BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Fraud merupakan permasalahan yang perlu untuk dikaji, dicari solusinya, dan
dilakukan pemberantasan. Tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, fraud juga marak terjadi pada pemerintah daerah. Dalam 10 tahun terakhir, kasus korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 53 kasus pada pemerintah provinsi, dan 91 kasus pada pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan jenis perkara yang ditangani KPK, prosentase besar terjadinya fraud yaitu pada pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu sebesar 32% dari keseluruhan perkara. Prosentase tersebut belum termasuk kasus penyuapan yang kemungkinan juga berhubungan dengan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Berdasarkan data rekapitulasi dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2014, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa tipe kasus pengadaan barang/jasa, yaitu kasus yang merugikan keuangan negara, berpotensi merugikan keuangan negara, kekurangan penerimaan, melanggar administrasi, menimbulkan ketidakhematan, dan menimbulkan ketidakefisienan. Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan kerugian Negara terdiri dari beberapa bentuk, yaitu (1) Pengadaan barang/jasa fiktif, (2) Rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan, (3) Kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang, (4) Kelebihan pembayaran, (5) Pemahalan harga, (6) Spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak. Total kasus pada tingkat pemerintahan daerah
1
2
khususnya tingkat Kabupaten sebanyak 810 kasus dengan total kerugian Negara sebesar Rp. 276.893.640.000,-. Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan potensi kerugian Negara terdiri dari beberapa bentuk, yaitu (1) Kelebihan pembayaran barang/jasa, (2) Rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak dalam masa pemeliharaan, (3) Pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai ketentuan, (4) Pihak ketiga belum melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan asset kepada daerah. Total kasus pada tingkat Kabupaten sebanyak 102 kasus dengan total potensi kerugian Negara sebesar Rp. 60.391.650.000,-. Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan kekurangan pembayaran yaitu terkait dengan denda keterlambatan pekerjaan yang belum/tidak diterima Daerah. Total kasus pada tingkat Kabupaten sebanyak 247 kasus dengan nilai sebesar Rp.58.601.350.000,-. Kasus pengadaan barang/jasa secara administratif berupa (1) Pekerjaan dilaksanakan mendahului kontrak atau penetapan anggaran, (2) Proses pengadaan barang/jasa tidak sesuai ketentuan, (3) Pemecahan kontrak untuk menghindari pelelangan, (4) Pelaksanaan lelang secara proforma. Total kasus pada tingkat Kabupaten yaitu sebanyak 87 kasus. Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan ketidakhematan berupa (1) Penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa tidak sesuai standar, (2) Pemborosan keuangan Daerah (kemahalan harga). Total kasus pada tingkat Kabupaten yaitu sebanyak 69 kasus, dengan nilai sebesar Rp. 35.826.440.000,-
3
Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan ketidakefektifan berupa (1) Pemanfaatan barang/jasa tidak sesuai rencana, (2) Barang yang diadakan belum/tidak dapat dimanfaatkan, (3) Pemanfaatan barang/jasa tidak berdampak bagi pencapaian tujuan organisasi. Total kasus pada tingkat Kabupaten sebanyak 24 kasus, dengan nilai sebesar Rp. 29.064.040.000,-. Di Kabupaten Kulon Progo, fraud pengadaan barang/jasa termasuk dalam kategori tinggi. Hasil pemeriksaan BPK pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo 5 tahun terakhir yaitu tahun 2009 sampai dengan tahun 2014, jumlah temuan pemeriksaan BPK yaitu sebanyak 168 temuan dengan nilai Rp. 39.798.470.112,-. Dari
temuan
pemeriksaan
tersebut,
terdapat
rekomendasi
senilai
Rp. 5.633.846.817,-. Dari rekomendasi tersebut, sebanyak 87% yaitu sebanyak 33 temuan senilai Rp. 4.907.234.156,- berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo. Fraud pengadaan barang/jasa pemerintah berpotensi terjadi pada tahapantahapan proses yaitu (1) pada tahap perencanaan pengadaan, (2) pada tahap pelaksanaan lelang, dan (3) pada tahap pelaksanaan pekerjaan. Modus operandi yang digunakan sangat beraneka ragam dan selalu berkembang. Fraud yang berpotensi terjadi pada tahap perencanaan pengadaan barang/jasa pemerintah diantaranya yaitu (1) Konsultan mengarahkan spesifikasi teknis pada produk atau penyedia barang/jasa tertentu, (2) Desain konstruksi tidak mencerminkan keadaan lapangan yang mengakibatkan berubahnya jadwal, volume, dan harga, (3) Rencana pengadaan digelembungkan, (4) Harga Perkiraan Sendiri (HPS) digelembungkan, tidak berdasar harga pasar, (5) Rencana pengadaan tidak sesuai permintaan calon pengguna,
4
Fraud yang berpotensi terjadi pada tahap pelaksanaan lelang pengadaan barang/jasa pemerintah diantaranya yaitu (1) Kurang transparannya pengumuman lelang untuk membatasi jumlah rekanan, namun hal ini sudah mulai berkurang sejak diberlakukannya sistem pelelangan pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement), (2) Pelelangan bersifat formalitas saja, peserta terdiri dari rekanan yang dipinjam benderanya dan aanwijzing ditandatangani rekanan lain tanpa hadir, (3) Kualifikasi tenaga asing yang diajukan telah ada di dalam negeri dan dalam kontrak lanjutan masih terdapat biaya mendatangkan tenaga asing, (4) Pengurangan lingkup pekerjaan setelah pembukaan lelang dengan maksud mengubah aturan pemenang atau pengusulan pemenang bukan dari urutan terendah nilai penawarannya, (5) Penawar yang lulus terbaik dari evaluasi teknis maupun administrasi tidak diusulkan sebagai pemenang dengan alasan pekerjaan calon rekanan tersebut pada proyek lain tidak baik, padahal sesungguhnya tidak demikian. Fraud yang berpotensi terjadi pada tahap pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu (1) Pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, namun dalam penghitungan eskalasi menggunakan indeks harga waktu pelaksanaan, (2) Pekerjaan dikurangi tidak sesuai kontrak, (3) Pekerjaan disubkontrakkan tanpa ijin pemberi kerja, (4) Pengawas pekerjaan di lapangan lemah, dan dimungkinkan terjadi penyuapan, (5) Pekerjaan tambahan yang berakibat naiknya nilai kontrak tidak didukung dokumen tertulis yang lengkap, (6) Sebagian atau seluruh pekerjaan yang diborongkan dilaksanakan oleh pihak intern pemberi kerja, (7) Harga satuan dalam kontrak terdapat upaya untuk mendapatkan pekerjaan tambah untuk jenis pekerjaan yang harga satuannya tinggi,
5
dan kurang untuk yang harga satuannya rendah dengan maksud menaikkan nilai realisasi kontrak, (8) Pekerjaan yang terdapat dalam kontrak tidak dilaksanakan, tetapi dalam berita acara dianggap telah selesai sehingga pembayaran fiktif terjadi, (9) Pengadaan barang tidak langsung kepada agen tunggal tapi melalui perantara, sehingga harganya terlalu mahal, (10) Tenaga ahli yang tercantum dalam dokumen usulan ternyata tidak ada atau tidak melakukan kegiatan di lapangan, sehingga kualitas pekerjaan menjadi di bawah standar, (11) Addendum perpanjangan waktu direkayasa untuk melindungi rekanan dari pengenaan denda keterlambatan pekerjaan. Besarnya kasus fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah yang ditangani KPK dan temuan BPK terkait dengan pengadaan barang/jasa menandakan lemahnya fungsi auditor internal pada pemerintah daerah dalam mencegah dan mendeteksi fraud. Potensi terjadinya fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah perlu ditangkal agar dapat hilang atau paling tidak berkurang. Hal ini dapat dilakukan dengan pencegahan dan dan pendeteksian fraud tersebut. Pencegahan dan pendeteksian fraud ini merupakan tindakan yang lebih mudah dan murah bila dibandingkan dengan audit investigatif. Pencegahan dan pendeteksian fraud lebih mudah karena bersifat proaktif bila dibandingkan dengan audit investigatif yang bersifat reaktif. Pencegahan dan pendeteksian fraud lebih murah karena biaya yang dikeluarkan akan lebih murah apabila dibanding dengan audit investigatif. Pencegahan fraud yang dapat dilakukan yaitu dengan implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang andal dan praktik yang sehat dalam pengimplementasiannya. Pengendalian internal tidak akan dapat efektif mencegah
6
fraud jika di suatu organisasi tersebut terdapat kolusi dan pengabaian yang dilakukan oleh manajemen. Upaya pencegahan fraud berikutnya yaitu dengan penerapan manajemen risiko. Manajemen risiko ini merupakan suatu proses pengelolaan sumberdaya organisasi untuk mengantisipasi risiko-risiko yang mungkin terjadi yang telah diidentifikasi, diukur dan dicari cara penanganannya. Dengan diterapkannya manajemen risiko diharapkan fraud dapat dicegah atau potensi fraud yang ada dapat diminimalisir. Upaya pencegahan fraud lainnya yaitu dengan dibuat regulasi beserta sanksi. Regulasi tersebut memuat aturan, perintah, larangan, dan sanksi atas pelanggarannya. Dengan dibuatnya regulasi dan sanksi tersebut diharapkan mempunyai daya kerja pencegahan terhadap tindakan fraud. Selain itu, Inspektorat Daerah melalui auditor harus mampu untuk mendeteksi adanya fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah. Pendeteksian fraud dilakukan dengan mengidentifikasi tanda-tanda atau gejala terjadinya untuk dianalisis apakah tanda-tanda tersebut menunjukkan identifikasi awal terjadinya fraud. Dengan mengenali gejalanya maka dapat pula mengenal adanya indikasi fraud. Pendeteksian fraud juga dapat dilakukan dengan critical point of auditing dan analisis kepekaan (job sensitivity analysis). Selain itu auditor juga dapat mendeteksi fraud dengan adanya pengaduan melalui whistleblowing system yang juga dapat berfungsi dalam pencegahan fraud.
Dengan terdeteksinya fraud
diharapkan manajemen segera dapat menindaklanjutinya untuk perbaikan sesuai rekomendasi atau arahan yang disampaikan oleh auditor.
7
Dalam pelaksanaan pencegahan dan pendeteksian fraud tersebut, peranan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam hal ini yaitu Inspektorat Daerah sangat diperlukan. Seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah pasal 4 menyebutkan bahwa Pimnpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, yang salah satunya dilakukan melalui perwujudan peranan Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang efektif. Dalam peraturan pemerintah tersebut menyebutkan bahwa peranan Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang efektif sekurang-kurangnya harus: (a) memberikan keyakinan yang memadaiatas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah, (b) memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah, dan (c) memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pada pasal 47 ayat 2 juga menyebutkan bahwa untuk memperkuat dan menunjang `efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan Negara. Pada pasal 48 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa pengawasan intern dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lainnya.
8
Dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tersebut pada pasal 116 ayat 1 menyebutkan bahwa K/L/D/I wajib melakukan pengawasan terhadap PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan di lingkungan K/L/D/I masing-masing, dan menugaskan Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang bersangkutan untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan. Dalam hal ini, pada Pemerintah Daerah audit dilakukan oleh Inspektorat Daerah. Dalam Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Daerah pada pasal 4 ayat (2) juga menyebutkan bahwa untuk memperkuat dan menunjang efektivitas SPIP dilakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD oleh Inspektorat Daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai peranan Inspektorat Daerah dalam pencegahan dan pendeteksian fraud yang terjadi atau berpotensi terjadi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah. Untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Peranan Inspektorat Daerah dalam Pencegahan dan Pendeteksian Fraud Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah (Studi Kasus pada Inspektorat Daerah Kabupaten Kulon Progo).
1.2 Rumusan Masalah Fraud pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo perlu ditangani. Penanganan fraud dapat dilakukan dengan mencegah dan mendeteksi fraud tersebut, sehingga potensi yang ada dapat dihilangkan atau paling
9
tidak ditekan, dan yang sudah terjadi apabila terdeteksi sedini mungkin maka dapat dilakukan tindak lanjut oleh manajemen untuk memperbaiki atau dilakukan audit investigatif apabila diperlukan. Inspektorat Daerah selaku APIP di Pemerintah Daerah harus selalu berperan dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa tersebut. Melalui ketugasannya dalam pengawasan, pemeriksaan, dan pendampingan diharapkan Inspektorat Daerah dapat secara efektif menjalankan peranannya tersebut. Bagaimana peranan Inspektorat Daerah dalam pencegahan dan pendeteksian fraud tersebut perlu dianalisis. Perlu diketahui apakah Inspektorat Daerah telah efektif dalam melakukan ketugasannya yang berhubungan dengan pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah. Selanjutnya perlu dirumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka peningkatan efektifitas peranan Inspektorat Daerah tersebut.
1.3 Pertanyaan Penelitian Dari rumusan permasalahan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: a.
Bagaimana peranan Inspektorat Daerah dalam pencegahan fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo?
b.
Bagaimana peranan Inspektorat Daerah dalam pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo?
c.
Bagaimana langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan efektivitas peranan Inspektorat Daerah dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo?
10
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis peranan Inspektorat Daerah dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo. Tujuan lainnya yaitu untuk menganalisis dan menentukan langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan oleh Inspektorat Daerah untuk meningkatkan efektivitas peranannya dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo.
1.5 Motivasi Penelitian Penelitian ini perlu dilakukan untuk memperoleh pemahaman bagaimana peranan Inspektorat Daerah dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah. Selanjutnya pemahaman tersebut
dapat
dipergunakan untuk menganalisa dan menentukan langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan oleh Inspektorat Daerah dalam meningkatkan efektivitas peranannya dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah. Hasil analisa yang didapat dan saran yang dibuat dalam penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk bahan pertimbangan bagi manajemen dalam pengambilan keputusan atau pembuatan regulasi yang berkaitan dengan pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa pemerintah daerah, khususnya pada Inspektorat Daerah Kabupaten Kulon Progo.
1.6 Kontribusi Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
11
a.
Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pengetahuan ataupun sebagai salah satu sumber informasi bagi peneliti yang melakukan penelitian sejenis.
b.
Bagi praktisi khususnya auditor pada Inspektorat Daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam peranannya pada pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah.
c.
Bagi organisasi khususnya Inspektorat Daerah Kabupaten Kulon Progo, penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan mengenai langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan efektivitas peranannya dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo.
1.7 Sistematika Penulisan Penulisan ini disajikan dalam 7 bab, dengan rincian sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian ini, yang terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, bab ini menguraikan tinjauan pustaka mengenai konsep-konsep yang terkait dengan teori keagenan, pengadaan barang/jasa pemerintah, fraud, fraud pengadaan barang/jasa pemerintah, pencegahan fraud, pendeteksian fraud, peranan Inspektorat Daerah selaku auditor internal dalam pencegahan dan pendeteksian fraud pengadaan barang/jasa
12
pemerintah. Bab ini juga menguraikan penelitian terdahulu yang relevan, serta kerangka pemikiran. BAB III LATAR BELAKANG KONTEKSTUAL PENELITIAN, bab ini menjelaskan secara deskriptif tentang obyek penelitian. Bab ini juga menjelaskan secara kontekstual aplikasi teori-teori yang dimuat di studi literatur di lingkungan di mana organisasi yang menjadi obyek penelitian berada. BAB IV RANCANGAN PENELITIAN, bab ini menjelaskan rasionalitas penelitian menggunakan metode studi kasus pada obyek penelitian. Bab ini juga menjelaskan mengenai metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini terdiri dari rasionalitas pemilihan obyek penelitian, metode penelitian yang digunakan, desain penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan. BAB V PEMAPARAN TEMUAN, Bab ini menjelaskan temuan-temuan dalam investigasi dan dirumuskan sebagai materi analisis hasil investigasi. BAB VI RINGKASAN DAN PEMBAHASAN, Bab ini memuat secara ringkas mengenai latar belakang, cara dan hasil penelitian. Selanjutnya hasil temuan akan didiskusikan menurut landasan teori. Kemudian hasil diskusi akan dirumuskan atau disimpulkan secara komprehensif dan menjelaskan dalam kaitannya dengan pertanyaan penelitian. BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI, bab ini menyajikan kesimpulan, keterbatasan, implikasi dan saran bagi penelitian-penelitian selanjutnya.