BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1.
Permasalahan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki corak kebudayaan daerah yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok tanah air. Kebudayaan yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki berbagai macam kebudayaan (koentjaraningrat, 1972: 165). Kearifan budaya tradisional atau budaya lokal (local knowlede atau local indigenou) adalah semua keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional di daerah, dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungannya untuk mewujudkan hidup yang harmonis. Kearifan budaya dapat dijumpai pada hampir semua suku budaya yang masih hidup dan memiliki masyarakat pendukung saat ini. Terminologi ini menunjuk kepada adanya nilai-nilai luhur menjadi pegangan bagi masyarakat yang mampu melewati hambatan-hambatan persoalan kehidupan mereka. Pada masyarakat yang memiliki kearifan lokal, keluhuran nilai-nilai maupun sistem kehidupan masyarakat leluhur di masa lampau, yang terbukti secara signifikan memberikan roh dan nilai-nilai baru di era kekinian, jika diamplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat secara kuat dan utuh, lurus dan jujur, sungguh-sungguh dan penuh rasa kasih atau sayang (Kamardi, 2004: 98 ; Sabirin, 2008: 33).
1
Budaya Sasak adalah segala perangkat kultural yang memungkinkan orang-orang dapat bertahan hidup sebagai masyarakat, Budaya orang Sasak seperti halnya pada etnis lain di nusantara ini, memiliki sistem yang membangun kepribadian masyarakatnya sehingga menjadi ciri tersendiri bagi orang Sasak. Ciri-ciri manusia Sasak ini kemudian mengkristal menjadi wujud jati diri atau local identity etnis Sasak secara utuh. Sistem nilai bagi etnis Sasak dikenal dengan istilah Tindih. Tindih bukan hanya sebagai sistem nilai tetapi lebih dari pada itu yakni Tindih ini sebagai model manusia ideal dalam budaya Sasak (Hamzah, 2012: 164). Tertib-Tapsile Sasak merupakan bagian Tindih Sasak. Ia merupakan konsep nilai Sasak yang menjelasan Tindih Sasak. Tindih pada saat ini dipahami secara berbeda-beda oleh komunitas-komunitas di dalam masyarakat Sasak. Ada yang memahami Tindih sebagai segala sesuatu yang alus (elegan). Misalnya, berbahasa alus menghormati kalangan bangsawan Sasak adalah cerminan Tindih bagi kalangan bangsawan-kawule Sasak (Fadjri, 2015: 155). Ada juga yang memahaminya sebagai pembenar tindakan tidakan komunitas tertentu. Bentukbentuk penghormatan kalangan kawule Sasak terhadap para bangsawannya, misalnya, dianggap sebagai tindih (Fadjri, 2015: 157). Yang lain memahaminya sebagai acuan nilai bagi segala sesuatu yang baik. Misalnya kalangan terpelajar Sasak saat ini merasionalisasikannya sebagai orientasi dasar segala nilai yang diinginkan dan dicita-citakan.
2
Pemahaman yang berbeda-beda itu tidak saja membingungkan orangorang yang di luar masyarakat Sasak tetapi juga masyarakat Sasak sendiri. Kelompok-kelompok masyarakat Sasak yang berbeda pemahaman mengenai tindih itu masing-masing mengakui pemahaman mereka yang benar. Kondisi pemahaman
semacam
itu
menghambat
penyikapan
mereka
terhadap
pembangunan masyarakat Sasak itu sendiri. Dari satu kawasan geografis ke kawasan lainnya memperlihatkan perbedaan pemahaman itu, akibatnya tidak diketahui pemahaman Tindih Sasak yang benar. Selain perbedaan pemahaman di kalangan orang-orang Sasak sendiri ternyata ada beberapa yang tidak mengetahui apa itu Tindih, dan bahkan ada juga yang tidak mengetahui bahwa Tindih itu ada. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya informasi yang dikaji mengenai kearifan lokal suku Sasak. Tulisantulisan mengenai suku Sasak banyak dilakukan, tetapi menurut penulis, itu hanya sebuah pengulangan terhadap beberapa tradisi yang telah populer tentang suku Sasak, dan jarang ada kajian tentang tradisi-tradisi lain yang ada di suku Sasak. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengkaji mengenai Tindih TertibTapsile Suku Sasak ini. Sehingga harapan penulis kedepan kajian tentang Tindih Tertib-Tapsile Suku Sasak ini dapat menambah referensi bahan kajian mengenai Suku Sasak. Bahasa, dalam hal ini bahasa Sasak, dikaji untuk memahami Tindih TertibTapsile Sasak itu. Bahasa tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan dan perekayasaan nilai, otoritas dan legitimasi (Alun Munslow, 1997: 138). Bahasa
3
adalah sarana yang penting dalam setiap aktivitas kehidupan manusia, karena dengan bahasa manusia bisa berkomunikasi, antar pribadi maupun antar komunitas atau meliputi cakupan lebih luas. Seandainya manusia tidak memiliki sarana untuk menyatakan pikiran, walaupun yang ada dalam pikiran itu merupakan bahasa. Hubungan bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf zaman Yunani. Para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada (meta fisika) dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para
terutama di Inggris abad XX (Mustansyir, 2007:2). Perhatian filsuf terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Ludwig Wittgenstein terkenal keberanian dan pemikiran-pemikiran filosofisnya. Dialah yang berani menyatakan bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf yang sulit dipahami maknanya adalah akibat dari ketidak mampuan mereka
4
berbahasa dengan akurat dan tidak analitik. Dia terkenal dengan, terutama, filsafat analitikanya, secara khusus analitika bahasa. Untuk menegaskan keberanian dan pemikiranLogico-
Tractatus dan philosophical investigations. Wittgenstein dengan
Tractatus menghasilkan teori gambar (Picture theory), dan dengan philosophical investigation menghasilkan language games. Tulisan skripsi ini mempergunakan language games untuk menjelaskan esensi dan makna Tindih Tertib-Tapsile Sasak. 2.
Rumusan Masalah:
Berdasarkan uraian latar belakang masalah , maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji yakni sebagai berikut: (1)
Apa itu Language Game Ludwig Widgenstein?
(2)
Apa itu Tindih Tertib-Tapsile ?
(3)
Apa makna Tindih Tertib-Tapsile Sasak ditinjau dari Language Game Ludwig Wittgenstein?
3.
Keaslian Penelitian:
Kajian tentang Tindih Tertib-Tapsile pernah dilakukan secara historis dengan judul Mentalitas dan Ideologi dalam Tradisi Historiografi Sasak Lombok Pada Abad XIX-XX. Penelitian tersebut dilakukan oleh Fadjri sebagai disertasi S3 di Fakultas Ilmu-ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Jelas sekali perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadjri dengan penelitian yang saya lakukan
5
karena beliau meneliti dari perspektif ilmu sejarah dan fokus penelitiannya tentang mentalitas dan ideologi suku Sasak, sedangkan saya menggunakan filsafat analitika bahasa Ludwig Wittgenstein. Selain itu objek material dari skripsi ini adalah Tindih Tertip-Tapsile Suku Sasak. Penelitian tentang Tindih pernah dilakukan dalam perspektif filsafat Tindih Manusia Sempurna dalam budaya Sasak perspe oleh Hamzah. Penelitian Hamzah tentang konsep Tindih Manusia sempurna dalam budaya Sasak terkait dengan pembentukan dan pola pikir pemahaman terhadap realitas budaya Sasak tersebut, merupakan upaya untuk memahami bagaimana makna Tindih itu sudah mulai mengalami pergeseran makna, bahkan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Dalam upaya pemahaman tersebut, Hamzah menggunakan pendekatan filsafat manusia Driyarkara sebagai objek formal, karena pendekatan tersebut kiranya mampu untuk mengungkap kembali makna yang terdalam dari manusia Tindih dalam budaya Sasak. Penelitian tersebut merupakan studi mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang mengalami nilai filosofis
melalui
penelitian
kepustakaan,
yang
menggunakan
metode
fenomenologi sebagai alat untuk menganalisis data yang berhubungan dengan tema yang diangkat. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah : pertama, hakikat manusia dalam budaya Sasak yakni manusia Sasak lebih mementingkan kehidupan bersama yang lahir dari budaya Tindih yang bersifat esensial, karena berakar dari kearifan lokal masyarakat Sasak. Kedua, pribadi yang paling diinginginkan oleh manusia Sasak adalah pribadi yang telah mencapai
6
bentuk yang paling ideal, yakni manusia Tindih. Manusia Tindih ini diartikan sebagai pribadi yang memiliki sifat yang eksistensial. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Hamzah tersebut, terdapat perbedaan objek formal penelitian yang digunakan,
Hamzah
menganalisis
konsep
Tindih
dengan
menggunakan
pendekatan filsafat manusia Driyarkara sebagai objek formal, sedangkan saya menggunakan filsafat analitika bahasa Ludwig Wittgenstein. Selain itu objek material dari skripsi saya adalah Tindih Tertip-Tapsile Suku Sasak, karena menurut saya konsep Tindih tidak dapat dipisahkan dengan konsep Tertib-Tapsile. Buku dan hasil penelitian yang mempunyai kedekatan dan keterkaitan dengan tema proposal penelitian ini misalnya buku yang berjudul Islam Sasak Wetu Telu vs waktu lima (Erni Budiwanti, 2000, LKiS, Yogjakarta). Buku ini mengulas agama islam yang tempat penelitiannya berada di daerah Bayan. Buku ini menggunakan sudut pandang atau objek formal yang terfokus pada penelitian antropologi. Penelitian serupa itu adalah tentang Islam lokal akulturasi islam dibumi Sasak (Fadly, M. Ahyan, 2008, STAIIQ, Press bagu Lombok Tengah). Buku ini mengulas pengaruh islam dalam budaya Sasak dan akulturasi islam dengan budaya Sasak.
Buku lain adalah tentang Lombok
-kupu
kuning yang terbang di selat Lombok : lintasan sejarah kerajaan karangasem (1661-
Buku ini diterbitkan oleh Upada Sastra, Denpasar tahun 1992.
Buku kontroversial ini secara sepihak membahas mengenai pengembangan kerajaan karangasem ke Lombok yang terjadi sejak raja karangasem II, yang
7
merupakan Tri Tunggal ke -1 di tahun 1962. Raja tri tunggal ini adalah I gusti Anglurah Wayan Karangasem, I gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I gusti Anglurah Ketut Karangasem. Sedangkan buku lain lagi adalah tentang sejarah politik yang ditulis Alfons Conquest, Colonialization and Underdevelopment, 1870Penaklukan, penjajahan dan keterbelakangan 1870-1940. Diterbitkan oleh Lengge Printika Mataram NTB, tahun 2009. Buku ini melihat perkembangan suku Sasak pada masa kolonialisme dan imperialisme tahun 1870-1940-an. Penelitian ini menekankan pada konteks kesejarahan saat itu, dan mengungkapkan bahwa penaklukan bangsawan raja dan orang bali (triwangsa atau punggawa) terhadap kekuasaan orang sasak yang berasal dari pribuminya sendiri, mereka ditaklukkan oleh kekuasaan karangasem dan triwangsa yang berasal dari orang-orang pribumi, mereka juga sepenuhnya dirampas dan ditindas, sehingga orang Sasak melakukan pemberontakan atas perlakuan yang sewenang-wenang itu. Keduanya (ketut agung dan van der kraan) lebih mengarah kepada raja Bali yang mengembangkan kekuasaaannya di wilayah timur yaitu pulau Lombok dem (penguasaan hak atas tanah yg berasal dari orang pribumi) dan non materi (menanamkan ideologi agama, kebudayaan, dan sebagainya). Buku ini dikomentari oleh Muhammad Fadjri dalam disertasinya sebagai karya yang tidak evidence di lapangan.
8
Kajian tentang filsafat bahasa Wittgenstein sudah banyak dilakukan tetapi yang ber-objek material Tindih Tertib-Tapsile Suku Sasak belum pernah dilakukan. 4.
Manfaat Penelitian
1)
Bagi Peneliti
Penelitian ini memberikan tambahan wacana dan khasanah ilmu pengetahuan tentang Filsafat Bahasa, dan menjadi wahana aktualisasi proses berfilsafat dalam diri peneliti. Selain itu, penelitian ini turut menjadi prasyarat guna memperoleh gelar sarjana. 2)
Bagi Filsafat
Untuk
Pengembangan
dan
menambah
khasanah
keilmuan
dan
memberikan sumbangan pemikiran dalam filsafat bahasa. 3)
Bagi filsafat bahasa
Memberikan sumbangan penelitian terhadap Language Game Ludwig Wittgenstein. 4)
Bagi Masyarakat dan Bangsa Indonesia
Memberi informasi tentang suku Sasak dan kearifan lokalnya yaitu Tindih Tertib-Tapsile suku Sasak dan juga memfasilitasi orang luar Sasak untuk mengapresiasi segala cita-cita dan nilai-nilai kultural mereka. Penelitian ini akan mempertajam pemahaman orang tentang analitika bahasa.
9
5)
Bagi Orang Sasak
Penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman orang Sasak sendiri terhadap Tindih Tertib-Tapsile. B. Tujuan Penelitian: Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Menjelaskan Language Game Ludwig Wittgenstein 2). Memaparkan tentang Tindih Tertib-Tapsile Suku Sasak 3). Apa makna Tindih Tertib-Tapsile Sasak ditinjau dari Language Game Ludwig Wittgenstein Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman yang lebih jernih tentang Tindih Tertib-Tapsile Sasak. C. Tinjauan Pustaka. Pada awal abad ke-20 an iklim filsafat di Inggris mulai berubah. Filsafat neoidealisme-neohegelianisme diambil alih pengaruhnya oleh suatu reaksi baru, yaitu gerakan neorealisme. Para ahli fikir di Inggris menilai ungkapan filsafat Idealisme bukan saja sulit dipahami, tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat (Mustansyir, 1995: 5). Sebagai reaksi menentang filsafat Idealisme, maka terjadilah suatu revolusi yang digagas oleh ahli fikir Inggris yaitu George Edward
10
Moore (1873-1958), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan Samuel Alexander (1859-1938). Ketiga filosof ini merupakan generasi pertama tokoh-tokoh neorealisme. Setelah itu menyusul tokoh-tokoh seperti Bertrand Russel (18721972), dan beberapa intelektual dari lingkungan akademisi Wina seperti Ludwig Wittgenstein (1889), dan Alfred Yules Ayer (1910) yang melahirkan metode filsafat baru, yaitu metode analisa bahasa (Hidayat, 2006: 43). George Edward Moore adalah tokoh pertama yang mengkritik neohegelianisme.
Menurut
Moore
salah
satu
kelemahan
dari
filsafat
neohegelianisme adalah bahwa ia bertentangan dengan akal sehat (Comon Sense). Artinya, banyak dijumpai pernyataan-pernyataan filsafatnya yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat, seperti ungkapan-ungkapan seperti ini merupakan ungkapan yang tidak dapat dipahami menurut akal sehat. Oleh karena tidak ada gunanya maka ungkapan seperti ini harus dibuang. Menurutnya, bahasa sehari-hari merupakan sumber akal sehat yang sudah mencukupi, karena itu filsafat harus berpihak kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa. Bagi Moore, tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan atau menafsirkan (Baca; Interpretasi) tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui kegiatan analisis bahasa berdasarkan akal sehat, dan yang paling penting adalah mengkalimatkan pertanyaan-pertanyaan dengan jelas dan tepat. Hal ini karena banyak persoalan-persoalan filsafat yang belum bisa diturunkan dalam bentuk
11
kalimat yang tepat dan sempurna, sehingga dapat menjawab persoalan-persoalan yang sebenarnya (Hidayat, 2006: 46). Jadi kegiatan analisis bahasa dapat diartikan sebagai kegiatan menjelaskan suatu pikiran, suatu konsep yang diungkapkan, mengeksplisitasikan semua yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan kata lain, memecahkan suatu persoalan ke dalam detail-detail kecil (Hanna and Harrison, 2004: 49). Budaya Sasak seperti umumnya etnis di Indonesia, memiliki sistem nilai yang membangun kepribadian masyarakatnya sehingga menjadikan ciri tersendiri sebagai wujud jati diri atau lokal identity-nya secara utuh. Dalam struktur budaya Sasak sistem nilainya terdiri dari 3 lapisan, antara lapisan yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Lapisan pertama disebut dengan lapisan inti, berfungsi sebagai sumber motivasi dari dalam diri (self motivation) masyarakat. Lapisan pertama ini melahirkan lapisan kedua yaitu nilai penyangga, dan lapisan ketiga yakni nilai yang bersifat kualitatif. Pada etnis Sasak, lapisan pertama atau lapisan inti disebut dengan Tindih yang menjadi simbol-simbol nilai abstrak. Tindih ini berfungsi sebagai noktah yang dapat melahirkan nilai-nilai filosofis dan memotivasi masayarakat Sasak menjadi insan yang memelihara hubungan sosial dengan sesama manusia secara luas. Tindih inilah yang kemudian terus dikembangkan oleh para tuan guru yang didasarkan pada nilai-nilai religius Islam (Sabirin, 2008: 25-26). Sistem nilai bagi etnis sasak tersebut dikenal dengan istilah Tindih. Tetapi Tindih bukan hanya sebagai sistem nilai tetapi lebih dari pada itu yakni Tindih ini sebagai model manusia ideal dalam budaya Sasak (Hamzah, 2012: 164).
12
Tindih, sebagai suatu paradigma atau model pembelajaran, adalah etika Sasak purba yang menekankan pesan ideologi pembelajaran (durus) mengenai hidup berpasrah diri hanya kepada dan berjuang mencapai Tuhan (
/
Allah SWT). Tertib teluolas (T-13) adalah blueprint mentalitas Sasak, yakni cara berpikir tentang hidup dan berkehidupan diantara orang-orang Sasak. T-13 adalah 13 ujud tatanan daur hidup orang Sasak, yang diyakini memanusiakan orang Sasak (Fadjri, 2015: 94). T-13 ini semacam tatanan hablum min an-anas diantara orang Sasak. Pelaksanaan T-13 secara ideologis dimotivasi oleh rasa adil yang diterima dari
(dengan tertib pituq / T-7, yakni tatanan keyakinan
orang Sasak, serupa hablum min-Allah). Tindih dalam semangat ini adalah suatu Tindih sino,
Tindih menunjuk kepada setiap nawaitu, ucapan, dan perbuatan manusia Sasak (dari kitab-kitab Lontar Sasak). Tindih yang merupakan internalisasi penghayatan kepada keyakinan mereka mengenai Tuhan (Allah SWT) dan yang diikuti oleh hal-hal lumrah seperti ritus-ritus tertentu yang membangun kebudayaan dan peradaban Sasak. Kehidupan orang Sasak, secara kultural, memperlihatkan suatu pandangan dan pola hidup berdasarkan keyakinan kepada dimensi transenden itu (Fadjri, 2015: 82-83).. D. Landasan Teori Bahasa merupakan hal yang penting dalam filsafat. Filsafat menggunakan bahasa untuk menganalisa makna yang ada dalam lingkup filsafat. Filsafat bahasa
13
mulai dikenal dan berkembang pada abad XX saat para filsuf mulai sadar bahwa banyak terdapat kekacauan bahasa yang digunakan filsuf dalam menjelaskan teori-teori Filsafat. Perhatian filsuf terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Filsafat analitika bahasa sebagai bagian dari filsafat bahasa, mulai dikenal dan berkembang pada abad XX di Inggris dan di Eropa pada umumnya. Wittgenstein dengan metode analisa bahasanya berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Menurutnya tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus (seperti yang dibuat oleh para filsuf sebelumnya),
melainkan
memecahkan
persoalan
yang
timbul
akibat
ketidakpahaman terhadap bahasa logika. Ini berarti analisa bahasa bersifat kritik terhadap bahasa (Critical Of Language) yang dipergunakan dalam filsafat. Metode analisa bahasa ini telah membawa perubahan ke dalam dunia filsafat (terutama di Inggris), karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas. Ada banyak istilah atau
-teki yang membingungkan para peminat filsafat. Kemudian dalam perkembangannya para filsuf analitik
14
menerapkan teknik analisa bahasa yang berbeda satu dengan yang lain, serta menentukan kriteria yang berlainan tentang istilah atau ungkapan yang bermakna dengan yang tidak bermakna, namun ciri khas filsafat analitik itu sendiri mengandung nafas yang sama yaitu melakukan kritik terhadap pemakaian bahasa dalam filsafat. Oleh karena itu, kebanyakan ahli filsafat menganggap kehadiran metode analisa bahasa ini dalam kancah filsafat, tidak hanya merupakan reaksi terhadap metode filsafat sebelumnya, tetapi juga menandai lahirnya atau munculnya suatu metode berfilsafat baru yang berc
Logosentrisme
(pandangan yang menganggap bahasa sebagai objek terpenting dalam pemikiran filsafat), dan kemudian metode analisa bahasa ini tidak hanya di kenal di Inggris, akan tetapi dalam waktu belakangan ini juga telah menyebar luas di berbagai negara, dan saat ini, metode analisa bahasa telah menduduki tempat yang setara dengan metode filsafat lainnya (Mustansyir, 1995: 5-8). Wittgenstein mengembangkan pemikirannya tentang filsafat analitik dalam dua periode. Periode pertama menghasilkan Tractatus Logico Philosphicus (TLP) dan periode kedua, dia menghasilkan Philosophical Investigation (PI). Philosophical Investigations pada intinya menjelaskan bahwa bahasa dalam kehidupan manusia dipakai banyak dalam banyak cara, sesuai dengan konteks kehidupan manusia, sehingga teori tersebut disebut dengan language games, yaitu
an antara permainan dalam penggunaan bahasa dalam berbagai konteks kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, Wittgenstein menegaskan dalam karyanya yang kedua, makna sebuah
15
kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam kehidupan manusia yang bersifat
beraneka ragam (Wittgenstein, 1983: 23). Menurut
Wittgenstein terdapat banyak sekali permainan bahasa dalam kehidupan manusia dan setiap permainan memiliki aturan-aturan sendiri. Setiap permainan merupakan suatu aktivitas dalam kehidupan manusia dan memiliki aturan sendirisendiri. Kata, kalimat, dan bahasa akan mendapatkan makna hanya bergantung pada cara pemakaiannya dalam aktivitas manusia tersebut. Tugas filsafat menurut Wittgenstein melukiskan berfungsinya permainan bahasa tersebut, dan tidak boleh ikut campur di dalamnya (Bertens, 1981: 50). Pemikiran filsafat Ludwig Wittgenstein dibagi menjadi dua periode, yaitu: periode pertama yang tertuang dalam Tractatus dan periode kedua yang tertuang dalam Philosophical Investigation (penelitian filosofis). Periode pertama pemikiran Wittgenstein beraliran atomisme logis, dimana penggunaan bahasa sangat berkaitan dengan penggunaan Logika. Sedangkan pada periode kedua beraliran filsafat bahasa biasa, dimana penggunaan bahasa berada pada kehidupan manusia dan terlepas dari penggunaan logika (Gie, 1984: 122-123). Di dalam pemikiran periode kedua Wittgenstein, dikenal adanya teori Language-Games. Wittgenstein memberi deskripsi awal tentang LanguageGames dengan menyatakan bahwa permainan bahasa berkaitan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana (Kaelan, 2004: 132). Ide atau gagasan tentang Language-Game muncul sebagai koreksi Wittgenstein terhadap pemikirannya
16
sendiri pada periode pertama.Istilah Language-Games ada di dalam pemikiran Wittgenstein periode kedua yang dijelaskan di dalam buku Philosophical Investigation. Language-Games merupakan salah satu teori yang fundamental dalam Philosophical Investigation
004:132). Menurut Wittgenstein bentuk
Language-Games banyak dan tidak terhitung jumlahnya, sehingga memiliki sifat yang beragam dan kompleks. Terdapat berbagai macam jenis penggunaan kalimat dan kata-kata dalam Language-Games. Wittgenstein menegaskan bahwa Language-Games adalah suatu bagian dari kegiatan dalam kehidupan manusia (Kaelan, 2004: 145). Language-Games ada didalam kegiatan manusia sehari-hari. Didalam Language-Games terdapat aturan permainan (Rule of The Game) yang membedakan antara Language-Games yang satu dengan Language-Games yang lainnya. Rule of The Games merupakan inti dari Language-Games. Jadi meskipun terdapat kemiripan diantara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain, yang disebut Wittgenstein sebagai Family Resemblances, tetap ada Rule of The Game yang berbeda di dalam masing-masing kegiatan, yang memberi ciri dari masing-masing Language-Games.
E. Metode Penelitian: 1.
Bahan dan Materi Penelitian
17
Bahan yang digunakan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data Primer: 1)
Objek Formal: a) Kepustakaan mengenai Ludwig Wittgenstein b) Tulisan-tulisan dan artikel-artikel yang membahas masalah filsafat bahasa dan Language Game Ludwig Wittgenstein
2)
Objek Material: a) Buku-buku tentang Suku Sasak yang ada membahas tentang Tindih TertibTapsile. b) Disertasi mengenai ideologi dan mentalitas orang Sasak. c) Tesis mengenai Konsep Tindih Manusia Sempurna. d) Data hasil wawancara langsung dengan narasumber yang pernah melakukan penelitian tentang suku, Selain itu juga diadakan diskusi dengan Majelis Adat Sasak untuk melengkapi data untuk penulisan skripsi saya ini.
b. Data Sekunder: Berupa buku, jurnal, e-book, majalah, Koran, dan beberapa sumber media online yang berkaitan dengan tema penelitian baik yang berhubungan
18
dengan objek material maupun yang berhubungan dengan objek formal penelitian yang digunakan sebagai pendukung untuk melengkapi dan menambah data penelitian. 2.
Jalan Penelitian Penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu: 1)
Pengumpulan data kepustakaan dan Wawancara, yaitu pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian yang berkaitan dengan objek kajian penelitian.
2)
Pengelompokan data, yaitu mengolah serta menganalisa semua data yang terkumpul dengan klasifikasi dan deskripsi agar sesuai dengan yang diteliti.
3)
Penyusunan penelitian, melakukan penyusunan dan pengelompokan data primer maupun sekunder sehingga penelitian dapat dituangkan secara sistematis dan analitis.
3.
Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode dan unsur-unsur metodis yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1990: 114-119), yaitu dengan menggunakan unsurunsur metodis sebagai berikut: a) Deskripsi :
19
Peneliti memberikan gambaran mengenai objek material dan objek formal seobyektif mungkin. Pembahasan hasil penelitian atau pembahasan sehingga ada kesatuan antara bahasa dan pikiran. Deskripsi merupakan salah satu unsur hakiki untuk menemukan aidos pada fenomena tertentu. (Baker dan Zubair, 1990: 77) b) Kesinambungan Historis: antara bahasa dan pikiran. Usaha untuk memahami perkembangan historis yang ditemukan dalam objek material maupun objek formal. Metode Historis digunakan untuk mengungkap perjalanan dan perkembangan pemikiran, dan mencari kesinambungan dari objek material yang diteliti. Metode deskripsi historis, diterapkan dalam rangka mendeskripsikan konsep-konsep filsafatnya, pemikiran
yang
pemikiran
filsafat
mempengaruhinya, tersebut
serta
terhadapan
kemungkinan perkembangan
pengaruh pemikiran
sesudahnya (Kaelan, 2005:80 c) Analisis: Mengkaji data yang diperoleh secara kritis dan sistematis dengan usaha menguraikan unsur-unsur yang sifatnya umum untuk mengetahui unsur-unsur yang bersifat khusus sehingga diperoleh pengertian yang komprehensif. d) Hermeneutika:
20
Usaha melakukan penafsiran atau interpretasi guna menangkap makna esensial dari objek penelitian, sehingga didapatkan suatu kesinambungan yang menyeluruh antara objek material dan objek formal. Metode hermeneutika sangat relevan di dalam menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol maupun nilai yang terkandung di dalam ungkapan
atau
kebudayaan
lainnya
(Kaelan,
2005:
80). dalam
menggunakan metode hermeneutika ini, peneliti menempuh langkahlangkah metodis sebagai berikut: (1) Verstehen Yaitu suatu metode yang digunakan peneliti untuk menangkap makna yang sifatnya non-empiris, holistic, dan tidak dapat secara langsung ditangkap oleh indera manusia (Kaelan, 2005: 74). (2) Heuristik Metode ini digunakan untuk menemukan suatu jalan baru atau terjemahan baru yang lebih baik secara komprehensif sehingga hubungan di antara unsur-unsur filosofis dapat di deskripsikan. Setiap penelitian harus mampu mengembangkan pemikiran secara dinamis, dan bahkan jika perlu, juga melakukan kritik atau menemukan teori-teori baru (Kaelan, 2005: 96). Penyusunan Laporan Penelitian. Setelah melakukan analisa data berdasarkan unsur-unsur metodis diatas, hasil dari analisis akan dituangkan dalam tulisan sebagai laporan penelitian. 21
Penyusunan Laporan Penelitian. Setelah melakukan analisa data berdasarkan unsur-unsur metodis diatas, hasil dari analisis akan dituangkan dalam tulisan sebagai laporan penelitian. 4.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut: Bab I akan berisi tentang Latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak diajukan, tujuan penelitian, manfaat penelitian , tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan. Bab II akan melakukan pengkajian mengenai filsafat Analitika bahasa, khususnya Language Game Ludwig Wittgenstein. Biografi singkat Ludwig Wittgenstein. Bab III ini berisi uraian mengenai Tindih Tertib-Tapsile suku sasak. Pemahaman tentang Tindih, pemahaman tentang Tertib-Tapsile, TertibTapsile yang terdiri dari 20 butir konsep yang terbagi menjadi dua tertib, yaitu 13 butir tertib manusia dan 7 tertib Tuhan. Didalam bab ini juga akan diuraikan mengenai suku Sasak dan pulau Lombok. Bab IV berisi ulasan data tentang nilai-nilai filosofis dari Tindih TertibTapsile suku Sasak yang akan dilihat menggunakan teori Language Games Ludwig Wittgenstein. Bab V berisi tentang kesimpulan yang merupakan ringkasan uraian dari bab-bab sebelumnya serta saran dari peneliti.
22
F. Capaian Hasil Penelitian Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Memahami secara kritis Language Game Ludwig Wittgenstein
2.
Mengetahui dan memahami tentang Tindih Tertib-Tapsile Suku Sasak
3.
Mencari, mengetahui, dan memahami makna Tindih Tertib-Tapsile Sasak ditinjau dari Language Game Ludwig Wittgenstein
23