1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures).1 Menurut Eddy O.S. Hiariej, 2 setidaknya terdapat empat sifat dan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis. Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya. Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karakteristik tersebut yang membedakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana yang lain, sehingga bukan hanya sifat tindak pidana tersebut yang mendapat predikat extra ordinary crime, namun dalam penanggulangannya dibutuhkan tindakan-tindakan yang bersifat luar biasa pula.
1
Lilik Mulyadi, 2013, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Cetakan II, Alumni, Bandung, hlm. 8. 2 Eddy O.S. Hiariej, Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, “Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada”, Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 30 Januari 2012 di Yogyakarta., hlm. 3.
2
Menurut Indriyanto Seno Adji, 3 korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya, yang tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum dan politik. Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem yang ada, karenanya usaha maksimal bagi penegakan hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, harus dilakukan dengan pendekatan sistem atau systemic approach, terutama bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peranan institusi peradilan yang sangat menentukan sebagai salah satu institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberantasan tindak pidana korupsi. Sistem hukum pidana Indonesia meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil terdapat dalam KUHP maupun undangundang pidana di luar KUHP, sedangkan, hukum pidana formil bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun undang-undang di luar KUHAP.4 Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dalam penulisan akan disebut UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Ketentuan hukum pidana formil dalam penanganan tindak pidana korupsi selain diatur dalam KUHAP, juga diatur dalam UU No. 31 3
Indriyanto Seno Adji, 2014, Hukum Pidana Dalam Perkembangan, Diadit Media, Jakarta, hlm. 72-73. 4 Lilik Mulyadi, “Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, Op.cit., hlm. 9.
3
Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada dasarnya, seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan pembuktian. Meskipun pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan, bahkan pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh negara.5 Peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting.6 Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha membuktikan sesuatu (objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara-cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu sebagai terbukti ataukah tidak terbukti menurut undang-undang. Proses pembuktian dilaksanakan bersama oleh tiga pihak, yakni hakim, jaksa dan terdakwa yang (dapat) didampingi penasihat hukum, segala seginya telah ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian.7
5
Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, hlm. 13. 6 Munir Fuady, 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 1. 7 Ibid., hlm. 101.
4
Berbeda dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan, yakni penyelidikan dan penyidikan. Penyelesaian perkara pidana meliputi beberapa tahap, yakni tahap penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan, tahap pemeriksaan perkara tingkat pertama di pengadilan negeri, tahap upaya hukum di pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung, kemudian tahap eksekusi oleh jaksa selaku eksekutor. Dengan demikian, pembuktian dalam perkara pidana menyangkut beberapa institusi, yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 8 Dalam tahapan penanganan perkara pidana sangat dimungkinkan upaya paksa dilakukan oleh aparat penegak hukum dan upaya paksa tersebut berkaitan dengan pembuktian. 9 Berdasarkan penjelasan tersebut menujukkan bahwa dalam setiap tahapan dari proses penanganan perkara pidana terdapat proses pembuktian. Pentingnya aspek pembuktian tersebut dalam setiap tahap karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil. Pembuktian di persidangan dalam perkara pidana, yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum sebagai berikut:10 Pertama, adanya peristiwa tertentu yang mengandung tindak pidana tertentu sebagaimana didakwakan. Rumusan-rumusan tindak pidana yang didakwakan selalu mengandung unsur-unsur tindak pidana yang membentuk suatu pengertian yuridis tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, pembuktian bahwa telah terjadi tindak pidana berarti membuktikan semua unsur tindak pidana yang ada dalam rumusan yuridisnya. Artinya, semua unsur tindak 8
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 96. Ibid. 10 Adami Chazawi, 2010, Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Banyumedia Publishing, Malang, hlm. 206. 9
5
pidana yang didakwaan telah terdapat (istilah dalam praktik: terbukti) dalam peristiwa yang telah dibuktikan di persidangan. Dengan kata lain, tindak pidana yang didakwakan benar telah terjadi. Kedua, terdakwa (objektif) yang melakukannya dan terdakwa (subjektif) bersalah/dipersalahkan sebagai yang bertanggungjawab terhadap terjadinya tindak pidana yang didakwakan. Di lain pihak apa yang harus dibuktikan oleh penasihat hukum pada dasarnya adalah kebalikan dari apa yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum.11 Majelis hakim mendapatkan masukan dari hasil pembuktian jaksa penuntut umum dalam requisitoir-nya atau penasihat hukum dalam pledoi-nya yang dapat mempengaruhi pendapatnya atau tidak. Dalam hal ini, majelis hakim mempunyai pendapat sendiri. Walaupun demikian, setidak-tidaknya sebagian pendapat penasihat hukum berguna dan dapat diambil majelis ke dalam pertimbangan hukumnya sebagai dasar menarik diktum vonis.12 Hakim dalam kegiatan pembuktian juga menggunakan alat-alat bukti menurut cara-cara tertentu dalam undang-undang untuk melakukan penganalisisan terhadap fakta-fakta melalui pertimbangan-pertimbangan hukumnya dalam usaha menarik keyakinannya tentang terbukti tidaknya tindak pidana yang didakwakan dan terdakwa melakukan atau tidak melakukan, serta apabila terbentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Kegiatan pembuktian oleh majelis hakim ini diwujudkan dalam vonis yang dibacakan di persidangan.13
11
Ibid., hlm. 207. Ibid., hlm. 208. 13 Ibid., hlm. 203. 12
6
Terdapat beberapa ketentuan dalam hukum pembuktian perkara pidana, misalnya syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidaklah cukup dalam perkara pidana, melainkan harus minimal dua alat bukti, juga diperlukan adanya keyakinan hakim. Bertolak dari minimal dua alat bukti terbentuklah keyakinan tentang tiga hal, yakni terjadinya tindak pidana, terdakwa melakukannya, dan terdakwa dapat dipersalahkan atas perbuatannya itu (Pasal 183 KUHAP). 14 Ketentuan alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alatalat bukti itu saja dan tidak bebas mempergunakan alat bukti yang dikehendaki di luar alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.15 Dalam perkara pidana tidak hanya menjelaskan bersalah atau tidak bersalahnya pelaku dalam tindak pidana yang terjadi, masih ada aspek lain yang penting untuk diketahui. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Moeljatno16 sebagai berikut: Meskipun orangnya karena tidak ada kesalahan tidak dipidana, masih berguna juga untuk diketahui umum, bahwa dia melakukan perbuatan pidana. Hal ini umpamanya menjadi penting berhubungan dalam hal turut serta melakukan, menganjurkan, dan membantu melakukan perbuatan pidana. Sekalipun tidak menjadi dasar dalam memidana pelaku karena adanya alasan penghapus kesalahan, tetapi masih dapat dijadikan dasar untuk mengetahui telah terjadinya tindak pidana.
14
Adami Chazawi, “Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, Op.cit., hlm. 69. Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta, hlm. 46. 16 Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 11. 15
7
Dalam hukum acara pidana harus dibuktikan dengan jelas suatu suatu tindak pidana dan kesalahan pelaku dalam tindak pidana tersebut. Pembuktian mengenai telah terjadinya suatu tindak pidana menjadi penting bagi fungsi rumusan tindak pidana itu sendiri. Menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius,17 menyatakan bahwa rumusan delik hukum pidana mempunyai dua fungsi sebagai berikut: Pertama, (secara hukum pidana materiil) seperti diketahui bertalian dengan penerapan konkret dari asas legalitas, sanksi pidana hanya mungkin diterapkan terhadap perbuatan yang terlebih dahulu ditentukan sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang melakukan hal ini melalui rumusan delik. Fungsi ini, mengingat rasio dari asas legalitas, dapat dinamakan fungsi melindungi dari hukum. Kedua, rumusan delik masih mempunyai fungsi lain (secara hukum acara pidana) yang dapat dinamakan fungsi petunjuk bukti. Rumusan delik menunjukan apa yang harus dibuktikan menurut hukum. Sesungguhnya, semua yang tercantum dalam rumusan delik (tetapi tidak lebih dari itu) harus dibuktikan menurut aturan hukum acara pidana. Bagian-bagian itu dinamakan unsur-unsur delik tertulis. Itu berarti, persyaratan tertulis untuk dapat dipidana. Untuk dapat dipidana, semua unsur harus dituduhkan dan dibuktikan. Putusan hakim memuat fakta-fakta tentang terbukti atau tidak terbuktinya suatu tindak pidana, dan berdasarkan fakta-fakta tersebut, hakim dapat menjatuhkan putusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Menurut B. Arief Sidharta, 18 agar putusan hakim objektif, maka putusan yang diambil untuk memberikan penyelesaian atas sengketa (tindak pidana, pen.) yang dihadapkan kepadanya harus selalu berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan dan berdasarkan patokan-patokan objektif yang berlaku
17
D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, 2011, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 24-25. 18 B. Arief Sidharta, “Penemuan Hukum Dalam Kajian Filsafat Hukum”, Shidarta dan Jufrina Rizal, 2014, Pendulum Antinomi Hukum, Antologi 70 Tahun Valerine J. L. Kriekhoff, Genta Publishing,Yogyakarta, hlm. 20-21.
8
umum, yakni kaidah hukum positif yang berlaku sebagaimana yang dirumuskan dalam perundang-undangan yang ruang lingkup penerapannya mencakup faktafakta tersebut, dengan secara eksplisit menyebutkan ketentuan perundangundangan yang dijadikan dasar putusannya. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat beberapa putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana korupsi memuat fakta-fakta persidangan yang menunjukkan telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan lebih dari satu orang pelaku. Tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku ini dalam hukum pidana dikatakan sebagai penyertaan (deelneming). Beberapa kasus tindak pidana korupsi melalui fakta-fakta persidangan yang termuat dalam putusan hakim terhadap pelaku yang telah dinyatakan terbukti bersalah dalam penyertaan tindak pidana korupsi, terdapat fakta-fakta bahwa tindak pidana korupsi tersebut dilakukan lebih dari satu orang. Misalnya, kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Budi Mulya ditetapkan sebagai salah satu tersangka. Budi Mulya diputus terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan primer. Hakim Ketua di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta, menyebutkan bahwa dalam putusan terhadap Budi Mulya tersebut, terpidana telah melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Boediono, Miranda Swaray Goeltom, Siti Chalimah Fadjrijah, (Alm.) S. Budi Rochadi, Muliaman Darmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, Ardhayadi
9
Mitodarwono, Raden Pardede, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim.19 Dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, belum dilakukan penyidikan terhadap semua pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut. Dalam putusan hakim tersebut, telah ada pembuktian suatu tindak pidana yang dilakukan secara penyertaan. Tindak pidana tersebut telah dibuktikan di persidangan terhadap salah satu pelaku yang terlibat dan hakim menyatakan perbuatan tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan. Fakta-fakta persidangan yang termuat dalam putusan hakim mengenai penyertaan tindak pidana penting untuk tahap awal peradilan pidana. Proses peradilan perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan, yakni penyelidikan dan penyidikan. Pada tahap pendahuluan tersebut, tata caranya lebih rumit apabila dibandingkan dengan hukum acara lainnya.20 Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana. Sedangkan pada proses penyidikan titik beratnya diletakkan pada mencari serta mnegumpulkan bukti agar dalam tindak pidana yang ditemukan menjadi terang serta dapat menemukan pelakunya.
19
Arief Setyadi, “Budi Mulya Divonis Lakukan Korupsi Bersama-sama”, Okezone, http://news.okezone.com/read/2014/07/16/339/1013825/budi-mulya-divonis-lakukan-korupsibersama-sama, 16 Juli 2014, diakses tanggal 3 April 2015. 20 Eddy O.S. Hiariej, “Teori dan Hukum Pembuktian”, Loc.cit.
10
Proses penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan saling isi mengisi guna dapat diselesaikannya pemeriksaan suatu tindak pidana.21 Hubungan antara tugas dan fungsi penyidik dan penyelidik, titik taut hubungannya, menurut pedoman pelaksanaan KUHAP, yakni bahwa penyelidikan, bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu berupa penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian, dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.22 Jika dilihat dari sifat tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terorganisasi dan sistematis sehingga pembuktiannya tidak mudah, maka putusan hakim yang memuat fakta-fakta adanya beberapa orang pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut dapat membantu proses penyidikan yang dilakukan selanjutnya terhadap pelaku lain yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam penyertaan tindak pidana korupsi, dugaan tentang telah terjadinya penyertaan tindak pidana dapat diperoleh melalui fakta-fakta persidangan yang termuat dalam pertimbangan putusan hakim. Fakta-fakta tersebut dapat dijadikan dasar dugaan kuat adanya pelaku lain yang turut terlibat dalam penyertaan tindak pidana tersebut. Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin melakukan penelitian mengenai putusan hakim sebagai bukti 21
M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan XIV, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 109. 22 Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjaun Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Hakim, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 44-45.
11
permulaan dalam proses penyidikan, dengan judul penelitian “Putusan Hakim Sebagai Bukti Permulaan Dalam Penyidikan Penyertaan Tindak Pidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan mendasar yang dikaji. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kedudukan putusan hakim sebagai bukti permulaan dalam penyidikan penyertaan tindak pidana korupsi? 2. Bagaimanakah tindak lanjut penyidikan kasus penyertaan tindak pidana korupsi berdasarkan bukti permulaan berupa putusan hakim?
C. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai “Putusan Hakim Sebagai Bukti Permulaan Dalam Penyidikan Penyertaan Tindak Pidana Korupsi” ini dilatarbelakangi oleh perkembangan hukum pembuktian dalam tindak pidana korupsi, terutama jika tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama atau lebih dari satu orang. Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan sebagai berikut: 1. Menjelaskan kedudukan putusan hakim sebagai bukti permulaan dalam penyidikan penyertaan tindak pidana korupsi.
12
2. Menjelaskan tindak lanjut penyidikan kasus penyertaan tindak pidana korupsi berdasarkan bukti permulaan berupa putusan hakim.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan bagi pengembangan ilmu hukum dan pembangunan masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat akademik dan manfaat praktis. 1. Manfaat Akademik Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, terutama mengenai pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan pembuktian tindak pidana korupsi, penelitian ini diharapkan dapat menguraikan kedudukan putusan hakim sebagai bukti permulaan dalam penyidikan penyertaan tindak pidana korupsi, berdasarkan fakta-fakta persidangan yang termuat dalam putusan hakim untuk mengungkap pelaku lain dalam penyertaan tindak pidana korupsi. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada aparat penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun hakim pengadilan tindak pidana korupsi, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam upaya mengungkap pelaku lain dalam penyertaan tindak pidana korupsi. Penelitian ini juga
13
diharapkan dapat memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang dalam rangka pembaharuan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi, terutama ketentuan mengenai pembuktian dalam tindak pidana korupsi.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dapat ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan pembuktian penyertaan dalam tindak pidana. Beberapa hasil penelitian yang dianggap memiliki kemiripan substansi dengan permasalahan yang dirumuskan peneliti tetapi berbeda dalam pengkajian masalahnya, yakni sebagai berikut : 1. Diah Kartika, 2010, Skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Solo, dengan judul: Eksistensi Bukti Permulaan Yang Cukup Sebagai Syarat Tindakan Penyelidikan Suatu Perkara Pidana (Telaah Teoritik Penetapan Susno Duadji Sebagai Tersangka Oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia Dalam Perkara Suap)23. Permasalahan yang diangkat sebagai berikut: a. Bagaimanakah eksistensi bukti permulaan yang cukup sebagai syarat tindakan penyelidikan perkara pidana? b. Apakah penetapan Susno Duadji sebagai tersangka sudah memenuhi bukti permulaan yang cukup dalam penyelidikan perkara suap? 23
Diah Kartika, “Eksistensi Bukti Permulaan Yang Cukup Sebagai Syarat Tindakan Penyelidikan Suatu Perkara Pidana (Telaah Teoritik Penetapan Susno Duadji Sebagai Tersangka Oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia Dalam Perkara Suap)”. Skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Solo, 2010.
14
Perbedaan antara penelitian yang penulis teliti dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa dalam penelitian sebelumnya permasalahan yang diteliti mengenai eksistensi bukti permulaan yang cukup sebagai syarat tindakan penyelidikan perkara pidana dan untuk mengetahui penetapan Susno Duadji sebagai tersangka sudah memenuhi bukti permulaan yang cukup dalam penyelidikan perkara suap atau sebaliknya. Sedangkan dalam penelitian penulis lebih memfokuskan arah penelitian untuk mengetahui kedudukan putusan hakim sebagai bukti dalam penyidikan penyertaan tindak pidana korupsi. 2. Anita Meilyna S. Pane, 2014, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, dengan judul: Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Secara Penyertaan (Deelneming) (Studi Kasus Korupsi Pengadaan Buku Ajar di Kabupaten Sleman)24. Permasalahan yang diangkat sebagai berikut: a. Apa dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap
Ibnu
Subiyanto
(Mantan
Bupati
Sleman)
sebagai
pelaku/dader dalam korupsi pengadaan buku ajar di Kabupaten Sleman? b. Bagaimanakah putusan hakim terhadap Muhdori Masuko Haryono (Ketua Tim Pengadaan Buku Ajar di Kabupaten Sleman) sebagai orang yang turut serta melakukan/mededader tindak pidana korupsi dalam pengadaan buku ajar di Kabupaten Sleman? 24
Anita Meilyna S. Pane, “Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Secara Penyertaan (Deelneming) (Studi Kasus Korupsi Pengadaan Buku Ajar di Kabupaten Sleman)”, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014.
15
Perbedaan antara penelitian yang penulis teliti dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian dalam uraikan di atas menekankan pada penerapan ketentuan mengenai penyertaan dalam tindak pidana korupsi dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terkait penyertaan dalam tindak pidana korupsi. Sedangkan penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan putusan hakim sebagai bukti permulaan dalam penyidikan penyertaan tindak pidana korupsi, berdasarkan faktafakta persidangan yang termuat dalam putusan hakim mengenai kedudukan pelaku lain dalam penyertaan tindak pidana korupsi. 3. Murpratiwi Syarifuddin, 2013, Skripsi, Universitas Hasanudin, dengan judul: Analisis Yuridis Terhadap Turut Serta (Medeplegen) Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Nomor 47.Pid.sus/2011/PN.Mks) 25 Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah: a. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materiil terhadap turut serta (medeplegen) dalam tindak pidana korupsi pada putusan pengadilan No. 47.Pid.sus/2011/PN.Mks? b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap turut serta (medeplegen) dalam tindak pidana korupsi, pada putusan No. 47.Pid.sus/2011/PN.Mks? Perbedaan antara penelitian yang penulis teliti dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian dalam uraikan di atas menekankan pada penerapan ketentuan mengenai penyertaan dalam tindak pidana 25
Murpratiwi Syarifuddin, “Analisis Yuridis Terhadap Turut Serta (Medeplegen) Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No. 47.Pid.Sus/2011/PN.Mks)”, Skripsi, Universitas Hasanudin, Makasar, 2013.
16
korupsi dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terkait penyertaan dalam tindak pidana korupsi. Sedangkan penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan putusan hakim sebagai bukti permulaan dalam penyidikan penyertaan tindak pidana korupsi, berdasarkan fakta-fakta persidangan yang termuat dalam putusan hakim mengenai kedudukan pelaku lain dalam penyertaan tindak pidana korupsi.