BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Terorisme sebagai suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extra ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.1 Mengingat kategori yang demikian, tentunya pemberantasannya tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan serta tindak pidana yang diancam dengan Pasal 187 KUH Pidana, sekalipun secara substansial tindakannya memiliki kesamaan dalam kejahatan yang membahayakan bagi keamanan umum, orang atau barang. Berdasarkan esensial tindakan terorisme tentunya bukan hanya membahayakan keamanan umum, tetapi telah memakan banyak korban nyawa manusia yang tidak sedikit, bahkan telah menimbulkan rasa takut dan panik di dalam masyarakat sampai pada hancurnya perekonomian nasional. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya.
1
Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime), Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, halaman. 1.
1 Universitas Sumatera Utara
2
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure). Kategori terorisme sebagai kejahatan luar biasa ini harus memenuhi standar keluarbiasaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi2 sebagai berikut: ”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung elemen ”etno socio or religios identity”, dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism identity)”. Romli Atmasasmita3 mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis, terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi manusia. Pendapat Romli Atmasasmita ini sejalan dengan pendapat Indriyanto Seno Aji4 yang menyatakan sebagai berikut: “bahwa akibat dari kejahatan terorisme yang memperkosa hak asasi manusia merusak system perekonomian, integritas Negara, penduduk sipil yang tidak berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan hukum yang signifikan sekali, karena itu pelaku teror yang berlindung sebagai pelaku delik politik atau political purpose yang dilakukan dengan purpose of violence dimana tindakan dimaksud untuk membuat shock atau intimidasi governmental authority atau yang berakibat pada public by innoncent.
2
Ibid Romli Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004, halaman. 3 4 Indriyanto Seno Aji, Kompas, 29 Oktober, 2002 3
Universitas Sumatera Utara
3
T. P. Thornton5 menyatakan bahwa terorisme sebagai Terror as Weapon of Political Agitation. Hal ini mengandung arti bahwa terorisme merupakan suatu penggunaan teror dengan tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. Proses teror, menurut T. P. Thornton6 harus memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu: Pertama, tindakan atau ancaman kekerasan. Kedua, reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban. Ketiga, dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian. Memahami makna terorisme di negara yang menganut sistem hukum common law antara lain Amerika Serikat pada lembaga-lembaganya yang berkonsentrasi pada pemberantasan terorisme telah memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti misalnya: United Stated Central Intelligence (CIA). Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. United Stated Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial 5
Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, 1999, halaman. 84. 6 Ibid
Universitas Sumatera Utara
4
atau politik.7 Menurut Brian Jenkins8 mendukung pernyataan ini dengan pendapatnya, yaitu: “… what called terrorism thus seems depend on the point of view. At the time, point in this expanding use of the term “terrorism” can mean just what those who use the term (not the terrorist) want it to mean- almost any violent act by any opponent”(… apa yang dimaksud dengan terorisme tergantung pada sudut pandang masing-masing. Terorisme dalam arti yang luas dapat diartikan oleh siapa saja (tidak termasuk teroris) sebagai perbuatan kekerasan terhadap orang lain). Terorisme berdasarkan pendapat Brian Jenkins ini menyatakan bahwa terorisme harus diartikan secara luas yang dapat diartikan tindak pidana terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja yang tidak hanya sebagai perbuatan kekerasan terhadap orang lain dan pemahaman terhadap terorisme tergantung pada sudut pandang seseorang untuk memaknai terorisme. Di samping itu, terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism,1999 (Konvensi
Konferensi
Internasional
Organisasi
Islam
tentang
Terorisme
Internasional, 1999) sebagaimana dikutip Muladi9 merupakan tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan 7
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman. 7 8 Indriyanto Seno Adji, Permasalahan Terorisme dan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada sosialisasi RUU tentang pemberantasan terorisme yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, 3 Desember 2001, halaman. 1 9 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, halaman. 173.
Universitas Sumatera Utara
5
menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka, atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negaranegara merdeka. Pandangan hukum Islam melihat terorisme sebagai suatu bentuk irhâb.10 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah (Akademi Bahasa Arab) di Kaero menetapkan penggunaan kata al-irhâb (sebagai terjemahan kata terrorism) di dalam bahasa arab dalam sifatnya sebagai istilah kontemporer. Asasnya adalah kata rahiba yang bermakna khâfa (takut). Majma‟ al-Lughah menjelaskan bahwa teroris adalah sifat yang dikenakan pada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk merealisasi tujuan-tujuan politik mereka. Ini sekaligus menjelaskan bahwa dalam kazanah Islam kata irhâb sebagai satu istilah dengan maknanya sekarang, sebelumnya tidak dikenal. Sebab sebagai sebuah istilah, terorisme adalah istilah baru, berawal dari Eropa, muncul pada masa revolusi Perancis yang memunculkan tatanan sekuler demokrasi. Dalam bahasa arab, kata irhâb merupakan derivasi dari asal kata rahiba – yarhabu – rahban wa rahaban wa ruhban wa rahbatan yang artinya khâfa (takut) dan faza‟a
10
Definisi yang disebutkan oleh Syaikh Sulthôn, beliau bahasakan dari definisi yang disebutkan oleh guru kami, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhlyhafizhohullâh dalam kitab beliau Al-Irhâb Wa Âtsâruhu „Alal Afrôdi Wal Umam (Terorisme dan dampaknya terhadap individu dan umat) halaman. 10.
Universitas Sumatera Utara
6
(ngeri). Dan arhabahu wa rahhabahu artinya akhâfahu (membuatnya takut) dan fazza‟ahu (membuatnya merasa ngeri).11 Di dalam al-Quran, kata rahiba dan derivatnya dinyatakan 12 kali. Diantaranya kata fa [i]rhabûn (QS al-Baqarah [2]: 40; an-Nahl [16]: 51); ruhbân (QS al-Maidah [5]:82; at-Tawbah [9]:31, 34); istarhabûhum (QS al-A‟raf [7]: 116); yarhabûn (QS al-A‟raf [7]:154); turhibûn (QS al-Anfal [8]: 60); rahaban (QS al-Anbiya [21]: 90); ar-Rahbu (QS al-Qashash [38]:32); rahbâniyyah (QS al-Hadid [57]:27) dan rahbatan (QS al-Hasyr [59]:13). Semuanya dalam makna bahasanya yaitu takut, gentar dan ngeri. Begitu juga di dalam hadits, kata rahiba dan derivatnya disebutkan dalam makna bahasanya. Tidak ada nash yang mentransformasi makna kata rahiba/irhâb itu ke makna yang spesifik. Artinya kata irhâb tidak memiliki makna syar‟i. Kata rahiba dan derivatnya di dalam nash ini, kebanyakan dinyatakan dalam kontek berita. Namun ada juga yang dinyatakan dalam kontek perintah. Yaitu perintah untuk takut kepada Allah (QS 2: 40; 16: 51); dan perintah untuk berdoa secara raghaban wa rahaban (harap dan cemas) yaitu cemas/takut doa tidak terkabulkan (QS 21: 90 dan di dalam hadits) dan perintah dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
َ َ َّأ َ ِعذُّّا لَ ُِ ْن َهب ا ْست َِ ِبط ْال َخ ْي ِل ت ُ ْش ُِجُْىَ ث ِ َط ْعت ُ ْن ِه ْي قُ َّْحٍ َّ ِه ْي ِسث َّ عذ َُّّ ُم ْن َّآخ َِشييَ ِه ْي دُّ ًِ ِِ ْن ال ت َ ْعلَ ُوًَْ ُِ ُن َّ َُّّ عذ اَّللُ يَ ْعلَ ُو ُِ ْن َ َّ ِاَّلل َ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan 11
Qarârât Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islâmy halaman. 355-356.
Universitas Sumatera Utara
7
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (QS al-Anfal [8]: 60) Ayat ke-60 dari surah al-Anfal ini tidak memiliki sebab turunnya ayat. Kitabkitab mengenai sebab turunnya ayat tidak menyebutkan sebab di balik turunnya ayat ini. Namun, siyaq (konteks) ayat ini disebutkan setelah ayat-ayat yang bercerita tentang perang Badar, suatu perang yang terjadi secara kebetulan, bahkan terkesan tanpa persiapan maksimal, maka ayat ke-60 ini mengingatkan bahwa umat senantiasa harus berwaspada terhadap serangan musuh, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Dan tidak ada perlindungan yang lebih baik daripada mempersiapkan kekuatan, yang dengannya musuh akan berfikir berulang kali untuk menyerang umat. Demikian pendapat Fakhruddin al-Razi12 dalam tafsirnya “al-Tafsir al-Kabiir wa mafatih al-Ghaib. Menurut Muhammad Rasyid Ridha13, mempersiapkan senjata untuk menakutnakuti musuh, setidaknya melahirkan lima manfaat: 1. 2. 3. 4. 5.
Agar musuh tidak berniat untuk menyerang negeri Islam. Jika rasa takut mereka semakin besar, mereka akan berkomitmen membayar jizyah. Kekuatan umat islam akan menjadi pendorong bagi keislaman mereka. Antar kelompok kafir tidak berniat untuk saling membantu menyerang umat Islam. Akan melahirkanm stabilitas keamanan yang lebih baik di negeri Islam.
12
Fakhruddin al-Rizal, al-Tafsir al-Kabiir wa Mafatih al-Ghaib, (beirut: Daar al-Fikr, tt) jilid 7, halaman 423. 13 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟an al-Hakim, (Kairo : Daar al-Manar,tt), jilid 10, halaman. 56.
Universitas Sumatera Utara
8
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan syar‟iy oleh Al-Majma‟ Al-Fiqh AlIslâmy. Lembaga fiqih internasional, pada tanggal 15/10/1421H bertepatan 10/1/2001 (yaitu sepuluh bulan sebelum kejadian 11 September 2001M) mengeluarkan definisi tentang terorisme sebagai suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah, akal, harta dan kehormatannya). Terorisme juga mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman dan pembunuhan tanpa haq serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentukbentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara atau umum. Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang oleh Allah Subhânahu wa Ta‟âlâ”.14 Terorisme mencakup seluruh makna terorisme yang tercela dan menjelaskan secara tidak langsung kesalahan atau kekurangan yang terdapat dalam definisidefinisi
14
yang
pernah
diletakkan
oleh
lembaga-lembaga
internasional
Ibid
Universitas Sumatera Utara
9
sebelum
Al-Majma‟ Al-Fiqh Al-Islamy.15 Dalam sebuah khutbah jum‟at yang
berjudul
“Al-Irhâb Bainat Tadmîr wat Tabrîr”, di Mesjid Jâmi‟ Khalid
bin
Al-Walid,
kota
Riyadh,
„Iedhafizhohullâh menjelaskan
Syaikh
tentang
Sulthôn
makna
bin
terorisme.
„Abdurrahmân
Al-
Beliau menyatakan
“Sesungguhnya kalimat Al-Irhâb (terorisme) mempunyai makna dengan bentukbentuk yang beraneka ragam. Tercakup dalam (makna); membuat takut dan ngeri orang-orang yang aman tanpa kebenaran, melayangkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa, menghancurkan harta-harta yang terpelihara, merusak kehormatan-kehormatan yang terjaga, memecah tongkat (persatuan) kaum muslimin, mencerai beraikan jama‟ah mereka dan keluar terhadap pemimpinnya dan memanas-manasi anak muda untuk berhadapan (berseberangan) dengan negara mereka serta membenturkan mereka dengan penguasa dan ulamanya dalam berbagai front dan benturan.”16 Adapun maknanya dalam syari‟at adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhâb. (Allah) Ta‟âla berfirman, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”.17 Irhâb menyebabkan ketakutan pada pihak-pihak musuh dan pengurungan keinginan pihak musuh terhadap kaum muslimin dan hal lainnya. Inilah maknanya secara istilah. Berangkat dari 15
Ibid Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhlyhafizhohullâh, Loc.cit 17 QS. Al-Anfâl, halaman. 60 16
Universitas Sumatera Utara
10
keterangan di atas tampak bagi kita bahwa Al-Irhâb kadang boleh dan kadang haram. Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga tidak lancang terhadap kita, agama, aqidah dan individu-individu umat. Ini adalah perkara yang dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin. Maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk dilalaikan oleh Al-Lahwu (perkara tidak bermanfaat), perhiasan dan gemerlapnya kehidupan sehingga lengah dari maksud dan sasaran musuh-musuh mereka. Bahkan wajib bagi mereka untuk memiliki kekuatan sebagaimana firman Allah SWT yakni:18 “Kamu kalian”. 60).
meng-irhâb
(teror)
musuh
Allah
dan musuh (QS. Al-Anfâl :
Dan Nabi shollallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ُ َونُ ِص ْر ش ْهر َ َس ْي َرة ِ ب َم ُّ ت ِب ِ الر ْع ,
“Saya ditolong dengan Ar-Ru‟bi (timbulnya rasa takut/gentar pada musuh) selama perjalanan satu bulan”. Inilah Al-Irhâb yang disyari‟atkan. Adapun Al-Irhâb yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku (irhâb) ini dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tentram dan
Hadits Jâbir bin „Abdillah radhiyallâhu „anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 335, 438, Muslim no. 521, An-Nasâ`i 1/209. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhâry no. 2977, 6998, 7013, 7273, Muslim no. 523, An-Nasâ`i 6/3-4 dari Abu Hurairah radhiyallâhu „anhu. Dan maksud dari hadits di atas adalah bahwa yang termasuk salah satu ciri khas Nabishollallâhu „alaihi wa „alâ âlihi wa sallam dan umatnya adalah ditimbulkannya rasa takut/gentar pada musuh-musuhnya ketika pasukan kaum muslimin masih berada dalam jarak perjalanan satu bulan 18
Universitas Sumatera Utara
11
lapang yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezholiman, lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan atau selain itu, baik dari kalangan orang kafir atau dari kalangan kaum muslimin. Diperkecualikan darinya apa yang terjadi antara negara muslim dan negara harby. Kalau negara (muslim) memerangi negara kafir dan tidak ada antara keduanya mu‟âhad atau hilif (perjanjian) dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, maka dalam keadaan ini (boleh) bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang dengannya bisa mengalahkan musuh yakni negara kafir, dan menahan musuh dan kezholimannya, mengembalikan harta benda kaum kafir, menjaga bumi dan kehormatan kaum muslimin. Semua ini dianggap perkara yang boleh. Adapun apa yang berkaitan dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari laki-laki dan perempuan kaum muslimin, orang-orang kafir dan selain orang-orang kafir, maka kaum kafir itu tidak boleh diserang secara tiba-tiba khususnya kalau antara kaum muslimin dan bangsa-bangsa (kafir) ini ada mu‟âhad, hilif dan selain itu”. Terorisme sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang direncanakan, dipersiapkan dan dilancarkan secara mendadak terhadap sasaran langsung yang lazimnya adalah non combatant untuk mencapai suatu tujuan politik. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan prilaku baik yang terbuka (overt), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Pengertian terorisme menurut James Adams
Universitas Sumatera Utara
12
adalah:19 penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu- individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan- tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban- korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompokkelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada. Tindak pidana terorisme berdasarkan perkembangan lingkungan strategik merupakan kejahatan terorganisir, memiliki jaringan nasional maupun internasional yang sangat meresahkan dan menjadi perhatian dunia. Tindak pidana terorisme setiap saat akan terjadi berdasarkan tipologi yang mendasarinya dengan sasaran yang tidak dapat diprediksi, tindakannya menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit, juga menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.20 Ledakan bom berkekuatan tinggi yang terjadi di Indonesia antara lain terjadi di Legian (Kuta Bali), Manado dan Makasar telah menghentakkan bangsa, sekaligus
19
Muchamad Ali, Syafaat dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, halaman. 59. 20 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perpestif Agama, Hak Asasi Manuisa & Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, halaman. 35 bahwa menurut Wilkinson, tipologi terorisme ada beberapa macam antara lain: Pertama, terorisme epifenomenal. Kedua, terorisme revolusioner. Ketiga, terorisme sybrevolusioner . Keempat, terorisme represif .
Universitas Sumatera Utara
13
menggelisahkan segenap masyarakat karena Indonesia telah mengalami atau terancam persoalan kriminalitas yakni mudahnya bom diledakkan dengan dalih sebagai jihad atau strategi pertarungan atau perjuangan dan pelampiasan ambisi serta pemenuhan target-target ekslusif sehingga nyawa manusia menjadi tidak berarti karena dengan begitu mudahnya dirampas bahkan nyawa orang banyak yang sebenarnya tidak mengerti persoalan apa-apa dibalik motif peledakan bom tersebut. Fakta ini menunjukkan bukti bahwa sebuah jaringan terorisme telah masuk dalam wilayah Negara Indonesia dan mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. Jaringan terorisme yang mempunyai kekuatan financial dan system pengorganisasian yang canggih dan luar biasa hebat seperti berada dibalik peristiwa peledakan bom ibarat mata rantai yang sulit diputus, sehingga logis apabila dikatakan jika Negara yang tingkat stabilitas keamanannya rawan seperti Indonesia dangat potensial untuk dijadikan sarang terorisme.21 Indonesia
telah
merumuskan
beberapa
peraturan
perundang-undangan
menyakut pemberantasan tindak pidana terorisme yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, secara spesifik memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa
21
F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,
halaman. 7
Universitas Sumatera Utara
14
(PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan- ketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga mempunyai kekhususan, antara lain:22 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
22
Merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut ”safe guarding rules”. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme. Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
Ibid
Universitas Sumatera Utara
15
8.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuanketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Penggunaan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat di Indonesia telah menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang tersebut telah menjadi ketentuan payung dan bersifat koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak
pidana
terorisme.
Undang-Undang
Pemberantasan Terorisme ini juga menegaskan bahwa tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Tersangka atau terdakwa mendapat perlindungan khusus terhadap hak asasinya (safe guarding rules) dan juga diatur tentang ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Pemberantasan tindak pidana terorisme berlandaskan kepada 6 (enam) prinsip yaitu:23 1.
23
National security adalah untuk mewujudkan prinsip teritorialitas dari hukum pidana sekaligus untuk melandasi pertahanan dan keamanan Negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ibid
Universitas Sumatera Utara
16
2.
3.
4.
5.
6.
Balance of justice adalah untuk menegakkan prinsip equity before the law, baik terhadap tersangka/terdakwa maupun terhadap korban sehingga due proses harus digandengkan dengan model crime control dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. Safe guarding rules adalah prinsip yang harus dipertahankan dan dilaksanakan untuk mencegah terjadinya abuse of power dalam mencegah dan pemberantasan tindak pidana ini. Safe harbor rules adalah prinsip yang diharapkan upaya untuk memberikan perlindungan kepada tersangka pelaku tindak pidana terorisme dan prinsip ini dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diperkuat dengan ketentuan yang mengkriminalisasi perbuatan memberikan kemudahan (fasilitas) sesudah tindak pidana tersebut dilakukan (accessories after the facts) sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Sunshine principle adalah prinsip yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan dalam kasus pidana terorisme. Sunset principle adalah prinsip yang mengadakan pembatasan waktu (time limits) terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat pembentukan kelembagaan khusus dan atau mekanisme khusus tertentu yang diperlukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
Kejahatan terorisme memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematis dan meluas serta terorganisasi sehingga merupakan ancaman yang sangat serius terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karenanya kejahatan terorisme masuk ke dalam “Trans National Crime” dan “Extra Ordinary Crime”.24
24
Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman.. 47 bahwa di Indonesia regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan
Universitas Sumatera Utara
17
Berdasarkan karakteristik tindak pidana terorisme dan maksud pelaku melakukan tindakan teror25 tentunya di dalam sistem pemidanaan memerlukan suatu formulasi hukum yang tidak hanya berorientasi pada pembalasan melalui pemberantasan seperti yang dilakukan oleh Polri dengan membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror yang menerapkan kebijakan (policy) tembak ditempat bagi pelaku tindak pidana terorisme, berikut Putusan Pengadilan yang menghukum pelaku dengan hukuman mati. Adapun dasar dilakukannya tindakan represif khususnya dilakukan oleh Polri adalah rumusan delik formil yang terdapat di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 7 sampai dengan Pasal 12. Dalam hal ini perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dimana perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana teror di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya terlalu berat sanksi bagi tindakan delik formil yang belum menimbulkan dampak apapun, kepada orang lain yang terlalu berlebihan. Berdasarkan ketentuan ini bahwa adanya unsur batin dari pembuat hendak menjangkau secara luas yaitu rumusan “dengan maksud untuk menimbulkan teror” termasuk pelaku sebagai korban yang telah diidentifikasi sebagai jaringan terorisme.
paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. 25 Kata terror (Ingg.) berasal dari bahasa Latin “terrer” yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Dalam praktiknya, kata terror dipakai juga untuk makna menimbulkan kengerian.
Universitas Sumatera Utara
18
Sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia yang menganut sistem civil law memerlukan reorientasi khususnya pelaku sebagai korban dari radikalisme berupa pemahaman nilai-nilai agama yang salah bagi penganut fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama Islam melalui resialisasi dalam bentuk mengenalkan dan meluruskan kembali nilai-nilai ajaran agama dengan cara rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana terorisme di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini disebabkan sekalipun citra tindak pidana terorisme selalu berkonotasi politik tetapi penekanannya lebih kepada perbuatan (actus reus) dan akibatnya. Arti
pentingnya
pemidanaan
terhadap
pelaku
dalam
kerangka
pertanggungjawaban pidana adalah melakukan tindakan secara efektif terhadap pelaku sebagai korban kejahatan terorisme secara komprehensif akibat pengaruh fundamentalisme. Korban kejahatan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan, dalam crime dictionary disebutkan juga bahwa korban adalah “person who has injured mental or psysical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense commited by another”.26 Ketentuan yang terdapat di dalam hukum acara pidana pada hakekatnya telah mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, akan tetapi belum sepenuhnya
26
Ralph De Sola, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, 1988, halaman. 188
Universitas Sumatera Utara
19
mencantumkan prinsip “access to justice and fair treatment”27 khususnya terhadap korban sebagai pelaku kejahatan. Hal in didasarkan pertimbangan bahwa faham yang dianut dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam undang-undang bersifat vertikalistis yaitu mengandalkan peranan aparat-aparat kekuasaan negara seperti Kepolisian, Intelijen, Pengadilan tanpa menderivasi peranan sarana-sarana pemidanaan atas pelaksanaan kebijakan anti dan kontra terorisme. Salah satunya menyangkut rehabilitasi pelaku sebagai korban kejahatan terorisme. Terorisme sering diidentikkan dan diletakkan pada penganut fundamentalisme agama Islam karena adanya pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis dan miskinnya pemahaman realitas historis dalam menafsirkan pesan teks-teks kitab suci, sehingga mewariskan sikap-sikap yang fanatik, ekslusif dan intoleran dalam menyikapi realitas perbedaan dan kondisi fluralitas social, politik, budaya dan ekonomi,
bahkan
mengimplementasikan
termasuk prinsip
dalam
menyikapi
“menegakkan
wilayah
kebajikan
juang dan
dalam
mencegah
kejahatan/kemungkaran (amar makruf nahi mungkar)”. Menurut Azyumardi Azra, terorisme merupakan kekerasan politik yang sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam memang menganjurkan dan member justifikasi kepada muslimin untuk berjuang, berperang (harb) dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuh-musuh
27
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013, halaman. 26
Universitas Sumatera Utara
20
Islam dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslimin. Islam sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (alghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah “ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara)”.28 Fenomena teks keagamaan, kata “jihad” seringkali dipahami oleh kelompok ekslusif sebagai suatu tindakan yang lekat dengan kekerasan.29 Pemahaman ini sebenarnya salah yang memerlukan tindakan pelurusan terhadap nilai-nilai ajaran agama, sebab agama Islam sendiri mengandung misi fundamental universal,30 yakni perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Di samping itu menurut pendapat M. Hasballah Thaib bahwa Islam berorientasi pada terwujudnya kemashlahatan,31 sehingga bertolak belakang dengan pemahaman-pemahaman dari dalil-dali shari‟
28
Azyumardi Azra, Kompas, 2 November 2001 Muhammad Khair Haekal, Jihad & Perang Menurut Syariat Islam, Buku Kedua, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2004, halaman. 255, bahwa Utsman Jum‟ah Dhamiriyah menyatakan beberapa alas an yang menyebabkan kaum Muslimin berjihad adalah: 1. Pembelaan diri dalam rangka melawan bentuk serangan yang telah atau akan dilakukan terhadap kaum muslimin. 2. Melindungi tanah air Islam, menyelamatkan kaum muslimin yang tertindas di Negara manapun. 3. Menjamin kebebasan penyebaran dakwah Islam. 4. Menjaga jaminan (keamanan) dan consensus. 5. Menolak fitnah dan mencegah pembangkangan di dalam dan luar negeri. 30 Fundamental universal ajaran Islam dalam di lihat dalam beberapa ayat al-qur‟an antara lain: Pertama, QS. 17:7 bahwa manusia, apapun warna kulit, ras, suku, keyakinan dan agamanya dalam pandangan mahluk mulia. Kedua, QS. 49:17 bahwa pluralitas dan perbedaan merupakan rahmat dan nikmat Tuhan, bukan ancaman. Menurut Islam, “yang lain” itu merupakan karib yang mesti diakomodasi dan diajak kerjasama. 31 H. Syahril Sofyan, Pemikiran dan Sikap M. Hasballah Thaib dalam Berbagai Dimensi, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013, halaman. 211 bahwa agama juga bisa dimoderinisasikan dalam bidang mua‟amalah, akantetapi dalam bidang ibadah dan aqidah tidak dapat dimoderinisasikan karena Rasulullah SAW telah mengajarkannya secara jelas. Sebagaimana ahli-ahli fiqh lainnya M. Hasballah Thaib menyadarkan hukum kepada dalil-dalil shari‟ serta melihat mashlahat yang ada. 29
Universitas Sumatera Utara
21
yang dipahamkan oleh pelaku terorisme sebagai jihad melalui tindakan kekerasan. Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai berikut:32 “Wahai sekalian manusia, sebarluaskanlah perdamaian, eratkanlah tali persaudaraan, berikan makan (kepada mereka yang kelaparan), kerjakanlah shalat ketika kebanyakan orang tidur di waktu malam, maka kamu akan masuk surga dengan penuh kesejaahteraan”. Upaya penerapan sistem pemidanaan ke depan terhadap pelaku tindak pidana terorisme khususnya penganut fundamentalisme agama dengan cara rehabilitasi penting untuk dilakukan dalam sistem hukum pidana nasional disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita) sehingga berpengaruh dalam penerapan sistem pemidanaan terhadap pelaku. Kedua, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dalam kerangka pertanggungjawaban pidana (liability on fault or negligence atau fault liability),33 lebih diarahkan pada perbuatannya bukan kepada pelaku kejahatan sebagai korban kejahatan sehingga pemberantasan terorisme tidak efektif. Dalam tindak pidana
32
Hasyim Muzadi dalam Abdul Wahid, Op.cit, halaman.. vii Pandangan monistis beranggapan bahwa suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut aliran monistis unsur-unsur strafbaar feit ini meliputi baik unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut obyektif, maupun unsur-unsur pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga adanya anggapan bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana. Menurut A. Z. Abidin, aliran monistis terhadap strafbaar feit penganutnya merupakan mayoritas di seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian dari strafbaar feit. Lihat, AZ. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, halaman. 51 33
Universitas Sumatera Utara
22
seseorang dapat dikenai yakni: Pertama, pembuat dalam pengertian pelaku (dader)34 yaitu pembuat tunggal, ialah melakukan tindak pidana secara pribadi. Dengan syarat perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan undangundang. Kedua, sebagai pelaku, pelaku ikut serta, turut serta melakukan (mededader)35 dimana orang ini telah berbuat dalam mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana yang merupakan aktor penyebab terjadinya suatu tindak pidana. Ketiga, disebut sebagai pembuat pembantu. Para pembuat itu adalah yang melakukan (plegen)36 orangnya disebut dengan pembuat pelaksana, yang menyuruh melakukan (mede plegen)37 orangnya disebut sebagai pembuat penyuruh (doen pleger)38, yang turut serta melakukan (mede plegen)39 orangnya disebut dengan pembuat peserta (mede pleger)40, yang sengaja menganjurkan (uitloken)41 orangnya disebut dengan pembuat penganjur (uitloker).42 Pemidanaan dengan menerapkan sanksi pidana dengan ancaman maksimum dan hukum mati kepada pelaku seharusnya hanya terfokus kepada manus domina antara lain Dader (pembuat tunggal),43
Mededader
(para
pembuat)
dan
medepleger
(yang
menyuruh
34
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, halaman 92. 35 Ibid, halaman 227. 36 Ibid, halaman 312. 37 Ibid, halaman 311. 38 Ibid, halaman 127. 39 Ibid, halaman 230. 40 Ibid, halaman 311. 41 Ibid, halaman 612. 42 Adami Ghazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja Grafisindo Persada, Jakarta, 2002, halaman. 79 43 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. I, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, halaman. 237
Universitas Sumatera Utara
23
melakukan),44 Doen pleger (pembuat penyuruh) dan Uitlokker (yang sengaja menganjurkan)
45
bukan terhadap manus ministra misalnya orang yang diluar
kehendaknya melakukan tindakan teror akibat pemahaman terhadap agama yang salah.46 Penerapan sanksi pidana terhadap manus domina dengan ancaman maksimum dan hukum mati disebabkan pelaku tindak pidana terorisme melakukan tindakan-tindakan dengan “sengaja” (menghendaki dan mengetahui) telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain (ten aanzien der laatsen komen allen die handelingen in aanmerking die zij opzettlijk hebben uitgelokt) dan mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan, mereka dengan pemberian-pemberian, keterpandangan,
janji-janji,
dengan
dengan
kekerasan,
menyalahgunakan
ancaman
atau
kekuasaan
dengan
atau
menimbulkan
kesalahpahaman atau memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keteranganketerangan dengan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan (zij die het feit plegen, doen plegen of medeplegen, zij die door giften, beloften, misbruik van gezag of van aanzein, geweld, bedreigingof misleading of door het verschaffen van gelegenheid, middelen of inlichtingen het feit opzettelijk uitlokken, beneven hare gevolgen), (dapat diartikan sebagai berikut bahwa mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan, mereka dengan pemberian-pemberian,
janji-janji,
dengan
menyalahgunakan
kekuasaan
atau
44
Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Cet. I, Kartini, Jakarta, 1989, halaman 84. Ibid 46 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, halaman. 32. 45
Universitas Sumatera Utara
24
keterpandangan,
dengan
kekerasan,
ancaman
atau
dengan
menimbulkan
kesalahpahaman atau memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keteranganketerangan, dengan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan).47 Terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang dikategorikan sebagai manus ministra unsur opzettlijk hebben uitgelokt (sengaja telah mereka gerakkan) tidak terpenuhi, hal ini disebabkan pelaku melakukan tindak pidana terorisme diluar kehendak dan tidak mengetahui tindakan yang dilakukan didasarkan pada tipologi dan maksud (modus opzet) dilakukannya tindakan teror. Di luar kehendak dimaksudkan bahwa pelaku melakukan tindak teror disebabkan pengaruh faham fundamentalisme agama dengan idiologi jihad yang keliru sehingga melahirkan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, ekslusif dan intoleran dalam menyikapi realitas perbedaan dan kondisi fluralitas social, politik, budaya dan ekonomi secara sempit. Alasan lainnya menyangkut penerapan pemidanaan dengan menerapkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai manus domina didasarkan pada aspek objektif berupa perbuatan dan aspek subjektif yakni pelaku sebagai syarat-syarat untuk adanya pidana (strafvoirussetzungen). Pada segi objektif atau Tat, ada Tatbestandsmazigkleit (hal mencocoki rumusan wet) dan tidak adanya alasan pembenar (Fehlen von Rechtsfertingungsgruden), pada segi Handelnde yang dinamakan segi subjektif, sebaliknya ada Schuld (kesalahan) dan tidak adanya alasan pemaaf (Fehlen von personlichen Strafausschleszungs gronden).48
47 48
Abdul Wahid, Op.cit, halaman. 93 Ibid, halaman. 70
Universitas Sumatera Utara
25
Ketiga, tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)49 yang membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extraordinary measure) dengan pertimbangan berbagai hal, antara lain: 50 1.
2. 3. 4. 5.
Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun transnasional. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Berdasakan uraian di atas dapat diidentifikasi terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:51 Pertama, aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan 49
Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman. 47 bahwa di Indonesia regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. 50 Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman. 7 51 F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, halaman. 4.
Universitas Sumatera Utara
26
publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. Kedua, penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik. Ketiga, penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. Keempat, penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. Selanjutnya, rehabilitasi pelaku teror penting untuk direalisasikan. Dalam rangka mencegah kembalinya terpidana terorisme dalam kubangan jejaring radikalisme ekstrem, harus diaktifkan program rehabilitasi atas mereka dan reintegrasi dengan masyarakat luas. Nasir Abbas, misalnya, yang pernah menjadi terpidana kasus terorisme menyatakan, akar masalah terorisme adalah ideologi pembalasan dengan justifikasi agama. Orang kaya, miskin, pintar, maupun bodoh, bisa terpengaruh, dan paham itu tidak bisa dilawan dengan senjata. Oleh karenanya untuk mengikis paham radikal tersebut dalam diri pelaku teror perlu dilakukan soft approach (pendekatan halus) untuk meluruskan doktrin yang mereka yakini kebenarannya.52 Pemidanaan terhadap para pelaku terorisme terutama terhadap korban sebagai pelaku kejahatan dengan menerapkan rehabilitasi merupakan kajian penting dalam menjaga stabilitas keamanan di kemudian hari yang ditujukan dalam rangka 52
Rehabilitasi dan Reintegrasi Pelaku Teror Perlu, Dan Itu Tugas Sipil, dalam http://www.lazuardibirru.org/berita/news/rehabilitasi-dan-reintegrasi-pelaku-teror-perlu-dan-itu-tugassipil/
Universitas Sumatera Utara
27
memperbaiki pelaku, di samping itu ditujukan untuk menekan intensitas pelaku terorisme agar tindak melakukan tindak pidana terorisme, dengan maksud untuk menghilangkan faham keagamaan yang salah terutama pemahaman terhadap idiologi jihad. Di Indonesia saat ini menjadikan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat yang sangat memiliki peranan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana teroris untuk tidak mengulangi perbuatannya. Pola pembinaan narapidana teroris tentu berbeda dengan narapidana lain, di mana dalam masa pembinaan mental, narapidana teroris tidak diperkenankan memberikan dakwah. Pembinaan bagi narapidana teroris bertujuan untuk membina dan mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik. Perubahan paradigma tempat pemidanaan membawa konsekuensi yuridis berupa perubahan tujuan pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan.53 Dalam kerangka pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dua peranan penting yakni sebagai tempat dan sarana atas reedukasi dan resosialisasi. Pembinaan di lembaga pemasyarakatan bertumpu pada konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.54 Rehabilitasi berasal dari kata rehabilitation yang berarti
53
Menurut Sahardjo, lembaga pemasyarakatan bukan tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang, tetapi suatu tempat membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang (narapidana) agar setelah menjalani pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan dapat menjadi orang-orang yang baik dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Anonim, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia”, Serial Online 2010, , (Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/225/gdlhub- gdl-s3-2010-praptonoor-11238th4209-k.pdf, 2010 54
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teoriteori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman. 38.
Universitas Sumatera Utara
28
perbaikan, penempatan atau pengembalian hak. Rehabilitasi bagi narapidana dengan demikian bertujuan untuk mendukung dan memberikan penanganan dan perbaikan mental yang bersifat informal dan tertutup. Konsep pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi). Rehabilitasi di Indonesia wajib dilakukan di lembaga pemasyarakatan sedangkan reintegrasi dapat dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan maupun di luar lembaga pemasyarakatan.
Implementasi konsep rehabilitasi dan reintegrasi
sosial hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Ketidakberhasilan pembinaan terhadap para narapidana teroris dapat dilihat pada banyak residivis yang mengulangi kembali perbuatannya. Doktrin yang dianut oleh narapidana terorisme sulit dihilangkan meskipun pelaku telah menjalani pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Untuk itu diperlukan suatu konsep rehabilitasi yang efektif bagi pelaku tindak pidana terorisme terutama bagi korban organisasi terorisme. Rehabilitasi terhadap pelaku sebagai korban kejahatan terorisme diarahkan untuk merubah pola pikirnya, untuk mencegah munculnya aksi terorisme berikutnya. Pemerintah Indonesia berencana mendirikan sekolah-sekolah rehabilitasi bagi pelaku terorisme, dan dalam pusat rehabilitasi ini para tersangka dan teroris akan diberikan pendidikan keislaman. Pusat rehabilitasi ini dimaksudkan untuk membantu para
Universitas Sumatera Utara
29
teroris untuk membangun bisnis baru dan memberikan konseling agama kepada pelaku tindak pidana terorisme.55 Pada criminal justice system, pemahaman rehabilitasi diartikan dalam arti yang sempit. Rehabilitasi memiliki makna yang luas dan sempit. Makna luas rehabilitasi merujuk pada proses dimana individu yang telah melanggar hukum diterima kembali sebagai bagian utuh dari masyarakat dan dibantu dalam mecapai tujuan tersebut. Sedangkan makna sempit rehabilitasi adalah pengurangan residivisme criminal pada pelaku tindak kriminal. Dalam penelitian psikologi, penggunaan rehabilitasi dengan makna sempit lebih banyak digunakan. Di dalam intervensi keadilan kriminal, terdapat peningkatan aspek-aspek tertentu yang bisa memaksimalkan kemungkinan untuk memperoleh dampak yang praktis dan berguna untuk mencegah kembalinya perilaku melanggar. Beberapa temuan-temuan utama dalam hal ini meliputi usaha rehabilitatif memiliki kemungkinan lebih tinggi ketika mereka berdasar pada teori perilaku kriminal yang jelas dan memiliki dukungan empiris yang kokoh.56 Program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi napi teroris bertujuan untuk memutus mata rantai kejahatan melalui internalisasi nilai- nilai yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mantan narapidana teroris tidak lagi tergabung dalam jaringannya dan melakukan aksi- aksi terorisme kembali. Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari pemidanaan. Pada dasarnya ada tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu 55
Pelaku Teroris Akan Disekolahkan Lagi, 1 Juni http://nasional.vivanews.com/news/read/154612-teroris_akan_masuk__sekolah_ 56 Ibid
2010.
Lihat,
Universitas Sumatera Utara
30
pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: Pertama, memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. Kedua, membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan. Ketiga, membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan- kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.57 Pembinaan bagi narapidana terorisme bertujuan untuk menghilangkan unsurunsur radikal dari ajaran yang dianut oleh teroris. Ajaran tersebut memang tertanam kuat dalam diri pelaku karena mereka direkrut dan dibina di beberapa tempat. Mereka juga ikut berjuang dalam perang. Hal ini dapat dilihat dalam contoh berikut ini:58 “Menurut Sarjiyo /a Sawad, narapidana terorisme yang divonis seumur hidup, ia pertama kali bergabung dengan jaringan terorisme yaitu pada tahun 1990, yakni sejak mengenal Ustad Miftah yang mengirimnya ke Jakarta. Di Jakarta Sarjiyo ditemui orang yang tidak tahu namanya kemudian ia pergi ke malaysia dan disitu bertemu Ustad yang belakangan diketahui bernama Ustad Abdullah Sungkar. Dari Malaysia Sarjiyo pergi ke Pakistan sampai tiba di Afghanistan. Ketika pergi ke Afghanistan tujuannya adalah membantu Mushidin tetapi ketika melakukan Bom Bali I, bukan sebuah pilihan pribadi melainkan untuk melakukan saliokritas, juga untuk meredam konflik di Ambon. B.
Perumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: 1.
Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana terorisme sebagai Extra Ordinary Crime di negara yang menganut sistem hukum common law dan civil law?
57
Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, halaman. 31. 58 Ibid
Universitas Sumatera Utara
31
2.
Bagaimana perbandingan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem hukum common law dan civil law?
3.
Bagaimana konsep hukum kedepan pada sistem pemidanaan pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia?
C.
Asusmsi Berdasarkan analisis sementara dapat dirumuskan asumsi menyangkut
permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1.
Sistem pengaturan tindak pidana terorisme di masing-masing negara memiliki karakteristik tersendiri terutama pengaturan menyangkut tujuan dan maksud pelaku melakukan tindak pidana terorisme. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan defenisi terorisme di negara yang menganut sistem hukum common law dan civil law.
2.
Sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih berorientasi pada pelaku tindak terorisme dengan menerapkan tindakan represif tanpa membedakan pelaku sebagai korban pemahaman idiologi yang salah sehingga pelaku melakukan tindakan teror. Sistem pemidanan apabila dibandingkan tentunya berbeda terutama dalam memahami rehabilitasi dan treatment pada masing-masing negara.
3.
Konsep hukum kedepan dalam penerapan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus membedakan antara pelaku sebagai monus domina dan manus ministra dengan opzettlijk hebben uitgelokt
Universitas Sumatera Utara
32
(sengaja telah mereka gerakkan). Untuk itu diperlukan kebijakan formulasi sistem pemidanaan di dalam sistem pembangunan hukum nasional. D.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam disertasi ini sebagai berikut: 1.
Untuk mengkaji dan menemukan sistem pengaturan tindak pidana terorisme terorisme di negara yang menganut sistem hukum common law dan civil law.
2.
Untuk mengkaji dan menemukan sistem pemidanaan yang efektif terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan melakukan perbandingan pada sistem hukum common law dan civil law.
3.
Untuk mengkaji dan menemukan konsep hukum kedepan pada sistem pemidanaan pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia.
E.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan kegunaan baik
secara teoritis maupun secara praktis. Adapun kegunaan penelitian sebagai berikut: 1.
Kegunaan teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan menyumbangkan pemikiran hukum terkait bidang hukum pidana, terkhusus untuk memposisikan penerapan pemidanaan terhadap korban sebagai pelaku
Universitas Sumatera Utara
33
kejahatan teroris di dalam kebijakan hukum pidana dan penegakan hukum pidana terutama dikaitkan dengan semakin meningkatnya persoalanpersoalan menyangkut pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan materi hukum pidana sebagai bahan literatur bagi peminat akademik dan pihak lainnya.
2.
Kegunaan praktis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam 3 (tiga) hal, yakni: a)
Memberikan
manfaat
bagi
criminal
justice
system
dalam
mempertimbangkan penegakan hukum pidana khususnya terhadap korban sebagai pelaku tindak pidana terorisme. b)
Memberikan manfaat bagi pemerintah dalam memformulasikan kebijakan kriminal (criminal policy) dalam system pemidanaan terhadap pelaku sebagai korban kejahatan tindak pidana terorisme sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan di dalam merumuskan kebijakan hukum berupa produk hukum inkonkrito.
c)
Memberikan manfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya bagi Polri yang melakukan rangkaian kegiatan
Universitas Sumatera Utara
34
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme yang efektif, profesional dan proporsional. F.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang dilakukan, baik terhadap hasil-
hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah “ Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Sebagai Extra Ordinary Crime Di Indonesia”. Permasalah yang timbul merupakan ide dari penulis sendiri. Penelitian Disertasi ini menghimpun data dari referensi buku-buku, internet dan fakta hukum yang diperoleh dengan melakukan riset. Dengan demikian penelitian ini benar keasliannya baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahannya. G.
Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.59 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan demikian dapat merekontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.60 Kerangka teori yang
59 60
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, halaman. 254 Ibid, halaman. 253
Universitas Sumatera Utara
35
dijadikan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini dapat ditampilkan dalam bentuk diagram di bawah ini sebagai berikut:
Diagram di atas mengemukakan tentang kerangka teori untuk menganalisis disertasi dengan pendekatan kajian teoritikal agar terjastifikasi kerangka teoritikal dengan meletakkan landasan dan bahan kerangka berfikir guna menganalisis dan menjawab permasalahan pada identifikasi masalah.61 Adapun kerangka pemikiran yang digunakan dalam bentuk grand theory (teori utama) yakni teori sistem, middle range theory (teori madya) yakni teori sistem pemidanaan dan applied theory (teori terapan) yakni teori criminal policy. 61
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, halaman. 23 bahwa kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teoritis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.
Universitas Sumatera Utara
36
Berdasarkan jastifikasi teoritikal yang digunakan sasaran yang akan dicapai bahwa sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya dengan menggunakan sarana perawatan (treaatment) dan perbaikan (rehabilitation) di dalam formulasi hukum pidana positif khususnya terhadap korban sebagai pelaku kejahatan.62 Jastifikasi ini didasarkan pertimbangan bahwa salah satu karakter tindak pidana terorisme adalah terorganisir (organized crime). Pengertian korban yang biasa diartikan luas adalah yang didefenisikan oleh South Carolina Governor‟s Office of Executive Policy and Program, Columbia yaitu:63 “victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the resulf of a crime against him. Victim also includes the person‟s is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated”. Korban secara luas diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklasifikasikan sebagai korban. Korban memiliki hak antara lain hak untuk mendapat pembinaan dan rehabilitasi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Arif Gosita bahwa salah satu hak korban yakni mendapat
62
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Berkely University of California Press, California, 1978 sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif cet VI, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman. 121 bahwa Kelsen menyajikan hukum sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya. Kaidah hukum tidak mewajibkan karena isinya yakni karena segi materialnya, melainkan karena segi formalnya. Teori ini secara obyektif memandang suatu tindakan itu tidak bermakna jika tidak terpenuhinya sejumlah formalitas hukum. 63 Available at the webside of the South Carolina Governor‟s Office of Executive Policy and Program, Columbia, dalam Soeharto, Op.cit, halaman. 78
Universitas Sumatera Utara
37
pembinaan dan rehabilitasi.64 Ada beberapa pertimbangan munculnya pemandangan terkait orientasi korban yang melahirkan faham viktimologi.65 Indikasi yang dimaksud adalah:66 a)
b)
c)
Munculnya tuntutan yang kuat untuk memperhatian pada hak-hak korban. System peradilan pidana dituntut untuk memberikan tanggungjawab, keprihatinan dan perhatian yang lebih kepada korban kejahatan. Adanya pengaruh yang makin besar dari gerakan feminisme, seperti womens liberation movements yang mulai menentang hegemoni dan dominasi pria sebagai kausa kejahatan perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan. Adanya penurunan secara umum kegiatan penelitian murni di bidang kriminologi yang digantikan merebaknya penelitian terapan dalam bidang peradilan pidana.
Perlindungan terhadap korban kejahatan dalam koteks sistem peradilan pidana menurut Muladi merupakan hal yang sangat penting, dengan argumentasi sebagai berikut:67 a)
Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik dalam arti umum maupun dalam arti konkrit. Dalam arti umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas legalitas yang menegaskan bahwa baik poena maupun crimen harus ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak pidana. Dalam
64
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, halaman. 53 65 Siswanto Sunarso, Victimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, halaman. 42 bahwa menurut Stanciu yang dikutip oleh Teguh Prasetyo yang dimaksud dengan korban dalam arti luas adalah orang yang menderita akibat dari ketidakadilan. Stanciu selanjutnya menyatakan bahwa ada 2 (dua) sifat yang mendasar (melekat) dari korban tersebut yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang illegal sebab hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan, selanjutnya menimbulkan korban, seperti korban akibat prosedur hukum. 66 Arif Gosita, Op.cit, halaman. 79 67 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, halaman. 176
Universitas Sumatera Utara
38
b)
c)
arti konkrit proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya). Disini terkandung di dalamnya tuntutan moral dan wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada lain pihak. Argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argument kontrak social dan argumen solidaritas sosial. Perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik.
Berkerjanya hukum sebagai suatu sistem dilandaskan pada penerapan aturan hukum di dalam suatu kebijakan yang berdaya guna dan memberikan kemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia yang berorientasi pada keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.68 Perkataan lain hukum yang dibuat haruslah disesuaikan dengan perkembangan dinamika dan memperhatikan aspek keadilan69 dan memberikan perlindungan untuk menciptakan tertib hukum, di sinilah fungsi hukum sebagai aturan. Fungsi hukum harus bersifat otonom (autonomous law) dan resfonsif
68
Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, halaman. 92 bahwa konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam konsep yang demikian, pelaksanaan pembangunan hukum mempunyai fungsi sebagai pemelihara dalam ketertiban dan keamanan, sebagai sarana pembangunan, sarana penegak keadilan, dan sarana pendidikan masyarakat. 69 John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 halaman. 3, bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi tidak peduli betapapun efesien dan rapinya harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.
Universitas Sumatera Utara
39
(responsive law).70 Hukum sebagai sistem menurut pandangan Ediwarman adalah sesuatu kesatuan yang bersifat komplek yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain.71 Menurut Sunaryati Hartono bahwa hukum sebagai sistem terdiri dari:72 Pertama, asas-asas hukum. Kedua, peraturan atau norma
hukum.
Ketiga,
sumber
daya
manusia
yang
profesional,
bertanggungjawab dan sadar hukum. Keempat, pranata-pranata hukum. Kelima, lembaga-lembaga hukum termasuk struktur organisasinya, kewenangannya, proses dan prosedur, mekanisme kerja. Keenam, sarana dan prasarana hukum. Ketujuh, budaya hukum yang tercermin oleh prilaku pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga prilaku masyarakat (termasuk pers) yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela. Dalam hal hukum sebagai sistem ini dipahami diharapkan hukum akan efektif di dalam penerapannya. Pandangan Sunaryati Hartono ditegaskan kembali oleh Ediwarman sebagai berikut:73 “Hukum sebagai suatu sistem sebagaimana yang dikemukakan oleh Sunaryati Hartono tersebut di atas harus berjalan secara seimbang dari ke tujuh unsur tersebut dan tidak bisa dijalankan secara parsial, karena jika
70
Philippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper Torchbooks, New York, Hagerstown, San Francisco, London, 1978, halaman 16. 71 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi), Medan, 2013, halaman. 7 72 Sunaryati Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003, halaman. 228 73 Ediwarman, Op.cit, halaman. 9
Universitas Sumatera Utara
40
dijalankan secara parsial maka sistem tidak jalan. Sistem dapat berjalan dengan baik jika ketujuh unsur itu berjalan secara seimbang”. Penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dari efektivitas suatu kaedah hukum yang diartikan sebagai substansi atau norma hukum.74 Menurut Soerjono Soekanto75 bahwa untuk melihat suatu efektivitas kaedah hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit), hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound. Hukum dapat dikatakan sebagai rules of conduct for men bahavior in a society76 dan hukum menghilangkan ketidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial. Berkaitan dengan hal ini maka Dardji Darmodihardjo dan
74
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, halaman. 93, bahwa pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang (substansi) meliputi konsistensi dan kesesuaian antara suatu undangundang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Untuk itu diperlukan pendekatan pencarian ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Bandingkan pandangan Hans Calson tentang validitas norma : For a norm to be valid, the following conditions must be fulfiled : 1. A norm must be part of asystem of norms; 2. The system must be efficacious. Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudience, International Law Book Service, Selangor, 1994. 75 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, halaman. 7 76 Dimyati Hartono, Ketidak Mandirian Hukum Mempengaruhi Reformasi di Bidang Hukum, dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004, halaman. 7.
Universitas Sumatera Utara
41
Sidharta77 mengatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai fungsi yakni fungsi hukum sebagai kontrol sosial. Hal ini mengandung arti bahwa hukum membuat norma-norma yang dapat mengontrol perilaku individu dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentinan individu dan fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement) serta berfungsi untuk memperbaharui masyarakat. Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat mengggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang yang melandasi suatu kebijakan.78 Hukum Islam memandang suatu penerapan dan efektifitas suatu hukum harus berlandaskan pada suatu kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan penetapan hukum yang dijadikan sebagai kaedah metodologi penertapan hukum. Berdasarkan pendapat para ahli hukum Islam bahwa ada beberapa qaedah yang menjadi metodologi penetapan hukum, yang antara lain mencakup:79
77
Dardji Darmodihardjo, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, halaman. 159-161. 78 Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia: Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, 2004, halaman. 1 79 Zamakhsyari Hasballah, Pemikiran dan Sikap M. Hasballah Thaib dalam Berbagai Dimensi, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013, Halama. 11
Universitas Sumatera Utara
42
a) b) c) d) e)
Segala urusan disesuaikan dengan maksudnya. (al-umuur bin maqashidiha). Kesukaran mendatangkan kemudahan. (al-masyaqqah tajlibu alTaysiir). Kemudharatan harus dihilangkan. (al-Dhararu Yuzalu). Adat dapat ditetapkan menjadi hukum. (al-Adat al-Muhakkamah). Sesuatu yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan. (al-Yaqiin la Yuzal bi al-Syakk).
Penetapan hukum menurut hukum Islam didasarkan pada teori maqashid syari‟ah yang menyatakan ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul Fiqih dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh syarak, yaitu kemaslahatan umat manusia. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Firman Allah SWT bahwa “Mereka rasul-rasul Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul” (QS. An-Nisa: 165). Firman Allah SWT bahwa “Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya: 107). Kata rahmat dalam ayat ini, menurut para ahli ushul Fiqih mengandung arti bahwa pengutusan rasul membawa kemaslahatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Selanjutnya menurut Abdul Manan80 bahwa terjadinya perubahan hukum melalui dua bentuk yakni masyarakat berubah terlebih dahulu baru hukum datang mengesahkan perubahan itu, di sini perubahan yang terjadi bersifat pasif, hukum selalu datang setelah perubahan terjadi. Sedangkan bentuk yang 80
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, halaman. 10-11
Universitas Sumatera Utara
43
lain adalah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam bentuk ini, perubahan hukum itu harus dikehendaki dan harus direncanakan sedemikian rupa sesuai dengan yang diharapkan. Perubahan dalam model ini sifatnya aktif, artinya pihak yang berwenang aktif merencanakan dan mengarahkan agar konsep pembaruan hukum dapat berjalan dengan baik. Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), maka negara hukum akan menciptakan dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam setiap kegiatannya harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Konsep ini memberikan pemahaman bahwa hukum lahir dan bersumber dari kesadaran masyarakat akan hukum, sehingga dengan demikian hukum akan memiliki wibawa.81 Indonesia sebagai negara hukum bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) tercermin dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan perubahannya setelah reformasi tetap dinyatakan sebagai negara hukum. Hukum adalah karya manusia yang berupa norma yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku, hukum merupakan cerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan bagaimana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu merupakan rekaman ide dan gagasan yang dipilih masyarakat tempat hukum itu
81
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara dan Dasar-dasarnya, Ghalia, Jakarta, 1983, halaman 181
Universitas Sumatera Utara
44
diciptakan, ide dan gagasan ini adalah mengenai keadilan.82 Di samping itu hukum merupakan peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tertib dalam masyarakat.83 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikontruksikan bahwa sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sebagai korban kejahatan di dalam penelitian disertasi ini diorientasikan terwujudnya keadilan dan tertib dalam masyarakat sebagai bahagian dari kerangka sistem hukum, untuk itu teori yang digunakan adalah teori sistem. Di dalam sistem hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dari substansi hukum dan penegakan hukum. Menurut Wolf Middendorf menyatakan bahwa penegakan hukum pada sistem peradilan pidana akan berjalan efektif apabila dipengaruhi tiga faktor yang saling berkaitan yaitu: Pertama, adanya undang-undang yang baik (good legislation). Kedua, pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement). Ketiga, pemidanaan yang layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform sentencing).84 Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Undang-undang tidak bisa lagi disebut hukum apabila ia tidak pernah dilaksanakan. Kaidahkaidah atau aturan-aturan tersebut menuntut tindakan-tindakan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Hukum yang secara eksplisit dapat dilihat dalam bentuk konkretnya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan, tidak akan 82
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke III, 1991, halaman. 18 83 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan ke III, 1980, halaman. 32 84 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislasi dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2000, halaman. 50
Universitas Sumatera Utara
45
mempunyai arti apa-apa tanpa adanya pelaksanaan. Konsekuensi selanjutnya diperlukan adanya sanksi dalam menunjang pelaksanaannya. Sanksi ini bisa berupa positif (misalnya hadiah) dan bisa berupa negatif (pidana). Sedangkan sanksi dalam bahasan hukum pidana dipersepsikan sebagai pidana (sanksi negatif). Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.85 Penegakan hukum dalam arti sempit adalah pemberian sanksi (pidana) oleh aparat penegak hukum pada setiap pelaku tindak pidana. Sedangkan penegakan hukum dalam arti luas sebagaimana dikemukakan Soedarto dan Satjipto Rahardjo. Soedarto memberi defenisi penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan perbuatanperbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).86 Di samping itu, menurut Satjipto Rahardjo penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum dimaksud tidak lain adalah pikiranpikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum itu.87 Berdasarkan sistematisasi, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan penegakan hukum merupakan serangkaian proses yang terdiri dari
85
Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, 1990, halaman. 9 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, halaman. 111 87 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional, tanpa tahun, halaman. 24 86
Universitas Sumatera Utara
46
tiga tahap kebijakan yaitu: Pertama, tahap kebijakan legislatif/formulatif. Kedua,
tahap
kebijakan
yudikatif/aplikatif.
Ketiga,
tahap
kebijakan
eksekutif/administratif. Dari ketiga tahapan kebijakan penegakan hukum pidana itu terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan yaitu kekuasaan legislatif/formulatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dikenakan, kekuasaan yudikatif/aplikatif dalam menerapkan hukum pidana,
kekuasaan
eksekutif/administratif
dalam
melaksanakan
hukum
pidana.88 Di samping itu dalam rangka penegakan hukum tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Lawrence M. Friedman dalam teori sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukumnya. Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.89 Pendekatan substansi hukum adalah segala aturan atau norma-norma maupun pola prilaku dari manusia yang ada atau diatur dalam substansi hukum yang ada tersebut, substansi hukum merupakan produk dari hasil sebuah keputusan dan aturan-aturan yang ada baik yang sedang dalam proses pembuatan maupun yang sudah ditertibkan,
88
Barda Nawai Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman. 30 89 Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaiman diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta, 1984, halaman. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
47
aturan-aturan tidak tertulis yang hidup dan berjalan di dalam masyarakat juga dapat dikategorikan sebagai substansi hukum. Struktur hukum adalah sebuah institusi atau lembaga yang melaksanakan atau menjalankan proses penegakan hukum itu sendiri termasuk proses-proses penegakan hukum yang ada didalamnya. Budaya hukum dianggap sebagai suatu sikap manusia dan masyarakat umum terhadap hukum itu sendiri, mulai dari pemahaman hukum hingga sikap dari masyarakat dalam melaksanakan atau mentaati hukum tersebut. Penelitian disertasi ini juga di samping menggunakan teori hukum sebagai sistem (legal system) menggunakan teori pemidanaan dan teori kebijakan criminal (criminal policy). Berdasarkan teori pemidanaan bahwa salah satu sasaran dari teori pemidanaan adalah prevention without punishment. Teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).90 Menurut teori Absolut atau Teori Pembalasan pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri dan tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan 90
Teguh Presetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman. 15
Universitas Sumatera Utara
48
keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law,91 bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan sematamata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Teori Relatif atau Teori Tujuan melihat pada kesalahan yang sudah dilakukan, sebaliknya teori relatif atau teori tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan untuk masa yang akan mendatang, dengan kata lain pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut prevensi.92 Adapun teori menyangkut tujuan pemidanaan menurut Mahmud Mulyadi dapat digambarkan sebagai berikut:93 a)
Teori Retributif, dalam tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan ”morally justifed” (pembenaran secara moral), karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan, karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya dengan sengaja dan sadar, hal ini merupakan bentuk dari tanggungjawab moral dan kesalahan hukum si pelaku. Nigel Walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributif murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan pelaku. Sedangkan retributif tidak murni dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yakni: Pertama,
91
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, 1992 . halaman. 11. 92 Ibid 93 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, halaman. 68-88
Universitas Sumatera Utara
49
retributif terbatas, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku. Kedua, retributif yang distribusi, berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah. b)
Teori Deterrence, menurut Zimmy dan Hawkins digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan, namun ”the next detterence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Nigel Walker menanamkan aliran ini sebagai faham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana, dalam pandangan ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (the justification for penalizing offences is that reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu cara atau beberapa cara sebagai berikut: Pertama, pencegahan terhadap si pelaku kejahatan (dettering the offende). Kedua, pencegahan terhadap pelaku potensial (dettering potential imitatoirs). Ketiga, perbaikan si pelaku (reforming the offender). Keempat, mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan. Kelima, melindungi masyarakat (protecting the public).
c)
Teori Treatment, sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberikan tindak perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit, sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dari perbaikan (rehabilitation). Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi faktafakta di lapangan dalan kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan faham ”determinisme” yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya, karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas
Universitas Sumatera Utara
50
dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan, oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberi perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku. d)
Teori Social Defence, terpecah menjadi 2 (dua) aliran, yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis). Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatika yang salah satu tulisannya berjudul ”the fight against funishment” (la lotta contra la pena). Gramatika berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam lebih sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Pandangan moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai ”defence sociale novelle” atau ”perlindungan sosial baru”. Menurut Marc Ancel tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya.
Pemidanaan melalui rehabilitasi yang di dalam faham tujuan pemidanaan berorientasi pada teori treatment bahwa terhadap pelaku tindak pidana terorisme di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme telah diatur, namun rehabilitasi dimaksud belum berorientasi pada pemahaman korban sebagai pelaku kejahatan terorisme akibat faham fundamentalisme. Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme lebih mengarah pada perlindungan tersangka dengan pemulihan hak nya apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi diartikan pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain termasuk pengembangan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta
Universitas Sumatera Utara
51
benda. Hal ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut: ” setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak memberikan secara konkrit dan jelas batasan mengenai rehabilitasi khususnya tentang pengertian hal-hal lain yang dalam undangundang tersebut termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik dan psikis serta perbaikan harta benda. Akibat tidak sempurnanya pelaksanaan ketentuan yang berkaitan dengan rehabilitasi termasuk hak-hak lain dari tersangka yang bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Maka disini telah terjadi pengorbanan struktural tertentu berupa penderitaan fisik dan psikis.94 Selanjutnya teori menyangkut kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usah a yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.95 Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah
94
Soeharto, Op.cit, halaman. 140 G. Pieter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime. Holland: Kluwer Deventer, 1972, halaman. 57. 95
Universitas Sumatera Utara
52
laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime).96 Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal, pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan keterpaduan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu kebijakan kriminal (Criminal Policy). Kebijakan kriminal sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun kebijakan kriminal dalam kerangka penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.97 Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
96 97
Ibid, halaman. 99-100 Ibid, halaman.. 2
Universitas Sumatera Utara
53
kesejahteraan masyarakat (social welfere).98 Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana terorisme juga terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yaitu dalam dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 242 sampai dengan Pasal 251. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:99 a)
Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
b)
Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan.
c)
Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Kebijakan
penanggulangan
kejahatan
(criminal
policy)
menurut
Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media).100
98
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman. 2 99 Ibid 100 Ibid, halaman. 56.
Universitas Sumatera Utara
54
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels ini, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application.” Di samping itu kebijakan penal identik dengan hukuman penal sebagaimana dikemukakan oleh Allen Kent101 bahwa “the utilatarium theory of punishment, sought a new and human justification for penal sanctions”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass media).”
2.
Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan konsep yang digunakan peneliti. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.102 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu digunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian
101
Edwand Allen Kent, Law and Philosophy, New Jersy Prentice Hall, 1970, halaman. 292, bahwa persoalan hukuman penal sudah lama dikenal sejak abad ke 17 sebagai norma yang dikemukakan oleh pengarang terkenal dari teori utilitarian tentang hukuman (punishment). 102 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, halaman. 3
Universitas Sumatera Utara
55
ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut: a)
Sistem Pemidanaan. Sistem merupakan sesuatu kesatuan yang bersifat komplek yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Berdasarkan pengertian sistem ini maka sistem pemidanaan diartikan sebagai satu kesatuan yang berhubungan dalam menerapkan sanksi hukum bagi pelaku kejahatan khususnya pelaku sebagai aktor terorisme dan pelaku sebagai korban terorisme akibat
pengaruh
faham
fundamentalis.
Berdasarkan
sistem
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana teorisme khususnya pelaku
kejahatan
sebagai
korban
seharusnya
menerapkan
pemidanaan berupa treatment dan rehabilitasi. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pemidanaan yakni teori treatment, sebagai tujuan
pemidanaan
dikemukakan
oleh
aliran
positif
yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberikan tindak perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit, sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dari perbaikan (rehabilitation).
Universitas Sumatera Utara
56
b)
Pelaku tindak pidana terorisme adalah pelaku yang dikategorikan sebagai manus domina dan pelaku sebagai manus ministra misalnya orang yang diluar kehendaknya melakukan tindakan teror akibat pemahaman terhadap agama yang salah. Korban apabila diartikan secara luas bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklasifikasikan sebagai korban. Hak korban yakni mendapat pembinaan dan rehabilitasi. Korban juga dapat diartikan sebagai victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the resulf of a crime against him. Victim also includes the person‟s is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated.
c)
Teorisme di dalam sistem hukum civil law (Indonesia) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menurut Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika dengan
Universitas Sumatera Utara
57
sengaja
menggunakan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6), dengan sengaja
menggunakan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan
nyawa
dan
harta
benda
orang
lain
atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional
(Pasal
7).
Seseorang
juga
dianggap
melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. d)
Teorisme pada sistem hukum common law antara lain di Negara Amerika Serikat diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara
Universitas Sumatera Utara
58
bagian Amerika), dengan maksud untuk: a. mengintimidasi penduduk
sipil.
b.
memengaruhi
kebijakan
pemerintah.
c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan. e)
Extra Ordinary Crime, adalah kejahatan luar biasa. Pertimbangan bahwa terorisme sebagai kejahatan luar biasa yakni terorisme mengalami pergeseran dan perluasan paradigma yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikatergorikan sebagai crime againt state sekarang meliputi terhadap perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai crime againt humanity di mana yang menjadi korban adalah masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik kekerasan (kekerasan sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan ancaman kekerasan (threat of violence).
f)
Perbandingan sistem pemidanaan adalah suatu kegiatan untuk menemukan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan prinsipprinsip hukum yang ada diberbagai sistem hukum antar Negara baik Negara yang menganut sistem hukum common law maupun sistem hukum civil law terkait sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme
g)
Konsep hukum kedepan merupakan kerangka maupun prinsipprinsip hukum yang ditemukan dan dapat digunakan dalam penyempurnaan hukum pada sistem pemidanaan terhadap pelaku
Universitas Sumatera Utara
59
tindak pidana terorisme di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar terjalinnya sistem pembangunan hukum nasional yang memberikan kontribusi terhadap pengaturan sistem pemidanaan pelaku tindak pidana terorisme yang tidak hanya berorientasi pada pemberantasan setiap pelaku tindak pidana terorisme, namun dapat memperhatikan sistem pemidanaan terhadap pelaku sebagai korban dari tindak pidana terorisme. H.
Metode Penelitian 1.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal, yaitu
penelitian
hukum yang
mempergunakan
sumber
data
skunder
yang
penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen,103 karena dilakukan pada data yang bersifat skunder yang ada diperpustakaan. Pada penelitian normatif data skunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian
terhadap
sistematika
hukum,
penelitian
terhadap
singkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian terhadap perbandingan hukum. Dalam penelitian ini lebih menitiberatkan terhadap
103
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Medan, 2009, halaman. 19
Universitas Sumatera Utara
60
penerapan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan pendekatan terhadap asas-asas hukum dan singkronisasi hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Di samping itu, dilakukan juga perbandingan hukum.104 2.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis empiris yang biasanya dianalisis secara deskriptif,105 dan secara normatif yang secara deduktif dimulai analisis terhadap penerapan norma hukum sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Pendekatan metode yuridis empiris dimulai dari berlakunya hukum positif dan pengaruh berlakunya hukum positif terhadap kehidupan masyarakat serta pengaruh faktor non hukum terhadap terbentuknya serta berlakunya ketentuan hukum positif.106 Penelitian disertasi dengan pendekatan empiris (yuridis normatif) ini dimaksudkan untuk melihat efektifitas peraturan perundangundangan menyangkut tindak pidana terorisme dalam penerapannya, termasuk sistem peradilan pidana dalam kerangka meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana terorisme. Di dalam penerapannya pada sistem peradilan pidana 104
Lihat Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law & Socialist Law, diterjemahkan Narulita Yusron, Nusa Bangsa, Jakarta, 2010, halaman. 28 105 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, halaman. 53 bahwa penelitian hukum yuridis sosiologis biasanya dianalisis secara deskriptif yaitu memaparkan dan menjelaskan data yang ditemukan dalam penelitian. Penelitian ini tidak memberikan justifikasi hukum seperti halnya penelitian hukum normatif, mengenai apakah suatu peristiwa itu salah atau benar menurut hukum, tetapi hanya memaparkan fakta-fakta secara sistematis. 106 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi), Op.cit, halaman. 96
Universitas Sumatera Utara
61
pelaku sebagai korban kejahatan terorisme kurang mendapat perhatian sehingga berdampak pada sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana terorisme. 3.
Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel a)
Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di lembaga sistem peradilan pidana Indonesia yang ada di Jakarta, Bali dan Medan. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini bahwa intensitas tingkat kerawan tinggi terjadinya tindakan teror dan peledakan bom yang telah menjadi perhatian nasional maupun internasional di tiga lokasi ini. Di samping itu bahwa penerapan sistem pemidanaan dalam kerangka pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana terorisme pada lembaga sistem peradilan pidana di tiga lokasi ini lebih memfokuskan
kepada
pelaku,
tidak
fokus
mengkaji
dan
menganalisis terhadap pelaku kejahatan sebagai korban kejahatan terorisme dengan menggunakan sarana perawatan (treaatment) dan perbaikan (rehabilitation) pada penjatuhan vonis bagi pelaku. b)
Populasi Populasi adalah keseluruhan objek yang mempunyai ciri yang sama, populasi dapat berupa himpunan orang, benda hidup atau mati, kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan ciri yang sama.107
107
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
62
Berdasarkan uraian ini maka populasi dalam penelitian ini adalah pelaku tindak pidana yang telah divonis dalam bingkai sistem peradilan pidana yang terpadu (integrited criminal justice system) dimulai dari Polri, Jaksa, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakat dalam rangka menerapkan sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana
terorisme.
Berdasarkan
data
Badan
Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia sebanyak 700 orang yang divonis dan 90 orang meninggal di Tempat Kejadian Perkara yang mayoritas merupakan korban kejahatan. c)
Sampel Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian disertasi ini adalah non random sampling yang telah ditentukan sendiri oleh peneliti108dengan pendekatan puposive sampling.109 Adapun sampel yang akan diwawancarai baik sebagai reponden maupun informan dari populasi sebanyak 700 orang yang divonis
108
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, halaman. 173 bahwa non random sampling, apabila jumlah sampel dan populasi kecil atau sedikit, yaitu suatu cara menentukan sampel di mana peneliti telah menentukan/menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya. Tentu saja penunjukan ini harus disertai dengan argumentasi ilmiah mengapa peneliti menentukan sampel-sampel demikian. 109 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi), Op.cit, halaman. 107 bahwa cara mengambil sampel didasarkan pada tujuan tertentu. Teknik ini biasa dipilih karena alasan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar jumlahnya dan jauh letaknya, untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu dan haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut: Pertama, harus didasarkan pada ciriciri, sifat-sufat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasi. Kedua, subjek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada polulasi. Ketiga, ketentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan (preliminary research).
Universitas Sumatera Utara
63
dalam tindak pidana terorisme diambil sampel sebanyak 70 orang yang telah dipilih. Untuk masing-masing daerah yang dijadikan polulasi yakni Jakarta, Bali dan Medan dari 70 orang sampel dibagi sebanyak 23 orang untuk masing-masing daerah. Di samping itu dilakukan juga wawancara terhadap informan dengan maksud untuk memperoleh informasi secara terarah (derective interview) yang diberikan oleh informan, terdiri dari: 1)
Personil Polri pada Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri sebanyak 10 orang.
2)
Personil BNPT Republik Indonesia sebanyak 10 orang.
3)
Jaksa pada lingkup Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang menyidangkan tindak pidana terorisme sebanyak 5 orang.
4)
Hakim pada lingkup Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memvonis pelaku tindak pidana terorisme sebanyak 10 orang.
5)
Lembaga Pemasyarakat yang melakukan pembinaan bagi pelaku tindak pidana terorisme sebanyak 10 orang.
6)
Majelis Ulama Indonesia sebanyak 5 orang.
Universitas Sumatera Utara
64
4.
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview), daftar pertanyaan (kuesioner angket) dan pengamatan (observasi) yaitu apa yang dilakukan oleh sistem peradilan pidana dalam menerapkan sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana terorisme. Pertimbangan penggunaan alat pengumpulan data ini didasarkan pada spesifikasi penelitian yakni penelitian hukum normatif atau doktiner dengan metode pendekatan empiris (yuridis sosiologis).
5.
Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Prosedur pengambilan data dan pengumpulan data diperoleh dan dikumpulkan berdasarkan data yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan peneliti menyangkut penerapan sistem pemidanaan dalam kerangka pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana terorisme. Peneliti mempergunakan data primer dan sekunder. Data diperoleh dengan cara sebagai berikut:110 a)
Studi Kepustakaan Studi kepustakaan ditujukan untuk mencari konsep-konsep, teoriteori,
pendapat-pendapat
atau
penemuan-penemuan
yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan
110
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Op.cit, halaman. 122
Universitas Sumatera Utara
65
dimaksud berupa peraturan perundang-undang, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain. b)
Studi Lapangan Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer. Dalam hal ini akan diusahakan untuk memperoleh data-data dengan mengadakan tanya jawab (wawancara) dengan berbagai aparat penegak hukum yang terlibat dalam penerapan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan orang biasa yang tersangkut dalam proses peradilan pidana tindak pidana terorisme sebagai tersangka atau terdakwa.
6.
Analisis Data Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode pendekatan kualitatif
bukan
kuantitatif.111
Pendekatan
kualitatif
landasannya
menekankan pada pola tingkah laku manusia yang dilihat dari “frame of reference” si pelaku itu sendiri, jadi individu sebagai aktor sentral perlu dipahami dan merupakan su atu analisis serta menempatkannya sebagai dari suatu keseluruhan (holistic).112 Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan analisis data secara kualitatif diartikan bahwa data dianalisis secara yuridis kualitatif normatif dengan penguraian secara deskriptif
111
Ibid Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, halaman 122 112
Universitas Sumatera Utara
66
dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian pada disertasi ini. Penentuan metode analisis demikian dilandasi oleh pemikiran bahwa penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data apa adanya, melainkan juga berupaya memberikan argumentasi. Analisis data secara kualitatif terhadap sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana terorisme terorganisir lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisisnya terhadap dinamika perhubungan antara fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.
Universitas Sumatera Utara