1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1978: 1). Sastrawan sebagai pencipta karya sastra juga merupakan anggota dari suatu masyarakat. Ia hidup dan berinteraksi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Hal ini menjadikan adanya hubungan yang kuat antara sastrawan dengan masyarakatnya (Sumardjo, 1982:15). Melalui karya sastra yang diciptakan, seorang sastrawan ingin menampilkan gambaran yang jelas tentang kehidupan. Kehidupan sebagai kenyataan sosial mencakup hubungan antarmasyarakat,
antara
masyarakat
dengan
orang
perorang,
antarmanusia,
antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam batin seseorang—yang seringkali dijadikan bahan sastra— adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat (Damono,1978:1). Persoalan sosial yang ada dalam masyarakat seringkali tercermin dalam karya seni yang tercipta termasuk di dalamnya seni sastra. Apabila pengarang memiliki kepekaan yang tinggi, pastilah karya sastranya akan mencerminkan kritik sosial yang ada dalam masyarakat tersebut, meskipun dimunculkan secara tersirat (Damono, 1983:22). Pendapat Damono tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa munculnya sastrawan ke permukaan juga tidak terlepas dari karya sastra yang diciptakannya. Seberapa jauh karya-karyanya memiliki keunggulan di antara karya-
2
karya sastrawan yang lain dan seberapa tinggi tanggapan para pembaca, kritikus sastra, dan peneliti sastra. Adakah karya-karyanya mampu membeberkan sesuatu yang berbeda tentang kehidupan sehingga menarik untuk dijadikan objek studi sastra atau objek kajian dalam berbagai forum sastra. Kehadiran Teguh Winarsho dalam jagat sastra Indonesia mulai dikenal pasca tahun 1997-an. Dia lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember 1973. Karyakarya yang diciptakan berupa puisi, cerpen, novel dan esai budaya. Cerpen pertamanya yang berjudul “Randu” dimuat Majalah Suara Muhammadiyah. Cerpen tersebut mendapat kritik keras dari para pembaca karena dianggap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Tidak berselang lama rubrik cerpen di Majalah tersebut ditiadakan (http://creativeworkers.blogspot.com/ diunduh Juni 2014). Tahun 1998 Teguh Winarsho AS dinobatkan sebagai cerpenis terbaik seJawa Tengah versi Universitas Jendral Sudirman Purwokerto. Sejak itu karyakaryanya banyak dimuat di Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Bisnis Indonesia, Femina, Nova, Seputar Indonesia, The Jakarta Post, Warta Kota, Bisnis Indonesia, Annida, Ummi, Suara Karya, Pelita, Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos, Surabaya Post, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Solopos, dan lain-lain (http://creativeworkers.blogspot.com/ diunduh Juni 2014). Pada tahun 2002, salah satu cerpennya dipilih sebagai salah satu cerpen terbaik pilihan Kompas bersama Djenar Maesa Ayu. Teguh Winarsho AS dan Djenar Maesa Ayu juga memecahkan rekor sebagai penulis paling muda sepanjang Kompas
3
mengadakan pemilihan cerpen terbaiknya (http://creativeworkers.blogspot.com/ diunduh Juni 2014). Buku kumpulan cerpen yang sudah terbit yaitu Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005). Sementara itu, beberapa karya novelnya yaitu, Tunggu Aku di Ulegle, Roman dan Tragedi di Bumi Serambi Mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006), Kantring Genjer-Genjer (Pustaka Pujangga, 2007). Beberapa novel karya Teguh Winarsho AS juga pernah dimuat bersambung di beberapa surat kabar harian, yaitu novel Di Bawah Hujan dimuat di Suara Pembaharuan (2002), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), dan Purnama Di Atas Jakarta dimuat di Republika (2005). Penelitian ini mengambil Novel Kantring Genjer-Genjer dengan label Dari Kitab Kuning Sampai Komunis (selanjutnya ditulis KGG) sebagai objek material penelitian. Alasannya, karena novel tersebut berkisah tentang dua pertentangan kaum abangan dan kaum santri. Kaum abangan adalah masyarakat yang menekankan aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap adanya makhluk halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Tradisi selamatan merupakan ciri khas masyarakat ini (Geertz, 1981:6). Sementara itu, kalangan santri diidentikkan dengan kelompok yang melaksanakan doktrin-doktrin Islam yang lebih murni bukan saja pada tatacara pokok peribadatannya, namun juga dalam keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial (Geertz, 1981:7). Masyarakat yang digambarkan tersebut adalah masyarakat yang sangat dekat dengan Teguh Winarsho. Novel KGG juga mengusung nilai-nilai otentik
4
sebagai pandangan dunia yang diperjuangkan kelompok sosial kaum santri yang Teguh Winarsho adalah salah satu anggotanya. Selain kedua alasan tersebut, novel KGG juga dipandang sebagai novel yang berani menyingggung masalah tragedi “Lubang Buaya” namun dengan kemasan yang berbeda sehingga mampu meredam kesan biasa di hadapan pembaca sastra Indonesia. Gambaran tentang novel KGG tersebut tercermin dalam rangkaian peristiwa, objek-objek dan relasi-relasi yang diciptakan Teguh Winarsho dalam KGG, baik relasi antar tokoh, maupun relasi tokoh dengan objek lainnya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, tiga permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana struktur novel KGG 2. Pandangan dunia apa yang diekspresikan? 3. Bagaimana genesis sosial dan pengarang novel KGG?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian terhadap novel KGG dengan pendekatan strukturalisme-genetik mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini berdasarkan pada masalah di atas, yakni untuk mejelaskan struktur teks novel KGG, pandangan dunia yang dieksperikan dalam novel, dan memahami bagaimana genesis sosial dan pengarang novel KGG. Dengan kata lain, penelitian
5
secara teoretis bertujuan untuk memahami novel KGG secara menyeluruh termasuk dari segi asal usul atau genetikanya, baik yang bersifat individual dan sosial maupun keduanya. Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman pembaca terhadap apresiasi novel-novel Indonesia modern pada khususnya dan karya sastra pada umumnya, menambah khasanah pustaka di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, untuk meningkatkan apresiasi sastra kepada mahasiswa jurusan sastra, dosen sastra, peneliti sastra dan masyarakat umum pecinta sastra.
1.4 Tinjauan Pustaka Novel KGG karya Teguh Winarsho diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Pujangga (Lamongan) pada tahun 2007. Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan, kajian terhadap novel KGG yang berhasil ditemukan hanya dilakukan oleh Yosi M Giri (2008) dalam sebuah blog internet. Dalam analisis singkat tersebut, Giri membahas sisi konflik politik dan agama yang ada dalam novel KGG dengan perspektif teori Hegemoni Gramsci (http//www.yosimgiri. blogspot.com, diunduh 20 November 2013). Kajian yang dilakukan Giri tersebut masih sangat sederhana, kerena hanya dijelaskan dalam beberapa halaman saja. Penelitian lain yang menggunakan karya sastra Teguh Winarsho pernah dilakukan oleh Septa Indah Diana Sari (2013) dalam skripsinya dengan judul “Konflik Batin Tokoh-Tokoh dalam Kumpulan Cerita Pendek Bidadari Bersayap
6
Belati Karya Teguh Winarsho: Kajian Psikologi Sastra”. Dalam penelitian tersebut, Sari membahas konflik batin yang dialami tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati karya Teguh Winarsho ditinjau dari (1) dinamika kepribadian yang terbagi atas naluri dan kecemasan, (2) emosi yang terbagi atas rasa bersalah, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian, dan cinta, serta (3) kebutuhan manusia yang terbagi atas kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
sosial,
kebutuhan penghargaan,
dan kebutuhan aktualisasi diri
(http://www.akademik.unsri.ac.id/ paper4/download/paper/ TA_ 060910 02012.pdf, diunduh 16 Juni 2015). Berdasarkan penjelasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu, belum ditemukan penelitian yang membahas novel KGG karya Teguh Winarsho menggunakan teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Melalui pembacaan yang telah dilakukan, terlihat bahwa novel KGG memuat pandangan dunia sebagai cerminan dari suatu kelompok sosial masyarakat tertentu. Selain itu, struktur masyarakat yang ada dalam novel KGG memiliki kesejajaran dengan struktur sosial masyarakat yang menjadi genesis sosialnya. Namun kesejajaran tersebut tidak bersifat langsung tetapi dimediasi oleh pandangan dunia. Hal tersebut adalah yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini, sekaligus sebagai pembeda penelitian ini dengan penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya.
7
1.5 Landasan Teori Penelitian ilmiah, termasuk penelitian sastra, memerlukan landasan kerja yang jelas dan terstruktur berupa teori. Teori adalah alat untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, dalam analisis sastra harus dipilih teori yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian (Chamamah, 1994: 20). Dalam penelitian ini teori sastra yang digunakan adalah teori strukturalisme genetik. Teori ini semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien Goldmann. Pendekatan ini mampu merekonstruksi pandangan dunia pengarang tanpa mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah. Kenyataan sejarah dapat mengkondisikan kelahiran karya sastra. Studi strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra. Kedua, hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang saling mengikat. Karena itu, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan pandangan dunia suatu kolektif. Pandangan struktur global yang bermakna yang diungkapkan secara imajinatif dan konseptual dalam bentuk karya sastra besar (Goldmann, 1975: 9). Strukturalisme genetik secara definitif merupakan teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu (Faruk, 1999:
8
13). Dengan demikian, kajian strukturalisme genetik dapat dipahami sebagai analisis struktural dengan memberikan perhatian pada asal-usul (aspek genesis) suatu karya sastra. Beberapa konsep kunci yang dipakai Goldmann diinspirasi oleh teori Lukacs (Swingwood, 1972: 63). Karena itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Goldamnn mendasarkan teorinya pada konsep Marxis sehingga ia dikatakan paraMarxis, tetapi bukan komunis karena menggunakan dimensi sejarah dalam pendekatan struktural yang biasa dikenal. Pendekatan Goldmann tentu saja berbeda dengan Marxisme. Goldmann tetap memperhatikan struktur yang ditolak kalangan Marxisme. Kalau Marxisme menggunakan menggunakan metode positivistik, strukturalisme genetik Goldmann mengembangkan metode dialektik (Goldmann, 1981: 13). Metode positivistik melihat hubungan searah yaitu keberadaan karya yang ditentukan oleh struktur sosial, sedangkan metode dialektik melihat karya sastra dan struktur sosial memiliki hubungan dua arah yang saling menentukan. Karena itu karya yang menjadi acuan adalah karya sastra yang kuat, yang mempunyai kesatuan (unity) di samping keragaman (complexity) (Junus, 1986: 25). Goldmann membatasi penyelidikannya kepada novel yang dikatakannya mempunyai wira yang bermasalah (problematic hero) yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value) dari semua itu. Strukturalisme genetik sebagai salah satu cabang sosiologi sastra memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang utuh secara
9
keseluruhan dan dibangun dari hubungan satu sama lain antara unsur tersebut (Swingewood, 1972: 62-63). Akan tetapi, struktur dalam perspektif strukturalisme genetik tidak sama dengan struktur pada umumnya. Struktur menurut strukturalisme genetik hanya mencakup dua hal pokok, yaitu relasi antara tokoh hero dengan tokoh lain dan hubungan antara tokoh hero dengan dunia (world) atau objek-objek yang ada di sekitarnya (Goldmann, 1975: 2). Untuk mendukung teorinya, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain seperti fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk, 2010: 56). Fakta kemanusiaan merupakan landasan ontologis dari strukturalisme genetik. Fakta kemanusiaan dapat diartikan sebagai hasil aktivitas dan perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta tersebut terdiri atas fakta individual dan fakta sosial. Fakta tersebut dapat berwujud aktivitas sosial tertentu seperti sumbangan bencana alam, aktivitas politik tertentu seperti pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, musik, seni patung, dan sastra (Faruk, 2010: 57). Fakta-fakta kemanusiaan dapat dikatakan sebagai struktur sosial yang berarti. Fakta-fakta tersebut sekaligus memiliki struktur tertentu dan arti tertentu pula. Oleh karena itu, untuk memahami fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan keterkaitan struktur dan artinya. Fakta kemanusiaan dikatakan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari subjek kolektif atau individual terhadap situasi yang ada. Dengan kata lain, fakta
10
kemanusiaan merupakan hasil usaha manusia untuk mencari keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (Goldmann, 1981: 40). Karya sastra besar yang berbicara tentang alam semesta, kelompok manusia dan persoalan-persoalan kultural yang ada di dalamnya merupakan fakta sosial (historis) yang hanya dapat dilakukan oleh subjek transindividual (Goldmann, 1981: 97, 1976: 89-107). Fakta sosial semacam ini tidak mungkin dilakukan oleh subjek individual dengan dorongan libidonya (Goldmann, 1981: 97). Karena itu, subjek transindividual merupakan subjek yang mengatasi subjek individu, di mana subjek individu merupakan bagian di dalamnya. Subjek transindividual tidak merupakan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan sebuah kesatuan, sebuah kolekivitas. Subjek transindividual menampilkan pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok. Subjek transindividual merupakan aktor yang perlu dipertimbangkan dalam realitas perubahan dan semua sektor perbedaan ilmu kemanusiaan menjadi berdialektika (Goldmann, 1976: 107). Kesamaan hubungan (homologi) antara struktur karya sastra dengan struktur sosial masyarakat disebabkan karena keduanya merupakan produk strukturasi yang sama. Kesamaan yang dimaksud tidak bersifat substansial, melainkan stuktral. Artinya, meskipun isi karya sastra berbeda dengan kehidupan, tetapi struktur karya sastra sama dengan struktur masyarakat yang melahirkannya (Faruk, 2010: 65). Kesamaan hubungan antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat tidak dipahami sebagai hubungan determinasi langsung, tetapi dimediasi oleh apa yang disebut Goldmann dengan pandangan dunia (world view). Pandangan dunia
11
merupakan a convenient term for the whole complex of ideas, aspirations, and feelings which links together the members of social group (a group which, in most cases, assumes the existence of a social class) and which opposes them to members of the social groups ‘kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok social tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain’ (Goldmann (1977: 17). Sebagai suatu kesadaran kolektif (collective consciousness), pandangan dunia berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977: 18; 1981: 112) . Pandangan dunia bukan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan. Jadi, pandangan dunia adalah suatu abstraksi, ia akan mencapai bentuknya yang konkrit dalam sastra dan filsafat. Pandangan dunia bukan fakta, ia tidak memiliki eksistensi objektif, melainkan hanya ada sebagai ekspresi teoretis dari kepentingan kondisi yang nyata dari suatu strata sosial tertentu. Pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta (Goldmann, 1981: 111). Pandangan dunia
merupakan kesadaran
hakiki dalam
menghadapi
kehidupan. Namun, dalam karya sastra, hal ini berbeda dengan kaadaan nyata. Kesadaran tentang pandangan dunia ini adalah kesadaran yang mungkin (possible consciousness), atau kesadaran yang telah ditafsirkan. Oleh karena itu, karya sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan dunia imajiner. Karena pandangan dunia
12
imajiner itu, maka pengarang menciptakan tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (Goldmann, 1981: 55-74). Konsep struktur yang dikembangkan Goldmann adalah konsep struktur tematis dengan memusatkan perhatiannya pada relasi antartokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya (Faruk, 2010: 72). Melalui pandangan dunia yang demikian, bukan tidak mungkin jika karya sastra juga merefleksikan “nilai otentik” yang dianut dalam hidupnya. Nilai otentik adalah nilai-nilai yang tersirat dalam novel (karya sastra), nilai yang mengorganisir sebuah model dunia sebagai suatu totalitas (Goldmann, 1975: 1-2). Dengan pengertian itu, maka nilai-nilai yang otentik itu hanya dapat
dilihat dari
kecendrungan terdegradasinya dunia dan problematikanya sang hero. Karena itu, nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran pengarang dengan bentuk yang konseptual dan abstrak. Pandangan dunia merupakan kunci pokok dalam strukturalisme genetik Lucien Goldmann, dalam upayanya membawa proposisi genesisnya tersebut untuk dapat memahami ilmu humaniora pada umumnya. Pengelaborasian tentang homologi, kelas sosial, struktur bermakna dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai kesimpulan sebuah penelitian. Pandangan dunialah sebenarnya yang memicu subjek untuk merekam realitas yang terdapat di sekitarnya dan menghadirkannya dalam karya sastra. Artinya, dengan mengetahui pandangan dunia, berarti mengetahui kecendrungan kolektif yang sedang berkembang pada masyarakat tertentu (Boelhower dalam Goldamnn 1981: 23-25). Dengan
13
mengetahui pandangan dunia, dapat pula diketahui struktur teks dan struktur sosial sebuah karya sastra karena pandangan dunia tumbuh dan berkembang dalam kelompok sosial kolektif yang direkam pengarang ke dalam karya sastra yang dihasilkannya. Selain pemahaman yang substansial terhadap teori strukturalisme genetik, yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana teori ini diterapkan dalam kerja penelitian yang konkret dengan metode dialektikanya (Damono 1978: 41-42). Metode dialektik Goldmann ini beranggapan bahwa karya sastra merupakan produk strukturasi pandangan dunia sehingga memiliki struktur yang koheren. Sebagai struktur yang koheren, karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang kecil. Karena itu, pemahaman terhadapnya dapat dipahami dengan konsep “keseluruhan-bagian”. Teks sastra sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi stuktur yang berarti. Dalam pengertian ini, pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Dalam hal ini dapat dilihat konsep pemahaman-penjelasan Goldmann. Pemahaman adalah usaha untuk mendeskripsikan struktur objek yang sedang dipelajari, sedangkan penjelasan merupakan usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar. Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian dengan menempatkannya dalam struktur yang lebih besar lagi (Faruk, 2010: 78-79).
14
Selain itu, dalam perwujudan metode dialektik, Goldmann tampak menyitir pandangan pascal tentang konsep oposisi berpasangan. Pascal menyatakan bahwa arti dapat ditemukan dengan menyatukan bagian-bagian yang bertentangan. Tidak hanya cukup satu arti, justru arti diperoleh dengan menyatukan bagian-bagian yang saling bertentangan (Goldmann, 1977: 13). Dengan demikian dapat dipahami bahwa Goldmann (1977: 58) tidak asing dengan konsep oposisi berpasangan, yang pernah dioperasikan dalam analisisnya mengenai pandangan dunia tragik. Rumusan kerangka teori seperti dikemukakan di atas, hanya efektif dimanfaatkan pada karya-karya sastra yang besar. Yang dimaksud dengan karya sastra besar adalah karya yang mengekspresikan pandangan dunia secara total dan pada tingkat koherensi maksimal (Goldmann, 1977: 17, 19). Karya sastra besar adalah karya sastra yang bersifat sosiologis dan filosofis (Swingewood (1972: 67-68). Artinya, lewat situasi manusia pada ruang dan waktu tertentu yang diekspresikan, karya sastra itu dapat berpindah-pindah ke persoalan-persoalan kemanusiaan yang besar yang diakibatkan oleh hubungan manusia itu dengan sesamanya dan alam semesta. Dengan kata lain, karya tersebut dapat menembus batas ruang dan waktu, melampaui batas sosiologis dan kulturalnya sendiri (Goldmann, 1977: 20-21; Faruk, 2002: 32). Dalam hal ini, novel KGG dianggap memiliki sifat seperti itu. Karya ini tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosialnya, serta tidak hanya menjadi refleksi pasif, reproduksi semata-mata realitas, tetapi merupakan hasil strukturasi pula terhadap realitas sosial dan kultural (Faruk, 2002: 33). Dengan demikian, novel KGG pun berharga secara struktural.
15
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya adalah bagaimana struktur teks novel KGG, pandangan dunia apa yang diekspresikan, dan bagaimana genesis sosial dan pengarang novel KGG. Dengan demikian, teori strukturalisme genetik dianggap sebagai teori yang relevan dengan penelitian ini. Alasannya: pertama, strukturalisme genetik menganggap karya sastra sebagai fakta kemanusiaan (human fact) sehingga karya sastra tidak lepas dari perilaku dasar manusia yang menjadi subjeknya (Goldmann, 1981: 40). Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnya perilaku manusia selalu merupakan respon terhadap lingkungannya (Goldmann, 1973: 115-116). Kedua, strukturalisme genetik mengakui tindakan individu yang ditentukan oleh status, norma, dan kelompok sosialnya (Goldmann, 1975: 160). Kelompok sosial mempunyai tendensi atau kecendrungan untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dengan pola yang sudah ada (Goldmann, 1973: 116-117). Ketiga, teori ini mengakui karya sastra sebagai suatu keutuhan yang memiliki hubungan dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang melahirkannya karena selalu berdialektika. Strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai sebuah struktur, keseluruhan yang utuh (Swingewood, 1972: 62-63). Keempat, novel KGG diasumsikan mengandung nilai-nilai otentik sebagai pandangan dunia, merefleksikan kondisi sosial budaya kaum santri dan kondisi sosial budaya masyarakat Yogyakarta secara umum. Situasi tersebut tercermin dalam rangkaian peristiwa, objek-objek, dan relasi-relasi yang diciptakan Teguh Winarsho dalam KGG
16
baik relasi antartokoh, maupun relasi tokoh dengan objek lainnya. Tentu saja, hal ini sesuai untuk dikaji dengan pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann.
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Metode dalam penelitian sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem. Hal ini karena karya sastra merupakan fakta estetik yang memiliki karakter tersendiri pula (Chamamah, 1994: 19). Metode penelitian dengan demikian memiliki relevansi dengan teori yang digunakan agar tercipta keseimbangan yang saling mendukung. Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kepustakaan. Data primer penelitian adalah novel KGG karya Teguh Winarsho. Sementara itu, data sekunder adalah bahan-bahan kepustakaan yang memiliki relevansi dan bersifat menunjang penelitian. Penelitian ini menggunakan metode dialektik yang dikemukakan Lucien Goldmann. Metode ini merupakan metode yang khas yang berbeda dengan metode positivistik, metode intuitif, dan metode biografis yang psikologis. Dari segi titik awal dan titik akhir, metode dialektik sama dengan metode positivistik. Keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Hanya saja, metode posistivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi struktural, sedangkan metode dialektik justru memperhitungkannya (Goldmann, 1977: 8). Metode dialektik mengukuhkan pandangan bahwa tidak ada titik awal yang mutlak, tidak ada persoalan yang secara mutlak dan pasti terpecahkan karena dalam
17
sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti gerak lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus, tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal ujungnya (Faruk, 2010: 77-78). Metode dialektik bekerja dengan pemahaman bolak-balik, antara struktur teks, pandangan dunia, dan struktur sosial. Penelitian dapat dimulai dari mana saja. Berdasarkan keterangan di atas, maka dalam penelitian ini, langkah-langkah kerja yang akan dilakukan adalah: 1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu novel KGG karya Teguh Winarsho terbitan Pustaka Pujangga tahun 2007. 2. Membaca dengan teliti novel KGG sebagai objek material penelitian ini, memahami struktur teks novel, memformulasikan pandangan dunia dan menghubungkannya dengan kondisi sosial masyarakat dan pengarang yang menjadi genesis novel KGG. 3. Mengumpulkan data dari sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian.
18
4. Menganalisis objek penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme genetik dan metode dialektik yang terkandung dalam teori ini. Langkahlangkah analisis data dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Menganalisis struktur teks novel KGG dengan mengungkapkan relasi strukturnya sebagai sebuah kesatuan. b. Mengungkapkan dan memformulasikan pandangan dunia novel KGG.
Pandangan
dunia
dibangun
berdasarkan
pemahaman
menyeluruh struktur teks dan struktur sosial masyarakat yang direkam novel KGG. c. Menghubungkan struktur teks novel KGG dengan kondisi sosial budaya masyarakat dan pengarang yang menjadi genesis (asal-usul) karya sastra.
1.7 Sistematika Penulisan Laporan Penelitian Dalam penelitian ini, sistematika penulisan laporan penelitian disusun sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan laporan penelitian. Bab II adalah analisis struktur novel KGG lewat unsur-unsur yang membangun teksnya dan memahaminya sebagai suatu keseluruhan. Bab III merupakan analisis pandangan dunia.
19
Bab IV berisi analisis genesis sosial dan pengarang novel KGG Bab V merupakan kesimpulan hasil analisis.