung mereka. Akan tetapi, setelah perempuan dapat keluar dari “wilayah peran” yang melabelinya,
perempuan
masih
belum
dapat
merasakan
kebebasan
yang
diinginkannya. Perempuan masih mempermasalahkan isu yang tidak penting, yakni memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kecantikan fisik (Wolf, 2004:23—24). Hal ini disebabkan oleh adanya kontruksi mengenai kecantikan yang terdapat di masyarakat sehingga membuat perempuan merasa perlu memerhatikan bentuk fisik mereka. Kecantikan bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan paten, bahkan tidak ada penampilan perempuan yang sungguh-sungguh dianggap benar. Semuanya begitu cair bergantung dengan budaya setempat (Wolf, 2004:552). Bukan hanya itu, kecantikan pun berubah dari waktu ke waktu. Perubahan konsep kecantikan berdasarkan waktu ini dapat dilihat dari penelitian Marwick (2005:x) yang mencatat bahwa konsep kecantikan di Eropa pada abad kedua puluh satu berbeda dengan konsep kecantikan pada abad kesembilan belas.
13
Kecantikan tidak hanya berkutat pada bentuk fisik perempuan. Akan tetapi, kecantikan juga mencakup pada hal-hal yang berupa nonfisik, seperti kepribadian, tingkah laku, bakat, sikap, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut sebagai inner beauty atau kecantikan nonfisik. Kecantikan jenis ini pun dipengaruhi oleh latar budaya yang melingkupinya. Dalam penelitiannya terhadap dunia penyiaran di Amerika, Wolf (2004:70) mengungkapkan bahwa perempuan dituntut untuk tampil “cantik” dan memiliki perilaku yang “cantik”. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa kecantikan jenis ini juga menjadi penting bagi perempuan. Perempuan dianggap sempurna ketika ia mempunyai kecantikan secara fisik dan juga nonfisik. Anggapan ini tidak bisa dilepaskan dari anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa kecantikan fisik selalu berbanding lurus dengan kecantikan nonfisik. Perempuan dituntut terus-menerus untuk mendapatkan kedua jenis kecantikan tersebut. Kemudian, tuntutan ini membuat perempuan terjebak dengan apa yang disebut sebagai mitos kecantikan. Mitos kecantikan merupakan alat politis yang digunakan untuk menentang kemajuan perempuan (Wolf, 2004:25). Mitos kecantikan ini bergerak dan memperluas kekuasaannya sehingga menjadi semacam kontrol sosial terhadap perempuan (Wolf, 2004:26). Akan tetapi, mitos ini bukan semata-mata tentang perempuan, tetapi mitos ini lebih cenderung merupakan persoalan institusi lakilaki dan kekuasaan institusional (Wolf, 2004:31—32). Hadirnya mitos kecantikan yang mengontrol perempuan membuat perempuan satu dengan yang lainnya saling cemburu dan bersaing untuk mendapatkan kecantikan yang diinginkannya. Persaingan
14
antarperempuan ini telah dijadikan bagian dari mitos yang membuat seolah-olah perempuan terpisah satu sama lainnya (Wolf, 2004:32). Sejak revolusi industri, ide tentang kecantikan pun berkembang bersamaan dengan ide tentang uang sehingga keduanya nyata-nyata menjadi paralel dalam ekonomi konsumen. Ketika perempuan sudah berhasil memasuki dunia kerja, kecantikan berubah menjadi sebuah kekayaan. Mitos kecantikan menjadi material untuk memperlemah posisi kaum perempuan dalam menuntut akses pada kekuasaan. Mitos kecantikan menghubungkan energi yang dimiliki perempuan dengan mesin kekuasaan sembari mengubah mesin tersebut sesedikit mungkin agar dapat mengakomodasi mereka (Wolf, 2004:43—44). Pada dasarnya, dengan menggunakan mitos kecantikan, mesin kekuasaan mengeksploitasi perempuan untuk kepentingan produksi. Ia mendeteksi kontribusi perempuan dalam sebuah kode agar sesuai dengan struktur kekuasaan. Mitos kecantikan juga digunakan untuk melengkapi rasa takut. Dari kacamata kekuasaan, rasa takut ini digunakan untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Selain itu, mitos ini pun membuat beberapa kebohongan untuk menggembosi perempuan. Bentuk-bentuk kebohongan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, kecantikan telah didefinisikan sebagai kualifikasi pekerjaan. Kedua, tujuan dari kualifikasi tersebut harus ditutupi. Ketiga, pikiran perempuan terus diinjeksi bahwa kecantikan merupakan suatu hal yang penting baginya (Wolf, 2004:58). Mitos kecantikan mempertentangkan kebebasan baru yang diperoleh perempuan terhadap kehidupan perempuan dengan cara membalikkan batasan sosial secara langsung hanya sebatas tubuh dan wajah perempuan saja (Wolf, 2004:543). 15
Dengan melihat hal tersebut dapat dilihat bahwa pihak yang dirugikan adalah perempuan. Perempuan hanya dilihat sebagai sebuah properti yang menjadi berharga ketika ia memiliki fisik yang cantik sedangkan otak dan pemikirannya tidak dianggap ada. Mitos kecantikan melanggengkan adanya anggapan bahwa nilai seorang perempuan adalah kecantikan. Adanya anggapan ini menyebabkan para perempuan menginginkan untuk tampil cantik dan laki-laki mendapatkan perempuan yang cantik. Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang alamiah karena berkaitan dengan hal yang bersifat biologis, seksual, dan evolusioner (Wolf, 2004:29). Di sini terlihat adanya hubungan antara seksualitas dan juga kecantikan. Selama ini, tubuh yang “cantik” dianggap sebagai tubuh yang dapat memuaskan dalam hal seksualitas, padahal dorongan seksual merupakan sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat (Wolf, 2004:255). Dalam pengamatan Wolf (2004:296) telah terjadi ketidaksimetrian dalam pendidikan seksual yang mempertahankan kekuatan laki-laki dalam mitos kecantikan. Mitos kecantikan juga telah membuat perempuan merasa tidak cantik sehingga kepercayaan diri mereka menjadi lemah, padahal pada dasarnya semua perempuan itu cantik (Wolf, 2004:545). Akan tetapi, perempuan cantik harus merasa yakin dengan kecantikan yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk lepas dari belenggu tersebut, perempuan harus dapat melampaui mitos kecantikan yang ada. Melampaui mitos kecantikan artinya perempuan dapat memisahkan hal-hal yang ada di sekeliling mitos kecantikan dan hal-hal yang memenjarakan perempuan dari mitos sendiri, yaitu seksualitas perempuan, keterikatan antarperempuan, kenikmatan visual, kesenangan sensual dalam material, bentuk, dan warna (Wolf, 2004:545). Oleh karena itu, perlu 16
dibuat mitos tandingan untuk melawan mitos kecantikan yang berkembang di masyarakat. Dalam bukunya, Wolf pun mengajak para perempuan untuk melampaui mitos kecantikan. Melampaui mitos kecantikan bukan berarti menyerang para perempuan yang berada dalam “posisi untung”, tetapi melampaui mitos kecantikan memosisikan perempuan pada kondisi yang lebih percaya diri dengan bentuk tubuh yang dimilikinya. Hal ini ditunjukkan dari keprihatinan Wolf mengenai pengendalian yang dilakukan oleh pelbagai konsep mengenai kecantikan ideal tentang kesempurnaan perempuan. Taktik ini digerakkan dengan cara mengambil apa yang terbaik dari kebudayaan perempuan dan menggabungkannya dengan tuntutan represif dari masyarakat yang didominasi laki-laki (Wolf, 2004:546). Oleh karena itu, perempuan harus dapat mengambil alih dirinya sendiri. Perempuan dituntut untuk menjadi independen. Dengan menjadi independen, perempuan akan terbebas dari mitos kecantikan ketika ia dapat memilih untuk menggunakan wajah, tubuh, dan pakaian sebagai satu bentuk sederhana dari ekspresi diri (Wolf, 2004:505). Hal ini disebabkan oleh subjektivitas manusia dalam memandang suatu penampilan berbeda-beda. Oleh karena itu, penampilan perempuan tidak ada yang sungguh-sungguh benar. Akan tetapi, dewasa ini, mitos kecantikan tidak hanya beroperasi pada perempuan semata. Dalam kata pengantar edisi terbarunya, Wolf (2004:18) mengatakan bahwa serangan mitos kecantikan tidak hanya berhenti menyerang perempuan, tetapi juga menyerang laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki pun saat ini 17
menjadi “korban” dari adanya mitos kecantikan ini. Mitos kecantikan telah bergerak dari sisi dalam subkultur gay menuju ke masyarakat suburban (Wolf, 2004:19). Lakilaki pun banyak yang merasa cemas dan peduli terhadap penampilannya. Mereka banyak yang melakukan fitness untuk membentuk tubuh mereka, mengganti gaya rambut sesuai tren, dan mengikuti model fesyen terkini. Tidak berhenti sampai di situ, penelitian Wolf (2004:19) mengungkapkan bahwa sepertiga pasar operasi kosmetik ditujukan oleh laki-laki.
1.5.3
Ideologi Dalam bukunya, Mitologi, Barthes (2015:199—200) menggunakan semiotika
sebagai alat untuk melakukan kritik ideologi terhadap budaya massa. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa semiotika dengan ideologi merupakan dua teori yang berbeda. Keduanya pun memiliki metode yang berbeda dalam analisisnya. Oleh karena itu, diperlukan teori ideologi untuk membongkar ideologi yang terdapat di dalam teks. Sebagai salah satu artefak media, novel pun termasuk dalam produk dari ideologi. Tujuan dari analisis ideologi adalah untuk menemukan makna dari sistem keyakinan yang tersembunyi di dalam sebuah teks (Stoke, 2006:83). Analisis ideologi diperlukan untuk mencari makna atau pesan yang ingin disampaikan oleh teks. Ada banyak pakar yang mengungkapkan definisi mengenai ideologi. Akan tetapi, pada penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep ideologi yang dimaksud oleh Naomi Wolf. Meskipun Wolf tidak memberikan definisi secara eksplisit mengenai ideologi, penulis akan mencoba memformulasikan definisi ideologi yang dimaksud olehnya. 18
Meskipun Wolf tidak memberikan definisi secara eksplisit mengenai ideologi, berulang kali Wolf menggunakan istilah tersebut. Wolf (2004:26) mengatakan bahwa ideologi kecantikan merupakan ideologi penghabisan yang masih menyisakan kekuatan untuk mengendalikan para perempuan hingga mereka tidak memiliki kontrol. Ideologi kecantikan ini diyakini oleh masyarakat dan telah menjadi sebuah kontrol sosial. Tidak hanya itu, ideologi ini menciptakan stereotipe-stereotipe tentang kecantikan “ideal” di dalam masyarakat. Ideologi ini dibentuk oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah media. Dalam pengamatannya terhadap dunia majalah, Wolf (2004:131—132) mengungkapkan bahwa majalah telah menciptakan makna kecantikan “ideal” yang hampir seluruhnya artifisial. Kemudian, konsep yang diciptakan oleh majalah ini menjadikan imajinasi tentang kecantikan “ideal” yang diyakini oleh perempuan dan masyarakat sebagai sesuatu yang sangat penting (Wolf, 2004:116). Para perempuan pun mengamini konsep ini dan ingin menjadikan konsep ini sebagai sesuatu yang nyata. Gagasan yang dibuat oleh majalah tersebut dipercaya dan dipegang teguh oleh para perempuan. Dari pemaparan singkat tersebut, penulis mencoba memformulasikan definisi ideologi yang dimaksud oleh Wolf, yakni sebagai sebuah sistem gagasan yang diyakini dan diharapkan oleh individu atau sekelompok individu tertentu. Penciptaan gagasan ini menggunakan mekanisme tertentu sesuai kepentingan suatu pihak tertentu. Dalam kasus majalah di atas membuktikan bahwa majalah telah menciptakan suatu gagasan tertentu mengenai kecantikan “ideal”. 19
1.6
Metode Penelitian Hal yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah menentukan objek
material dan objek formal. Objek material dalam penelitian ini adalah novel Maya karya Ayu Utami sedangkan objek formalnya adalah mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Adapun metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2001:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Ada dua tahap dalam penelitian ini. Tahap yang pertama adalah tahap pengumpulan data. Pada tahap ini, penulis akan mengumpulkan data-data primer dan data-data sekunder. Data-data primer meliputi berbagai data yang berhubungan dengan kecantikan yang terdapat di dalam novel Maya baik itu berbentuk dialog antartokoh, deskripsi, maupun narasi. Sementara itu, data-data sekunder diperoleh dari berbagai macam buku-buku, artikel-artikel, dan ulasan-ulasan yang berkaitan dengan konsepkonsep mengenai kecantikan. Data-data sekunder digunakan untuk mendukung proses analisis yang dilakukan terhadap data primer. Tahap yang kedua adalah tahap analisis data. Pada tahap ini, langkah pertama yang akan dilakukan oleh penulis adalah melakukan analisis dengan menggunakan teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mitos terdiri dari dua tataran sistem semiotika. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah menganalisis sistem semiotika tingkat pertama. 20
Tataran ini terdiri atas tanda, penanda, dan petanda. Tanda yang terdapat di dalam sistem ini dijadikan sebagai penanda untuk melakukan analisis terhadap sistem semiotika tingkat kedua. Pada tahap ini, penulis akan melakukan identifikasi terhadap penanda-penanda kecantikan yang terdapat di dalam novel Maya sehingga menciptakan suatu tanda. Setelah itu, dengan menggunakan teori mitos kecantikan akan dianalisis pula tekanan-tekanan yang dialami oleh para tokoh karena adanya mitos kecantikan tersebut. Setelah melakukan analisis pada sistem semiotika tingkat pertama, langkah selanjutnya adalah menganalisis sistem semiotika tingkat kedua. Tataran ini terdiri atas bentuk (yang merupakan tanda pada tingkat pertama), konsep, dan penandaan. Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan makna pada sistem semiotika tingkat kedua. Pada tahap ini, penulis akan mencari makna yang terkandung di balik mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Selain itu, penelitian ini juga akan menelusuri ideologi dominan yang terdapat di dalam teks. Penelusuran ideologi dominan dilakukan untuk mencari pesan yang terdapat di dalam novel tersebut. Langkah terakhir adalah menyajikan hasil penelitian.
1.7
Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II adalah penanda-penanda kecantikan dalam novel Maya. Bab III adalah tekanan mitos 21
kecantikan di dalam novel Maya. Bab IV adalah makna di balik mitos kecantikan. Bab V adalah kesimpulan.
22