BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Linguistik Diakronis1 yang menghasilkan pengelompokan bahasa secara genetik di Indonesia masih sangat kurang. Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, ada beberapa karya penting berkaitan dengan bahasa-bahasa di Kalimantan yang telah memberikan inspirasi dan motivasi untuk melakukan penelitian di bidang ini. Pengelompokan penduduk Kalimantan yang pertama berdasarkan evidensi (bukti) bahasa adalah pengelompokan Ray (1913). Dempwolff (1934-1938) dengan karya besarnya Proto Austronesia mengikutsertakan bahasa Banjar dan Dayak Ngaju sebagai bagian dari Proto Austronesia. Blust (1974) merekonstruksi bahasa-bahasa di Serawak.
Hudson (1967) membandingkan 16 bahasa
dengan menggunakan 350 kata. kelompok
keluarga
bahasa
Ke enam belas bahasa itu disebutnya
Barito2.
Rekonstruksi
Hudson
(1978)
berikutnya melibatkan sebelas “ïsolek” Dayak Darat dan tujuh belas isolek Dayak Melayu.
Adelaar (1989,1992) dan Dahl (1991) mengkaji tentang
hubungan bahasa Maanyan (Borneo tenggara) dengan Malagasi. Karya Hudson (1967) mengenai kelompok keluarga bahasa Barito tersebut di atas mendapat tempat khusus dalam penelitian ini karena berhubungan langsung dengan gagasan awal penelitian yang Penulis lakukan ini dengan judul Relasi Bahasa Bakumpai di Marabahan dengan Bahasa Bakumpai di Buntok dan Puruk Cahu. Selain itu karya penting lainnya yang bermanfaat bagi penelitian ini sebagai sumber data sekunder
2
adalah kamus bahasa Bakumpai yang disusun oleh Kawi (1985) dan Ibrahim,dkk. (1995). Bahasa Bakumpai adalah bahasa yang dituturkan oleh penduduk asli yang bermukim di kampung-kampung yang saling berjauhan letaknya dan tersebar di sepanjang daerah aliran sungai Barito yang meliputi wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah.
Walaupun kampung-kampung
ini dipisahkan oleh hutan rimba, rawa-rawa dan bukit, namun bahasa Bakumpai ini masih digunakan dan tidak terdapat kesulitan dalam kontak antarpenuturnya. Secara geografis di daerah aliran sungai Barito bahasa Bakumpai dapat dibedakan atas tiga isolek yaitu, isolek Bakumpai di Marabahan (selanjutnya disingkat BKM)
yang berada di daerah wilayah
Kalimantan Selatan dan isolek Bakumpai di Buntok (selanjutnya disingkat BKB) dan Puruk Cahu (selanjutnya disingkat BKP) di wilayah Kalimantan Tengah.
BKM
menjadi fokus perhatian utama dalam kajian ini karena
selama ini menyimpan masalah kebahasaan yang kontradiktif. Hal itu terlihat dari silang pendapat kalangan para ahli dalam memposisikan status BKM.
Seperti yang tercantum dalam peta bahasa
Wurm (1983) yang mengelompokkan BKM sebagai anggota subkelompok Melayu. Nampaknya hal ini lebih didasarkan pada kajian antropologis yang dilakukan Mallinckrodt3 (1928) dan Sellato4 (1980).
Pendapat ini sangat
berbeda dengan hasil pengamatan Hudson (1967) yang mengkaji ProtoBarito dan secara sekilas menyinggung isolek Bakumpai sebagai anggota kelompok Barito Barat (non-Melayu) tanpa melakukan penelitian
lebih
3
lanjut serta tanpa memperhitungkan wilayah geografis
isolek-isolek
Bakumpai yang ada. Pendapat yang pertama tidak dapat diterima karena kriterianya tidak tepat dijadikan sebagai dasar pengelompokan bahasa.
Dalam hal
pengelompokan bahasa, status Marabahan yang anakronis5 karena lebih ditinjau dari sudut antropologi harus dikembalikan terlebih dahulu agar dapat diamati dengan saksama berdasarkan tinjauan linguistik. Dalam hal ini
linguistik
diakronis,
yang
pada
hakikatnya
dalam
masalah
klasifikasi/penggolongan bahasa mempunyai kewenangan seperti yang lazim
dikaji
Fernandez
dalam (1996,
Linguistik lihat
juga
Historis
Komparatif
Lehman,1973:6;
seperti
pendapat
Bynon,1979:271-272;
Lyons,1982:129). Di sisi lain, orang Bakumpai di Marabahan merupakan salah satu kelompok minoritas dalam lingkungan mayoritas masyarakat Banjar yang menempati Provinsi Kalimantan Selatan. Orang Bakumpai di Marabahan ini dikenal juga dengan beberapa sebutan lain yaitu urang Marabahan dan urang awen6. Wilayah
Marabahan
dahulunya
dikenal
sebagai
daerah
pusat
perdagangan dan pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu Banjar karena letaknya yang sangat strategis berada tepat di muara sungai Barito yang bersimpangan dengan sungai Nagara (Ras,1968)7.
Orang Bakumpai
terkenal pula sebagai pedagang yang handal (Arman,1994). Oleh karena itu umumnya orang Bakumpai di Marabahan berperan sebagai pedagang
4
perantara antara pedagang Melayu Banjar dengan penduduk hulu Barito (orang Dayak) (Ibrahim, dkk.,1979). Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa kemungkinan tentang asal-usul orang Bakumpai di Marabahan. Pertama, orang Bakumpai di Marabahan adalah orang hulu yang ke hilir, kemudian belajar perdagangan dari orang Melayu Banjar dan menjadi handal serta menjadi pesaing bagi orang Melayu, selanjutnya menyebar luas kembali ke pedalaman menempati Buntok dan Puruk Cahu. Kedua, orang Bakumpai di Marabahan adalah orang Bakumpai yang memang sudah ada sejak awal di pesisir, karena kedatangan bahasa Melayu yang merupakan lingua franca dan mempengaruhi isolek Bakumpai, sehingga mereka menyingkir ke Buntok dan Puruk Cahu.
Ketiga, memudarnya
bahasa Dayak (Bakumpai) di pesisir karena dominasi bahasa Melayu yang datang kemudian. Dalam hal kedudukan dan peran daerah Marabahan ini menyebabkan orang Bakumpai di Marabahan sedikitnya sejak dua abad yang lalu telah menjalin hubungan sosial dengan masyarakat lain terutama sekali dengan Melayu Banjar.
Situasi semacam ini mengakibatkan orang Bakumpai di
Marabahan dapat menggunakan lebih dari satu bahasa (bilingualism). Dalam masyarakat bilingual sebagaimana masyarakat Bakumpai tersebut terjadi
pemindahan atau peminjaman unsur-unsur dari satu bahasa ke
bahasa yang lain (Weinreich,1979:30 ; Romaine 2000:51). Dalam peristiwa peminjaman
leksikon
menurut
Poedjosoedarmo
(2003:55-56)
dapat
berbentuk adopsi kata perkata atau bahkan mungkin seperangkat butir
5
leksikal dari bahasa yang lain merupakan fenomena umum dalam situasi kedwibahasaan (bilingualism). Dalam situasi kontak bahasa sebagaimana Bakumpai di Marabahan tersebut di atas, selain terjadi penggunaan lebih dari satu bahasa dan peristiwa peminjaman juga terdapat peristiwa language shift. Berkaitan dengan language shift itu pula Holmes (1995:57) menjelaskan terdapat kategorisasi bahasa yang masing-masing berperan sebagai bahasa tinggi dan bahasa rendah seperti bahasa Melayu Banjar dengan BKM. Pengaruh Melayu Banjar pada BKM sangat kuat terutama sekali dalam pemakaian bahasanya karena bahasa Melayu Banjar sebagai bahasa lingua franca digunakan dalam perdagangan8, sedangkan isolek Bakumpai di Marabahan hanya digunakan dalam lingkungan keluarga.
Dominasi
Melayu Banjar sebagai lingua franca ini juga mempengaruhi bahasa Sampit yang dapat dilihat dalam penelitian Penulis sebelumnya (2005). Sejak orang Bakumpai di Marabahan memeluk agama Islam, bahasa Melayu Banjar ini semakin intensif lagi digunakan sebagai salah satu identitas keislamannya dan sebagai sarana untuk menyejajarkan diri dengan orang Melayu Banjar (Ibrahim, dkk.1979)9.
Hal ini telah
berlangsung lama sehingga terjadi perubahan bahasa karena dominasi Melayu Banjar yang menyebabkan generasi berikutnya dalam pemakaian bahasanya memperlihatkan Melayu Banjar sebagai bahasa ibunya. Oleh karena itu, disebabkan
karena
kemungkinan status kemelayuan
penutur
isolek
Bakumpai
di
untuk BKM
Marabahan
sudah
6
memperlihatkan pengaruh-pengaruh bahasa Melayu yang signifikan di dalam bahasanya.
Meskipun pengaruh-pengaruh itu sangat dominan,
namun penentuan status kebahasaan harus mempertimbangkan masalah pinjaman atau serapan sebagai unsur yang komplimenter artinya walaupun pinjaman melayu itu sangat dominan akan tetapi BKM masih menyimpan unsur bahasa Dayak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1 : Data Evidensi Pengaruh Bahasa Melayu Banjar dan Pengelompokan Bahasa Bakumpai serta Unsur Kedayakan pada Ketiga Isoleknya. N
Glos
o.
Proto Melayu Polynesia
Proto Melayik
Marabahan (BKM)
Buntok (BKB)
Puruk Cahu (BKP)
Bahasa Dayak Ngaju (DNG)
Bahasa Melayu Banjar (Bjr)
1
ekor
*ikuR
*buntut
buntut
ikuh
ikuh
ikuh
buntut
2
tipis
*tipis
*nipis
nipis
tipis
tipis
tipis
nipis
3
tanya
insek
insek
insek
isek
takun
4
isap
*is∂p
*(h)isap
insep
insep
insep
isep
isap
5
babi
*babuy
*babi
babui
babui
babui
bawui
babi
6
bibir
*bibiR
*bibir
bibih
bibih
biwih
biwih
bibir
7
tiga
*t∂lu
*tiga
tilu
tilu
telu
telu
tiga
8
kami
*kami
*kami
ikih
ikih
ikih
ikei
kami
9
masuk *tama
*masuk
tame
tame
tame
tame
masuk
*tawa
tawe
tawe
tawe
tawe
tawa
10 tawa
*ta-tawa
Keterangan : -
Perwujudan leksikon Proto Melayu Polynesia dikutip dari Dempwolff (1934-1938) yang direvisi Dyen (1971) dan Blust (1978)
-
Perwujudan kosakata Bakumpai dikutip dari Syahrial, dkk (1979); Kawi (1985) dan Ngabut, dkk (1985)
-
Perwujudan kosakata Dayak Ngaju dikutip dari Dempwolff (19341938) ; Hudson (1967) dan Durasid (1990)
7
-
Perwujudan kosakata Proto-Melayu dan Banjar dikutip dari data Nothofer (1975) dan Kawi (2002) Dari data 1 dan 2 di atas BKM memperlihatkan pengaruh bahasa
Melayu Banjar yang signifikan karena bentuk leksikon buntut dan nipis tidak ditemukan dalam lingkungan kelompok isolek Bakumpai yang lain selain BKM.
Dalam kenyataannya bentuk buntut dan nipis hanya
direalisasikan oleh BKM dan Melayu Banjar. Data ini setidaknya memberi pertimbangan bahwa terjadi pengaruh atau proses peminjaman pada BKM karena bahasa Melayu Banjar pernah menjadi bahasa lingua franca. Bentuk buntut dan nipis merupakan unsur pewarisan dari Proto Melayu ke beberapa bahasa Melayu, sedangkan bentuk ikuh dan tipis merupakan leksikon yang berkembang dalam kelompok bahasa nonmelayu seperti Ngaju, Maanyan, Kenyah.
Hal ini seperti yang diuraikan dalam diagram
genetik-nya Kawi (2002) yang dikaji berdasarkan Proto Melayik-nya Adelaar (1985).
Selanjutnya, data 3, 4, 5, dan 8 menunjukkan inovasi kognitif
etimon Proto Melayu Polynesia (PMP) pada BKM, BKB dan BKP berupa epentesis nasal (data 3, 4 dan 5); retensi fonem /b/ (data 5). Hal ini membuktikan bahwa BKM merupakan anggota kelompok bahasa Bakumpai sama dengan dua isolek lainnya.
Adapun data 9 dan 10 mencerminkan
retensi etimon Proto Melayu Polynesia pada BKM dan dua isolek lainnya serta pada bahasa Dayak Ngaju. namun
dapat
dilihat
bahwa
memperlihatkan kedayakannya.
Walaupun data di atas tidak cukup,
BKM
dalam
data
terbatas
ini
masih
8
Berdasarkan
uraian
di
atas
(khususnya
data
1
dan
2)
tidak
mengherankan peta bahasa Wurm (1983) tentang BKM sebagai anggota subkelompok bahasa Melayu ini mendapatkan dukungan dari penelitian yang lebih kemudian, antara lain : Muhadjir (1997), Haenen dan Masinambow (2000) yang melihat BKM tanpa mempertimbangkan unsurunsur pinjaman yang dominan seperti uraian di atas. Namun demikian ada pula pendapat lain yang menjelaskan keeratan hubungan antara BKM dengan bahasa kelompok Dayak secara sinkronis yang berseberangan pula dengan pendapat Wurm di atas, seperti antara lain Ibrahim,dkk (1979) dan Kawi (1985). Hasil penelitiannya secara eksplisit menyatakan bahwa BKM merupakan anggota bahasa Dayak (lihat uraiannya dalam tinjauan pustaka). Penelitian
terdahulu
yang
berkaitan
dengan
bahasa
Bakumpai
umumnya hanya menggunakan satu tinjauan, yaitu hanya menguraikan hubungan kekerabatan bahasa dengan bahasa lainnya, atau hanya menguraikan hubungan kekerabatan dalam suatu bahasa. Namun, dalam penelitian ini akan dikaji BKM, BKB, dan BKP dan relasi antarisoleknya serta hubungannya dengan bahasa lain dalam subkelompok Barito. Selain itu, penelitian ini juga merekonstruksi prabahasa Bakumpai untuk memperoleh temuan linguistik sebagai evidensi yang diperlukan untuk menjelaskan perkembangan historis yang dialami isolek-isolek Bakumpai. Sesuai dengan uraian tersebut, maka keaslian penelitian ini tidak diragukan lagi.
9
1.2 Rumusan Masalah Penelitian Peta bahasa Wurm (1983) mengelompokkan isolek Bakumpai di Marabahan sebagai anggota subkelompok Melayu, sedangkan Hudson (1967) tanpa ada pembedaan wilayah geografis mengindikasikan isolekisolek Bakumpai di daerah aliran sungai Barito sebagai anggota kelompok Barito Barat (nonmelayu). Untuk memperoleh kejelasan status isolek-isolek Bakumpai tersebut, sebagai
tahap
awal
penelitian
ini
adalah
menetapkan
status
dan
menjelaskan relasi antarisolek Bakumpai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Setelah status isolek-isolek Bakumpai dari hasil analisis kuantitatif diperoleh, dibuatlah suatu pengelompokan isolek-isolek Bakumpai yang didukung oleh evidensi-evidensi kualitatif berupa penyatu dan pemisah kelompok. Selanjutnya, agar hubungan kekerabatan antarisolek Bakumpai semakin jelas perlu pula direkonstruksi bentuk purba (asal) dari isolekisolek Bakumpai.
Dengan diketahuinya bentuk purba isolek-isolek
Bakumpai akan diketahui pula daerah inovasi dan daerah konservatif serta daerah asal dan arah migrasi isolek-isolek Bakumpai. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana hubungan antarisolek Bakumpai tersebut beserta hubungannya dengan bahasa lain dalam rumpun Barito.
Dengan demikian, silsilah kekerabatan isolek-isolek
Bakumpai dapat teruraikan mulai dari hubungannya dengan bahasa lain
10
dalam kelompok Barito sampai kepada hubungan di antara isolekisoleknya. silsilah
Akhir dari penelitian ini adalah tersusunnya suatu bagan
kekerabatan
isolek
Bakumpai
mulai
dari
posisinya
dalam
subkelompok Barito sampai ke tataran dialek. Secara singkat permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah status isolek BKM, BKB, dan BKP ? 2. Bagaimanakah rekonstruksi bentuk prabahasa (asal) isolek BKM, BKB, dan BKP? 3. Mengapa bentuk prabahasa Bakumpai dapat menjelaskan hubungan keseasalan isolek-isolek Bakumpai dengan bentuk asalnya ? 4. Bagaimanakah hubungan antarisolek Bakumpai serta hubungannya dengan bahasa lain dalam subkelompok Barito? 1.3 Tujuan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian linguistik diakronis adalah kuantitatif dan kualitatif.
Sehubungan dengan itu dan dengan
memperhatikan pokok-pokok persoalan yang dikemukakan pada subbab 1.2 di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan status isolek BKM, BKB, dan BKP. 2. Mendeskripsikan bentuk prabahasa (asal) Bakumpai.
11
3. Menjelaskan kaitan bentuk prabahasa Bakumpai dengan keseasalan isolek-isolek Bakumpai. 4. Mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan antarisolek Bakumpai serta hubungannya dengan bahasa lain dalam subkelompok Barito? 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis hasil kajian ini bermanfaat sebagai referensi bagi kajian dialektologi dan linguistik historis komparatif untuk mengetahui status dan silsilah kekerabatan BKM, BKB, dan BKP. Selanjutnya, data-data kebahasaan dari penelitian ini bermanfaat pula untuk memverifikasi penelitian terdahulu tentang eksistensi Proto-Barito, sehingga dapat melengkapi entitas Proto-Barito yang lebih akurat atau terandalkan. Secara keharmonisan
praktis
penelitian
hubungan
ini
masyarakat
administratif maupun geografis.
bermanfaat yang
untuk
terpisah
oleh
membina wilayah
Bukti kekerabatan bahasa merupakan
bukti kesamaan asal-usul yang dapat mempererat rasa persatuan. Selain itu, dari penelitian ini dihasilkan diagram pohon silsilah dan peta bahasa Bakumpai. Secara umum, manfaat peta bahasa adalah sebagai berikut (Lauder,1993:3-5): (1) dari peta bahasa dapat dibuat peta bunyi sehingga dapat dilihat kaidah fonotaktik bahasa/dialek yang diteliti, (2) peta bahasa dapat lebih mempermudah rekonstruksi bahasa sehingga dapat
12
membantu bidang linguistik historis komparatif, (3) peta bahasa dapat melokalisasi konsep budaya tertentu sejauh konsep itu tercermin dalam kosakata, (4) peta bahasa sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan untuk membuat ramalan peta penyebaran wabah penyakit karena batas penyebaran epidemi pada umumnya sejalan dengan batas bahasa/dialek (epidemi mudah berjangkit pada orang-orang yang sering melakukan kontak). Dalam hal ini, WHO pernah memanfaatkan peta bahasa untuk memprediksi peta penyebaran wabah penyakit menular (Kisyani-Laksono,2004:5). Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat bagi instansi yang terkait, misalnya pemerintah daerah, penyusun kurikulum (sebagai bahan pertimbangan penyusunan muatan lokal). 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan dipahami bahwa komunitas orang Bakumpai menyebar dari sungai Barito, Marabahan, kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan), Buntok dan Puruk Cahu (Kalimantan Tengah) sampai ke Long Iram Mahakam (Kalimantan Timur), sebagian lagi berada di sungai Katingan tepatnya di Tumbang Samba, Kalimantan Tengah.
Dari sekian banyak daerah
Bakumpai tersebut hanya Marabahan, Buntok dan Puruk Cahu yang akan dijadikan sasaran dalam penelitian ini. beberapa
daerah
lainnya,
disebabkan
Mengenai tidak diambilnya daerah-daerah
Bakumpai
itu
13
berasal/pindah dari salah satu daerah yang telah dijadikan sasaran penelitian. Penelitian ini akan bertolak dari kajian diakronis yang mengkaji bahasa Bakumpai
dan
dialek–dialeknya
dengan
memanfaatkan
teknik
leksikostatistik untuk menyusun garis silsilah kekerabatan dan menjadi hipotesis kerja bagi rekonstruksi internal dalam rangka menetapkan prabahasa Bakumpai.
Tataran kebahasaan yang dianalisis terutama
tataran fonologi dan leksikon serta sebagian morfologinya yang dapat ditetapkan kaidah-kaidah perubahannya.
Penekanan pada kedua bidang
ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Chambers dan Trudgill (1980:46) bahwa
bidang
fonologi
dan
leksikon
cukup
menentukan
dalam
pengelompokan perbedaan bahasa. Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa perbedaan unsur kebahasaan dalam Bahasa Bakumpai modern lebih banyak ditemukan dalam bidang fonologi dan leksikon dibandingkan dengan tataran kebahasaan lainnya.
Selain itu, kajian diakronis akan
mengklarifikasi daerah asal dan daerah sebaran bahasa Bakumpai berdasarkan evidensi kebahasaan.
Kaidah-kaidah perubahan fonologis
juga mendapat perhatian dalam kajian kualitatif yang memanfaatkan rekonstruksi deduktif Proto Barito karya Hudson. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan Proto Melayu Polynesia karya Dempwolff (1934-1938). Kajian
tersebut
dimaksudkan
untuk
mengamati
hubungan
Bakumpai dengan bahasa-bahasa anggota Proto-Barito lainnya.
bahasa
14
1.6 Tinjauan Pustaka Kajian terhadap BKM, BKB dan BKP secara diakronis dilakukan karena kajian tentang hubungan bahasa-bahasa berkerabat di Kalimantan Selatan dan Tengah belum dilakukan dengan baik, terutama hubungan antara bahasa Dayak kelompok Barito. Hal itu dapat dilihat dalam kajian Cense dan Uhlenbeck (1958) berjudul Critical Survey of Studies on the Languages of Borneo, sama sekali tidak menyebut bahasa Bakumpai. Memang banyak dijelaskan mengenai bahasa Dayak Ngaju, baik mengenai studi strukturnya maupun daftar pustaka yang ada yang kebanyakan hasil karya sebelum Perang Dunia II, namun mengenai bahasa Bakumpai tidak disinggung-singgung. Dalam klasifikasi etnis, seperti yang dikemukakan oleh Mallinckrodt (via Hudson,1967:4), kelompok penutur Bakumpai dimasukkan ke dalam kelompok Melayu berdasarkan agama yang mereka anut. “strictly speaking, this tribe which consists of devout moslems does not belong here. However, by descent they do” (Hudson,1967:4). Pendapat dari Sellato (1980) tidak berbeda dengan Mallinckrodt, yang mencampur adukan antropologi dan linguistik yaitu menyoroti hubungan antara etnik dengan agama dan sekaligus dikaitkan dengan bahasa. Jadi, sub etnik Marabahan dilihat sebagai orang yang beragama Islam dan berbahasa Melayu. Pendapat Mallinckrodt dan Sellato itu kemudian diterima secara utuh oleh Wurm (1983) tanpa pertimbangan yang memadai.
Hal ini terlihat
15
dalam peta bahasanya, karena isolek-isolek Bakumpai yang berada di wilayah Kalimantan Tengah yakni Buntok dan Puruk Cahu bersama dengan bahasa
Katingan,
dan
Kahayan
dikelompokkan
sebagai
anggota
subkelompok Barito Barat dalam kelompok keluarga bahasa Ngaju atau Barito.
Adapun isolek Bakumpai di Marabahan digolongkan sebagai
anggota subkelompok Melayu. Pendapat Wurm ini mendapat dukungan pula dari penelitian yang lebih kemudian yaitu dari Muhadjir (1997) dan dari Haenen dan Masinambow (2000) yang menjelaskan hal yang sama, tanpa pertimbangan kritis. Hal ini tampak
dalam
membedakan
karya
baik
unsur-unsur
Muhadjir serapan
maupun dan
Haenen
unsur-unsur
yang asli
tidak ketika
membicarakan isolek Bakumpai di Marabahan. Adapun berdasarkan sejarah, masalah kontak bahasa isolek Bakumpai dengan
etnis/suku lain
ini telah dijelaskan oleh Ras (1968) yang
menginformasikan Marabahan sebagai bekas daerah pelabuhan dan pusat perdagangan, maka paling sedikit sejak lebih dari dua abad yang lalu orang Bakumpai Marabahan telah menjalin hubungan yang erat dengan berbagai etnis lain di Nusantara terutama sekali dengan orang Melayu Banjar karena termasuk daerah kawasan kerajaan Melayu Banjar. Hudson (1967:11) membuat suatu klasifikasi skematis tentang bahasabahasa kelompok Barito dengan memasukkan isolek Bakumpai bersama 5 (lima) bahasa lainnya, yaitu Kapuas, Baamang, Katingan, Kahayan, Mengkatip ke dalam satu subkelompok yang dinamakan Southwest Barito
16
tanpa
sama
Tampaknya
sekali
menyinggung
Hudson
menghindari
isolek
Bakumpai
persoalan
di
Marabahan.
pengelompokan
isolek
Bakumpai Marabahan yang oleh para sarjana lain digolongkan sebagai anggota subkelompok Melayu. Adapun tanda-tanda kedekatan antara isolek Bakumpai di Marabahan dengan kelompok bahasa Dayak dapat dilihat berdasarkan beberapa hasil kajian berikut ini. Dari sudut mitologi ada kedekatan cerita rakyat yang ada dalam masyarakat Marabahan dan Dayak di Barito lainnya yang memandang Patih Bahandang Balau “Patih Berambut Merah” sebagai leluhur bersama (Riwut,2003). Cerita ini dapat memperjelas hubungan antara Marabahan dengan kelompok Dayak kolektif lainnya. Karya Budhi (2005) menegaskan pula tentang hubungan etnik Bakumpai di Marabahan dengan Dayak.
Masih dipeliharanya tradisi
leluhur berupa upacara ritual Badewa dan Manyanggar Lebo10 dengan menggunakan bahasa ritual yang sama untuk menjalin hubungan dengan para leluhur mereka merupakan bukti silang lain dari sudut budaya. Budaya
Bakumpai
di
Marabahan
yang
peduli
terhadap
tradisi
ini
mengukuhkan pertalian antarbahasa dan budaya Bakumpai di Marabahan yang terintegrasi dengan budaya Dayak. Bukti sejarah yang mengukuhkan pula kedekatan hubungan antara bahasa dan budaya Dayak dengan isolek Bakumpai di Marabahan
17
diperlihatkan melalui Batu Bertulis atau Batu Antik Lada11 di desa Saripoi, kecamatan Sumber Barito Kalimantan Tengah, yang menggambarkan kisah suci pohon kehidupan Batang Garing dan Betang (rumah panggung)12, seperti diulas dalam karya Budhi (2005). Hal itu didukung pula oleh hasil kajian Budhi (dalam Badil,2005) dalam tim gabungan ekspedisi “Menjejak Benteng Akhir Budaya Dayak”, dihasilkan bahwa bahasa Bakumpai di Marabahan masih serumpun dengan etnis Dayak lainnya yang menyebar hingga ke hulu sungai Barito melewati Batu Ayau13 yang ada kaitannya dengan budaya ayau atau mengayau14, memenggal kepala manusia (Http://www.kompas.com, on line 09 Juli).
Selain itu suku bangsa Bakumpai merupakan suku bangsa
kelompok dengan keahlian utama berdagang di daerah sungai, yang hidup menyebar
dari
(Arman,1994).
Marabahan
sampai
ke
daerah
hulu
sungai
Barito
Sekilas penjelasan Arman menuntun pada dugaan yang
masih harus dikaji melalui penelitian ini mengenai daerah relik, asal, dan daerah sebaran bahasa Bakumpai yang biasanya dalam kajian linguistik diakronis cenderung mendapat perhatian para linguis. Selanjutnya, berdasarkan kajian antropologis terhadap suku Dayak di Kalimantan, Riwut (1979; 1984; dan 2003) juga menyatakan bahwa isolek Bakumpai15 sebagai anggota kelompok bahasa Dayak digunakan oleh suku Dayak Bakumpai yang wilayah pemakaian bahasanya sebagian besar berada di sepanjang daerah aliran sungai Barito yang meliputi Kalimantan Tengah
dan
Selatan.
Walaupun
tanpa
menyebutkan
isolek-isolek
18
Bakumpai yang ada, namun secara tersurat Riwut sudah beranggapan bahwa isolek Bakumpai yang berada di seluruh daerah pemakaian yang ada merupakan anggota kelompok Dayak. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu isyarat asumsi kedekatan isolek Bakumpai di Marabahan dan Dayak. Sejauh ini memang telah ada beberapa penelitian dalam bidang dialek geografis yang mengambil objek isolek Bakumpai di Kalimantan Tengah, yaitu : (a) dilakukan oleh Ngabut,dkk (1985) dengan judul: Dialek Bahasa Daerah Di Kabupaten Barito Selatan, dan (b) dilakukan oleh Andianto (1990) dengan judul: Pemetaan Bahasa Daerah Di Kalimantan Tengah. Kedua penelitian tersebut didukung oleh Pusat Bahasa. Penelitian Ngabut,dkk (1985) pada dasarnya merupakan penelitian dialektologi pada bahasa-bahasa yang ada di Kabupaten Barito Selatan. Salah satu objek yang dikaji adalah isolek Bakumpai di Buntok.
Ada
beberapa catatan yang dapat dikemukakan mengenai isolek Bakumpai di Buntok sehubungan dengan hasil penelitian itu, sebagai berikut. a. Penelitian ini masih belum dapat memberikan gambaran yang jelas tentang isolek Bakumpai di Buntok, karena analisis yang kurang cermat.
Berdasarkan perhitungan dialektometri yang
dilakukan, isolek Bakumpai di Buntok ini dianggap memiliki hubungan subdialek dengan bahasa Ngaju.
Demikian pula,
penyatuan kelompok Bakumpai dan Dayak Ngaju dengan masingmasing
dialeknya
merupakan
dialek-dialek
berdiri
Pernyataan tersebut bahkan semakin membingungkan.
sendiri.
19
b. Penyatuan kelompok keduanya dalam satu kelompok seperti yang dilakukan Ngabut, dkk (1985) tersebut disebabkan oleh kurang representatifnya data yang digunakan. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa data yang digunakan kurang representatif karena ketika peneliti mewawancarai informan, unsur-unsur leksikal yang ditanyakan itu tidak disertai dengan konteksnya. Sebagai contoh, untuk makna „daging‟ oleh penutur bahasa Ngaju dan isolek Bakumpai di Buntok direalisasikan dengan bentuk /isi/ (Ngabut dkk., 1985). Jika makna „daging‟ yang ditanyakan itu adalah „daging buah‟,
maka penutur bahasa Dayak Ngaju
akan menjawab dengan bentuk /lunek/ ; sedangkan bentuk /isi/ digunakan untuk bentuk netral untuk makna daging baik untuk buah ataupun manusia. c. Hal lain yang cukup menarik dikemukakan sehubungan dengan penelitian dialek geografis yang dilakukan Ngabut dkk. (1985) tersebut, meskipun kajiannya berwawasan sinkronis, namun penelitian ini mengisyaratkan bahwa isolek Bakumpai di Buntok merupakan isolek yang memiliki daerah pemakaian yang cukup luas di Buntok. Daerah pemakaian isolek Bakumpai di Buntok yang sudah ditetapkan oleh Ngabut dkk. ini dapat dijadikan sebagai dasar penentuan salah satu daerah penelitian di Buntok. Kemudian, penelitian dialektologi yang dilakukan oleh Andianto (1990) yang menggunakan tinjauan tipologi sinkronis, menginformasikan bahwa
20
secara umum penelitian ini hanya sampai pada identifikasi jumlah bahasa dan
pemetaan
lokasi
pemakaian
bahasa
di
Kalimantan
Tengah.
Menurutnya Bakumpai merupakan salah satu bahasa dari 26 bahasa di Kalimantan Tengah.
Bahasa Bakumpai dalam penelitian Andianto ini
merupakan dialek-dialek bahasa Bakumpai yang ada di Buntok dan Puruk Cahu, yang di dalam disertasi ini dibahas selain bahasa Bakumpai di Marabahan.
Walaupun Andianto telah berhasil mengidentifikasi bahasa-
bahasa daerah dan lokasi pemakaiannya di Kalimantan Tengah, sejauh ini tidak dijelaskan bahasa yang digunakan sebagai linguafranca antarpenutur bahasa sebagai media komunikasi. Selanjutnya,
penelitian
Poerwadi,dkk
(1992/1993)
yang
berjudul
Perbandingan Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, yang memanfaatkan metode leksikostatistik sebagai tekniknya membuat kesimpulan berkaitan dengan pengelompokan bahasa dan dialek di Kalimantan Tengah, yang di antaranya menjelaskan bahwa ada daerah bahasa Bakumpai di Buntok dan Puruk Cahu. Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan hasil penelitian Poerwadi,dkk (1992/1993), yaitu sebagai berikut. a. Penelitian ini belum dapat memberikan gambaran tentang bahasa Bakumpai dengan daerah-daerahnya secara memadai. sudah
didukung
persoalan
oleh
hubungan
hasil antara
penghitungan bahasa
Walaupun
kuantitatif,
Bakumpai
dan
namun daerah-
daerahnya, serta hubungan daerah-daerah itu dengan bahasa induk (prabahasanya)
belum
dapat
terungkapkan
karena
belum
21
dilakukannya penelusuran berdasarkan bukti kualitatif dengan metode
rekonstruksi
yang
merupakan
upaya
penemuan
bukti
penguat pengelompokan bahasa yang diperbandingkan. b. Kekeliruan terjadi dalam kesimpulan perhitungan leksikostatistik pada bahasa-bahasa yang diteliti oleh Poerwadi,dkk (1992/1993) menganggap bahwa hasil perhitungan leksikostatistik 80% sebagai berbeda dialek, padahal 81% ke atas-lah isolek-isolek itu dianggap sebagai dialek yang berbeda dari bahasa yang sama (periksa Crowley,1992:170). c. Tidak dilampirkannya daftar kosakata bahasa-bahasa/dialek-dialek yang
diteliti,
dapat
mempersulit
pembaca
untuk
melakukan
pengecekan ulang terhadap hasil-hasil perhitungan yang dipaparkan Poerwadi dkk. (1992/1993). d. Berdasarkan penghitungan kuantitatif yang dirumuskan dalam diagram pohon kekerabatan bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, Poerwadi dkk. (1992/1993) cukup berhasil menghipotesiskan bahwa adanya sebuah protobahasa yang menurunkan Bahasa Ngaju modern yang disebutnya proto-Mentaya-Bakumpai-Ngaju. Ihwal penyebutan proto-Mentaya-Bakumpai-Ngaju
sebenarnya
bertentangan
dengan
hasil penelitian itu sendiri, karena antara isolek Mentaya, Bakumpai dan Ngaju terdapat hubungan yang bersifat dialek dari bahasa yang sama, dengan persentase persamaan 82%.
22
Kenyataan di atas, menunjukkan bahwa baik penelitian dialek geografis maupun pengelompokan bahasa berdasarkan penghitungan leksikostatistik belum sepenuhnya dapat menjelaskan ihwal bahasa Bakumpai beserta dialek-dialeknya di Kalimantan Tengah secara memadai. Adapun penelitian Ibrahim, dkk (1979) tentang Bahasa Bakumpai mencakup aspek sinkronis yang meliputi sistem fonologi, morfologi dan sintaksisnya dengan mengambil objek pengamatan daerah berpenutur bahasa
Bakumpai
yang
ada
di
Marabahan
Kecamatan
Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan.
Bakumpai
Berdasarkan
penelitian Ibrahim, dkk (1979) Kawi (1985) menyusun Kamus BakumpaiIndonesia. Selanjutnya, Ibrahim, dkk (1995) telah berhasil pula menyusun Kamus Bahasa Indonesia-Bakumpai.
Dalam hasil penelitian secara
sinkronis baik Ibrahim,dkk maupun Kawi menganggap bahwa bahasa Bakumpai di Marabahan merupakan dialek bahasa Bakumpai yang menjadi anggota kelompok bahasa Dayak.
Laporan penelitian ini bermanfaat
sebagai sumbangan data sekunder. Penelitian Suryadikara,dkk (1981:14) yang berjudul Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, pada dasarnya merupakan penelitian dialektologi yang disasarkan pada bahasa Banjar Hulu, namun ada disebutkan bahwa bahasa Bakumpai yang digunakan oleh penuturnya di Provinsi Kalimantan Selatan tepatnya berada di Kabupaten Barito Kuala dengan ibukotanya Marabahan, adalah salah satu dialek bahasa Ngaju.
23
Pada tahun yang sama, lebih jauh dalam penelitiannya Hapip (1981:10) menyebutkan Kabupaten Barito Kuala
yang terdiri dari 11 (sebelas)
kecamatan yaitu kecamatan Bakumpai, Cerbon, Rantau Badauh, Belewang, Anjir Muara, Anjir Pasar, Alalak, Mandastana, Tabunganen, Tamban dan Kuripan merupakan kabupaten yang unik karena merupakan wilayah penutur bahasa Bakumpai, bahkan merupakan inti wilayah bahasa Bakumpai di Kalimantan Selatan. sumbangan
yang
sangat
berarti
Hasil penelitian ini merupakan bagi
penentuan
salah
satu
titik
pengamatan bahasa Bakumpai di Marabahan. Kawi (2002:73) berdasarkan kombinasi hasil penghitungan antara berkas isoglos dan penghitungan dialektometri di Provinsi Kalimantan Selatan memperkirakan terdapat 5 (lima) kelompok bahasa, adapun bahasa Bakumpai sebagai salah satu bahasa yang digunakan oleh penuturnya di bagian barat daya Provinsi Kalimantan Selatan berbeda dengan bahasa Banjar. Penelitian ini menyiratkan bahwa isolek Bakumpai di Marabahan adalah bukan anggota subkelompok Melayu. Yayuk, dkk (2005:4) dalam penelitiannya yang berjudul Mantra Banjar, menyinggung sedikit tentang Bakumpai di Marabahan.
Dikatakannya
bahwa Bakumpai adalah salah satu etnis besar yang ada di Kalimantan Selatan, selain Melayu, Ngaju, Maanyan, Bukit, Dusun Denyah, Abal dan Lawangan, Bajau, dan Bugis. Walaupun dalam pernyataan yang disebutkan oleh Yayuk dkk. ini tidak menyinggung isolek Bakumpai yang ada, namun hal ini memberikan isyarat bahwa Bakumpai adalah bahasa yang mandiri.
24
Penelitian Baduani (2005) yang berjudul “Bahasa Bakumpai : Struktur dan Identitas” tidak menyebutkan secara jelas lokasi objek penelitian. Satu hal yang menarik adalah dijelaskan seluruh lokasi penutur
isolek
Bakumpai baik yang berada di Kalimantan Tengah dan Selatan beserta jumlah penuturnya. Diperkirakan penutur isolek Bakumpai yang menyebar di perkampungan sepanjang daerah aliran sungai Barito yang termasuk wilayah Kalimantan Tengah berjumlah ± 100.000 jiwa yang meliputi daerah-daerah isolek Bakumpai di kabupaten Barito Selatan dengan ibukotanya Buntok, kabupaten Barito Utara ibukotanya Muara Teweh, dan ditambah dengan kabupaten Murung Raya di Puruk Cahu. Adapun jumlah penutur isolek Bakumpai yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan tidak disebutkan dengan jelas hanya diperkirakan 90% dari jumlah penduduk ± 11.762 jiwa di tiga kecamatan yaitu kecamatan Bakumpai, Kuripan dan Tabukan Kabupaten Barito Kuala. Penelitian terakhir yang berkaitan dengan bahasa Bakumpai dilakukan Tim Pusat Bahasa (2008) yang memanfaatkan metode dialektometri sebagai tekniknya.
Hasil persentase penghitungan dialektometri antara bahasa
Bakumpai yang terdapat di Desa Batik Kecamatan Bakumpai Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan dengan bahasa Bakumpai yang terdapat di Desa Rangga Ilung dan Desa Kalanis Kecamatan Dusun Hilir Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah sebesar 24,43% (beda wicara). Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Bakumpai yang terdapat kedua provinsi tersebut merupakan bahasa yang sama.
25
Penelitian ini belum dapat memberikan gambaran tentang bahasa Bakumpai dengan daerah-daerahnya secara memadai.
Walaupun sudah
didukung oleh hasil penghitungan kuantitatif, namun persoalan hubungan antara isolek Bakumpai dan daerah-daerahnya, serta hubungan daerahdaerah
itu
dengan
bahasa
induk
(prabahasanya)
belum
dapat
terungkapkan karena belum dilakukannya penelusuran berdasarkan bukti kualitatif dengan metode rekonstruksi yang merupakan upaya penemuan bukti penguat pengelompokan bahasa yang diperbandingkan. Dengan demikian, berdasarkan tinjauan pustaka di atas, jika dilihat dari sudut wilayah, pemakaian isolek Bakumpai lebih banyak dipergunakan di sepanjang perkampungan sungai Barito Kalimantan Tengah daripada wilayah pemakaian isolek Bakumpai di daerah Marabahan Provinsi Kalimantan Selatan.
Di samping itu pula, walaupun jarak dari suatu
perkampungan ke kampung lain di kedua wilayah bisa dilewati dengan transportasi darat namun jika musim hujan maka transportasi hanya dapat dijalani lewat perairan sungai. Oleh karena keadaan wilayah yang cukup luas dan tipe geografi yang berbeda-beda serta rintangan alam mendorong tumbuhnya
daerah-daerah
dan
isolek
Bakumpai
dengan
berbagai
variasinya sesuai dengan pengaruh dari lingkungannya tersebut. Penelitian “Relasi Bahasa Bakumpai Di Marabahan Dengan Bahasa Bakumpai di Buntok Dan Puruk Cahu” ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu.
Dalam penelitian ini diuraikan silsilah
bahasa Bakumpai mulai dari dialek hingga pada posisi bahasa Bakumpai
26
dalam kelompok Barito. Selain itu, khusus untuk bahasa Bakumpai belum ada kajian spesifik yang menerapkan tinjauan linguistik historis komparatif secara
komprehensif
memadukan
dua
pendekatan
kuantitatif
dan
kualitatif. 1.7 Kerangka Teori Penelitian ini merupakan kajian linguistik historis komparatif terhadap persoalan relasi diakronis BKM,BKB, dan BKP, yang dapat dibuktikan melalui
analisis
unsur-unsur
warisan
dari
prabahasa
pada
lokasi
persebaran bahasa Bakumpai (Fernandez,1996; Hock,1988). Oleh sebab itu, sebagai bagian awal perlu dibahas pengertian linguistik historis komparatif sebagai landas tumpunya. Pembahasan kerangka teori selanjutnya akan berkaitan dengan hal-hal yang terdapat dalam rumusan masalah. 1.7.1 Linguistik Historis Komparatif Linguistik historis komparatif adalah cabang dari linguistik (teoretis) yang menyelidiki perkembangan bahasa/dialek dari suatu masa ke masa yang lain, serta menyelidiki perbandingan suatu bahasa/dialek dengan bahasa/dialek lain (Mahsun, 2014:60; Kridalaksana,2009; Keraf,1991). Linguistik historis komparatif
merupakan subbidang linguistik yang
mengkaji variasi bahasa dengan tujuan pengelompokan varian-varian itu dan menemukan relasi historis antarvarian yang terdapat dalam kelompokkelompok tersebut (Kiparsky,2015). Dengan demikian, subbidang linguistik inilah yang dikategorikan sebagai kajian linguistik yang bersifat diakronis atau disebut pula linguistik diakronis.
27
Ada dua pandangan pokok yang dipedomani dalam linguistik diakronis dalam menjalankan kerja akademisnya, yaitu pandangan yang terkait dengan asumsi yang dibangun hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan
(Jeffers
dan
Lehiste,1979:17;
Hock,1988).
Hipotesis
keterhubungan berasumsi bahwa bahasa-bahasa/dialek-dialek itu, pada dasarnya, berhubungan satu sama lain karena semua bahasa/dialek yang ada berasal dari satu bahasa induk (protobahasa atau prabahasa).
Oleh
karena berasal dari satu bahasa induk, maka kerja perbandingan haruslah ditujukan pada upaya menjelaskan adanya persamaan antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang berbeda tersebut.
Selain itu, karena
berasal dari satu bahasa induk, maka pada bahasa-bahasa atau dialekdialek turunan akan dijumpai unsur-unsur pewarisan bahasa purba (bentuk relik, baik berupa retensi maupun bentuk inovasi fonologis). Unsur-unsur pewarisan itu memiliki ciri kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu kemiripan bentuk yang diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata.
Kata-kata yang memiliki
kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna ini biasa disebut kosakata seasal (cognate set).
Kata-kata ini bukan sebagai pinjaman, bukan juga
sebagai kebetulan atau kecendrungan semesta, melainkan sebagai warisan dari bahasa awal yang sama (Durasid,1990:16). Adapun hipotesis keteraturan, dimaksudkan bahwa rekonstruksi bahasa induk dengan mudah dilakukan karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bahasa yang bersifat teratur.
Diasumsikan bahwa
28
setiap (bentuk) bunyi dari suatu bahasa atau dialek akan berubah dengan cara yang sama pada tiap keadaan dan kejadian yang sama.
Meskipun
harus dicatat bahwa perubahan tidak selamanya berlangsung secara teratur, ada unsur-unsur kebahasaan (leksikon) tertentu yang berubah secara sporadis, karena setiap kata dalam bahasa atau dialek memiliki sejarah sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, melalui asumsi ini para ahli
komparatif berupaya mengkaji kata-kata yang mempunyai arti yang sama dari berbagai bahasa atau dialek yang diperkirakan berasal dari satu induk bahasa dengan harapan dapat menemukan hubungan bunyi untuk dilakukan rekonstruksi bahasa purbanya. Arah perubahan bunyi dalam bahasa tidak dapat diramalkan. tetapi ini tidak berarti perubahan tidak terkendali.
Akan
Kendalinya adalah
bahwa akhirnya hasil perubahan itu harus mampu menjadi sarana penyampai ujaran secara efisien dan mudah dikelola. Hal ini terkait dengan kaidah
perubahan
bahasa
seperti
dikemukakan
dalam
karya
Poedjosoedarmo (2006:8). Berlandaskan pada dua asumsi keterhubungan dan keteraturan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka bahasa-bahasa di dunia ini (termasuk dialek-dialek dari bahasa itu) di samping dapat dikelompokkelompokan ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda, juga dapat pula diperlihatkan keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok lain pada tataran yang lebih tua sejarahnya, karena pada bahasa-bahasa/dialekdialek itu masih dapat ditelusuri adanya evidensi pewarisan bahasa purba.
29
Kenyataan di atas selain memungkinkan untuk dilakukan pengelompokan populasi
manusia
penutur
bahasa
(dialek)
juga
dapat
dilakukan
penelusuran keterhubungan satu dengan lainnya dalam mata rantai persebaran populasi etnis/subetnis. 1.7.2 Perbedaan Unsur Kebahasaan Deskripsi perbedaan unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik (Keraf,1991:23). Dalam penelitian ini deskripsi perbedaan unsur kebahasaan lebih difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon mengingat dua perbedaan ini yang paling penting dibahas dalam
melihat
hubungan
kekerabatan
di
antara
isolek-isolek
yang
dibandingkan. Dalam kajian linguistik komparatif pada prinsipnya analisis tataran fonologi dan leksikal
dapat dilakukan tanpa mengacu pada tataran lain
(morfologi dan sintaksis). Seperti diungkapkan Dyen (1978:35) dan Bynon (1979:25) telaah tataran fonologi dan penemuan kaidah korespondensi fonem dapat ditetapkan jika tersedia data yang memadai. Konsep-konsep kajian linguistik diakronis serupa itu telah ditekankan ulang oleh Hock (1988:573) bahwa perubahan pada tataran fonologis dan leksikal yang lazim digunakan dalam kajian komparatif yang bermanfaat untuk menetapkan hubungan prabahasa.
antardialek,
yang
memungkinkan
direkonstruksi
suatu
30
Perbedaan fonologi menyangkut perbedaan bunyi yang dapat muncul secara teratur disebut sebagai korespondensi dan dapat pula muncul secara sporadis disebut sebagai variasi (Mahsun,1994:27).
Namun
demikian, ada kalanya perubahan fonologis yang dikategorikan sebagai perubahan yang muncul secara tidak teratur di atas, kadang-kadang dalam bahasa tertentu muncul sebagai perubahan teratur (Hock,1988:111-112; Mahsun,1994:9). Perubahan
bunyi
yang
muncul
secara
korespondensi bunyi (Mahsun,1995:30).
teratur
disebut
sebagai
Korespondensi bunyi terjadi
dalam beberapa tingkatan yaitu : 1) korespondensi sangat sempurna maksudnya adalah jika perubahan bunyi itu terjadi pada semua data yang disyarati secara linguistik dan daerah sebaran secara geografisnya sama; 2) korespondensi sempurna, jika perubahan bunyi itu berlaku pada semua contoh yang disyarati secara linguistis, namun beberapa data memperlihatkan daerah sebaran geografisnya tidak sama; 3) korespondensi kurang sempurna, jika perubahan bunyi itu tidak terjadi pada semua bentuk yang disyarati secara linguistis, namun sekurang-kurangnya terdapat dua data yang memiliki sebaran geografis yang sama. Berdasarkan uraian di atas ada dua hal yang patut diperhatikan dalam penentuan status kekorespondensian suatu kaidah, yaitu :
31
1) mengetahui kaidah-kaidah perubahan yang terjadi di antara daerah-daerah pengamatan 2) mengetahui sebaran geografis kaidah-kaidah perubahan bunyi tersebut. Adapun perubahan bunyi yang berupa variasi dapat berupa bermacammacam perbedaan bunyi yang muncul pada satu atau dua kosakata saja. Perbedaan yang berupa variasi menurut Jeffers dan Lehiste (1979: 64-67) dapat
berupa
:
paduan
(monophthongization),
(merger),
diftongisasi
pisahan
(split),
(diphthongization),
monoftongisasi delisi
(deletion),
penambahan, penanggalan parsial, asimilasi, disimilasi, dan metatesis (bandingkan
Poedjosoedarmo,
Crowley,1987:26-47;
tanpa
Hock,1988:62-117;
tahun;
Keraf,1984:79-83;
Lehman,1973:153-168
dalam
Mahsun,1994:29 dan Schendl,2003:45-53). Selain itu, adakalanya pada perubahan fonologis yang diperlukan untuk kejelasan lambang akan muncul perpanjangan demi perimbangan (compensatory
lengthening)
(Poedjosoedarmo,1998:5).
Dalam
kajian
linguistik diakronis compensatory lengthening ini merupakan suatu jenis perubahan sporadis yang terjadi ketika menghilangnya sebuah fonem baik konsonan ataupun vokal menyebabkan vokal atau konsonan yang berada di dekatnya
mengalami
perpanjangan
Keraf,1984:86 ; Poedjosoedarmo,2003:58).
(Collins,1978
periksa
pula
32
Pemicu lain selain yang telah disebutkan di atas terjadinya perubahan bahasa adalah faktor migrasi (Keraf,1984:173). Perpisahan penutur suatu bahasa dengan jarak yang cukup jauh mengakibatkan semakin besarnya perbedaan-perbedaan tersebut
dan
yang
memberikan
terjadi
dalam
peluang
kelompok
munculnya
penutur
bahasa
bahasa/dialek
baru.
Walaupun demikian, unsur-unsur asli bahasanya masih dapat ditelusuri melalui penelususran hubungan kekerabatan dan kesejarahan bahasabahasa tersebut. 1.7.3 Protobahasa atau Bahasa Purba atau Prabahasa Hubungan melalui
kekerabatan
unsur-unsur
antarbahasa
warisan
dari
sekerabat
bahasa
sebagaimana dijelaskan Fernandez (1996:21).
asal
dapat dibuktikan atau
protobahasa
Secara teoritis, protobahasa
adalah rakitan teoretis yang dirancang bangun kembali dengan cara merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki hubungan kesejarahan, melalui kaidah-kaidah yang sederhana (Bynon,1979:71). merupakan
rakitan
yang
teoretis-hipotesis
dan
Protobahasa
merupakan
suatu
„bangunan bahasa‟ yang diasumsikan pernah hadir. Rakitan ini diterima sebagai prototipe bahasa seasal (Haas,1966:14). Protobahasa ini walaupun hanya diterima sebagai rakitan, namun protobahasa ini merupakan fakta hubungan
keseasalan.
Melalui
protobahasa
pula,
perubahan
dan
penelusuran unsur-unsur dan sistem bahasa yang hidup pada masa kini dapat ditelusuri dan dijelaskan secara sistematis (Mbete,1990:14).
33
Adapun istilah bahasa purba menurut Rohaedi (2007) lebih tepat dianggap sebagai bahasa duga atau bahasa yang pada bahasa lampau diduga bentuknya memang demikian. “Bahasa purba hampir tidak pernah digunakan. Bahasa purba lebih sesuai disebut sebagai bahasa duga, yaitu bahasa yang wujudnya pada masa lampau diduga memang demikian.” (2007:100). Blust (1988) mengemukakan bahwa dalam tradisi linguistik historis komparatif, bahasa purba (a proto-language) memiliki definisi sebagai berikut: “a proto-language is a hypothetical ancestor of a group of attested languages which is inferred, or “reconstructed”, on the basis of systematic similarities among its attested descendants or “daughter languages”” (1988:28). „Bahasa purba adalah sebuah bahasa hipotesis induk dari sejumlah bahasa yang terbukti berkerabat, yang disimpulkan atau direkonstruksi berdasarkan perbedaan-perbedaan sistematis dari bahasa-bahasa yang berkerabat itu.” Di sini, Blust berpendapat bahwa bahasa purba dapat direkonstruksi atau dihasilkan dengan melihat perbedaan-perbedaan sistematis dari bahasa-bahasa yang ada sekarang, yang diasumsikan berkerabat. Artinya bahasa ini merupakan bahasa asumsi yang dihasilkan atas dasar asumsi (kekerabatan) pula. Adapun istilah prabahasa merupakan istilah yang terbentuk dari gabungan dua morfem, yaitu morfem afiks {pra-} dan morfem dasar „bahasa‟.
Oleh karena itu, prabahasa merupakan „bahasa pendahuluan‟
dalam artian sebuah bahasa yang dihipotetiskan digunakan sebagai cikalbakal dari bahasa modern yang ada sekarang ini dan direkonstruksi berdasarkan evidensi dialektal atau subdialektal (Mahsun,1995:82).
34
1.7.4 Rekonstruksi Bahasa Rekonstruksi merupakan pembentukan kembali unsur bahasa yang telah hilang melalui bentuk atau gejala pada bahasa-bahasa turunan. Rekonstruksi merupakan metode yang digunakan untuk memeroleh fonem atau morfem proto dari suatu kelompok bahasa berkerabat, yang dianggap pernah ada dalam bahasa-bahasa purba, yang sama sekali tidak memiliki naskah tertulis (Murmahyati, 2002). Selain itu rekonstruksi bahasa menurut Crowley (1992) adalah perkiraan tentang kemungkinan bentuk proto-bahasa dengan menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi di antara protobahasa dengan bahasa– bahasa berkerabat yang diturunkannya. Rekonstruksi bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari bawah ke atas (bottom-up) dan dari atas ke bawah (top-down). dikembangkan karangannya
oleh
Kedua teknik rekonstruksi ini pertama kali
Dempwolff
Austronesisches
(1934-1938)
dan
Worterverzeichmis
diterapkan untuk
dalam
menemukan
kekerabatan dan merumuskan protobahasa Austronesia (Pawley and Ross,1993:429). Rekonstruksi dari atas ke bawah adalah rekonstruksi dengan melihat refleks protobahasa ke bahasa-bahasa modern. Rekonstruksi dari atas ke bawah ini biasanya bersifat deduktif. Tujuannya untuk mencari cerminan atau
refleks
Sedangkan
dari
bahasa
proto
pada
bahasa-bahasa
turunannya.
rekonstruksi dari bawah ke atas bersifat induktif, biasanya
35
digunakan untuk mengelompokkan bahasa pada peringkat yang lebih rendah ke arah peringkat yang lebih tinggi. 1.7.5 Inovasi, Retensi, dan Relik Hubungan kekerabatan antarbahasa sekerabat harus dapat dibuktikan oleh bukti kualitatif berupa inovasi bersama secara eksklusif (exclusively shared
innovations)
yang
dimiliki
oleh
kelompok
bahasa
tersebut
(Mahsun,1995:86). Inovasi merupakan perubahan atau pembaharuan unsur-unsur
kebahasaan
baik
fonologis
maupun
leksikon
yang
memperlihatkan kaidah yang berlaku (Anderson, 1979:104). Di
bidang
fonologi
pembaharuan
itu
berkaitan
dengan
kaidah
perubahan yang mendorong pembentukan kosakata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa (Fernandez,1996:22).
Inovasi fonologis terlihat
dalam bentuk perubahan yang menyangkut jumlah dan distribusi fonem yang merupakan dasar dari berbagai tipe perubahan, seperti pelesapan seutuhnya (complete loss), pelesapan sebagian (partial loss), paduan seutuhnya (complete merger), paduan sebagian (partial merger), pembelahan (split), penambahan (excrescence), dan sebagainya (Anttila, 1989:69-70). Istilah retensi
pada
dasarnya
merupakan
bentuk
yang
dimiliki
protobahasa baik berupa fonem atau leksem yang tetap mempunyai bentuk, dan makna yang sama pada bahasa turunannya. Konsep ini merujuk pada beberapa pendapat para ahli bahasa seperti Anderson (1979:103) dan Crowley (1992:164) menyebutkan retensi adalah unsur warisan, baik
36
bentuk maupun makna yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan sama dengan yang terdapat pada protonya. Pendapat yang senada dikemukakan Greenberg (dalam Fernandez, 1996) bahwa retensi adalah unsur warisan dari bahasa asal yang tidak mengalami inovasi atau perubahan pada bahasa sekarang. Selain itu dikenal pula istilah lain yang memiliki kesamaan pengertian dengan retensi yaitu relik. Perbedaan dua istilah ini hanya pada acuannya saja, retensi mengacu kepada bentuk protobahasa dan relik bila mengacu kepada bentuk prabahasa. Baik unsur retensi maupun unsur relik secara kuantitatif dan kualitatif dapat diamati pada bahasa dan dialek. Terminologi relik atau retensi dioposisikan dengan inovasi dalam kajian diakronis. Sebagaimana tingkat penampakkan unsur relik atau retensi, penampakan unsur inovasi pada bahasa atau dialek pun berbeda. Nothofer (1987:135) menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang tidak ada unsur lama (retensi atau relik) dan inovasinya.
Bahasa yang memiliki lebih banyak
unsur lama daripada inovasi disebut sebagai bahasa lama atau asli atau konservatif, sedangkan bahasa yang mengandung lebih banyak inovasi daripada unsur lama, disebutnya bahasa pembaharuan atau inovatif. Kepemilikan unsur relik dan inovatif mencerminkan adanya dinamika perkembangan bahasa. Ini menjadi bukti empiris bagi kajian diakronis. Pembahasan unsur inovasi dan retensi berhubungan dengan usaha penelusuran evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti. Evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang
37
diteliti merupakan refleks unsur suatu bahasa proto tersebut. Dengan kata lain, refleks adalah cerminan unsur atau bentuk yang lebih tua yang diketahui dari rekonstruksi; unsur atau bentuk turunan itu sedikit banyaknya
mengalami
perubahan
bahasa
(Kridalaksana,2009:208).
Sementara itu, rekonstruksi adalah metode untuk memperoleh moyang bersama dari suatu kelompok bahasa berkerabat dengan membandingkan ciri-ciri bersama atau dengan menentukan perubahan-perubahan yang dialami suatu bahasa sepanjang sejarahnya (Kridalaksana,2009:209). 1.7.6 Penentuan Status dan Relasi Kekerabatan Isolek Penentuan status isolek yang diperbandingkan dalam linguistik historis komparatif dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif
difokuskan
pada
penggunaan
metode
leksikostatistik. Metode leksikostatistik merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk membedakan tingkat kekerabatan antarbahasa atau antardialek dengan cara membandingkan kosakatanya serta membedakan tingkat kemiripannya (Crowley,1987:190). Metode leksikostatistik pertama kali digunakan oleh linguis Amerika yang bernama Morris Swadesh pada akhir tahun 1950-an dalam penelitian yang dilakukan terhadap bahasa-bahasa yang digunakan oleh orang-orang Indian (American Indian).
Metode leksikostatistik kemudian dilanjutkan
tokoh lainnya seperti Sarah Gudschinsky, Joseph Greenberg, dan Isidore
38
Dyen (Crystal, 1992: 331).
Oleh karena berkelimpahan data, Swadesh
berpikir untuk mencari metode yang lebih cepat dan praktis dalam menentukan tingkat kekerabatan antara dua bahasa atau lebih. pemikirannya
itu
pengelompokan
lahir
metode
bahasa/dialek
leksikostatistik,
yang
dilakukan
persentase perangkat kata berkerabat (kognat). dasar
penghitungan
adalah
kosakata
yaitu
dengan
Dari
metode
menghitung
Kosakata yang menjadi
dasar
(basic
vocabulary)
(Swadesh,1955). Di samping istilah leksikostatistik dikenal juga istilah lain yaitu glotokronologi
(Glottochronology).
Pada
dasarnya
kedua
istilah
itu
sebenarnya memiliki pengertian yang berlainan, sekurang-kurangnya menyangkut sasaran akhir yang akan dicapai. Glotokrologi adalah suatu metode pengelompokan dengan lebih mengutamakan perhitungan waktu (time
depth)
atau
perhitungan
usia
bahasa-bahasa
kerabat
(Kridalaksana,2009:73). Dalam hal ini usia bahasa tidak dihitung secara mutlak dalam suatu tahun tertentu, tetapi dihitung secara umum, misalnya mempergunakan satuan ribuan tahun (millennium). Dengan demikian, yang ingin dicapai dalam metode ini adalah kepastian mengenai usia relatif bahasa, yaitu mengenai kapan sebuah bahasa muncul dan kapan bahasabahasa itu berpisah satu dari yang lain. merupakan
metode
pengelompokan
Sebaliknya, leksikostatistik bahasa/dialek
yang
lebih
mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk
39
kemudian
berusaha
menetapkan
pengelompokan
itu
berdasarkan
persentase kesamaan suatu bahasa/dialek dengan bahasa/dialek lain. Dalam
penerapannya
kedua
bidang
itu
dapat
dipakai
secara
bergandengan karena untuk menghitung usia bahasa dengan glotokronologi harus dipergunakan leksikostatistik. pengelompokan
bahasa
dengan
Sebaliknya untuk mengadakan
metode
leksikostatistik
tersirat
juga
masalah waktu, yang menjadikan landasan bagi pengelompokan itu. Namun dalam penelitian disertasi ini, metode pengelompokan bahasa dilakukan
dengan
leksikostatistik
tanpa
glotokronologi,
sebagaimana
penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh para ahli diakronis seperti Nothofer (1975), Fernandez (1988), Mbete (1990), Danie (1991) dan lain-lain. Penerapan
metode
leksikostatistik
tidak
hanya
berguna
untuk
penelitian isolek yang berstatus bahasa, tetapi juga dapat digunakan dalam penelitian dialektologi untuk pengelompokan beberapa daerah pengamatan sebagai
kelompok
pemakai
dialek
atau
subdialek
tertentu
dengan
menghitung persentase kekognatan antardaerah pengamatan (Danie,1991). Penentuan status bahasa dari isolek yang diperbandingkan dalam kajian linguistik historis komparatif, sejauh ini biasanya dilakukan serentak dengan upaya penentuan kekerabatan atau pengelompokan. Dalam banyak penelitian bahasa di Indonesia, misalnya Nothofer (1975), Fernandez (1988), Mbete (1990) melakukan penentuan status bahasa dilakukan serempak dengan penentuan hubungan kekerabatan atau pengelompokan bahasa melalui penerapan leksikostatistik.
40
Leksikostatistik sampai saat ini digunakan untuk tiga tujuan, yakni : 1) sebagai daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan hubungan kekerabatan
bahasa
bahasa/dialek
yang
atau
dialek,
protobahasa
2)
sebagai
atau
alat
prabahasanya
pengelompokan belum
begitu
tua/kuno, 3) sebagai alat atau metode yang dapat dipakai pada tahap awal untuk
menetapkan
berkerabat.
Hasil
waktu
perpisahan
persentasi
yang
antara dicapai
bahasa-bahasa berdasarkan
yang
kalkulasi
leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa atau
antardialek
yang
disajikan
dengan
dasar
tingkat
persentase.
Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa/antardialek. Oleh karena leksikostatistik mendasarkan kajiannya terhadap kosakata dasar, maka leksikostatistik berangkat dari beberapa asumsi seperti yang dikemukakan oleh Dyen (1978); Lehmann (1973); Bynon (1979) dan Keraf (1991), Fernandez (1993;1994) sebagai berikut. 1. Sebagian
kosakata
suatu
bahasa
sukar
sekali
berubah
bila
dibandingkan dengan bagian yang lain. Kata-kata yang sukar sekali berubah ini disebut dengan kosakata dasar.
Kosakata dasar ini
merupakan kata-kata yang sangat inti, sekaligus merupakan unsur mati hidupnya suatu bahasa. Oleh karena itu kata-kata untuk halhal dalam kehidupan bahasa, khususnya bidang kebudayaan, merupakan unsur yang baru dipinjam akan mengalami kelenyapan
41
bersama
lenyapnya
kebudayaan
itu.
Kosakata
dasar
bersifat
universal. 2. Retensi kosakata dasar adalah tetap sepanjang masa.
Ini berarti
bahwa sejumlah kosakata dasar dari sebuah bahasa sesudah 1000 tahun akan tetap bertahan dengan persentasi tertentu.
Sesudah
1000 tahun berikutnya kata-kata tadi akan bertahan lagi dalam persentasi yang sama pula. 3. Perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama. Pengujian terhadap hal ini telah dilakukan terhadap tiga belas bahasa yang di antaranya memiliki naskah lama tertulis dengan hasil kosakata dasar bertahan sekitar 86,4% sampai 74,4% dalam tiap 1000 tahun, atau dengan angka rata-rata 80,5%. 4. Jika persentasi kosakata sekerabat dua bahasa diketahui, dapat dihitung pula waktu berpisahnya kedua bahasa itu dari bahasa purbanya. Adapun dalam pemilahan isolek secara kualitatif dalam linguistik historis komparatif, digunakan metode pemahaman timbal balik inteligibility) yang diajukan oleh Voegelin dan Harris (1951).
(mutual Menurut
metode pemahaman timbal balik, bahwa daerah-daerah pakai isolek dikelompokan dalam dialek sebuah bahasa jika antarpenutur isolek yang berbeda itu masih terjadi pemahaman timbal balik antara satu sama lain ketika bertutur dengan menggunakan isoleknya masing-masing.
Hasil
42
perhitungan leksikostatistik tersebut disepadankan dengan bukti-bukti kualitatif berupa kesamaan fonologi ataupun leksikal untuk menguatkan pengelompokan. Pendekatan
kuantitatif
oleh
beberapa
sarjana
dianggap
sebagai
pendekatan yang lebih saksama untuk pengelompokan bahasa sekerabat (Dyen,1978:50).
Metodenya dipandang sederhana dapat diikhtisarkan
sebagai berikut.
Pendekatan ini menggunakan alat utama berupa daftar
Swadesh (dua ratus kosakata dasar baku) untuk penelusuran padanan perangkat kognat bahasa yang diteliti.
Setelah daftar diisi, persentase
kognat ditetapkan dengan mengandalkan pemahaman tentang hukum perubahan bunyi yang teratur antarbahasa tersebut. kekerabatan
atau
pohon
kekerabatan
(family
tree)
Garis silsilah yang
dihasilkan
pendekatan kuantitatif menggambarkan kekerabatan yang lebih erat atau tidak antarbahasa/antardialek sekerabat dalam usaha pengelompokan bahasa/dialek tersebut (Dyen,1975:52). Dengan segala kemudahan yang ditawarkan metode leksikostatistik ini tidak lepas dari berbagai kritik, baik kritik yang cenderung menekankan segi praktis maupun segi teoritis. Kritik yang menekankan aspek praktis seperti tampak pada kutipan berikut ini. This technique of lexicostatistics has not been without its critics however. We have already hinted at a number of practical problems associated with the method. Firstly, there is the problem of deciding on which particular sets of words we should treat as being „core‟ vocabulary. Secondly, there is the problem of distinguishing between genuine cognates and borrowings in languages which we do not know the full history of (Crowley, 1987: 203).
43
Di samping itu, penggunaan kosakata dasar tidak sebagai cara pendahuluan di dalam penelitian, tetapi dianggap sebagai cara utama yang menggantikan teknik penentuan tingkat kekerabatan yang sebelumnya sudah dikenal tentu dianggap sangat kontroversial (periksa Bynon, 1979: 271). Adapun kritik yang bersifat teoretis antara lain dialamatkan pada validitas teori yang hanya diuji pada bahasa-bahasa Indo-Eropa yang memiliki
bukti
peninggalan
tertulis
(Crowley,
1987:
203),
sehingga
Bergsland dan Vogt bahkan sampai memberikan kritiknya yang tajam dengan menyatakan, “in principle, the lexicostatistical method is also unreliable for determining the subgrouping of cognate languages and dialects” (dalam Blust, 1981: 4). Walaupun, penerapan metode ini dalam pengelompokan terhadap bahasa-bahasa khususnya bahasa-bahasa Austronesia tentang kesimpulan yang dicapai ditemui beberapa kelemahan misalnya persentase kemiripan kata kerabat bahasa-bahasa nusantara rata-rata 30-40%, tidak seperti kemiripan kata-kata dasar dalam bahasa-bahasa Eropa berkisar 60-70%, penerapan
metode
leksikostatistik
dilakukan
dengan
beberapa
pertimbangan yaitu selain karena belum ditemukan adanya metode lain yang bersifat kuantitatif dalam penentuan tingkat kekerabatan bahasa, bahwa tinggi rendahnya angka persentase yang ditunjukkan berdasarkan perhitungan leksikostatistik paling tidak dapat mengantarkan kita pada suatu kesimpulan bahwa suatu bahasa/dialek tertentu memiliki tingkat
44
hubungan yang relatif erat dibandingkan dengan lainnya (ditandai adanya persentase yang tinggi itu), dan sebaliknya. Gambaran
mengenai
kekerabatan
antarbahasa
yang
dicapai
berdasarkan perhitungan persentase leksikostatistik ini dapat diuji secara lebih saksama dan mendalam melalui pengamatan terhadap ciri-ciri inovasi bersama (Dyen, 1978:51).
Dengan berpedoman pada gambaran pohon
kekerabatan bahasa/dialek sebagai hipotesis kerja selanjutnya rekonstruksi prabahasa dapat dilakukan. Selanjutnya keterkaitan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dipahami dengan baik apabila kita memahami bahwa setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan (Creswell,2014:22). Dalam linguistik historis komparatif, pendekatan kuantitatif mempunyai kelebihan dapat sekaligus menangani data dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak mampu menjelaskan
kekognatan
kosakata
yang
menelusuri kesejarahan kosakata tersebut.
dibandingkan
karena
tidak
Sementara itu, pendekatan
kualitatif mempunyai kelebihan dalam hal kecermatan dan ketajaman di dalam analisisnya karena sampai pada penelusuran sejarah kosakata isolek yang diperbandingkan. Adapun kelemahannya, pendekatan ini umumnya hanya dilakukan terhadap data yang jumlahnya terbatas (Pawley and Malcolm,1993:428).
Oleh karena itu, paduan evidensi kuantitatif dan
kualitatif merupakan bukti yang akurat untuk menjelaskan status dan relasi kekerabatan suatu isolek.
45
Sama
halnya
dengan
penetuan
status
isolek,
penentuan
relasi
kekerabatan antarbahasa ditinjau pula dari dua pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Secara kuantitatif penentuan relasi kekerabatan dilakukan
dengan metode leksikostatistik.
Penerapan leksikostatistik ditempuh
dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) mengumpulkan kosakata dasar isolek yang berkerabat, dalam hal ini ketiga isolek dan dua bahasa yang terdapat pada tiga wilayah yang menjadi daerah pengamatan, 2) menetapkan dan menghitung pasangan mana yang merupakan kata kerabat, 3) menghubungkan hasil penghitungan yang berupa persentasi kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Hasil persentasi yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa/dialek yang disajikan dengan dasar tingkat persentasi. yang
telah
ditetapkan
antarbahasa/dialek. antarbahasa/dialek
dapat
Kriteria yang
Berdasarkan kriteria tertentu
dijelaskan
itu
dapat
dibandingkan.
peringkat
hubungan
menggambarkan Hubungan
relasi
kekerabatan
antarbahasa/dialek dapat dihitung dengan rumus : Jumlah kata kerabat X 100 % Jumlah glos yang dibandingkan Hasil perhitungan tersebut kemudian dicocokkan dengan klasifikasi dalam leksikostatistik yang dikemukakan oleh Swadesh (1952), yaitu :
46
Tabel 1.2 : Hubungan Kategori Kekerabatan dengan Persentasi Kekerabatan Kategori Kekerabatan
Persentasi Kekerabatan (%)
Bahasa (language)
100 – 81
Keluarga (family)
81 - 36
Rumpun (stock)
36 – 12
Mikrofilum
12 - 4
Mesofilum
4- 1
Makrofilum
1 -kurang dari 1%
Penghitungan dilakukan dengan berpedoman pada hal-hal berikut ini. a) Mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan dalam penetapan kata kerabat. Glos yang tidak diperhitungkan adalah kata-kata kosong dan kata-kata pinjaman. b) Menetapkan kata berkerabat, yang dapat berupa korespondensi dan variasi c) Membuat persentasi kata berkerabat. penghitungan
terhadap
jumlah
Pada tahap ini dilakukan kata
dasar
yang
dapat
diperbandingkan pada langkah a) dan jumlah kata yang berkerabat yang dijumpai dari hasil penentuan kata berkerabat (langkah b) tersebut. Selanjutnya jumlah kata berkerabat dibagi jumlah kada dasar yang diperbandingkan dan dikali seratus persen sehingga diperoleh persentasi jumlah kata berkerabat. d) Setelah penghitungan persentasi kata berkerabat dilakukan dan diketahui
persentasi
kekerabatannya,
lalu
persentasi
itu
dihubungkan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa untuk
47
menentukan
hubungan
kekerabatannya
apakah
sebagai
satu
bahasa, keluarga bahasa, rumpun bahasa, mikrofilum,mesofilum, atau makrofilum. e) Selanjutnya, merumuskan diagram pohon yang menggambarkan silsilah kekerabatan isolek-isolek yang diperbandingkan tersebut. Bahasa-bahasa yang pada fase tertentu memiliki sejarah yang sama sebagai satu keluarga atau subkeluarga bahasa berada dalam satu simpai. Secara kualitatif, penentuan hubungan kekerabatan dalam linguistik historis komparatif dilakukan dengan melihat inovasi bersama sebagai bukti pemisah kelompok yang diperoleh dengan melihat refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang dibandingkan.
Dalam Fernandez (1996:22)
dijelaskan bahwa istilah inovasi berarti pembaharuan, yaitu perubahan yang memperlihatkan penyimpangan dari kaidah perubahan yang lazim berlaku. Refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang diperbandingkan lazimnya dapat diamati dalam korespondensi bunyi berdasarkan padanan perangkat kognat. Landasan komparatif terhadap persoalan relasi diakronis BKM, BKB dan BKP, yang pada intinya dapat dibuktikan melalui analisis unsur-unsur warisan
dari
prabahasa
pada
(Fernandez,1996; Hock,1988).
lokasi
persebaran
bahasa
Bakumpai
Prabahasa pada tingkat dialek sebenarnya
bukanlah wujud nyata bahasa, melainkan suatu bangunan bahasa yang dirakit secara teoritis hipotesis (Mbete,1990). Prabahasa ini merupakan
48
suatu rakitan teoritis yang dirancang dengan cara merangkaikan sistem bahasa-bahasa/dialek-dialek yang memiliki hubungan kesejarahan, melalui rumusan
kaidah-kaidah
secara
sangat
sederhana
(Bynon,1979;
Jeffers,1979), dan dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu dari suatu bahasa.
Rakitan prabahasa merupakan prototipe bahasa pada
dialek-dialek yang memiliki pertalian historis (Haas,1966; Fernandez,1996). Dengan munculnya ciri-ciri warisan yang sama pada dialek-dialek yang berkerabat, keeratan hubungan keterasalan dialek-dialek tersebut dapat ditemukan dan sistem prabahasanya dapat ditelusuri (Mbete,1990:22). Upaya pengelompokan bahasa-bahasa/dialek-dialek berkerabat berarti suatu upaya menempatkan bahasa-bahasa/dialek-dialek tersebut agar jelas struktur kekerabatannya.
Dengan demikian, kejelasan kedudukan suatu
bahasa/dialek yang lainnya dapat ditetapkan.
Adapun rekonstruksi
prabahasa dari sekelompok dialek yang diasumsikan berkerabat selain merupakan upaya pengelompokan dialek
juga memperjelas hubungan
kekerabatan dan pertalian keseasalan dialek-dialek tersebut, terutama dari sisi kesepadanan (korespondensi) fonologis pada kosakata yang maknanya berkaitan. Suatu pengelompokan bahasa yang mempunyai relasi sejarah dapat memanfaatkan konsep-konsep pengelompokan genetis dalam kajian linguistik historis komparatif untuk menjelaskan relasi diakronis bahasabahasa (juga dialek-dialek) yang mungkin dapat diidentifikasi dalam bahasa atau dialek.
49
Asumsi dasar hipotesis ini adalah jika hubungan antara dialek yang diperbandingkan erat karena berasal dari satu prabahasa, dan hubungan di antara bahasa itu dapat dijelaskan dalam suatu silsilah kekerabatan (family tree), maka gambaran itu dapat mencerminkan urutan perkembangan bahasa di masa kini yang mengalami perkembangan historis dari bahasa sebelumnya secara berurutan (Durasid,1990:16).
Dengan demikian,
prabahasa sebagai suatu sistem yang diabstraksikan dari wujud dialek berkerabat merupakan pantulan kesejarahan karena dialek itu pernah mengalami
perkembangan
yang
sama
sebagai
bahasa
tunggal
(Birbaun,1977:20). Setidaknya terdapat dua pijakan hipotesis dalam merekonstruksi prabahasa, yaitu hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste,1979:17; Hock,1988). Hipotesis yang pertama memiliki ciri kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan.
Salah satu kemiripan
bentuk yang diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna ini biasa disebut kosakata seasal (cognate set). Kata-kata ini bukan sebagai pinjaman, bukan juga sebagai kebetulan atau kecendrungan semesta, melainkan sebagai warisan dari bahasa awal yang sama.
Hipotesis yang
kedua, hipotesis keteraturan, berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur yang ditemukan pada bahasa tersebut.
Dengan kata lain,
perubahan bunyi yang teratur pada kosakata dari suatu dialek merupakan ciri-ciri keterwarisan dari sistem fonologi dan leksikal prabahasanya.
50
Dalam
pengelompokan
kekerabatan
bahasa
Bakumpai
dan
penelusuran daerah relik dan inovasi perolehan bukti-bukti analisis pada kedua bidang fonologi dan leksikal diperlukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Prosedur metode komparatif yang bersifat kuantitatif
ditempuh mengawali tahap rekonstruksi prabahasa dengan menerapkan metode komparatif yang bersifat kualitatif.
Bukti-bukti yang bersifat
kuantitatif ditetapkan berdasarkan penghitungan leksikostatistik yang lazim digunakan sebagai teknik kuantifikasi persentase yang dapat menetapkan kedekatan antarbahasa/antardialek. Dalam makalahnya Darmadi (2004:1) mengungkapkan bahwa hakikat pendekatan kuantitatif adalah menggunakan cara kerja perhitungan statistik dengan metode yang disebut leksikostatistik bertujuan untuk menentukan tingkat kekerabatan antara dua bahasa atau lebih; apakah merupakan sekelompok bahasa sekerabat, apakah merupakan sekelompok dialek dari suatu bahasa. Penelusuran bukti kualitatif dengan metode rekonstruksi merupakan upaya lanjutan dalam penemuan bukti-bukti yang menjelaskan klasifikasi bahasa yang diperbandingkan. Untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menjelaskan
peringkat
hubungan
antarbahasa
secara
kualitatif
itu
dikembangkan metode untuk penemuan inovasi disebut sebagai metode inovasi atau metode pembaharuan (Keraf,1984:115).
Adapun retensi
bersama tidak dapat menjelaskan perkembangan bahasa yang terdapat
51
pada suatu bahasa karena retensi pada umumnya bersifat paralel dan tidak menjelaskan perkembangan bahasa yang terjadi pada bahasa tersebut. Sehubungan dengan hal itu, jika unsur-unsur inovasi yang dialami oleh isolek Bakumpai merupakan unsur yang sama sekali baru, dan tidak memiliki hubungan dengan bahasa Dayak Ngaju, maka hasil inovasi ini merupakan bukti bahwa isolek Bakumpai merupakan isolek yang terpisah dengan bahasa lainnya meskipun masih termasuk dalam keluarga bahasa yang sama (hal ini juga berlaku pada dialek). Sebaliknya pula, jika salah satu bahasa/dialek dari dua bahasa/dialek lainnya memiliki unsur-unsur inovasi yang memungkinkan terpisahnya salah satu bahasa/dialek itu secara tegas maka terdapat kemungkinan bahwa kedua bahasa/dialek tersebut salah satunya terpisah sebagai bahasa/dialek yang memiliki perkembangan sejarah yang berbeda dengan bahasa/dialek lainnya. Terkait dengan ini Bynon berpendapat bahwa : In general term, the larger the number of such unshared changes, the less closely related will be the two systems.
Closeness of the
relatedness can therefore be seen to depend on the number of rules held in common (1979:64) Dengan demikian, semakin banyak kaidah perubahan yang ditemukan secara kualitatif semakin kuat pula bukti-bukti keeratan hubungan antara bahasa dan dialek-dialek tersebut. setelah
dilakukan
rekonstruksi
Bukti-bukti kualitatif ini diperoleh fonologis
(Mbete,1990:29).
Mbete
menambahkan bentuk-bentuk yang inovatif itu dapat diperbandingkan pula
52
dengan bentuk-bentuk dari bahasa atau kelompok bahasa di luar kelompok itu, sebagai penegasan bahwa bahasa yang diperbandingkan bukan dari kelompok yang sama. Jika terdapat pertentangan antara bukti-bukti kuantitatif
dan
kualitatif,
kalangan
para
sarjana
cenderung
lebih
mengutamakan bukti-bukti kualitatif. Seperti pendapat Blust (1981) buktibukti kualitatif tampaknya menjadi dasar yang lebih terpercaya bagi penentuan pengelompokan. Apabila terdapat bukti-bukti kuantitatif yang sejalan dengan bukti kualitatif maka hasil yang diperoleh melalui pendekatan kuantitatif dapat menjadi hipotesis yang sah bagi pendekatan kualitatif. Oleh karena itu para peneliti cenderung menerapkan pendekatan kuantitatif sebelum pendekatan kualitatif seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yakni Dyen (1978), Hudson (1967), Nothofer (1975) ; Adelaar (1985) ; Fernandez (1996) ; Durasid (1990) ; Mbete (1990). Apabila penentuan kekerabatan dan pengelompokan bahasa telah mampu dideteksi, dan melalui perekonstruksian bahasa purba juga telah terlihat bentuk-bentuk yang menjadi asal dari bentuk-bentuk dalam bahasa yang telah dikelompokkan itu, maka penelusuran tanah asal dan arah persebaran (migrasi) bahasa selanjutnya dapat dilakukan. 1.7.7 Daerah Asal Dan Arah Persebaran Suatu Bahasa Dalam kajian linguistik diakronis, dianut pandangan bahwa varianvarian yang muncul dari sebuah bahasa purba (baik itu yang berupa protobahasa maupun prabahasa) menjadi varian yang berdiri sendiri (dapat berstatus bahasa atau dialek yang berbeda dari bahasa induknya) tidak
53
terjadi secara seketika, melainkan secara bertahap dan melibatkan waktu. Mungkin perubahan bahasa induk
menjadi varian-varian itu mulai
membentuk perbedaan wicara, menjadi perbedaan subdialek, lalu menjadi perbedaan dialek, dan lama kelamaan varian itu muncul sebagai bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa induknya. Artinya, perubahan dari satu bahasa induk menjadi beberapa varian yang berstatus beda wicara memerlukan waktu yang tidak terlalu panjang dibandingkan dengan perubahan bahasa itu menjadi varian yang memiliki status beda subdialek atau beda dialek ataupun beda bahasa. Semakin panjang perjalanan waktu yang dialami suatu bahasa maka akan semakin tinggi tingkat varian yang dimiliki oleh bahasa itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada wilayah yang memiliki keragaman bahasa yang tinggi menunjukkan panjangnya waktu perubahan yang dialami bahasa tersebut dan wilayah itu dapat dihipotesiskan sebagai wilayah asal (Mahsun,2010:101). Dalam hal penentuan arah migrasi dari bahasa Bakumpai yang tersebar secara spasial ke dalam beberapa wilayah pakai yang mandiri dapat dilakukan dengan berpijak pada hasil perhitungan kuantitatif leksikostatistik dan hasil analisis kualitatif pada tataran fonologi. Secara kuantitatif
leksikostatistik,
wilayah
yang
memiliki
persentase
kata
berkerabat yang tinggi dapat dihipotesiskan menjadi arah migrasi tahap awal, sedangkan wilayah yang memiliki persentase kata berkerabat yang rendah jika dibandingkan dengan bahasa/dialek di wilayah asalnya dapat ditentukan sebagai arah migrasi tahap berikutnya.
54
Analisis kualitatif selanjutnya dilakukan untuk mendukung analisis secara kuantitatif. berlandaskan
pada
Analisis kualitatif yang dapat diusulkan di sini dapat hukum-hukum
perubahan
bahasa
yang
bersifat
universal, yaitu : 1. Hukum perubahan struktur yang menganggap bahwa perubahan bahasa berlangsung dari konstruksi yang kompleks ke konstruksi yang sederhana (pendek); 2. Hukum perubahan gradual, yang menganggap bahwa perubahan bahasa mengikuti perubahan yang memungkinkan secara fonologis; 3. Hukum kemampuan manusia untuk berpikir logis-matematis yang menganggap bahwa manusia memiliki perubahan berpikir logismatematis dari yang sederhana ke yang lebih kompleks; 4. Hukum perendahan vokal berlangsung dari vokal tinggi, depan atau belakang menjadi vokal tengah, atau dengan kata lain, vokal tengah berasal dari vokal tinggi; 5. Hukum konsonan bersuara yang menganggap bahwa konsonan tidak bersuara berasal dari konsonan bersuara.
55
1.8 Hipotesis16 Bertolak dari perhitungan leksikostatistik BKM memiliki hubungan genetis yang erat dengan BKB dan BKP dari satu induk yang sama yaitu prabahasa Bakumpai. Hubungan genetis yang terbentuk tersebut dapat disilsilahkan dalam bentuk pola kekerabatan dwipilah. Pola hubungan kekerabatan dwipilah itu dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Dihipotesiskan sebelum dilakukan kajian kualitatif bahwa isolek Puruk Cahu dan Buntok mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat jika dibandingkan dengan BKM, dugaan awal ini dikarenakan keduanya berada di Kalimantan Tengah dan berdekatan. 2) Di antara BKM, BKB, dan BKP dihipotesiskan BKP dan BKB mengalami pemisahan yang lebih kemudian. Keduanya masih memiliki Pradialek Puruk Cahu dan Buntok dibandingkan dengan Marabahan untuk mencari Prabahasa Bakumpai. 3) Bahwa Prabahasa Bakumpai merupakan hasil/dibentuk/didukung oleh evidensi prabahasa yang berdwipilah yaitu, di satu sisi bercabang dwipilah BKP dan BKB dan di sisi yang lain bercabang BKM. 4) Di antara BKM, BKB, dan BKP, wilayah BKP sebagai daerah asal dari bahasa Bakumpai yang menyebar ke BKB dan BKM sebagai wilayah migrasi selanjutnya, dugaan awal ini berdasarkan faktor geografisnya. 5) Hipotesis ini harus diuji lagi dengan perhitungan leksikostatistik jika sudah terkumpul sekurang-kurangnya 100 atau 200 kosakata Swadesh dalam BKM, BKB dan BKP.
56
Hipotesis penelitian ini dapat digambarkan dengan diagram pohon seperti dibawah ini. PBK
PDBKPB
BKP
BKB
BKM
Diagram 1.1 Garis Silsilah Kekerabatan BKP, BKB dan BKM Sesuai dengan Hipotesis. Penjelasan Diagram 1.1 PBK
:
Prabahasa Bakumpai sebagai awal dari bahasa Bakumpai moderen yang hidup dan berkembang di Kalimantan bagian selatan dan tengah.
PDBKPB
:
Pradialek Bakumpai Puruk Cahu-Buntok sebagai salah satu bagian cabang dwipilah dari Prabahasa Bakumpai dan merupakan awal dari dialek-dialek bahasa Bakumpai yang hidup dan berkembang di Kalimantan bagian tengah.
BKM
:
Bahasa Bakumpai di Marabahan, sebagai salah satu bagian cabang dwipilah dari Prabahasa Bakumpai
BKB
:
Bahasa Bakumpai di Buntok, sebagai salah satu bagian cabang dwipilah dari Pradialek Bakumpai Puruk CahuBuntok.
57
BKP
:
Bahasa Bakumpai di Puruk Cahu, sebagai salah satu bagian cabang dwipilah dari Pradialek Puruk Cahu-Buntok.
Hubungan kekerabatan erat berpola dwipilah BKM dan dua dialek BKB dan BKP ini, akan dibuktikan keberterimaantidaknya melalui penelitian ini. 1.9 Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis. Ketiga tahapan tersebut adalah (1) penyediaan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:55-58). 1.9.1 Metode Penyediaan Data Untuk pengumpulan data digunakan dengan metode yang pernah diterapkan oleh Nothofer (1995), yaitu penelitian lapangan dengan langsung mewawancarai informan di daerah pengamatan.
Karena
pertanyaan yang dilaksanakan secara lisan dengan menggunakan daftar pertanyaan maka, dalam menanyakan sebuah bentuk untuk suatu makna,
ditetapkan
bahwa
pertanyaan
menggunakan bahasa Indonesia.
itu
dilakukan
dengan
Anggapan Ayatrohaedi (1979:42-43)
mengenai penggunaan bahasa yang berbeda akan menyebabkan jawaban yang langsung dan spontan itu agak terganggu karena informan pada saat yang bersamaan harus berpikir di dalam dua bahasa yang berbeda, memang harus diperhatikan. Namun penelitian di wilayah Marabahan, Buntok, dan Puruk Cahu ini menggunakan alat ragaan daftar tanyaan, sehingga tanya jawab antara Peneliti dan informan dapat berjalan lancar.
58
Dalam melakukan wawancara faktor kesiapan informan sangat diperhatikan, dalam arti menjaga jangan sampai terjadi kejenuhan. Dengan demikian, setiap pertemuan dapat ditentukan maksimal dua jam mewawancarai informan karena secara umum batas kemampuan berkonsentrasi penuh pada tiap orang hanya berkisar dua jam (Lauder,1993:44). Jadi, secara eksplisit dalam penelitian lapangan secara tersurat metode yang digunakan adalah metode cakap, teknik dasar pancingan dengan teknik lanjutan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat (Sudaryanto,1993:137). Teknik cakap semuka, peneliti langsung mendatangi daerah pengamatan dan melakukan percakapan dengan informan.
Teknik ini disejajarkan dengan metode pupuan lapangan
(Ayatrohaedi,1979:84). Selain itu, data yang diperlukan bagi keperluan analisis morfofonologi bahasa diperoleh dengan menerapkan metode simak (Djajasudarma,1993:11). Teknik simak ialah teknik yang peneliti ikut terlibat dalam peristiwa percakapan itu.
Dalam teknik ini pula
peneliti memancing informan untuk bercerita tentang cerita rakyat, atau informan dipancing untuk berdialog dengan informan lainnya mengenai satu tema tertentu.
Hal ini dilakukan secara informal (spontan)
sehingga informan tidak menyadari bahwa dia sedang dijadikan objek penelitian sehingga hasil dialog-dialog yang diberikannya alami dan valid (Burns,1995:264). Ini berkaitan dengan konsep observer‟s paradox yang dibuat oleh Labov (1972:209-210) dalam Wardaugh (1986:18-19)
59
bahwa konsep ini digunakan agar informan tidak menyadari kalau bahasa mereka sedang diteliti sehingga data yang diperoleh adalah data yang natural tidak dibuat-buat.
Teknik ini sejalan dengan teknik
triangulasi17 yang dimaksudkan untuk mengecek apakah data yang diperoleh pada waktu wawancara yang terjadwal tidak berbeda dengan data bahasa yang biasa dipakai masyarakat sehari-hari.
Selanjutnya
cerita atau dialog ini direkam. Kemudian, teknik catat juga dilakukan sebagai lanjutan dari teknik rekam. Maksudnya, data yang tertangkap yang tidak terekam segera dicatat. Setelah diadakan pencatatan dan perekaman, segera dilakukan pengecekan bersama-sama dengan informan yang telah terlibat. Data sekunder diperoleh dari beberapa penelitian terdahulu yakni penelitian yang dikerjakan oleh Ibrahim (1979), Kawi (1985), Durasid (1990), dan Ibrahim,dkk (1995).
Data primer dan sekunder itu
keduanya dipakai untuk keperluan kajian sinkronis dan diakronis. 1.9.1.1 Perihal Daftar Pertanyaan Daftar pertanyaan merupakan hal yang paling utama dalam penelitian karena hasil penelitian sebenarnya juga sudah dapat diramalkan dari daftar tanyaan itu.
Daftar pertanyaan disusun dan
diklasifikasikan berdasarkan medan makna (periksa Kurath,1972:3-5; Healey,1975:4; dan Ayatrohaedi,1979:40-41) dan bukan berdasarkan urutan
abjad
agar
informan
berada
pada
suasana
yang
memungkinkannya memberikan jawaban yang langsung dan spontan
60
(Lauder,1993:47).
Untuk keperluan tersebut daftar tanyaan yang
disusun pada dasarnya merupakan daftar tanyaan leksikal yang terdiri dari medan makna manusia dan kekerabatan, kata ganti diri dan kepunyaan, anggota badan dan bagian tubuh, binatang dan satwa, tumbuhan
dan
tanaman,
makanan
dan
minuman,
rumah
dan
bagiannya, benda, alat, dan alam, perbuatan dan pencarian, sifat dan keadaan, sakit dan penyakit, angka dan bilangan, warna, waktu, arah, kata-kata fungsional. Pengumpulan data dalam tahap penyediaan data menggunakan instrumen penelitian berupa daftar isian yang disiapkan dengan mengacu pada daftar kosakata dasar Swadesh yang direvisi Blust dalam Fernandez (1996 ; 1981) dan daftar kosakata budaya yang biasa digunakan dalam penelitian linguistik diakronis (1990) serta sebagian daftar Holle (Stokhof,1986) yang dipandang sesuai benar dengan bahan penyokong yang ada pada BKM, BKB, dan BKP untuk menjaring data primer di lapangan. Sementara itu untuk menentukan keaslian bahasa pada tataran fonologi dan leksikal digunakan Proto Melayu Polinesia yang
direkonstruksi
oleh
Dempwolff
(1934-1938)
ekuivalensi Dyen (1965) dan Blust (1978)
berdasarkan
dan Proto-Barito yang
berhasil direkonstruksi oleh Hudson (1967) dan Durasid (1990). 1.9.1.2 Tahap dan Kriteria dalam Menentukan Informan Secara umum ada tiga tahap dalam menentukan informan: 1) pemilihan informan awal untuk diajak bertatap muka, 2) pemilihan
61
informan lanjutan guna memperluas informasi dan melacak segenap fenomena kebahasaan yang ada pada masing-masing bahasa yang diteliti, 3) menghentikan pemilihan informan lanjutan, jika sekiranya tidak ditemukan lagi informasi baru yang relevan. Studi ini mensyaratkan beberapa kriteria bagi informan yang dipakai. Kriteria tersebut antara lain: 1. Penutur asli bahasa yang diteliti. 2. Penutur yang dewasa berusia antara 40-60 tahun. Orton (1962, Wakelin 1977) menyarankan informan yang dipilih berumur sekitar 60 tahun. Ayatrohaedi (1985) mengatakan bahwa usia yang
dianggap
sesuai
bagi
seorang
informan
ialah
usia
pertengahan 40-50 tahun karena pada usia itu mereka telah menguasai bahasa atau dialek dan seluk beluk lingkungannya dengan baik, tetapi belum sampai pada taraf pikun.
Semula
umur informan yang disarankan Ayatrohaedi itu dijadikan pegangan, namun setelah berada dilapangan rentangan umur diperluas ke atas. Hal itu dilakukan karena pada beberapa pemukiman sulit menemukan seorang informan yang berumur 40-50 tahun yang betul-betul masih menguasai pemakaian bahasanya dan belum pernah tinggal di tempat lain. 3. Berjenis kelamin wanita dan pria; agar dapat memberikan informasi di bidangnya masing-masing. 4. Mempunyai kesediaan waktu yang cukup. 5. Berpendidikan yang tidak terlalu tinggi karena dari seorang yang berpendidikan tinggi akan terjadi banyak pengaruh luar di dalam beriannya. Sebaliknya, penutur juga bukan seorang yang sama sekali buta huruf untuk mempermudah proses tanya jawab dan
62
proses
penterjemahan
bentuk-bentuk
kalimat
yang
rumit
(Kurath,1972:12). 6. Tidak memiliki cacat bicara. 7. Mempergunakan bahasa Bakumpai dalam kehidupan seharihari, baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan. Kriteria itu digunakan agar informan menghasilkan berian secara spontan. (Samarin,1967:20-41;
Keraf,1984:157;
Faisal,1990:58-61;
Djajasudarma,1993:23). Persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan itu disodorkan pada Pamong Desa atau pemuka masyarakat sebagai pemegang kunci dalam
setiap
permukiman
yang
dikunjungi.
Namun,
dalam
pelaksanaannya muncul faktor-faktor lain sehingga pada beberapa permukinan tertentu persyaratan itu tidak diberlakukan secara ketat, tetapi
diimbangi
dengan
waktu
dan
tenaga,
misalnya
mendatangi permukiman itu sekali lagi (Danie, 1991).
peneliti
Kunjungan ke
lokasi pemakaian BKM, BKB, dan BKP selama seminggu untuk masingmasing isolek yang bersangkutan. Kunjungan berlangsung pada musim hujan sehingga kelancaran dalam melaksanakan tugas kunjungan kepada
informan
tersebut
cukup
terganggu
karena
kesulitan
transportasi ketika berpindah tempat dari isolek yang satu ke yang lain. Jumlah informan yang diambil adalah dua orang18
untuk setiap
titik pengamatan. Dari dua orang itu ditentukan satu orang sebagai informan utama.
Informan utama berperan memberikan keterangan
mengenai hal-hal utama, sedangkan informan lainnya sebagai informan pembantu
untuk
melengkapi
keterangan
yang
diperlukan
63
(Samarin,1988:28). Teknik pemilihan informan seperti yang diuraikan di atas disebut pula sebagai teknik purposive sampling.
Menurut
Sugiyono (2008:218) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu yakni sumber data dianggap
paling
tahu
tentang
apa
yang
diharapkan,
sehingga
mempermudah peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang sedang diteliti, yang menjadi kepedulian dalam pengambilan sampel penelitian kualitatif adalah tuntasnya pemerolehan informasi dengan keragaman variasi yang ada, bukan pada banyak sampel sumber data. 1.9.1.3 Penentuan Titik Pengamatan Karena penelitian bertujuan mendeskripsikan bahasa Bakumpai di Marabahan, Buntok dan Puruk Cahu, maka titik pengamatan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah daerah yang berpenutur bahasa Bakumpai di Marabahan, Buntok dan Puruk Cahu. Penentuan titik pengamatan objek penelitian ini berdasarkan informasi awal perihal keberadaan penutur-penutur bahasa Bakumpai di daerah aliran sungai Barito Provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah, misalnya berdasarkan informasi sejarah, dari hasil penelitian sebelumnya, dari instansi pemerintah, atau informasi dari masyarakat. Berdasarkan informasi berbagai pihak tersebut ditetapkan daerah pemukiman penutur bahasa Bakumpai di Marabahan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, Buntok
di Kabupaten Barito
Selatan dan Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya, dua daerah terakhir
64
berada di Provinsi Kalimantan Tengah.
Dengan demikian, titik
pengamatan yang ditentukan untuk dikunjungi dalam penelitian ini berjumlah tiga buah.
Peta daerah penelitian dan titik pengamatan dapat dilihat pada halaman berikut ini.
65
Sumber Peta : Wurm, 1983 dengan modifikasi Keterangan Gambar : BKP,BKB,BKM adalah daerah penelitian dan titik pengamatan BKP : Bakumpai Puruk Cahu BKB : Bakumpai Buntok BKM : Bakumpai Marabahan
66
1.9.1.4 Pemeriksaan dan Pemilihan Data Pemeriksaan dan pemilihan data, berarti penilaian atas data, dilakukan secara ketat demi pemerolehan data kesejarahan. Penilaian ini sangat penting agar setiap data yang dipilih mengandung nilai internal
dan
eksternal
(Gay,1981)
dalam
(Emzir,2009).
Gay
menjelaskan setiap data pilihan mengandung nilai internal jika datadata itu menggambarkan adanya kesepadanan-kesepadanan yang menunjang hipotesis (lihat hipotesis sub-bab 1.8). Ini berarti data-data pilihan itu memiliki kesahihan dan keterandalan bagi perbandingan. Di sisi lain, setiap data pilihan itu mengandung nilai eksternal jika data itu memperlihatkan keasliannya, berbeda dengan unsur-unsur pungutan. Selanjutnya, data yang relevan berupa perangkat kognat dipisahkan atas unsur asli (yang benar-benar merupakan kata seasal dari bahasabahasa sekerabat) serta dibedakan dari unsur serapan (yang mungkin ditemukan pada waktu pengumpulan) (Fernandez,1996:26). 1.9.2 Metode Analisis Data Analisis penelitian
data
dan
dikaitkan
landasan
dengan
teori.
rumusan
Metode
yang
masalah,
tujuan
digunakan
dalam
menguraikan relasi bahasa Bakumpai di Marabahan dengan bahasa Bakumpai di Buntok dan Puruk Cahu adalah metode komparatif yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menerapkan cara kerja komparatif, yaitu suatu cara kerja yang mengadakan identifikasi dan
67
kodifikasi kemiripan antara bahasa-bahasa berkerabat yang diteliti (Blust,1981:37).
Cara
kerja
komparatif
yang
diterapkan
dalam
penelitian ini adalah baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Dalam penerapannya ditempuh dua metode, yaitu : metode leksikostatistik dan rekonstruksi. Masing-masing metode tersebut akan dibahas lebih rinci sebagai berikut. 1.9.2.1 Metode Leksikostatistik Metode
leksikostatistik
adalah
suatu
metode
dalam
mengelompokkan bahasa dengan mengutamakan pencatatan katakata (leksikon) secara statistik dengan memanfaatkan instrumen penelitian berupa daftar 200 kosakata Swadesh19.
Selanjutnya
peneliti menetapkan pengelompokan BKM, BKB, BKP, DNG dan Bjr berdasarkan data kuantitatif yaitu berupa persentase kesamaan suatu bahasa dengan bahasa lain yang sama-sama diteliti. Dengan metode ini diperoleh persentase kognat masing-masing bahasa (Crowley,1987:190;
Keraf,1991:121).
Berdasarkan
angka
persentase kognat antara BKM, BKB, BKP, DNG dan Bjr dapat ditetapkan anggota kelompok yang bersifat sementara dari bahasa Bakumpai yang diteliti. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis daftar kosakata dasar, yaitu : 1) Kata-kata (glos) kosong yang tidak diperhitungkan, yaitu katakata yang tidak ada katanya baik dalam BKM, BKB dan BKP atau
salah satu dialek maupun dalam ketiganya.
Kata-kata
pinjaman, entah dari bahasa kerabat maupun dari bahasa nonkerabat;
68
2) Pengisolasian morfem terikat, yaitu apabila pada data-data yang telah dikumpulkan terdapat morfem-morfem terikat, maka sebelum mengadakan perbandingan untuk mendapatkan kata kerabat atau non-kerabat, semua morfem terikat itu harus diisolir terlebih dahulu; dan 3) Penetapan kata kerabat, yaitu dengan sebuah pasangan kata dinyatakan sebagai kata berkerabat bila memenuhi salah satu ketentuan berikut (lih. Keraf,1991:128-129; Parera,1987:137; Crowley,1987:190) : (a) Pasangan kata yang fonemnya identik, (b) Pasangan yang memiliki korespondensi fonemis, (c) Pasangan yang memiliki kemiripan secara fonetis, dan (d) Jika
terdapat
perbedaan
fonem,
perbedaan
ini
dapat
dijelaskan. Kata-kata kognat menurut Poedjosoedarmo (tanpa tahun:44) disebut juga cognates homolexicosemantic adalah kata-kata kognat dari bahasa-bahasa yang masih tergolong sefamili yang bentuk dan artinya mirip. Selanjutnya, hubungan kekerabatan BKM, BKB dan BKP dianalisis berdasarkan perbandingan kognat. Selain itu dilakukan pengkaitan kata-kata kognat yang dikumpulkan dari bahasa dan dialek-dialeknya
itu
dengan
etimon
Proto-Barito
yang
telah
direkonstruksi oleh Hudson (1967) dan PMP yang telah ditetapkan oleh para ahli dengan menggunakan referensi utama Dempwolff (1934-1938) yang direvisi Blust (1971,1985), dan (Dyen dan Machfallan 1973) serta Wolff (2010). Selain itu penggunaan ejaan disesuaikan dengan ejaan Dempwolff yang dikonversi oleh Blust dan
Dyen.
Selanjutnya
hasil
pembahasan
melalui
teknik
leksikostatistik tersebut dipergunakan untuk menentukan garis
69
silsilah kekerabatan BKM, BKB dan BKP.
Hasil pembahasan
tersebut dipergunakan sebagai hipotesis kerja dalam penelitian ini. Pengelompokan BKM, BKB dan BKP dilakukan berdasarkan bukti-bukti kebahasaan yang ditemukan, yaitu bukti kuantitatif dan bukti kualitatif.
Melalui bukti-bukti kuantitatif tersebut di
atas persentase jumlah tersebut dapat ditentukan.
Penentuan
persentase berdasarkan jumlah pasangan kosakata seasal dibagi dengan jumlah glos yang terisi kali seratus persen. Berdasarkan angka persentase itu bisa ditentukannya: a) Tingkat keeratan hubungan kekerabatan BKM, BKB dan BKP (lih.1.1) yang diperbandingkan serta posisinya dengan semua bahasa di sekitarnya, b) Silsilah kekerabatan BKM, BKB dan BKP dapat disusun. Selanjutnya
hasil
pembahasan
melalui
pendekatan
kuantitatif ini dipergunakan untuk menentukan garis silsilah kekerabatan Fernandez,1996;
bahasa/dialek
yang
Syamsuddin,1996:9)
diteliti dan
hasil
(keraf,1985; pembahasan
tersebut dipergunakan sebagai hipotesis dalam penelitian ini. Jika ditemukan hasil pendekatan kuantitatif yang sejalan dengan hipotesis (pada poin 3 sub bab 1.8) dapat dijelaskan bahwa pemisahan BKM dengan
BKB dan BKP terjadi pada masa awal
prabahasa Bakumpai, maka dimungkinkan Marabahan sebagai daerah pusat budaya Bakumpai yang kemudian berkembang karena faktor perdagangan dan dinamika ekonomi di sekitar pusat budaya menyebabkan terjadinya inovasi di daerah pusat budaya sehingga di lokasi BKM menjadi daerah inovasi sedangkan BKP merupakan daerah yang banyak ditemukan unsur-unsur relik bahasa
Bakumpai.
BKB
berkembang
dengan
memperoleh
pengaruh daerah inovasi di satu pihak tetapi juga di pihak lain berlangsung divergensi dengan unsur-unsur relik dengan BKP.
70
Meskipun
pengelompokan
BKM,
BKB
dan
BKP
yang
diperbandingkan berdasarkan bukti-bukti kuantitatif telah dapat ditentukan,
namun
masih
bersifat
sementara.
Untuk
menuntaskan pengelompokan itu masih diperlukan bukti-bukti kualitatif untuk memperkuat kedudukan pengelompokan yang ditetapkan berdasarkan bukti-bukti kuantitatif agar tercapai hasil yang
berdimensi
elektis
holistik
yang
dapat
mendatangkan
perkembangan yang lebih maju bagi studi linguistik komparatif. Sebagaimana yang diharapkan oleh Blust (1981:57) dengan pernyataannya, “...I wish to emphasize that I am in sympathy with attempts to make lexicostatistics a useful tool for the historical linguist”.
Adapun implementasinya adalah hasil kerja dari
pendekatan kuantitatif yang memberi gambaran secara garis besar atau gambaran sekilas dapat dijadikan hipotesis kerja bagi penelitian kualitatif (Fernandez,1996:25-26). Dalam penelitian ini bukti-bukti memperkuat
kualitatif
dapat
kedudukan
berfungsi
ganda,
pengelompokan
yaitu
yang
akan
ditetapkan
berdasarkan bukti-bukti kuantitatif (Nothofer,1975; Mbete,1990; Fernandez,1996) (Blust,1981).
dan
menetapkan
Bukti-bukti
kualitatif
pengelompokan yang
definitif
diperlukan
itu
dikumpulkan dengan memanfaatkan daftar Nothofer di samping juga
dimanfaatkan
daftar
Swadesh.
Bukti-bukti
tersebut
berwujud fakta-fakta kebahasaan yang tergolong sebagai unsurunsur inovasi bersama yang eksklusif. Hakekat pengelompokan BKM, BKB dan BKP yang bersifat kualitatif tidak menggunakan dasar kerja secara statistik, tetapi berdasarkan
bukti-bukti
mengidentifikasi
kualitatif.
kemiripan
dan
Yaitu kesamaan
suatu
upaya
unsur-unsur
kebahasaan yang inovatif dan eksklusif pada tataran fonologi dan leksikal pada BKM, BKB dan BKP tersebut.
71
Pada tataran fonologi, kemiripan dan kesamaan inovasi dapat ditelusuri
pada kesamaan pola dan kaidah perubahan
fonem sedangkan pada tataran leksikal tampak pada kemiripan dan
kesamaan
kosakata
seasal
yang
hanya
dimiliki
oleh
subkelompok atau kelompok bahasa yang diteliti. Secara internal (antarsesamanya) dan eksternal (diluar kelompok) ciri-ciri yang ditemukan itu dibandingkan dengan cermat.
Ciri-ciri itu juga
dibandingkan dengan etimon-etimon PB dan PMP agar dapat dibuktikan lebih kuat (Adelaar,1994 dan Fernandez,1988) dan selanjutnya disarikan dalam bentuk klasifikasi bukti penyatu kelompok dan sekaligus bukti pemisah kelompok.
Berdasarkan
kedua bukti itu keeratan kelompok BKM, BKB dan BKP tersebut ditetapkan dalam bentuk garis silsilah yang definitif. 1.9.2.2 Metode Rekonstruksi Metode rekonstruksi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan
kelanjutan
dari
metode
pengelompokan
secara
leksikostatistik tersebut di atas.
Metode rekonstruksi meliputi
tataran fonologi dan leksikal.
Metode ini ditempuh untuk
menemukan Prabahasa Bakumpai dan pradialek yang berada di bawahnya. Pelaksanaan rekonstruksi dapat dilakukan baik dari bawah ke atas (bottom-up reconstruction) maupun dari atas ke bawah (topdown reconstruction) (Dempwolff,1934-1938).
Rekonstruksi dari
bawah ke atas bersifat induktif, sedangkan rekonstruksi dari atas ke bawah bersifat deduktif. Secara induktif karena perbandingan dilakukan dari bawah yaitu antara BKM dengan BKB dan BKP untuk menentukan dan menemukan prabahasa yang dianggap sebagai moyang atau asal bersama. Hal ini merupakan penerapan rekonstruksi secara
72
internal (internal reconstruction) karena memahami perubahan bahasa yang bersasaran pada perbandingan antara BKM, BKB dan BKP dalam suatu bahasa. Dalam teknik rekonstruksi induktif secara internal, setiap prafonem
ditemukan
melalui
tiga
tahapan
kerja.
Pertama,
penelusuran jumlah perangkat kosakata seasal yang menunjang penentuan pengamatan
prafonem
tertentu
korespondensi
yang
fonem
direkonstruksi. dan
penetapan
Kedua, formulasi
sejumlah kaidah perubahan bunyi, dan ketiga adalah penetapan etimon-etimon prabahasa dalam rekonstruksi leksikal. Cara merekonstruksi dengan penetapan prafonem demi prafonem yang dilakukan dalam penelitian ini memanfaatkan perbandingan leksem-leksem perangkat kognat antar BKM, BKB dan BKP yang diteliti serta mengikuti tata cara rekonstruksi yang ditetapkan untuk maksud tersebut.
Tata cara rekonstruksi itu
(lihat Pike,1957:1-10; Jeffers dan Lehiste,1979:15-22) seperti di bawah ini. 1. Apabila perangkat kata seasal (kognat) dari semua dialek memperlihatkan
kesepadanan
fonem
dari
fonem
yang
dibandingkan, maka prafonem yang ditetapkan adalah fonem itu juga. Misalnya, pembandingan dan pengamatan terhadap fonem /l/. Fonem tersebut ditemukan pada kata seasal /leme/ „lima‟ (BKP) dan /leme/ „lima‟ (BKB); prafonemnya adalah */l/ dengan penjelasan bahwa prafonem itu terpantul menjadi /l/ dalam BKP dan BKB, khususnya pada posisi awal kata. Kaidah yang dirumuskan pradialek Puruk Cahu Buntok/ PDBKPB */l/ > BKP, BKB /l/. 2. Apabila
perangkat
kesepadanan
fonem
kata
seasal
dan
fonem
(kognat) yang
menunjukkan
dibandingkan
itu
mengalami perubahan teratur pada lingkungan tertentu dan
73
dialek tertentu pula, maka prafonem yang direkonstruksi dan ditetapkan itu didasarkan pada kaidah perubahan. BKM
/jaweh/
;
BKB
/eweh/
;
BKP
/eweh/
Dalam „siapa‟
,
memperlihatkan adanya kesepadanan vokal / a-e-e / misalnya di posisi akhir suku kata pertama.
Dalam merekonstruksi
Prabahasa Bakumpai (PBK) *e, kaidah perubahan PBK *e (pada posisi akhir suku kata pertama) > BKM /a/, BKB /e/, dijadikan dasar penentuan dan penetapan prafonem *e. Kesepadanan itu diperkuat oleh perbalikan dalam sejumlah kata seasal yang memperlihatkan
keteraturan
perubahan
sesuai
dengan
lingkungan yang mensyaratinya. 3. Apabila
perangkat
kata
seasal
(kognat)
memperlihatkan
kesepadanan fonem dan fonem yang dibandingkan itu ternyata berbeda dalam sejumlah kata pada salah satu dialek, maka dipakai satu tanda prafonem baru, seandainya untuk fonem yang sama telah ditetapkan prafonem yang sama berdasarkan pantulan yang sama dalam sejumlah kata lain. Cara ini dimaksudkan prafonem.
untuk
mencegah
ketumpangtindihan
Misalnya BKP, /eñuh/, BKB /eñuh/
tanda „kelapa‟
(PDBKPB */eñuh/), BKM /niur/, maka ditentukan prafonem *R sebagai
tanda
hubungan
kesepadanan
genetis.
Tanda
prafonem itu yang dipakai karena sebelumnya telah ditemukan dan ditentukan prafonem *r, misalnya : BKP /pasar/, BKB /pasar/, BKM /pasar/ „pasar‟ < PBK *r . 4. Apabila
perangkat
kesepadanan
fonem,
kata
seasal
dan
fonem
(kognat) yang
menunjukkan
dibandingkan
itu
memperlihatkan perbedaan yang tidak dapat dijelaskan dengan kaidah perubahan sehingga tidak dapat diketahui mana fonem yang asli, maka prafonemnya ditetapkan secara alternatif di antara kedua fonem itu dengan apitan tanda kurung, misalnya BKM /caramin/ , BKB /saramin/, BKP /saramin/ „cermin‟,
74
maka prafonemnya ditetapkan : PBK */s(c)aramin/.
Hal ini
berlaku pula untuk berkas-berkas kesepadanan fonem lainnya, baik pada posisi tengah maupun pada posisi akhir. 5. Apabila
kata
perangkat
seasal
(kognat)
memperlihatkan
kesepadanan fonem dalam subkelompok sama saja, sedangkan dalam dialek yang lain fonem itu hilang secara teratur, maka prafonem yang direkonstruksi adalah fonem yang ada, yaitu dengan memperlihatkan pula tanda atau simbol prafonem serta kesepadanan pada posisi lain.
Misalnya : BKP/edan/ BKB
/edan/ (PDBKPB */edan/), BKM /dan/ „dahan‟, maka selain penentuan PDBKPB *e-, diperhatikan juga kesepadanan ø-e-e karena hilangnya *E pada posisi itu dalam BKM. Selain itu, ada kesepadanan lain, yaitu e-e-e pada awal kata, misalnya : BKP/ebes/ BKM /ebes/, BKB /ebes/ „keringat‟. Oleh karena, tanda yang digunakan untuk kesepadanan e-e-e ialah *e, maka tanda yang digunakan untuk kesepadanan ø-e-e ialah *E. Langkah kerja rekonstruksi dilakukan pada tataran fonologi terlebih dahulu, kemudian rekonstruksi leksikal.
Selanjutnya
akan dijelaskan masing-masing teknik tersebut di bawah ini: 1.9.2.2.1 Teknik Rekonstruksi Fonologi Teknik
rekonstruksi
fonologi
adalah
proses
penemuan dan pemerian prafonem serta sistem fonologi prabahasa dari BKM, BKB dan BKP. Rekonstruksi fonologi meliputi : 1) Penetapan wujud prafonem beserta lingkungan yang
dimasuki
prabahasa).
(pemerian
sistem
fonologi
Jika perangkat kata seasal dari
semua dialek menunjukkan kesepadanan fonem dari fonem yang dibandingkan, maka prafonem yang ditetapkan adalah fonem itu juga.
75
2) Perumusan pantulan (refleks) fonem prabahasa pada
BKM,
BKB
dan
BKP,
refleks
pada
prabahasa tersebut lazimnya dapat diamati dalam
korespondensi
bunyi
berdasarkan
padanan perangkat kognat. 3) Perumusan kaidah korespondensi fonem antar BKM, BKB dan BKP sekerabat berdasarkan pantulan (refleks) fonem prabahasa Bakumpai. 1.9.2.2.2 Teknik Rekonstruksi Leksikal Teknik rekonstruksi leksikal merupakan tahap lanjutan dari teknik rekonstruksi fonologi.
Teknik ini
bertujuan menemukan perangkat prakata yang memiliki makna tertentu yang sama atau mirip pada BKM. BKB dan BKP yang diteliti.
Metode ini akan menyajikan penetapan
dan penyusunan etimon prabahasa (prakata) kelompok prabahasa Bakumpai, sesuai dengan kaidah korespondensi fonem serta perangkat kognat yang terdapat pada BKM, BKB dan BKP yang sekerabat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan dilakukan
Selatan. setelah
Walaupun rekonstruksi
rekonstruksi fonologi,
leksikal
rekonstruksi
keduanya tidak dapat dipisahkan sebab dalam rekonstruksi fonologi harus melibatkan kata, melalui kosakata seasal itulah fonem dan kaidah perubahannya ditemukan. 1.9.2.3 Metode Pantulan Untuk menemukan keterhubungan antara Proto Melayu Polynesia (PMP) dan Proto-Barito (PB) dengan prabahasa Bakumpai dalam penelitian ini dipergunakan metode pantulan.
Proses
penemuan keterhubungan PMP, PB dan Prabahasa Bakumpai dalam kaitan pembuktian BKM, BKB dan BKP yang diteliti dapat
76
diklasifikasikan sebagai kelompok dialek yang memiliki keasalan dengan PB dan PMP.
Cara yang ditempuh dalam penemuan
keterhubungan prabahasa Bakumpai dengan kedua proto tersebut itu adalah menggunakan pendekatan deduktif (pendekatan dari atas ke bawah atau yang dikenal dengan istilah top-down reconstruction). Pendekatan dari atas ke bawah merupakan suatu cara merekonstruksi dari atas ke bawah guna memperoleh evidensi-evidensi kebahasaan yang dapat dimanfaatkan sebagai penguat bukti kekerabatan dan keasalan BKM, BKB dan BKP yang diteliti dalam studi ini (Mbete,1990:36).
Hasil rekonstruksi PMP
dan PB dipakai sebagai tolak ukur dan acuan dalam melihat pantulannya dalam Prabahasa Bakumpai.
Setiap protofonem
PMP/PB dengan menggunakan teknik penemuan protofonem demi protofonem ditelusuri pantulannya pada prafonem prabahasa Bakumpai.
Untuk itu penetapan setiap prafonem ditempuh
dengan cara: a) penelusuran sejumlah perangkat kognat yang menunjang penentuan prafonem tertentu yang direkonstruksi, b) pengamatan
korespondensi
fonem
dan
penetapan
rumusan
sejumlah kaidah perubahan bunyi (korespondensi bunyi), c) penetapan etimon-etimon prabahasa dalam rekonstruksi leksikal. Cara merekonstruksi dengan penetapan prafonem demi prafonem yang ditempuh dalam penelitian ini memanfaatkan perbandingan leksem-leksem perangkat kognat antar BKM, BKB dan BKP yang diteliti dan mengikuti tata aturan rekonstruksi yang ditetapkan untuk maksud itu.
Dalam rekonstruksi dari atas ke
bawah dapat diamati inovasi bersama yang dapat melengkapi evidensi pengelompokan bahasa pada peringkat yang lebih rendah apabila hal tersebut ditemukan secara eksklusif pada kelompok tersebut
(Fernandez,1996:30).
Selain
bukti
keterhubungan
keasalan prabahasa Bakumpai dan PMP serta PB juga ditemukan pola pantulan PMP/PB pada prabahasa Bakumpai sebagai proses
77
sejarah. Jika pola pantulan itu menggambarkan adanya beberapa protofonem PB/PMP terpantul langsung pada prafonem prabahasa Bakumpai, dan sebagian lagi terpantul secara tidak langsung, maka hal itu menunjukkan proses perjalanan sejarah prabahasa itu yang mengalami berbagai perkembangan hingga sampai pada prabahasa Bakumpai. 1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Hasil analisis data ini disajikan dengan menggunakan sajian formal dan informal (Sudaryanto,1993:145). Metode sajian formal sebagai cara penyajian dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang yang khusus dan biasa digunakan dalam penyajian hasil analisis linguistik historis komparatif, diantaranya : tanda bintang (asterisk) (*), kurung siku ([...]), kurung miring (/.../), tanda sendi turun (#), dan sebagainya.
Tanda-tanda konvensional itu terutama digunakan untuk
merumuskan pola dan kaidah-kaidah perubahan bahasa.
Adapun
sajian informal sebagai metode sajian dengan menggunakan kata-kata biasa.
Dengan demikian, metode sajian dalam analisis data dalam
penelitian ini memanfaatkan baik kata-kata biasa maupun lambang, tanda, dan singkatan. 1.10 Sistematika Penulisan Penyajian hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, dengan rincian sebagai berikut bab I adalah pendahuluan, berisi : latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan
78
sistematika Penulisan. Gambaran wilayah penelitian dijelaskan dalam bab II.
Bab III penentuan status isolek-isolek bahasa Bakumpai secara
kuantitatif dan kualitatif. Bab IV memuat kajian tentang rekonstruksi prabahasa Bakumpai, refleks prabahasa Bakumpai pada dialek-dialek bahasa Bakumpai, refleks PB pada prabahasa Bakumpai, serta penentuan daerah asal dan persebaran bahasa Bakumpai dan hubungannya dengan bahasa lain dalam kelompok Barito. Bab V disajikan kesimpulan berupa temuan
yang
signifikan
dari
hasil
penelitian
ini
dan
saran
yang
disampaikan dalam rangka penelitian lanjutan, kendala-kendala yang dihadapi ketika penelitian bahasa Bakumpai tersebut dilakukan.
Selain
itu, laporan ini juga akan dilengkapi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
79
Catatan Bab 1
1
Istilah linguistik diakronis dalam kajian ini digunakan untuk merujuk pada suatu kerja akademik yang bersifat perbandingan antarbahasa/dialek untuk menjelaskan suatu persoalan pengelompokan bahasa/dialek, relasi kekerabatan di antaranya, serta perjalanan historis yang dialami oleh bahasa/dialek tersebut melalui pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa/dialek (Saussure,1988). Dengan kata lain, analisis bahasa secara diakronis yaitu menganalisis bahasa tidak hanya bagian-bagian bahasa yang mengalami perubahan tetapi juga perkembangan bahasa. Melalui analisis diakronik dicari hubungan antara bahasa-bahasa modern yang diduga berasal dari satu bahasa awal, yaitu dengan menentukan bentuk kognat (bahasa yang memiliki kesamaan atau kemiripan bentuk dan sama arti).
2
Hudson menggunakan istilah keluarga bahasa “Barito” dengan beberapa alasan seperti yang dikemukakannya : “I use “Barito” for several reason: It is a term of some antiquity in the region, appearing in historical records as early as the fourteenth century; it appears to be neutral in connotation; it has not been used before in an ethnic or linguistic sense; it does not give “preference” to any constituent language group; and finally, because the main bundle of isoglosses separating the two immediate subgroups of the southern Kalimantan region runs roughly along the Barito River (1967:8).
3
Dalam pandangan Antropolog penutur bahasa Dayak yang beralih agama menjadi muslim dikaitkan dengan melayu, seperti yang diungkapkan oleh Mallinckrodt : In the Bornean context, the term Malay is the reciprocal of Dajak, and in an equally general way is used as a cover for all Moslems of “Indonesian” origin. Moslems of Dajak origin have usually been placed in the Malay category (1928:27)
4
Menurut Sellato (1980) bahwa penduduk Kalimantan adalah Dayak, Punan dan Melayu. Penduduk Melayu mencakup semua penutur bahasa Melayu dan beragama Islam. Dengan demikian, di Kalimantan yang beragama Islam adalah Melayu sehingga, orang mengkaitkan kemelayuan dengan Islam dari sisi antropologis.
5
Dikatakan anakronis karena dalam perjalanan sejarah kajian antropologi Dayak yang beragama Tantaulang/Heiden/Kaharingan menjadi Islam identik dengan Melayu, akhirnya diidentikkan dengan peralihan Dayak ke Melayu seperti yang diuraikan Fischer (1980).
80
6
Dari julukan yang diberikan kepada Bakumpai ini terlihat bahwa orang Banjar mengeksklusifkan diri dari kelompok minoritas, dalam hal ini orang Bakumpai.
7
Menurut Ras (1968) wilayah Bakumpai dahulunya merupakan kawasan wilayah kerajaan Melayu Banjar, dan dijadikan sebagai daerah pelabuhan dan pusat perdagangan.
8
Blust (1981) berpendapat bahwa pengaruh yang terjadi karena proses peminjaman antarbahasa yang berkontak akan sangat cepat terjadi, terutama kalau perdagangan memainkan peranan yang penting di dalam hubungan di antara masyarakat bahasa yang bersangkutan.
9
Berikut adalah contoh tabel pemilihan bahasa orang Bakumpai di Marabahan O1
O2
suasana tutur
sarana
resmi
dagang
adat
agama
lisan
tulis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
I
BJR
BJR
BJR
BK
BJR
I
BJR
BK
BJR
BK
BJR
DNG
bk
bk
BJR
bjr
bk
Relasi Mantap
santai
Relasi Labil
Bukan Bakumpai
Kekhasan Identitas
Nasionalis
Bakumpai
bjr
I
Tabel merupakan hasil analisis Ibrahim (1979:6) yang disesuaikan dengan model analisis (Poedjosoedarmo,1982) Keterangan tabel : a. Huruf BK dengan huruf besar berarti penggunaan bahasa Bakumpai secara mayoritas, huruf BJR dengan huruf besar berarti penggunaan bahasa Melayu Banjar secara mayoritas, DNG dengan huruf besar berarti penggunaan bahasa Dayak Ngaju secara mayoritas, dan I dengan huruf besar berarti penggunaan bahasa Indonesia secara mayoritas. b. Huruf bk kecil berarti pemakaian bahasa Bakumpai tergolong minoritas, huruf bjr kecil berarti pemakaian bahasa Melayu Banjar tergolong minoritas, dng kecil berarti pemakaian bahasa Dayak Ngaju tergolong minoritas, dan i dengan huruf kecil berarti pemakaian bahasa Indonesia secara minoritas. 10
Ritual Badewa dan Manyanggar Lebo dikenal sebagai ritual khas suku Bakumpai. Ritual Badewa digelar dengan maksud yang diyakini suku Bakumpai sebagai ritual penyembuhan untuk orang sakit. Sedangkan Manyanggar Lebo adalah ritual pembersihan desa dari hal-hal yang
81
bersifat mistis. Model penyembuhan dan pembersihan desa ini juga terdapat dalam budaya Dayak Ngaju yang sampai saat ini masih rutin dilakukan. 11
Budhi (2005) menjelaskan Batu Bertulis atau Batu Antik Lada peninggalan seorang tokoh bernama Lada. Orang Bakumpai mengenal Ngabe Lada sebagai tokoh yang hidup pada masa awal migrasi besarbesaran orang Bakumpai dari Marabahan ke Hulu Barito
12
Rumah Betang merupakan tempat pemukiman orang Dayak. Bentuk dan besarnya bisa mencapai 150 meter dan lebarnya hingga 30 meter, berbentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari permukaan tanah. Mengenai variasi luas dan bentuk rumah betang di Kalimantan, silahkan periksa Laksono, dkk. (2006:110) ; Riwut, (2003:139-144); Semedi dan Bina Riyanto (1996:57-63); Dove (1988:1320).
13
Jalur Batu Ayau merupakan jalur sakral untuk menyatakan kejantanan para petualang Dayak dari berbagai suku.
14
Mengayau adalah salah satu adat kebiasaan ~ memotong kepala ~ dalam masyarakat Dayak, terutama oleh orang-orang bangsawan dan bangsa pemberani. Hal ini merupakan perbuatan yang harus dihormati dan dipuji karena erat kaitannya dengan kepercayaan keagamaan bahwa di alam nirwana kehidupan roh-roh tidak ada bedanya dengan di dunia, yakni siapa yang banyak hamba-budaknya senang dan agunglah keadaan hidupnya. Segala korban yang didapatnya dalam pengayauan, terutama hamba-budaknya akan dikorbankannya, setelah mereka meninggal dunia kelak sebagai budaknya di alam nirwana (Anonim,1953).
15
Tanpa melalui kajian secara linguistik, dalam hasil karyanya Riwut mengasumsikan bahwa Bakumpai merupakan bahasa.
16
Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (1999) adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori dan belum menggunakan fakta. Oleh karena itu, setiap penelitian yang dilakukan memiliki suatu hipotesis atau jawaban sementara terhadap penelitian yang akan dilakukan. Dari hipotesis tersebut akan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah hipotesis tersebut benar adanya atau tidak benar. Dalam penelitian yang menggunakan analisis statistik, terdapat dua hipotesis yang perlu diuji, yaitu hipotesis penelitian dan hipotesis statistik. Menguji hipotesis penelitian berarti menguji jawaban yang sementara itu apakah betul-betul terjadi pada
82
sampel yang diteliti atau tidak. Kalau terjadi berarti hipotesis penelitian terbukti dan kalau tidak berarti bahwa tidak terbukti. Selanjutnya menguji hipotesis statistik, berarti menguji apakah hipotesis penelitian yang telah terbukti atau tidak terbukti berdasarkan data sampel itu dapat diberlakukan pada populasi atau tidak. 17
Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004:330)
18
Menurut Djajasudarma (1993:20-24) jumlah informan setiap bahasa yang diteliti bisa saja bervariasi tergantung pada pemilihan informan itu sendiri dan keragaman fenomena kebahasaan yang diteliti. Bila pemilihan informan tepat pada subjek yang mampu mengungkap semua fenomena kebahasaan dengan segala aspeknya dan dianggap memadai, informasi lain tidak perlu lagi dilacak melalui informan lainnya.
19
Morris Swadesh (1952) telah menyusun sebuah daftar kosakata dasar yang terdiri dari dua ratus kosakata. Namun karena ada beberapa kata yang tidak bersifat universal karena hanya terdapat pada beberapa daerah tertentu seperti antara lain kata (bark, freeze, ice, leg, snow) maka 200 kosakata dasar yang digunakan di dalam penelitian ini adalah 200 kosakata dasar Swadesh yang telah diadakan beberapa penyesuaian oleh para ahli seperti Nothofer (1975) dan sebagian daftar Holle (Stokhof,1986) yang dipandang sesuai benar dengan bahan penyokong yang ada pada BKM,BKB, dan BKP.