BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di abad 21 Indonesia kembali tampil mengguncang dunia setelah sebelumnya di zaman presiden Soekarno Indonesia dengan kekuatan politiknya mampu tampil dipentas uatama pusaran politik global dengan menjadi pioner atau pencetus Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, gerakan non blok, olah raga blok timur (GANEFO) dan lain sebagainya. Hanya dalam rentang 2012-2013 Indonesia mengguncang dunia dengan kemampuan maskapai swasta milik orang Indonesia yakni Lion Air Group membeli pesawat total hampir 700 unit yang dengan nilai lebih dari setengah APBN tahun 2012. Sebuah angka yang fantastis dan terbesar sepanjang masa dalam pembelian sebuah produk sampai penelitian ini ditulis. Pada tahun 2012 maskapai Lion Air membukukan pembelian 320 pesawat Boeing. Ini adalah pembelian terbesar sepanjang sejarah penjualan Boeing. Saking begitu fenomenalnya sampai-sampai presiden AS yakni Barack Obama turun tangan mengapresiasi kepada maskapai penerbangan
swasta Indonesia (Lion Air). Dengan
pembelian barang bergengsi, mewah dan supermahal berupa pesawat tak hayal berkontribusi besar bagi perekonomian Amerika serikat. Dalam sebuah pernyataan Barack Obama dikatakan bahwa pemesanan 320 atau setara lebih dari Rp. 300 triliyun mampu mendorong pemulihan eknomi AS yang kala itu sedang kurang sehat. Hanya selang beberapa bulan saja ditahun 2013
Indonesia melalui maskapai
yang sama kembali memecahkan rekornya sendiri dengan membeli pesawat Air bus sebanyak 324. Pembelian 324 airbus pun mampu mendorong perwakilan Uni Eropa sekaligus presiden Perancis juga ikut turun tangan serta mengucapkan pujianya. Presiden Perancis pun menyatakan juga terima kasih karena telah menyelamatkan perekonomian 1
serta ribuan rakyat perancis yang saat itu sedang resesi ekonomi. Dari pembelian itulah yang membuat rakyat di eropa kagum dan memuji Indonesia. Namun dibalik ketenaran Indonesia atas kemampuan luar biasa dalam membeli pesawat secara grosir tersebut ternyata menyingkap ironi tersendiri. Pembelian pesawat secara grosir ternyata tidak diiringi dengan pertumbuhan kemampuan atau kapasitas PTDI atau Perusahaan Terbatas Dirgantara Indonesia yang dahulu bernama IPTN
(Industri
Pesawat Terbang Nusantara). Padahal PTDI adalah bagian dari industri strategis bangsa yang pernah menorehkan prestasi bangsa dibidang high technology pada tahun 1990an. Sayangnya selaku produsen pesawat terbang dalam negeri ternyata tidak dapat mengimbangi kekuatan pasar pesawat indonesia yang belakangan menjadi laris bak kacang goreng persis seperti yang diramalkan Prof. Ing. Habibie puluhan tahun silam. Otomatis keadaan ini menjadikan Indonesia akhirnya hanya menjadi pasar empuk bagi produsen pesawat asing (negara asing). PTDI dahulu pernah menorehkan prestasi dengan produk pesawat N250 dan konsep N2130 yang memiliki kunggulan komparatif sehingga mampu sejajar dengan industri pesawat asing yang lebih mapan. Hal tersebut diafirmasi oleh studi yang dilakukan oleh David MK Rodrick (2009:54) yang menyimpulkan bahwa IPTN telah membuat kemajuan besar disebagian besar kemampuan teknologi, mendapatkan pengakuan kualitas produk secara international, dan praktis merupakan satu dari sedikit perusahaan Indonesia yang melakukan inovasi teknologi sesungguhnya, yaitu merancang dan mengembangkan generasi baru pesawat terbang untuk bersaing dengan produk dari negara negara maju. (David, 1992). Dengan segala kemampuan yang dimilikinya PTDI telah mengatongi pemesanan pembelian dalam jumlah besar pesawat N250 dan respon positif antusias atas konsep N2130 dari berbagai maskapai dunia. Dilihat dari ekonomi politik, eksistensi PTDI merupakan bagian dari usaha Indonesia
menuju
tahapan negara lepas landas. 2
Namun impian tinggal landas Indonesia terkubur seiring datangnya badai krisis moneter tahun 1997 yang merontokan perkembangan PTDI. Prospek cemerlang PTDI saat itu ternyata harus pupus manakala lembaga keuangan internasional yang bernama IMF
menjegal subsidi PTDI. Saat itu Indonesia yang dilanda krisis berat meminta
bantuan kepada IMF sejumlah pinjaman untuk mereparasi perekonomian yang rapuh. Namun oleh IMF Indonesia harus meneken sejumlah prasyarat dalam bentuk Letter of Intent (LoI) agar bisa mengakses pinjaman tersebut. Salah satu pon dari syarat tersebut adalah dilarangnya Indonesia untuk memberikan subsidi kepada PTDI. Singkatnya pemerintah yang saat itu di bawah presiden Soeharto langsung menerbitkan instruksi presiden no 3 tahun 1998 untuk menghentikan pendanaan terhadap PTDI. Dengan berhentinya subsidi PTDI maka seketika membuat PTDI mengalami kemerosotan secara signifikan. Cerita tentang kemerosotan PTDI oleh pencabutan subsidi yang didorong IMF merupakan sejarah yang sarat tragedi dan ironi. Kondisi PTDI yang dahulu memiliki karyawawan belasan ribu dan menempati luas wilayah hampir seratus hektar di Bandung kini seolah tak bertaring. Dahulu sebelum krisis monter 1997 PTDI telah menjual pesawat ke berbagai negara dan perusahaan didunia. Adapun total keseluruan produksi pesawat dan helikopter lebih dari 200 unit. Dari penjualan produk pesawat dan helikopter lah kemudian PTDI meraup omset sekitar 1 triliyun rupiah pertahun.1 Pencabutan subsidi juga membuat kondisi PTDI menjadi parah dan lemah berkepanjangan. PTDI hampir dipailitkan oleh bekas karyawan yang sempat terkena PHK karena masalah gaji dan pesangon. Bahkan untuk sekedar bertahan hidup PTDI yang notabene industri besar yang high technology berubah atau turun „‟turun kelas‟‟ sampaisampai memproduksi barang industri rumah tangga. Dari usaha utama atau core industry PTDI memiliki utilitas (kapasitas produksi) dengan produksi hanya 6 pesawat pertahun.
1
Sudarmadi,Bangkitnya
PTDI (.Jakarta :SWA Publishing, 2013) hlm. 4
3
Pada aspek SDM atau karyawan pun tidak kalah tragisnya dimana sebagai contoh ditahun 2010 saja pernah beberapa bulan gaji karyawan hanya dibayar separuh dan selevel direksi bahkan beberapa bulan tidak digaji. Di PTDI juga memiliki 800-an ahli rancang pesawat yang waktu itu menganggur tetapi harus digaji tinggi.2 Kasus yang melanda industri Indonesia ini terbilang sangat ironis mengingat PTDI digadang-gadang menjadi motor Indonesia menuju negara lepas landas justru terjungkal. Bagaimana mungkin industri sekelas PTDI yang beraset triliyunan kemudian terseungkur lemah secara drastis dalam waktu singkat pasca pencabutan subsidi. Padahal PTDI diatas kertas sudah bisa memproduksi berbagi helikopter, CN-212, N-235 serta produk lainya yang kesemuanya diterima di pasar dunia. Hingga kini industri negara pelat merah ini belum mampu bangkit seperti semasa jayanya dahulu hingga sekarang, padahal di tahun 2003 pemerintah Indonesia telah mengakhiri pinjaman terhadap IMF. Dengan berakhirnya pinjaman IMF dengan cara penulasan, otomatis “resep“ Letter of Intent dimana salah satunya berupa structural conditionality untuk mencabut subsidi PTDI telah berakhir. Kemudian, di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono PTDI kemudian diberi subsidi lagi. Namun fakta dilapangan PTDI tidak seperti dulu, PTDI sekarang menjadi pabrik pembantu dari pabrik raksasa dunia. Dengan menjadi pabrik untuk membuat pesanan dan alat-alat lain, praktis PTDI kini menjadi tidak memiliki ekonomi inovasi secara mandiri seperti sediakala. Fenomena dicabutnya subsidi pada PTDI dalam kacamata teoritis merupakan pencabutan proteksi terhadap suatu industri yang masih muda. Hal ini dapat dilihat dari kasat mata bahwasanya dahulu PTDI belum merampungkan transformasi teknologi dan produksi pesawat kemudian diputusnya subsidi ditengah jalan. Padahal dalam dinamika politik global pada faktanya kebijakan proteksi memiliki andil dalam kemajuan suatu
2
Ibid.,hlm.10
4
negara. Adapun
Contoh yang cukup representatif disisni adalah Jepang pasca perang
dunia kedua. Jepang selalu memberi proteksi tinggi kepada sektor industrinya dengan berbagai cara dan yang cukup terkenal adalah adanya politik dumping pada sekotr industrinya. Di lain fihak, Jepang mampu mengembangkan sektor industri berdasarkan teknologi tinggi yang mampu membangkitkan ekspor barang hasil industri yang nilainya beratus milyar dollar.
Dewasa ini contoh yang terbaik adalah Cina, yang juga
membangun ekonomi
yang dualistik dan
yang mampu mempertahankan laju
pertumbuhan PDB tinggi dengan proteksi. Namun setelah memiliki daya saing besar pada industri modern yang terzonasi kemudian secara sistematis melepas proteksinya dengan bergabung pada organisasi WTO (World Trade Organization) ataupun AFTA (Asean Free Trade Area) dsb. Pencabutan proteksi pada dasarnya dilakukan sebagai usaha suatu negara untuk mendorong industri manufaktur supaya industrinya survive sehingga kuat di pasar global. Dengan kuatnya industri dalam suatu negara maka sama saja melindungi tulang punggung ekonomi (power house) sehingga dapat berkontribusi terhadap perekonomian nasional suatu negara. Namun dilain hal ketika suatu industri dicabut proteksinya sebelum “matang” maka dapat menyebabkan industri tersebut lemah bahkan mati. Berkaca dari kasus PTDI setidaknya kajian terkait pencabutan proteksi yang dalam hal ini pencabutan subsidi menjadi fokus penting bagi kajian politik pembangunan. Momentum yang terjadi pada kasus PTDI terlalu sayang untuk hanya dijadikan catatan sejarah saja. Padahal fenomena kasus ini patut menjadi pelajaran khususnya para The king and decision maker negara ini guna pembangunan selanjutnya supaya tidak terperangkap pada lubang kegagalan yang sama. Sadar atau tidak, selama ini dalam pengamatan peneliti tentang kajian politik pembangunan di Indonesia yang dalam hal ini peneliti asumsikan sebagai pembangunan vertikal masih minim. Mayoritas kajian politik di Indonesia lebih cenderung pada yang sifatnya pembangunan bersifat horizontal (politik identitas, politik pemilu, partai politik 5
representasi, politik konflik dsb) yang salah satu outputnya bermuara pada penguatan demokrasi & masyarakat sipil. Menurut hemat peneliti perlu adanya proporsionalitas kajian politik sesuai dengan konteks kebutuhan bangsa saat ini sehingga dapat terwujudnya pembangunan secara horizontal maupun vertikal yang sinergis.
Sudah
menjadi wacana umum di banyak pembangunan yang gagal bukan karena tidak ahli dalam SDM atau teknologi namun terhambat faktor politis. Untuk itulah diharapkan melalui penelitian ini dapat mendorong dan memacu inovasi wacana baru teoritis kajian politik pembangunan di Indonesia. Sedangkan secara teknis penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan proses dicabutnya proteksi pada industri yang belum matang seperti PTDI. Untuk itu, secara spesifik penelitian ini berusaha memotret relasi kuasa IMF pada proses kedatanganya dalam pencabutan proteksi industri pesawat terbang yang sebelumnya didahului pada penggalian argumentasi PTDI sebagai industri muda sehingga perlu diproteksi. Pada bagian selanjutnya dalam penelitian berusaha membedah niatan intervensi IMF dalam mencabut subsidi dengan membandingkan argumentasi IMF dengan prospek
produk
PTDI (N250 dan N2130). Adapun sejauh penelusuran terdapat penelitian sejenis terkait politik proteksi yang dalam hal ini pencabutan proteksi oleh IMF yang ditulis oleh David Roddrick dari universitas Harvard. Dalam tulisanya Rodrik menulis PTDI sebagai kebijakan negara berkembang yang melakukan industrialisasi. Hal lain yang cukup relevan dalam tulisan ini adalah tulisan dari Prof Dr Ing Habibie tentang pembangunan teknologi. Dalam kesempatan ini peneliti menempatkan kedua tulisan diatas sebagai sebagai acuan untuk membangun argumen perlunya industrialisasi di Indonesia dalam rangka menuju negara lepas landas. Dari segi kasuistik peneliti mengambil dua referensi penelitian penting. Pertama penelitian dari Strategi bersaing dalam kebijakan jangka panjang yang ditulis oleh Roni 6
Patar Situmorang.3 Kedua, penelitian
Abdul Majid terkait industri strategis.4 Kedua
penelitian ini berfokus mengkaji dari aspek manajamennya saja. Walaupun begitu kedua penelitian ini menjadi acuan penting bagi peneliti untuk melihat PTDI dalam kerangka politik sebagai upaya menuju negara lepas landas yang berbasis state led development atau pembangunan berbasis aktor negara dalam dominasi kebijakanya. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana proses politik dalam pencabutan subsidi PTDI pada krisis tahun 1998? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini berusaha untuk; 1.3.1
Mengetahui proses politik yang terjadi dalam pencabutan subsidi pada PTDI
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Menjadi kajian untuk menguak kegagalan industri strategis yang berimplikasi sistemik. Sehingga menjadi bahan referensi bagi para pengambil keputusan dalam memajukan industri guna mencapai kondisi tinggal landas menuju negara maju yang digambarkan oleh Rostow.
1.4.2
Memberikan
stimulasi
dalam
pengembangan
diskursus
ilmu
politik
pembangunan yang notabene masihg sangat minim di Indonesia 1.4.3
Memberikan inspirasi bagi kaum intelektual khususnya mahasiswa
akan
kemampuan putra-putri bangsa terbukti dengan prestasi yang pernah dimiliki PTDI yang dielaborasi dalam tulisan ini
baik untuk keperluan akademis
mapun non akademis.
3
Patar Situmorang, Strategi Bersaing Jangka Panjang PTDI,Tesis.2002. hlm. 132
4
Abdul. Majid, Analysis Aircraft Manufactur IPTN, An Indonesia State Owned.2000. Thesis of Company Naval Postgraduate School Monterey, California.1995
7
1.5
Kontestasi & Hegemoni Teori Pembangunan Dalam Literatur Untuk memahami pembangunan indonesia dalam industrialisasi high technology
PTDI, terdapat beberapa pendekatan untuk menjelaskan hal tersebut yang diantaranya dengan teori developmentasl state. Konsepsi developmentasl state merupakan teori yang membahas hubungan negara dengan aktivitas pembangunan di negaranya. Dalam penjelasan lebih lanjut, teori ini memposisikan negara sebagai aktor utama dalam pembangunan. Dengan kata lain, teori ini juga menempatkan aktivitas pembangunan sebagai prioritas utama negara. Selain itu, negara ditempatkan sebagai aktor utama dalam mendorong pembangunan tersebut. Teori ini muncul dari gagasan state-led development. Dalam artian teori ini menuntut adanya good governance. Dengan kata lain teori developmentasl state merupakan nama lain dari state led development. Sebagai teori yang menitikberatkan pada aspek negara sebagai lokomotif oleh karenanya negara harus memiliki kemampuan untuk mengontrol atau melakukan intervensi dalam wilayahnya dan sumber daya utamanya, serta harus terdapat pencapaian tertentu.5 Teori developmental state atau state led development mendefinisikan hal lain pada konsep pengarahan pasar. Teori ini memposisikan aktor negara sebagai lokomotif pembangunan di wilayah kekuasaanya. Poin utama dari state led development yang diungkapkan oleh Chalmers Johnson adalah: 1. Pembangunan ekonomi (pertumbuhan, produktivitas, distribusi dan kompetisi) merupakan hal prioritas utama negara. 2. Developmental state bukanlah negara sosialis sehingga terdapat komitmen pada pasar dan kepemilikan individu. Meski demikian, pasar dikontrol pemerintah melalui formulasi
5
V. Fritz and A. Rocha Menocal.. (Re)building Developmental States: From Theory to Practice. (London: Overseas Development Institute).hlm 87
8
kebijakan strategis industrialisasi yang untuk mempromosikan pembangunan yang tetap dalam konsep kenyamanan pasar. 3. Birokrasi negara menjadi koordinator sentral yang memainkan peran penting dalam m kebijakan strategis dan implementasinya.6 Teori
ini
juga
menjelaskan
tentang
strategi
pembangunan
negara
yang
menitikberatkan pada industrialisasi yang berorientasi ekspor. Misalnya seperti industri manufaktur berteknologi tinggi yang dinilai mampu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara.7 Sementara itu, Linda Weiss (1995) berargumen bahwa dalam pembangunan negara juga terdapat saling keterkaitan antara negara dan pasar. Weiss menyebutnya sebagai governed interdependence theory. Dalam interdependensi ini berarti diperlukan adanya hubungan baik antara pemerintahan dan industri. Kondisi saling keterkaitan ini dapat diwujudkan dari sistem koordinasi dan kerjasama yang berkontribusi terhadap kesuksesan ekonomi.8 Peran negara menjadi sangat penting dalam memaksimalkan investasi sekaligus mendorong masyarakatnya untuk mengambil manfaat dari investasi dan pembangunan serta segala sumber daya yang disediakan negara. Negara dianggap sah untuk menggunakan cara represif atau otoriter demi mencapai tujuan atau kepentingan nasionalnya Kemunculan teori ini awalnya didorong oleh perubahan ekonomi yang signifikan terutama pada negara-negara berkembang di Asia Timur tahun 1970an. Dikatakan Robert Gilpin, teori ini muncul untuk menantang teori market led development yang menginduk pada konsepsi neoliberal orthodox. Dalam perjalananya teori state led development mampu menjelaskan kesuksesan dan percepatan industrialisasi di Asia Timur. Pada waktu itu 6
, Grahame Thomson, Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness,( London: Routledge, 1998),hlm 34 7
8
Ibid, hlm 43 Ibid, hlm 23
9
ekonomi negara-negara ini memilki pertumbuhan sangat pesat seiring dengan munculnya industri-industri berteknologi tinggi yang mulai bersaing dengan industri di negara-negara maju yang didukung sejumlah kebijakan intervensonis oleh negara. Intervensi negara menjadi instrumen efektif guna membangun industri strategis yang berdampak besar bagi pembangunananya mengingat swasta belum mau dan mampu melakukanya. Dengan majunya atau berhasilnya transformasi yang dilakukan negara penganut state led development yang cenderung menerapkan kebijakan intervensi oleh negara maka dengan mudah konsep state led development mudah tersebar. Di sisi lain dimana dibalik pesatnya pertumbuhan atau perkembangan ekonomi di negara penganut state led development tidak jarang diwarnai dengan kentalnya intervensi aktor negara dalam mendorong perkembangan ekonominya. Bahkan pola pembangunan berbasis state led aktor negara juga menjadi pelaku ekonomi langsung. Banyak kalangan ilmuwan yang meyakini salah satu karakteristik kebijakan intervensi negara pada ranah ekonomi menjadi sebab pesatnya ekonomi negara-negara dikawasan Asia Timur. Dalam tataran teknis hal ini dapat dipahami mengingat negara dengan kekuasaaanya mampu melakukan capacity bulding industrialisasi yang memerlukan modal atau investasi besar yang notabene tidak bisa dilakukan oleh swasta pada konteks awal pembangunan. Dari sinilah kemudian konsepsi developmental state menjadi trending diantara teori pembangunan lainya. Berbicara kebijakan intervensionis negara dalam pembangunan, maka pada tataran yang lebih teknis konsepsi pola intervensi oleh negara dalam kerangka state led development pun bermacam-macam. Secara lebih terperinci Evans melihat ada empat jenis bentuk intervensi negara guna mewujudkan pembangunan ekonomi yakni custodian, demiurge, midwife, dan husbhandry (Jafee,131-192). Dalam penjelasanya custodian mengacu pada fungsi negara untuk melindungi, mengawasi dan mencegah perilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan, seperti perusahaan yang antikompetisi, produksi barang 10
yang kurang bermutu atau tidak aman, dan operasi firma yang merusak lingkungan. Sedangkan peran demiurge mengandaikan negara berfungsi maksimal dalam wujud keterlibatanya memproduksi memproduksi barang dan jasa negara bukan saja sebagai fasilitator namun juga sebagai pelaku ekonomi. Model peran seperti ini banyak diperankan dinegara-negara berkembang atau negara-negara yang sedang menempuh tahap awal industrialisasi dengan belum kuatnya peran pasar. Adapun peran midwife adalah peran yang dimainkan oleh negara sebagai partner dari sektor swasta karena diasumsikan swasta belum melakukan mendapatkan profit atau efisiensi cukup. Disamping itu negara juga berperan dalam melindungi sektor swasta yang dalam hal ini industri muda supaya tidak kalah berhadapan kompetitor asing. Pada peran peran husbandry mengasumsikan intervensi negara
untuk
menjaga
ksinambungan
pertumbuhan
ekonomi
dalam
jangka
panjang.Pendekatan ini meyakini bahwa peran negara yang vital adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk mobilisasi ekonomi, dientifikasi sumber daya negara mengorganisasi riset dan pengembangan dan jaminan hutang dalam rangka peningkatan investasi. Dalam konteks di Indonesia, berdasarkan penjelasan diatas maka pendekatan yang paling akomodatif guna menggambarkan kebijakan intervensi negara dalam relasinya terhadap PTDI adalah demiurge. Hal ini dikarenakan mengingat PTDI dilahirkan oleh negara dan disatu sisi pola penerapan kebijakan yang bersifat intervensif negara terhadap PTDI. Intervensi yang dimaksud disini adalah pemberian subsidi dari awal pendirian hingga sebelum pencabutan subsidi tahun 1998 berlangsung. Logika pemberian subsidi dapat dipahami mengingat PTDI sebagai industri teknologi tinggi dalam pembuatan pesawat terbang memerlukan investasi besar dan proses yang tidak singkat sehingga negara menjadi perlu untuk turun tangan memberikan subsidi mengingat swasta belum mampu melakukannya.
11
Mengingat Investasi yang besar maka negara dengan kekuasaanya mampu memberikan landasan mantap bagi PTDI dalam melakukan alih teknologi. Dengan kemampuan yang memadai guna mengontrol kekuasaannya dan memiliki kemampuan yang memadai untuk mendesain dan menerjemahkannya ke dalam kebijakan maka pembangunan PTDI oleh negara dapat berlangsung dengan dimulai pada tahap imitasi atau kemampuan merakit pesawat. Dari sinilah kemudian PTDI melakukan awal tahapan pembangunan.
Adapun selanjutnya dalam menggambarkan pola pembangunan PTDI pasca dicabutnya subsidi pada tahun 1998 dalam tulisan ini menggunakan pendekatan atau teori market led development. Pada teori market led development mengasumsikan pembangunan diserahkan pada mekanisme pasar. Secara geneaologis konsepsi ini tidak terlepas dari pemikiran Adam Smith tentang liberalisme. Teori ini menurut para pendukungnya muncul sebagai ketidak efisienan pembangunan yang dianggap sebagai akibat campur tangan negara disektor ekonom. Dalam tataran praktiknya teori pembangunan berbasis market led menekankan pada pendekatan pembangunan yang berusaha mengurangi keterlibatan pemerintah dalam seluruh kehidupan ekonomi di negara masing-masing. Di dalam teori pembangunan, peranan negara dan keberadaan peranan pasar dalam satu kegiatan pambangunan ekonomi bersama-sama dalam satu sistem adalah dua hal yang sangat berlawanan dan jarang terjadi, keberadaan keduanya dalam satu sistim kebijakan dapat dimungkinkan apabila salah satunya harus dilakukan secara tidak menonjol terutama bagi peranan negara. Salah satu karakteristik penting market led development adalah Ketika negara dalam hal ini pemerintah absen maka proses kegiatan ekonomi berorientasi pada pasar domestik yang kompetitif yang memuculkan efisien, kreativitas yang berkontribusi pada pembangunan. Teori ini berkebalikan dari teori state led development dimana intervensi
12
negara justri dianggap dapat menyebabkan distorsi sehingga mengganggu pembangunan (market led development) Karakteristik lain yang dapat menjelaskan konsepsi market led development adalah pembangunan ini bersifat outward looking for domestic economy, yang mengandaikan terbukanya kegiatan ekonomi bagi perdagangan internasional dan investasi. Pasar domestik yang terbuka memungkinkan perusahaan atau negara luar dapat berinvestasi di pasar domestik. Dalam konteks pembangunan di pada kasus PTDI teori ini dapat membantu menjelaskan bagaimana kondisi PTDI pasca dicabutnya subsidi atau proteksi dari negara. Sebagai industri yang awalnya dibangun dalam kerangka state led PTDI mendapat intervensi dari negara yang berupa pemberian subsidi atau proteksi. Namun dengan kondisi PTDI yang mengalami penghentian subsidi dari negara PTDI berjalan secara mandiri yang kemudian memacu efisiensi pada PTDI. Dengan kondisi yang ada PTDI saat itu secara langsung dihadapkan pada kondisi persaingan tanpa intervensi negara yang kemudian memacu industri ini dapat berkembang pasca keruntuhan pasca dicabutnya subsidi. Dengan kata lain, dalam perspektif market led development intervensi yang berupa pemberian subsidi adalah bentuk miss-alokasi anggaran negara. Negara sepatutnya tidak campur tangan karena menimbulkan inefisiensi pada PTDI. Hal inilah yang kemudian menjelaskan kondisi re;asi negara terhadap PTDI yang hingga kini bersifat market led development. Rivalitas Developmental State dengan Marekt Led Development. kelahiran teori pembangunan yang mengandaikan sebuah ideologi negara sebagai gerbong pembangunan ini tidak semata-mata hadir tanpa rivalitas. Setidaknya hadirnya teori ini sebelumnya secara tidak langsung telah mengusik konsepsi pembangunan berbasis 13
pasar atau market led development yang mengandaikan adanya minimalisasi peran negara dakan pembangunan. Ideologi state led development yang diformulasikan atau diinisiasi oleh negara Asia Timur seketika itu menjadikan pemicu utama menurunya hegemoni market led yang notabene bagian dari liberal yang dianggap lebih pas sebagai ideologi pembangunan ketimbang ideologi liberal. Hal ini menjadikan devlopmental state menjadi ideologi mainstrream yang banyak dianut negara-negara didunia termasuk indonesia. Dalam praktiknya pola pembangunan state led development juga identik dengan kebijakan proteksi bagi industrinya dalam rangka menjaga kelangsungan industri tersebut. Secara terperinci, setidaknya terdapat berbagai varian atau cara bentuk proteksi yang dilakukan dibeberapa negara namun bagitu pada umumnya kebijakan yang dipakai secara umum berupa dua macam yakni hambatan tarif masuk dan pemberian subsidi bagi industri internalnya. Adapun dalam konteks industri yang masih muda atau infant maka kebijakan proteksi disini adalah pemberian subsidi bagi industri suatu negara. Sayangnya dampak ideologi state-led yang mengejawantah dalam bentuk proteksionisme tersebut justru mengancam bagi industri negara-negara maju yang notabene menganut market-led yang menyerahkan urusan ekonominya pada mekanisme pasar yang dalam hal ini sektor industri. Dengan adanya proteksi, hal ini berdampak pada kerugian pada negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan sebagainya yang sistem ekonominya menganut market-led. Secara teknis kebijakan proteksionisme tersebut berimplikasi pada berkurangnya aliran distribusi hasil industri pada negara maju atau negara pusat seperti AS, Inggris dsb. Dengan macetnya hasil industri, maka berdampak negatif pada aspek ekonomi negara industri (negara maju). Dengan kondisi tersebut kemudian mendorong sejumlah negara di dunia yang berkepentingan berkumpul pada tahun 1970 Perkumpulan negara tersebut menghasilkan Washinton Consesnsus. Konsensus ini merupakan agenda pemulihan eknomi dengan 14
negara peserta mencapai 44 negara (Yustika,2009). Dalam penelusurannya, konferensi yang dipelopori oleh Amerika dan Inggris ini menghasilkan kesepakatan dalam bentuk anggaran dasar yang kemudian akhirnya mewujud dalam bentuk lembaga keuangan internasional yakni International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) guna mengatasi permasalahan ekonomi akibat tindakan proteksionisme yang dilakukan negaranegara saat itu. Pada tataran nilai ideologis, pertemuan tersebut kemudian menjadi permusan strategi mengembalikan hegemoni konsepsi market development kembali sebagai respon atas pengaruh eksistensi state led developmental dalam kerangka neoliberalisme. Sebagai evolusi perubahan dari liberalisme, neoliberalisme memiliki sisi epistmologis yang cukup berbeda dari sebelumnya. Jika liberalisme melihat pada aspek relasi sosial antar aktor, lebih lanjut neoliberalisme memiliki pandangan ekonomi sebagai domain epistemologis dalam melihat tiap hubungan antar aktor baik individu, masyarakat maupaun negara bahkan internasional. Dapat dikatakan neoliberalisme hadir sebagai liberalisme yang lebih agresif dan ekspansif dari liberalisme. Dalam struktur nilainya neoliberalisme mengacu pada poin Washington Concensus yang berupa; (1) disiplin fiskal, dengan maksud untuk mengurangi defisit perdagangan, (2) public expenditure, kebijakan pemotongan anggaran subsidi untuk keperluan publik, (3) pembaharuan pajak, salah satunya adalah pemberian kelonggaran dalam pembayaran pajak bagi para pengusaha (4) liberalisasi keuangan, dalam bentuk penentuan bunga bank menurut mekanisme pasar(5) nilai tukar uang yang lebih kompetitif, dengan jalan melepaskan nilai tukar uang menurut mekanisme pasar tanpa kontrol pemerintah (6) trade liberalisation barrier, dalam bentuk kebijakan untuk menyingkirkan segala hal yang merintangi berlakunya perdagangan bebas dalam bentuk mengganti lisensi perdagangan tarif atau pengurangan tarif (7) foreign direct investment, dalam bentuk menghilangkan segala peraturan pemerintah yang menghambat masuknya modal asing (8) privatisasi, kebijakan 15
negara untuk memberikan kewenangan pengelolaan perusahaan negara kepada swsta (9) deregulasi kompetisi, (10) intellectual property right atau hak paten (Yustika:2009). Hegemoni Market Led Development
Dalam menjelaskan proses ekspansionisme market led oleh IMF di Indonesia dalam relasinya terhadap PTDI maka digunakanlah konsep hegemoni yang dicetuskan oleh Gramsci. Perspektif hegemoni Gramscia dalam politik global dipopulerkan oleh Robert Cox melalui tulisanya yang berjudul Power, Production, and World Orders (1977). Perspektif ini menjadi solusi alternatif untuk menjelaskan arus ekspansi market led development yang berkembang pasca dirumuskan Washington Consensus.
Walaupun Gramsci tidak menulis spesifik konsep hegemoni dalam konteks politik global, namun teori Gramsci dapat menjadi “ijtihad” atau instrumen pendukung dalam menjelaskan bagaimana sebuah ideologi yang didukung kekuatan dunia dikonsolidasikan. Adapun menurut Gramsci „hegemoni‟ merupakan „kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual‟ yang menimbulkan konsekuensi adanya kepatuhan secara sadar atas kekuasaan aktor tertentu. Dalam perspektif ini, kekuasaan dibangun tidak dengan, kekerasan, dan paksaan, melainkan melalui konsensus atau soft control.
Bagaimana
hegemoni
tersebut
dibentuk?
Proses
pembentukan
hegemoni
memerlukan apa yang disebut sebagai „blok historis,‟ atau „hubungan resiprokal antara wilayah aktivitas etik, politik, maupun ideologis dengan wilayah ekonomi.‟
Adapun
hegemoni itu sendiri dikonstruksi melalui praktek penundukkan dan persetujuan. Disisi lain menundukkan dan memenangkan persetujuan kelompok lain, sebuah kelompok harus mampu menciptakan „blok historis‟ guna memperjuangkan ide-idenya menjadi sebuah pandangan dunia yang universal.
16
Oleh sebab itu, „ide‟ menurut Gramsci merupakah hal yang urgen.9 Agar sebuah kelompok bisa menundukkan dan memenangkan persetujuan dari kelompok lain, maka ia mesti melakukan „importasi‟ ide. Karenanya, bagi Gramsci, sebuah ide hanya akan menemukan momentum transformatifnya jika ia menjadi ideologi. Menurut Gramsci, sebuah ide tidak lahir secara spontan, ia pasti „memiliki pusat informasi, dan perumusan yang terencana dalam mengembangkan dan menghadirkan keduanya dalam realitas politik mutakhir‟.10 Artinya, untuk menciptakan dan memproduksi hegemoni, sebuah kelompok membutuhkan ideologi dimana ideologi tersebut mesti memiliki basis material, didorong oleh para aktor „intelektual,‟ yang mampu membuat sebuah perumusan strategi. Hanya dengan kondisi itulah maka penundukkan dan persetujuan menjadi mungkin dilakukan.
Konsep market led model yang diperankan oleh IMF (International Monetary Fund) pada krisis 1997. IMF kemudian menjadi institusi utama yang mampu membimbing pasar di negara-negara berkembang. Kekuasaan dua institusi ini membuat negara-negara berkembang harus mengadopsi market-friendly program of development. Program ini mengarahkan negara-negara berkembang untuk merubah pola pembangunan negara sesuai arahan IMF berdasar market led development.11 Proses inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah hegemoni market led development. Dalam penjelesan secara teknis, perubahan pola pembangunan dilakukan ketika krisis terjadi sehingga menyebabkan lemahnya atau terdesaknya suatu negara. Kondisi negara yang terdesak itulah kemudian IMF membantunya dalam rangka stabilisasi yang kemudian didalam proses bantuanya terdapat infiltrasi market led development dimana
9
Sugiono,Muhadi, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2006
10
Ibid
11
Thomson, Grahame, Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge,1998
17
terdapat sejumlah pemaksaan pencabutan intervensi negara melalui instrumen privatisasi, deregulasi,liberalisasi dan sebagainya. Kondisi diatas juga selaras dengan argumen Richard Pit,12 menurutnya hegemoni market led terjadi pada suatu keadaan yang tidak terhindarkan (inevitability) yang berbanding lurus dengan tingkat krisis yang dihadapi. Keadaan inilah yang sangat sering dihadapi negara berkembang ketika berhadapan dengan kondisionalitas atau resep yang diajukan IMF, dengan kondisi di mana tidak terdapat alternatif lain, sehingga tidak dapat terhindarkan. Dan ketika berhadapan dengan kegagalan dari kebijakan “resep” IMF tersebut, maka kondisi yang mendominasi adalah optimalitas, bahwa apa yang telah dilaksanakan adalah yang terbaik dan maksimal. Namun kemudian kondisi demikian mau tidak mau harus mengorbankan aspek yang terpaksa diliberalkan yang sebelumnya dikelola secara state led development. Singkatnya, semua itu tidak terjadi kecuali didukung oleh instrumen wasington consensus sebagai basis strategi yang terumuskan guna hegemoni atau ekspansi market led development. Adapun dalam konteks indonesia, hegemoni market led pada PTDI yang ditandai dengan pencabutan subsidi PTDI dimulai pada tahun 1998an dimana saat itu terjadi krisis hebat 1997 yang melanda. Hal tersebut secara tidak langsung menggambarkan upaya minimalisasi intervensi negara terhadap pengembangan PTDI. Dengan kata lain IMF dalam kasus PTDI secara tidak langsung telah melakukan perombakan struktur orientasi pembangunan dalam konteks relasi negara dengan PTDI dari state led ke market led development dimana negara tidak diperkenankan membantu PTDI. Dalam proses hegemoni market led di Indonesia, krisis 1997 menjadi faktor dominan dari eksternal yang mampu membuat negara menjadi inferior terhadap IMF. Dengan inerioritas negara maka saat itulah IMF mempu menginjeksikan atau
12
Pit, Richard..The account of Liberalization from IMF (London:Hasting Publishing,2008)
18
mempengaruhi kebijakan negara terhadap PTDI. Dalam aksinya, guna mengatasi krisis IMF mengajukan berbagai syarat atau Structural Adjusment Program (SAP). Adapun SAP yang terangkum dalam Letter of Intent (LOI)
yang salah satu klausulnya menginstruksikan
pencabutan subsidi PTDI. Dengan kata lain,. krisis yang terjadi ditahun 1999 menjadi katalisator ampuh sehingga menjadikan indonesia saat itu tunduk kepada resep IMF. Dengan faktor krisis yang begitu krusialnya maka dalam konteks hegemoni krisis tersebut dapat menjadi bagian dari strategi hegemoni itu sendiri. Artinya adalah penyebab krisis yang begitu hebatnya dapat merupakan by design dari proses hegemoni sehingga market led terutama pada PTDI dapat terinjeksi.. Hal ini menjadi argumentatif apabila mengacu Lepi Tarmidzi tentang dampak liberalisasi finansial yang menimbulkan krisis 1997. Dalam penjelasanya liberalisasi sektor finansial memicu para invstor jangka pendek atau spekulan berbondong memindahkan modalnya ke negara Indonesia yang saat itu sebelum krisis menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi. Kondisi demikian maka kelebihan modal di negara maju dapat produktif di perbankan Indonesia. Namun seiring kontrol perbankan oleh negara terutama sektor swasta yang juga semakin lemah hal demikian memicu tindakan rakusnya sektor tersebut yang berbondong-bondong melakukan pinjaman ke luar negeri sebagai langkah ekspansi bisnis. Singkatnya, dengan dinamika yang ada dimana spekulan yang notabene dari negara maju (penganut market led development) tiba-tiba menarik uangnya maka menimbulkan depresiasi nilai rupiah. Parahnya, depresiasi yang begitu signifikan berdampak pula pada melambungnya hutang perbankan sehigga banyak perbankan mengalami kolaps dan memicu krisis monter yang berkepanjangan mengingat perbankan merupakan institusi yang berhubungan erat dengan moneter. Oleh karenanya dengan liberalisasi perbankan yang menimbulkan krisis maka proses hegemoni market led PTDI merupakan fenomena hegemoni yang terencana secara kompleks.
19
Dengan kata lain liberalisme PTDI merupakan akibat tidak langsung dari liberalisme itu sendiri pada sektor perbankan yang menimbulkan krisis dan krisis itulah yang kemudian memaksa negara menugbah haluanya. maka keran modal asing yang berisok tersebut secara tidak langsung memicu krisis terjadi. Sehingga berdasarkan pendekatan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penyebab krisis utamanya adalah IMF itu sendiri. Hal ini dapat dikatakan konsepso neoliberalisme sudah tertanam yang kemudian meledak dan menjadikan peruahan ideologi state led ke market led atau neoliberalisme. 1.6 Alur Fikir Awal Pembangunan PTDI: berbasis State Led
Krisis 1997
Negara menjadi lemah
Ditahun 1998 indonesia menerima bantuan IMF berserta syarat (letter of intent) untuk mencabut subsidi PTDI
Pasca LoI PTD limbung & kehilangan momentum pasar pesawat Hegemoni Market Led PTDI berbenah, melakukan efisiensi dan diversifikasi bisnis.
Terjadi konsensus atas market led.
20
1.7 Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang argumen proteksi bagi PTDI yang masih infant industry
serta relasi kuasa pencabutan
proteksi pada PTDI. Disamping itu metode ini diharapkan untuk melihat strategi mekanisme IMF serta aktor dibaliknya menggagalkan proses lepas landas Indonesia melalui pencabutan proteksi PTDI. Melalui metode ini jug diharapkan untuk melihat dampak yang ditimbulkan atas pencabutan proteksi PTDI yang berujung pada ketergantungan impor pesawat. Dalam hal ini metode kualitatif digunakan dengan berbagai pertimbangan, pertama penyesuaian lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.13 1.7.1
Fokus penelitian Penelitian ini mengacu pada rumusan masalah maka penelitian difokuskan kepada bagaimana Bagaimana mekanisme dan dampak pencabutan proteksi subsidi atas PTDI oleh intervensi IMF saat krisis1997.
1.7.2
Jenis Data Jenis data yang diperlukan dalam kegiatan ini menggunakan data sekunder. Adapun pengertian data sekunder dibawah ini adalah data yang diperoleh dari data dokumentasi dan arsip yamg berkaitan dengan pencabutan proteksi. Selain itu digunakan pula arsip data produk PTDI dan pabrikan pesawat terbang lainya sebagai komparasi untuk melihat bargaining power PTDI di kancah pasar pesawat global. Hal ini perlu mengingat sebagai penguat argumen terhadap kemampuan
13
Moloeng, Lexy,Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,2001
21
PTDI. 1.7.3
Sumber Data Dalam peneltian kualitatif Sumber data yang dipergunakan sebagian besar merujuk pada tulisan sejumlah pengamat, praktisi dibidang kedirgantaraan. Adapaun lainya berupa jurnal maupaun makalah resmi dari PTDI atau tulisan wartawan.
1.7.4
Teknik Pengumpulan Data 1.7.5.1
Studi dokumen Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang
dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data yang bersumber pada arsip dan dokumen yang ada, baik itu berupa jurnal, makalah, majalah kedirgantaraan, maupaun tulisan sejumlah tokoh utama di PTDI. 1.7.5.2 Studi Pustaka Untuk memperoleh gambaran selengkap mungkin, peneliti mengadakan pencarian sebanyak mungkin yang berkaitan dengan aktor pencabutan proteksi yang dalam hal ini IMF dan PTDI sebagai objek pencabutan proteksi. Penulis juga mengadakan pencarian tentang konsep model pembangunan tahap Rostow dan mengkaitkanya dengan PTDI sebagai industri guna pendorong menuju negara lepas landas.
22
1.7.5
Teknik Analisis Data Analisis data menurut Sofian Effendi dan Chris Manning adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Jadi pada prinsipnya analisa data merupakan suatu proses untuk mengubah data menjadi sesuatu yang lebih kontributif dan bermakna. Analisa data disini menggunakan analisa deskriptif, yaitu dengan memusatkan pada kontemporer
dan
data
pemecahan
masalah-masalah
yang
yang dikumpulkan mula-mula disusun,
dijelaskan dan kemudian dianalisa.14 Tahap
analisa
meliputi,
reduksi
dan
verifikasi.
Reduksi
dilakukandengan meringkas data dengan berbagai bentuknya, selanjutnya dimasukan kedalam file-file atau map-map tersendiri. Display data dilakukan dengan cara data dipresentasikan dengan jalan membuat ringkasan tabel. Pada tahap selanjutnyaverifikasi data, dilakukan dengan penyimpulan, memberikan makna pada data yang dikumpulkan dengan teknik-teknik perbandingan dengan data yang dikumpulkan dengan data yang lainya untuk menjawab rumusan atau pertanyaan peneltian. 1.8 Sistematika Penulisan Skripsi ini akan disusun kedalam beberapa bab sebagai berikut : Bab I, Pada pertama diawali dengan latar belakang, rumusan masalah, kerangka teoretis, konseptual dan pendekatan, serta metodologi yang digunakan. Bab II, Pada bab kedua diawali tulisan tentang PTDI sebagai kebijakan berbasis negara dimana industri tersebut lahir dari rahim negara. Pada bagian ini juga membahas terkait dinamika dan perkembangan PTDI dengan falsafah bermula diakhir dan berakhir diawal yang terdiri empat tahapan. Setelah itu di sesi setelah itu tulisan ini 14
Ibid
23
memaparkan kondisi kemunduran sebagai proses pergeseran pembangunan yang berbasis market led sehingga dicabut subsidi dan berdampak pada PTDI. Bab III, Pada bab tiga menampilkan tentang proses pencabutan subsidi PTDI sebagai dampak tidak langsung rivalitas ideologi antara state led develoment dan market led development. Dalam rincianya bagian ini menjelaskan kronologi atau tahapan pencabutan subsidi terjadi dimana saat itu diawali dengan krisis moneter pada tahun 1997. Pembahasan dilanjutkan dengan mengulas bagaimana kondisi krisis moneter saat itu bertransformasi menjadi krisis multidimensi sehingga melemahkan negara terutama dalam relasi kepada IMF. Sebelumnya tulisan ini memuat kondisi there not exit solution dalam artian negara saat itu sudah berusaha mengantisipasi krisis namun nihil sehingga berujung pada peminjaman bantuan kepada IMF. Setelah itu ulasan selanjutnya yang menjadi poin utama dalam tulisan ini menjelaskan bagaimana resep IMF disodorkan ketika krisis menjadikan negara indonesia saat itu ricuh akibat dampak krisis.
Bab IV, Pada bab empat tulisan ini berusaha menganalisis secara mendalam dari akar penyebab krisis moneter terjadi. Hal ini ini menjadi bagian yang penting mengingat krisis moneter merupakan faktor dominan yang menyebabkan proses pencabutan subsidi PTDI berlangsung melalui resep IMF. Dalam penjelasanya bagian ini menelusuri fenomena krisis yang kemudian ditemukan bahwa krisis tersebut merupakan dampak dari pergeseran state led ke market led dalam relasi perbankan di Indonesia. Dengan kata lain krisis tersebut merupakan dampak dari hegemoni market led dalam sektor perbankan di Indonesia.
Bab V, Pada bab terakhir ini memuat konklusi tentang pencabutan subsidi PTDI yang kemudian menjadikan PTDI menjadikanya limbung. Dalam uraianya dibagian ini menjelaskan bahwa proses pencabutan subsidi dilakukan secara terencana atau sistematis. 24