BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena yang terdapat pada kelompok masyarakat sangat beragam. Termasuk sistem kemasyarakatan yang berlaku. Sistem kemasyarakatan biasanya terkait dengan kebudayaan yang berkembang di dalam kelompok masyarakat sehingga terdapat nilai kepatuhan tertentu yang dijalankan. Nilai kepatuhan tersebut bisanya merupakan sesuatu yang tidak tertulis, baik yang dilaksanakan secara sadar maupun tidak. Kebudayaan yang terdapat pada kelompoknya memiliki sifat khas yang mengikuti sifat kelompoknya (Herusatoto, 1987). Terdapat tujuh unsur universal kebudayaan, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan; sistem organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem mata pencarian hidup; serta sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1976). Sistem organisasi kemasyarakatan, atau sistem kemasyarakatan merupakan titik beratnya. Sistem kemasyarakatan merupakan jalan masuk untuk mengetahui lebih jauh mengenai nilainilai yang diyakini oleh kelompok masyarakat, sehingga dapat menjadi politis. Hal-hal yang politis tidak hanya dapat dijelaskan dalam institusi formal, melainkan dapat muncul dari berbagai hal di luar itu. Politik berkaitan dengan kekuasaan secara umum, dalam hal patuh mematuhi. Fenomena kekuasaan tidak selalu
dapat
diamati
dengan
melihat
bagaimana
presiden
menjalankan
kepemimpinannya, kinerja lembaga negara, penyelenggaraan pemilu digelar, atau hal
12
sejenisnya. Kekuasaan tidak selalu mengenai hal yang besar seperti negara, tapi bisa juga muncul dalam ranah yang lebih sempit misalnya dalam kelompok masyarakat suatu suku. Salah satunya adalah kelompok masyarakat suku Jawa. Budaya suku Jawa atau budaya Jawa merupakan sebuah kebudayaan yang menarik untuk didalami. Budaya ini dilahirkan oleh orang-orang Jawa. Orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli yang berasal dari bagian tengah dan timur pulau Jawa (Magnis Suseno, 1984), kini termasuk dalam wilayah administrasi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian wilayah Jawa Timur. Dengan pusatnya adalah keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta. Jawa memiliki
keunikan karena karakter budayanya, tingkah laku
masyarakatnya, serta prinsip hidupnya. Nilai tradisional dari orang Jawa masih dapat dilihat sampai sekarang. Nilai-nilai tradisional Jawa berasal dari jaman kerajaan kuno masih tetap ada dan beberapa masih diterapkan sampai saat ini. Penyebaran orangorang Jawa yang bermigrasi ke banyak tempat di Indonesia membuat nilai-nilai tersebut ikut terbawa. Bahkan nilai-nilai dari Jawa juga ikut masuk ke dalam sistem politik nasional Indonesia karena banyaknya orang Jawa yang duduk di kursi pemerintahan. Orang Jawa menggunakan banyak simbol-simbol. Bahkan kehidupannya lekat dengan pengunaan simbol. Simbol-simbol ini berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dihayati di dalamnya serta tujuan yang hendak dicapai melaluinya. Nilai-nilai tersebut umumnya berkaitan dengan pedoman tingkah laku sehari-hari anggota kelompok
13
dalam banyak aspek (Mulder, 1983). Simbol-simbol Jawa juga memuat hal-hal mengenai sistem kemasyarakatan yang dinilai politis. Hal-hal yang politis merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Kekuasaan dalam konsep Jawa merupakan kekuasaan yang menggunakan simbolsimbol. Kekuasaan Jawa merupakan bentuk yang konkret sehingga memerlukan simbol tertentu sebagai penanda. Kekuasaan ini bukan merupakan konsep yang samasekali abstrak sehingga digunakanlah simbol-simbol. Penggunaan simbol oleh orang Jawa telah dilakukan cukup lama. Simbol digunakan sebagai perantara pesan atau nasehat (Herusatoto, 1987). Dalam penelitian oleh para ahli, ditemukan bahwa penggunaan simbol diberlakukan sejak jaman prasejarah. Hal ini terbukti dengan adanya benda-benda sederhana dari batu, misalnya untuk simbol roh nenek moyang, simbol untuk menyimbolkan status sosial, dan bahkan dalam makanan tertentu. Beberapa makanan di Jawa memiliki simbolisme yang sarat akan pesan, nasehat dan nilai. Masyarakat Jawa memiliki berbagai simbolisme yang tercermin dalam banyak hal. Simbolisme dalam makanan merupakan salah satu simbolisme yang ada dalam masyarakat Jawa. Simbolisme berkaitan dengan perwujudan suatu makna yang ingin disampaikan melalui media tertentu yang terdapat pada kehidupan sehari-hari, dan biasanya merupakan pelajaran hidup yang harus ditanamkan oleh masyarakat bersangkutan dalam keseharian mereka (Herusatoto, 1987) Makanan merupakan kebutuhan harian setiap manusia, oleh karena itu keberadaannya sangat lekat. Dalam masyarakat tradisional, makanan tidak hanya sekedar hidangan pemenuhan kebutuhan biologis. Makanan ada yang dibuat secara 14
khusus mengikuti suatu aturan tertentu dan dengan cita rasa tertentu. Dalam makanan yang dibuat secara khusus tersebut, terdapat makna yang ingin disampaikan melalui simbol-simbol yang terdapat padanya. Sejauh ini, penelitian mengenai makanan cenderung terkait dengan bidang kelimuan gizi atau boga. Penelitian mengenai makanan jarang tersentuh oleh bidang kelimuan sosial maupun politik. Dari sinilah ide mengenai topik ini muncul. Di Jawa terdapat berbagai macam makanan khas yang merupakan warisan tradisional. Diantaranya ada makanan yang dibuat secara khusus untuk suatu kegiatan yang juga khusus. Di dalamnya mengandung simbol-simbol dengan suatu pemaknaan. Salah satunya adalah nasi tumpeng. Jenis makanan ini merupakan makanan yang sering digunakan dalam upacara tradisional di Jawa, ditambah lagi makanan ini sarat akan simbol-simbol. Tumpeng berarti sega diwangun pasungan atau nasi berbentuk kerucut (Kamus Jawa Kuna Indonesia, 1981). Nasi tumpeng merupakan salah satu makanan Jawa yang dibuat secara khusus. Ia terbuat dari beras yang ditanak menjadi nasi, kemudian disajikan dalam berbentuk kerucut. Biasanya berupa nasi kuning atau putih kemudian disajikan dalam wadah tampah (nampan bulat) lalu digunakan untuk acara tertentu. Dalam melengkapi nasi tumpeng, terdapat berbagai macam makanan pelengkap yang diletakkan di sekitarnya. Setiap makanan yang berada di sekitar nasi tumpeng, nasi tumpeng itu sendiri, serta upacara yang sedang digelar mengandung mengandung makna khusus. Dari hal itu diperoleh keinginan untuk mengetahui bagaimana simbolisme dalam nasi tumpeng. Nasi tumpeng merupakan makanan Jawa yang sarat akan simbol 15
dan pemaknaan. Simbol dan pemaknaan dalam nasi tumpeng merupakan hal yang akan dikaji. Selain karena keunikannya, penggunaan nasi tumpeng ternyata tidak hanya sebatas digunakan oleh orang Jawa, melainkan lebih luas serta disajikan dalam acara-acara penting.
B. Rumusan Masalah Berkaca dari pemaparan yang disajikan pada latar belakang, rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah makna simbolisasi nasi tumpeng menurut konsep kekuasaan Jawa? 2. Apakah simbolisasi tersebut masih digunakan?
C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu: Pada nasi tumpen, termasuk pada upacara yang diselenggarakan, terdapat simbolsimbol yang memiliki makna-makna tertentu terutama terkait dengan sistem kemasyarakatan Jawa. Hal ini kemudian akan dikatkan dengan konsep kekuasaan Jawa untuk memahami aspek politisnya. Perkembangan kekiniannya juga merupakan hal yang ingin diketahui lebih lanjut.
16
D. Kerangka Teori Kerangka teori akan dikembangkan melalui konsep kekuasaan Jawa. Kemudian dihubungkan dengan simbolisme yang diarahkan pada simbolisme di Jawa karena konsep kekuasaan Jawa erat kaitannya dengan simbolisme. Dari paparan teori tersebut kemudian akan dikaitkan dengan nasi tumpeng, yaitu mengenai penggunaan simbol-simbol yang ada di dalamnya. D.I. Konsep Kekuasaan Jawa Setiap kelompok masyarakat memiliki gagasan masing-masing mengenai konsep kekuasaan. Kekuasaan sangat erat kaitannya dengan sistem kemasyarakatan dalam hal pengaturan tertentu untuk menciptakan kehidupan ideal bersama. Gagasan satu masyarakat dengan gagasan masyarakat lain tentu berbeda-beda karena karakter masing-masing masyarakat yang bervariasi. Misalnya variasi dari segi latar belakang sosial, budaya, lingkungan, serta pandangan hidupnya. Konsep kekuasaan Jawa memiliki ciri tersendiri. Konsep kekuasaan Jawa memiliki ciri yang berbeda bila dibandingkan dengan konsep kekuasaan dari Eropa yang muncul pada abad pertengahan atau yang disebut sebagai kekuasaan barat. Konsep kekuasaan Jawa secara khusus disebut sebagai kesakten yang dianggap bukan merupakan konsep atau teori kekuasaan secara implisit. Gagasan mengenai politik Jawa yang berbeda dengan gagasan politik barat (Anderson, 1972). Setidaknya terdapat empat hal yang membedakannya berdasarkan abstrak tidaknya kekuasaan, sumber-sumber kekuasaan, jumlah kekuasaan, dan
17
moralitas kekuasaan. Selanjutnya dibandingkanlah konsep kekuasaan barat dengan konsep kekuasaan Jawa yang digolongkan dalam empat kriteria tersebut. Dalam konsep kekuasaan barat, pertama kekuasaan bersifat abstrak. Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak nampak, kekuasaan merupakan istilah untuk menggambarkan bentuk hubungan antarmanusia. Seseorang disebut berkuasa apabila dapat menunjukkan hubungan kausal antara pengaruhnya dan perilaku ketaatan dari pihak lain. Kedua, sumber kekuasaan adalah majemuk. Seseorang dapat mempengaruhi orang lain apabila memiliki dan mampu memakai sumber-sumber kekuasaan. Sumber-sumber kekuasaan tersebut terdiri dari banyak jenis. Ketiga, jumlah kekuasaan tidak terbatas karena merupakan abstraksi yang menggambarakan hubungan manusia. Sumber kekuasaan akan bertambah seiring dengan perkembangan pengetahuan. Keempat, secara moral, kekuasaan bersifat kabur. Konsep kekuasaan digambarkan sebagai hubungan antarmanusia sehingga tidak dengan sendirinya memperoleh legitimasi. Kekaburan kekuasaan timbul karena sifat kekuasaan yang majemuk. Sedangkan konsep kekuasaan Jawa atau yang disebut sebagai kesakten, digambarkan secara kontras dibandingkan dengan konsep kekuasaan barat. Pertama, kekuasaan bersifat kongkret. Kekuasaan berwujud dan disimbolkan dengan sesuatu. Keberadaan kekuasaan tidak terikat pada penggunanya. Kekuasaan merupakan kekuatan spiritual misterius dan tidak nyata, dimana dengan kekuataannya dapat menggerakkan dunia. Kekuasaan terwujud dalam bentuk benda alam, seperti pada batu, pohon, awan, api, dll. Selan itu kekuasaan juga hadir melalui misteri kehidupan, contohnya pada proses generasi dan regenerasi. Kedua, kekuasaan bersifat homogen. 18
Kekuasaan berasal dari tipe dan sumber yang sama dengan kekuasaan yang ada dalam individu atau kelompok lain. Ketiga, jumlah kekuasaan di dunia adalah tetap, karena jagat raya tidak meluas maupun menyempit sehingga kekuasaan yang ada di dalamnya pun tidak berubah dan dalam jumlah yang konstan. Konsentrasi kekuasaan di satu tempat berarti pengurangan kekuasaan pada tempat lain. Meskipun demikian, distribusi kekuasaan dapat berubah, pemegang kekuasaan pun dapat berganti-ganti. Keempat,
kekuasaan
tidak
memiliki
implikasi
moral.
Kekuasaan
tidak
mempersoalkan baik atau buruk karena bersumber dari hal yang sama (homogen). Sehingga dengan demikian, kekuasaan tidak perlu pengakuan atau legitimasi karena dengan sendirinya benar.
D.II. Simbolisme Manusia
adalah makhluk budaya
yang penuh akan simbol-simbol
(Herusatoto, 1987). Budaya manusia banyak diwarnai oleh simbolisme. Dalam pengertiannya, simbolisme merupakan paham mengenai simbol-simbol. Simbolisme merupakan pemikiran mengenai gagasan untuk mengikuti pola-pola, serta mendasarkan diri pada simbol-simbol. Simbolisme hadir dalam banyak aspek kehidupan, antara lain tingkah laku, bahasa ilmu pengetahuan, agama, atau hal lain. Hal itu didasarkan karena manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan
simbolis.
Ada
berbagai
macam
simbol
untuk
mengungkapkannya dan hadir dalam berbagai bentuk. Masing-masing simbol merupakan suatu ciri khas kelompok masyarakat yang menghasilkannya.
19
Simbol terdapat pada hasil karya dari kelompok masyarakat dan diwariskan secara turun temurun. Simbol tidak hanya merupakan cerminan dari realitas, tapi juga mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan mendasar. Dalam hal ini simbol dapat berperan sebagai perantara untuk memaknai sesuatu hal (Hamburg, 1970). Simbol
dalam
kelompok
masyarakat
tradisional
dapat
dimaknai
keberadaannya sebagai sesuatu yang mutlak dan sakral. Dalam simbol, terdapat nilainilai yang harus diyakini, baik berupa hal-hal yang harus dikerjakan maupun hal yang tidak boleh dilakukan. Dalam hal ini simbol merupakan perantara untuk menyampaikan suatu nilai kepada masyarakat. Simbolisme tidak hanya dilihat dari wujud bendanya saja, melainkan dari halhal yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian esensi makna di dalamnya akan dapat menggugah perasaan orang-orang (Herusatoto, 1987). Simbol juga dilihat pada penggunaannya, sehingga melibatkan peristiwa dan aktor. Jenis simbolisme, penggunaannya, serta aktor yang berperan di dalamnya memiliki hubungan dalam memaknai esensi simbol dalam kaitannya dengan nilai yang bersifat politis.
D.III. Simbolisme di Jawa Dalam negara klasik terdapat simbolisme dan perlambangan yang memiliki suatu makna tertentu yang berkaitan dengan tata kehidupan sosial masyarakat (Geertz, 1980). Negara klasik merupakan bentuk negara tradisional atau sistem kemasyarakatan yang didasarkan pada sistem yang berasal dari masyarakat setempat, dan lingkup penggunaanya terbatas.
20
Konsep negara klasik Jawa adalah warisan dari jaman kuno yang diadopsi secara turun-temurun. Cara pewarisan untuk generasi selanjutnya banyak dilakukan dengan menggunakan simbol. Simbol digunakan sebagai penghantar makna untuk diwariskan. Simbolisme digambarkan dengan benda-benda yang terdapat di sekitar lingkungan masyarakat kemudian dihubungkan dengan suatu nilai sehingga memiliki makna. Simbol-simbol banyak terdapat pada kebudayaan yang dihasilkan oleh suku Jawa. Antara lain berupa bangunan pemujaan, upacara adat, perayaan khusus, bendabenda keramat, hewan-hewan yang tidak biasa, dll (Surbakati, 1992). Simbol digunakan sebagai media perantara untuk menyampaikan suatu makna, baik kepada orang lain di generasi yang sama maupun antargenerasi. Pemaknaan dalam simbol mengandung pesan-pesan dalam pedoman kehidupan sehari-hari. Simbol bukan hanya tentang benda yang digunakan sebagai simbol tersebut, tapi juga termasuk makna yang terkandung di dalamnya, sehingga makna dari benda tersebut diperluas (Herusatoto, 1987). Simbolisme dapat berwujud dalam banyak hal di Jawa. Misalnya poros bumi disimbolkan dengan gunung. Simbol kebesaran raja diwujudkan dalam berbagai benda pusaka, juga dapat disimbolkan dengan motif pakaian yang dikenakan baik olehnya sendiri maupun orang lain di wilayah kuasanya. Contohnya pada masa Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) diberlakukan mengenai aturan berpakaian. Terdapat motif-motif pakaian yang hanya boleh dikenakan oleh raja, serta beberapa orang lain yang diperkenankan. Motif tersebut antara lain batik sawat, parang rusak, cemukiran yang memakai talacap modang, udan riris dan tumpal yang merupakan
21
simbol kekuasaan Raja (Margana, 2004). Selain simbol mengenai kebesaran raja, juga terdapat simbol dalam pemaknaan pertanda sosial dalam masyarakat Jawa. Pada poin konsep kekuasaan Jawa menurut Anderson (Anderson, 1972) yang menyebutkan bahwa kekuasaan bersifat konkrit, maka kekuasaan membutuhkan sesuatu untuk membuatnya memiliki wujud. Maka simbolisme terpilih sebagai perwujudan bentuk kekuasaan sehingga penandanya dapat nampak. Benda-benda kemudian dianggap sebagai simbol atas suatu hal sehingga makna dari benda diperluas. Bukan hanya sebagai benda tapi juga melambangkan suatu hal. Di Jawa, konsep kekuasaan memiliki simbol berupa benda-benda yang berada di lingkungannya. Benda-benda tersebut dianggap sebagai benda yang mengandung kekuataan yang merupakan sumber kekuasaan. Simbol-simbol kekuasaan dalam tradisi Jawa banyak terdapat pada benda-benda pusaka, orang-orang kepercayaan penguasa/ pemimpin, alat musik, ataupun upacara sakral yang menyajikan suatu persembahan khusus (Magnis Suseno, 1984). Simbolisme dalam artian menyeluruh, yaitu meliputi jenis simbol, penggunaan, serta aktor yang terlibat di dalamnya dapat dijadikan sebagai cara melihat simbolisme secara politis. Dalam nasi tumpeng akan dilihat mengenai ketiganya, sehingga hal-hal yang bersifat politis dapat lebiih dalam dikupas.
22
E. Definisi Konseptual E.I. Kekuasaan Jawa Kekuasaan Jawa yang didefisinsikan berbeda dengan konsep kekuasaan barat (Anderson, 1972). Setidaknya terdapat empat poin yang membedakan antara keduanya, yaitu mengenai abstrak tidaknya kekuasaan, sumber-sumber kekuasaan, jumlah kekuasaan, dan moralitas kekuasaan. Penggunaan simbol pada kekuasaan Jawa juga merupakan hal yang nampak karena banyak hadir. Konsep kekuasaan Jawa merupakan sebuah konsep kekuasaan yang di Jawa dengan penyesuaiannya terhadap beberapa pengaruh asing. Jawa memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri di tengah masuknya pengaruh asing. Sehingga yang kemudian terjadi adalah penyesuaian dan adaptasi, namun unsur asli masih tetap dominan. Konsep kekuasaan Jawa digunakan untuk memahami bekerjanya sistem kemasyarakatan. Terutama dalam pembahasan mengenai nais tumpeng. Dikarenakan konsep kekuasaan Jawa tidak secara eksplisit disebutkan sebagai konsep atau teori, maka diperlukan pembahasan lebih mendalam sehingga konsep yang tersebunyi dapat terkuak ke permukaan. E.II. Simbolisme Kekuasaan Orang Jawa banyak menggunakan simbol-simbol sehingga dapatt ditemukan dalam banyak hal. Simbol mengandung makna-makna tertentu. Simbol menunjukkan bagaimana masyarakat meihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Simbol merupakan sesuatu yang harus
23
ditangkap dan ditafsir maknanya, sehingga simbol beserta maknanya dapat digunakan sebagai sarana transformasi nilai (Herusatoto, 1987). Orang Jawa juga menggunakan simbol-simbol dalam mengungkapkan bentuk kekuasaan. Simbol digunakan sebagai sarana dan media dalam menunjukkan atau mengukuhkan kepemilikan kekuasaan. Benda-benda dipilih kemudian dikukuhkan maknanya sehingga dapat menjadi simbol yang menandakan sifat kuasa.
F. Definisi Operasional F.I. Simbol-Simbol dalam Nasi Tumpeng Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa simbol dapat diwujudkan dalam apapun. Simbol-simbol tercantum dalam nasi tumpeng sebagai sajian dalam upacara tradisional Jawa. Dalam simbol yang digunakan terdapat nilai-nilai tertentu, dalam nasi tumpeng berkaitan dengan sistem kemasyarakatan. Simbol mencerminkan nilai yang mengandung pedoman-pedoman yang berlaku di masyarakat. Pedoman tersebut dianggap sebagai konsepsi bersama, atas dasar kesepakatan bersama, dan untuk mencapai tujuan bersama pula. Dalam hal ini simbol digunakan sebagai alat hegemoni. Bekerjanya hegemoni tersebut dapat ditelusuri dari awalnya, yaitu penggunaan simbol dalam nasi tumpeng. Nasi tumpeng beserta kelengkapannya memiliki simbol-simbol yang sarat makna dalam kehidupan masyarakat Jawa (Erwin, 2006). Masing-masing simbol bergabung menjadi satu kesatuan dengan makna makro yang menjelaskan maksud secara keseluruhan dari nasi tumpeng dan juga menjelaskan gambaran yang tercipta
24
darinya. Dipilihnya nasi tumpeng sebagai sajian wajib dalam acara-acara penting merupakan indikasi bahwa nasi tumpeng merupakan yang istimewa dengan maksud yang penting. Maksud tersebut dituangkan dalam bentuk simbol-simbol di dalam nasi tumpeng.
F.III. Penyajian Nasi Tumpeng Nasi tumpeng merupakan sajian berupa nasi berbentuk kerucut yang disajikan bersama kelengkapannya berupa bahan makanan lain dan benda tertentu. Nasi tumpeng disajikan dalam upacara tradisional Jawa yang sifatnya sakral. Nasi tumpeng memiliki aturan-aturan khusus yang harus diikuti dalam pembuatannya (Erwin, 2006). Sehinga perlu diperhatikan secara tepat tata cara yang berkaitan dengan nasi tumpeng itu sendiri supaya simbol dan makna yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan secara tepat. Dalam penyajian nasi tumpeng dlihat dari peristiwa penggunaannya untuk melihat kitannya dalam aspek politis. Nasi tumpeng dilihat dari makna atas peristiwa yang menyajikannya. Dari situlah terdapat transformasi nilai dan relasi aktor yang terbangun, kemudian dilihat impikasi yang dihasilkan bagi konstruksi orang Jawa.
25
G. Metode G.I. Jenis Penelitian Riset ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi. Metode ini dipilih karena pembahasan mengenai nasi tumpeng dapat digal menggunakan metode ini. Fokus dari penelitian fenomenologi adalah fenomena, dan nasi tumpeng dianggap sebagai sebuah fenomena, sehinga metode ini dirasaa tepat.
Dengan
menggunakan
metode
fenomenologi,
maka
akan
terdapat
pendeskripsian, penggambaran makna dari suatu konsep ataupun fenomena yang berkaitan dengan nasi tumpeng. Kemudian akan dilakukan pencarian esensi atau pusat yang mendasari suatu makna darinya. Penelitian fenomenologi merupakan sebuah penelitian dengan obyek kajian berupa fenomena tertentu. Fenomenologi mempelajari makna dari pengalaman tersebut. Dalam fenomenologi, penelitian diarahkan untuk mencari esensi, struktur invarian (atau esensi) atau pusat yang mendasari arti dari fenomena. Prinsip utama dari penelitian fenomenologi adalah untuk menentukan makna dari fenomena dan juga mampu memberikan gambaran yang komprehensif darinya (Giorgi, 1985). Secara singkat, penelitian fenomenologi terbagi dalam tahapan memahami perspektif filosofis dibalik pendekatan terutama mengenai bagaimana fenomena. Kemudian masuk daalam tahapan penyusunan pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi dan mendeskripsikan makna tersebut. Lalu mengumpulkan data dari sumber-sumber terkait dengan fenomena yang diteliti. Setelah itu masuk pada tahapan analisa untuk mengolah data-data yang telah terkumpul. Kemudian pada
26
tahap akhir yaitu penyusunan laporan, disajikan seluruh capaian penelitian sehingga dapat dipahami sebagai makna yang utuh. Cakupan masalah dalam riset ini melingkupi tiga hal. Pertama memahami perspektif filosofis dibalik nasi tumpeng, terutama mengenai hal yang berkaitan dengan peristiwa dan relasi aktor yang melingkupinya. Kedua, mengeksplorasi makna dari simbolisme tersebut kemudian mendeskripsikan ke dalam penjabaran yang luas. Bila telah menemukan titik-titik makna yang terdapat dalam fenomena dalam riset, maka kemudian titik-titik tersebut disatukan untuk memperoleh pemaknaan secara utuh. Ketiga, penyampaian makna secara baik sehingga dapat dipahami sebagai riset yang masuk akal.
G.II. Teknik Pengumpulan Data Secara kronologis, langkah-langkah yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah (Creswell, 1998) pertama memulai dengan deskripsi awal dari fenomena tersebut; kedua menemukan pernyataan mengenai bagaimana fenomena tersebut terjadi,
merinci
pernyataan-pernyataan
penting
(horisontalisasi
data)
dan
memperlakukan secara setara setiap pernyataan, serta mengembangkan rincian; ketiga pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam “unit-unit makna” yang kemudian dirinci lalu menulis deskripsi tekstural dari hal yang terjadi; keempat melakukan refleksi terhadap deskripsi yang telah dilakukan dengan menggunakan
variasi
imajinatif
atau deskripsi
struktural,
mencari
semua
kemungkinan makna dan perspektif yang berbeda, membuat variasi kerangka
27
referensi dan membangun deskripsi dari bagaimana fenomena terjadi; kelima membangun deskripsi menyeluruh mengenai makna dan esensi fenomena; keenam menulis deskripsi “composite” yaitu deskripsi yang lebih kompleks daripada sebelumnya. Dalam tahap terakhir inilah disusun laporan mengenai penelitian. Data-data didapatkan dari berbagai literatur, terutama yang berkaitan dengan budaya Jawa serta tema-tema lain untuk menjelaskan secara lebih mendalam. Misalnya tema-tema mengenai simbol, sejarah, tema-tema yang mempengaruhi buadaya Jawa misalnya India, Islam, dan Barat (Eropa) serta tema-tema lain yang dibutuhkan. Kemudian, literatur yang telah terkumpul, kemudian dicari intsari yang sesuai dengan bahasan riset. Studi literatur dipilih karena melalui studi ini akan didapatkan elaborasi data secara lebih luas dan ilmiah.
G.III. Teknik Analisis Data Analisa data dalam riset ini dapat dibagi menjadi beberapa tahapan. Pertama, dimulai dari deskripsi pribadi secara menyeluruh mengenai gambaran awal mengenai simbolisme dalam politik Jawa lalu mengerucut ke dalam bahasan nasi tumpeng. Kemudian mencari pernyataan mengenai peristiwa-peristiwa yang melibatkan nasi tumpeng. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dirinci untuk dicari pernyataanpenyataan penting dan memiliki kaitan dengan bahasan riset. Setelah itu, penyataan tersebut dikelompokkan menjadi unit-unit makna, lalu dilakukan deskripsi tekstural. Setelah itu deskripsi direfleksikan dan menggunakan deskripsi struktural dengan
28
variasi imajinatif. Hal ini dilakukan untuk mencari kemungkinan yang berbeda dan membuat variasi. Deskripsi tekstural dan struktural digabungkan untuk menemukan makna yang terdapat pada nasi tumpeng untuk menjawab rumusan masalah.
H. Sistematika Penulisan Tulisan ini dikembangkan dalam beberapa bab yang saling terkait. Rincian bab-bab dalam tulisan ini merupakan sisitematika penulisan yang hendak dilakukan. Adapun penjabaran bab-bab dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Bab pertama merupakan awalan bagi penjelasan di bab-bab selanjutnya. Di dalamnya terdapat proposal penelitian yang merupakan rencana dalam melakukan penelitian. Pada bab ini terkandung latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan peneitian, kerangka teori, definisi konseptual dan operasional, serta metode penelitian. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pembahasan-pembahasan awal dalam penelitian ini. Di dalamnya masih berisi mengenai gambaran-gambaran umum mengenai penelitian. Bab kedua akan berkutat dengan konsep politik Jawa dan simbolisme di dalamnya. Konsep politik Jawa akan dijabarkan secara umum pada awalnya, kemudian hal itu akan digunakan sebagai pengantar untuk masuk ke dalam bagaimana gagasan mengenai kekuasaan terkonstruksi. Selanjutnya, gagasan mengenai politik beserta kekuasaan Jawa akan diarahkan ke dalam penggunaan simbol-simbol pada peristiwa tertentu, terutama yang berkitan dengan nasi tumpeng.
29
Bab ketiga akan menyajikan pertalian antara konsep politik Jawa dan simbolisme yang dikerucutkan dalam bahasan mengenai nasi tumpeng. Pada bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai nasi tumpeng, tidak hanya mengenai simbolisasinya tetapi juga mengenai peristiwa dan relasi aktor. Bab keempat merupakan pembahasan dari konteks kekinian yang terjadi pada nasi tumpeng. Bab ini perlu disajikan karena nasi tumpeng dianggap telah mengalami beberapa perubahan seiring dengan jaman. Apakah pemaknaan pada era dahulu sama dengan pemaknaan di era sekarang, juga mengenai relevansi pada saat ini adalah pertanyaan mendasar pada bab ini. Bab kelima akan mengantarkan akhir riset. Dalam bab ini memuat kesimpulan atas data-data dan pembahasan yang telah dihimpun dalam bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini juga memuat jawaban final atas pertanyaan penelitian yang berada dalam rumusan masalah.
30