BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi telah menjadi extra ordinary crimes yang telah nyata menggerogoti
dan
membahayakan
keuangan
dan
perekonomian
negara.Durkheim 1 dalam kumpulan karangan buku ke-2 Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa jika bangsa ini tidak segera menyadari korupsi sebagai akar masalah,sampai kapanpun akan sulit bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan,Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal di dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial dan karena itu tidak mungkin disambungkan habis. Perlu ditambahkan bahwa istilah “pemberantasan kejahatan “ adalah kurang tepat karena mengandung pengertian “pemusnahan” dan mungkin istilah yang kebih tepat adalah “pencegah kejahatan”. 2 Saparinag Sadli menyatakan, bahwa kejahatan atau tindak kriminil adalah merupakan salah satu bentuk dari “prilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari
1
Emile Durkheim, The Normal and the Pathologi, dalam Marvin E.Wolfgang at.al.(ed), The Sosialogy of Crime and Deliquency, Second Edition, John Wiley & Sons, 1990, dalam Mardjono Reksodiputro, Kriminology dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan Buku Kedua pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997), hal. 2 2 Ibid, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan. 3 Kejahatan, selain merupakan masalah kemanusiaan adalah juga masalah sosial. 4 dan juga malahan “the oldest social problem”. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lahir karena adanya pertimbangan-pertimbangan antara lain: 1. Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara
dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar. 2. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara
dan
perekonomian
negara,
juga
menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. 3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengann undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. 5 Untuk lebih memantapkan upaya pemberantasan korupsi, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dengan
3
Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Pidana Menyimpang, 1976, hal. 56 dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 148. 4 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965), hal. 99. 5 Konsideran Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain upaya penyempurnaan ketentuan perundang-undangan tersebut juga dilakukan upaya pembentukan lembaga baru untuk pemberantasan korupsi. Untuk itulah dikeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pendayagunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.6 Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan,yang hukum pidana materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana, pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana. 7
6
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158. Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa "Mendatang”, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990), hal. 2 7
Universitas Sumatera Utara
Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan perundang-undangan
merupakan
kegiatan
yang
akan
mendasari
dan
mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana inkonkreto 8. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa mendatang. Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil. 9 Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief 10 menyarankan dalam upaya penanggulangan
8
. Gondowardojo, Ilmu Hukum Administrasi negara,(Yogyakarta:Widjayakusuma ,1978)
hal . 22 9
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1996), hal. 26. 10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. Pengamatan Bambang Poernomo, 11 kesulitan untuk menanggulangi korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara melainkan sudah cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat untuk memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan, dan/atau lingkungan kelompok bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara illegal. Kasus yang menjadi dasar dalam skripsi ini tersebut bermula ketika dilaksanankan nya proyek pelaksanaan redistribusi tahan objek landreform dari pusat atau yang dikenal sebagai proyek pembaharuan agraria nasional (PPAN) tahun 2008 yang dilaksanakan di 10 kantor BPN kabupaten /kota se-Sumut terbagi atas : 1) Kota Binjai (1000 Bidang) 2) Siantar (500 Bidang) 3) Kab.langkat (10.000 bidang) 4) Deli Serdang (10.000 bidang) 5) Serdang Berdagai (16.174 bidang) 6) Simalungun (7500 bidang) 7) Asahan (5000 Bidang) 8) Labuhan Batu (4000 Bidang)
11
Bambang Poernomo, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi. Seminar Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan Antisipasinya terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep. Kehakiman, 11 September 1999 ), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
9) Tapanuli Tengah (5000 Bidang ) 10) Mandailing Natal (5000 Bidang ) Kemudian Horasman Sitanggang selaku kepala BPN Memerintahkan Kasubbag perencanaan dan Keuangan BPN .Jojor sitorus utk memotong dana sebesar 7% dari Dana Taktis Kegiatan yang Mencakup 56.674 bidang per-meter tersebut Dengan alasan untuk Inventaris Kantor yang Pada dasarnya dana taktis itu adalah akal-akalan atau “Fiktif” dalam upaya memanipulasi uang dari Proyek Landreform tersebut. Tindakan Terdakwa dengan melibatkan Kasubbag perencanaan dan keuangan Sumut Jojor Sitorus menimbulkan kerugian Negara sebesar 2.319 M (Berdasarkan Audit Badan Pengawas Keuangan Negara (BPKP) tanggal 4 desember 2009) tetapi dalam prakteknya justru Bendahara Pengeluaran (Ruslan S.E .SH ) Telah Melakukan Pemotongan Langsung Sebesar 7 % Dari dana alokasi anggaran pada 10 Kantor Pertanahan Kab/Kota dalam PPAN 2008 di KANWIL PROVSU,yang menurut hukum haruslah menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus ini ,karena dalam prakteknya sudah memenuhi unsur yang terdapat di dalam UU Pemberantasan tindak pidana korupsi,untuk lebih jelas akan saya jabarkan di dalam bab selanjutnya dalam Skripsi saya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ditentukan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia? 2. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban Pidana terhadap tindak pidana korupsi Kasus Putusan No.77/Pid.B/2010/PN-Mdn
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam perspektif Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konsep, teori dan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum investasi di Indonesia. b. Manfaat Praktis Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ataupun saran bagi para ahli hukum, aparat penegak hukum dan praktisi tentang penggunaan alternatif lembaga hukum pidana,
Universitas Sumatera Utara
yakni instrumen hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 77/Pid.B/2010/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya, Penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya,apabila ternyata ada skripsi yang sama,Dan hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa skripsi yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi skripsi ini
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum
Universitas Sumatera Utara
berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. 12 Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. 13 Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan
12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 67. 13 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181.
Universitas Sumatera Utara
sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit. 14 Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum ) c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )
14
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum. 2. Pengertian Tindak pidana Korupsi Secara umum atau awam, korupsi merupakan: (a) suatu tindakan mengambil,
menyelewengkan,
menggelapkan
uang
Negara/rakyat
untuk
kepentingan pribadi/kelompok; (b) menerima gaji tanpa kerja (dengan sengaja meninggalkan tugas). 15 H.A. Brazz berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b) kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu, atau berdasaran kemampuan-kemampuan yang formal; (c) kekuasaan tersebut dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan dalih menurut hukum. 16
15
Ibid. H. A. Brazz, Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi, dalam Mochtar Lubis dan James Scott. Ed. Bunga Rampai Korupsi, hal.7. 16
Universitas Sumatera Utara
Dalam literatur mengenai korupsi, terdapat definisi yang memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah: 17 “Behaviour which deviates from the formal dutiers of a public role because of private-regarding (personal, clise family, private clique) pecuniary or status-gains; or certain types of regarding behavior” yang dapat diterjemahkan sebagai: “perilaku menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik karena private regarding (kepribadian, keluarga dekat, persengkokolan pribadi) berkenaan dengan uang atau status – keuntungan; atau melanggar aturan yang bertentangan dengan perilaku yang terhormat”. Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari pula dari kata asal corrumpare, suatu kata latin yang lebih tua. 18 Dari bahasa latin itupun turun ke banyak bahasa Eropa seperti: Corruption, corrupt (inggris), Corruption (perancis), dan Corruptie (korruptie) (Belanda). Sehingga dalam Bahasa Indonesia dapat diturtunkan sebagai “Korupsi”. Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary:19 “Corruption (l. Corruptio: the Act of corruption; or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter moral prevension; depravity; perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasment, as language; a debased from the world. 20 17
Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutip dari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia. 18 Pockema Andreae, Rechtsgeleard Handwoordenboek Groningen-Djakarta; Bij .B. Walter Vitgeverremaatdchappij N.V. dalam Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hal. 4. 19 Ibid. 20 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Bank Dunis dan Lermbaga Internasional Transparansi menganut definisi klasik yang memandang korupsi sebagai “Penggunaan posisi seseorang di masyarakat untuk mendapat keuntungan pribadi secara tidak sah”. 21 Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diartikan sebagai tindak pidana korupsi adalah: Pertama: a. Barangsiapa dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut disangka olehnuya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugkan keuangan negara atau perekonomian negara. c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 419, 429, 423, 425, dan 435 KUHP. 21
Penyalahgunaan kekuasaan dan memperoleh keuntungan pribadi tersebut dapat terjhadi di bidang kekuasaan pemerintah mayupun swasta, dan seringkali terjadi kolusi antara individuindividu diantara keduanya, oleh karenanya Badan Informasi Internasional di Lebanon memakai istilah Korupsi adalah perilaku individu-individu swasta maupun pejabat pemerintah yang telah menyimpang dari tanggung jawab yang telah ditetapkan dengan menggunakan jabatan maupun kekuasaan mereka yang telah ditetapkan dengan menggunakan mengamankan keuntungan pribadi, (Lebanon Anti Corruption Intiative Report 1999) dalam Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi (Beberapa Catatan dari International Anti Corruption Conerence I – X dan Dokumen PBB tentang Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Pusat Study Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan, 2002), hal. 120.
Universitas Sumatera Utara
d. Barangsiapa member hadiah atau janji keapda pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekst pada jabatannya atau kedudukannya itu. Seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya. Kedua: Barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk tindak pidanatindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c , d, e. Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa: “Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) pengertian korupsi adalah: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. 3. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “Policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti”Wijsbeleid” ,menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat Dirumuskan sebagai suatu
Universitas Sumatera Utara
keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif, 22 David L,Sills Menyatakan bahwa Pengertian
Kebijakan
(Policy)
adalah
menyatakan
bahwa
pengertian
kebijakan(Policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan
atau
melaksanakan
sesuatu
yang
telah
direncanakan
atau
diprogramkan 23. Menurut Marc Ancel, pengertian Penal Policy (kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga
kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan 24
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis
22
.Sultan Zanti Arbi , Dan Wayan Ardana ,Rancangan Penelitian dan kebijakan sosial , (Jakarta CV.Rajawali ,1997), Hal 63, yang Terjemahan dari “the Design Of Social Policy” Tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood. 23 .Barda Nawawi Arif ,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan Pidana Penjara ,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1994),Hal 63. 24 ,Barda Nawawi Arif ,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung;PT.Citra Aditya Bakti,2002),Hal 23 .
Universitas Sumatera Utara
dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. 25 Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan metode penelitian hukum normatif. 26 Adapun tipe penelitian yang dilakukan, dari sudut bentuknya, merupakan penelitian preskriptif yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. 27 Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam peraturan Perundang-Undangan). 28 Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum, yaitu mengkaji peraturan Perundang-Undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan mengenai kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Jenis Data Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder 29 yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang di bidang tindak pidana korupsi beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1. 26 Ibid., hal. 13-14. 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hal. 10. 28 Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250. 29 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Op. cit, hal. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
karya dari ahli hukum di bidang pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. 30 Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti. 31
3. Alat Pengumpul Data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui studi dokumen atau bahan pustaka. 32 Studi dokumen atau bahan pustaka dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maupun mengakses data melalui internet. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan pustaka tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif.Menurut
30 31
Soerjono Soekanto, Op. cit, hal. 52. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 143, 163,
dan 164. 32
Soerjono Soekanto, Op. cit, hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
Cresswell 33Penelitian kualitatif adalah salah mengedepankan
pendekatan
untuk
satu jenis penelitian yang
membangun
pernyataan
pengetahuan
berdasarkan perspektif konstruktif (misalnya,makna-makna yang bersumber dari Pengalaman
individu,nilai-nilai
sosial
dan
sejarah,dengan
tujuan
untuk
membangun teori atau pola pendekatan tertentu.
G. Sistematika Penulisan BAB I
: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat
Penulisan,
Keaslian
Penulisan,
Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II
:
Bab ini akan dibahas tentang pengaturan hukum tentang kebijakan hukum korupsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang isinya memuat antara lain tentang perkembangan perundangundangan tindak pidana korupsi di Indonesia sebelum lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan perkembangan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia.
BAB III :
Bab ini akan membahas tentang faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di Badan Pertanahan Nasional, yang isinya antara lain memuat faktor penyebab tindak pidana secar umum dan faktor penyebab tindak pidana korupsi.
33
Cresswell,A.Qualitatife Approach ,Bhinneka,(Jakarta:2003),Hal24
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
:
Bab ini akan membahas kebijakan hukum pidana terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam upaya
pemberantasannya
yang
mendeskripsikan
kasus
beserta analisisnya BAB V
:
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara