BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam yang terdapat di Indonesia tersebut diatur oleh perundang- undangan yang berlaku. Pada masa penjajahan, Belanda mengatur beberapa hal mengenai pertanahan baik yang berlaku bagi rakyat pribumi maupun warga asing. Pada masa itu pemerintah Hindia Belanda banyak menetapkan peraturan yang dirasa sangat tidak adil terhadap rakyat pribumi yang salah satunya yaitu pernyataan domein verklaring. Fungsi dari domein verklaring1 , yaitu: a.
Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti hak erfpacht, hak opstal dan lain- lainnya.
b.
Di bidang pembuktian pemilikan. Asas yang terkandung dalam domein verklaring ini dinilai kurang menghargai hak- hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya (rev.ed.;Jakarta: Djambatan, 2005), hal.43.
2
Setelah merdeka negara Indonesia menyusun peraturan yang mengatur tentang agraria dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di mana peraturan ini kemudian disebut Undang-Undang Pokok Agraria atau sering disingkat UUPA. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Menurut
Penjelasan
Umum
UUPA
latar
belakang
perlunya
pembahasan hukum agraria setelah Indonesia merdeka 2 yaitu karena : 1.
Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajaha n, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
2.
Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintahan jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya
peraturan-peraturan
dari
hukum
adat
di
samping
peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pebagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa;
2
Undang-Undang Pokok Agraria, Penjelasan Umum Angka I
3
3.
Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum. Adapun pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum Angka I UUPA, yaitu : 1.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.
Meletakkan
dasar-dasar
untuk
mengadakan
kesatuan
dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan; 3.
Meletakkan
dasar-dasar
untuk
memberikan
kepastian
hukum
mengenai hak- hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. UUPA sebagai hukum tanah di Indonesia mempunyai sifat nasional baik dari segi formal maupun materiil. Sifat nasional formal dari UUPA, yaitu UUPA dibuat oleh pembentuk Undang-Undang di Indonesia, dibuat di Indonesia dan disusun pula dalam bahasa Indonesia. Selain itu UUPA juga berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah negara. Sifat nasional dari segi materiil UUPA berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem, dan isinya. Dalam hubungan ini, UUPA menyatakan dalam Konsideransnya bahwa Hukum Agraria/Tanah yang baru itu : a.
Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah;
4
b.
Harus sederhana;
c.
Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia;
d.
Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
e.
Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;
f.
Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
g.
Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan jaman dalam segala soal agraria;
h.
Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar;
i.
Harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tangga l 17 Agustus 1960;
j.
Harus melaksanakan pula ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penggunaan itu bisa secara perseorangan maupun secara gotong royong.
5
UUPA memakai Hukum Adat sebagai dasarnya, dikarenakan Hukum Adat adalah hukum asli kita dan sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Terdapat perbedaan kata “Hukum Adat” yang terdapat pada bagian “Berpendapat” UUPA dengan yang terdapat pada Pasal 5 UUPA. Pada bagian Berpendapat menyampaikan bahwa hukum adat berfungsi menjadi sumber bahan dalam penyusunan hukum agraria nasional. Jelasnya bahwa asas-asas, konsepsi, dan lembaga- lembaga dari hukum agraria diambilkan dari konsepsi, asas-asas dan lembaga- lembaga hukum adat yang bersifat komunalistis. Sedangkan kata “Hukum Adat” pada Pasal 5 UUPA mengandung makna bahwa hukum adat di dalam hukum positif merupakan sumber hukum pelengkap apabila di dalam hukum positif tidak ada pengaturan hukumnya. Lembaga-lembaga hukum yang dikenal dalam Hukum Adat umumnya adalah lembaga-lembaga yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang masih sederhana. Maka, apabila dip erlukan lembagalembaga hukum adat yang diadaptasi oleh Hukum Tanah Nasional dapat disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan jaman dan perubahan masyarakat yang akan dilayaninya. Tetapi penyempurnaan dan penyesuaian tersebut tidak mengubah hakikat serta tanpa menghilangkan sifat dan ciri kepribadian Indonesia lembaga- lembaga hukum yang bersangkutan. Selain hukum adat sebagai sumber utama, Hukum Tanah Nasional kita tidak menutup kemungkinan mengadakan lembaga-lembaga baru yang belum dikenal dalam hukum adat atau mengambil lembaga- lembaga dari
6
hukum asing guna memperkaya dan memperkembangkan hukum tanah nasional. Asalkan lembaga- lembaga baru tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam UUPA diatur tentang macam- macam hak atas tanah. Pengaturan tersebut tertuang dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA. Selanjutnya berdasarkan pasal-pasal itu, macam- macam hak atas tanah dikelompokkan menjadi 3 (tiga) 3 , yakni: 1.
Hak atas tanah yang bersifat tetap,
2.
Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang, dan
3.
Hak atas tanah yang bersifat sementara. Yang dimaksud dengan hak atas tanah yang bersifat tetap yakni hak-
hak atas tanah yang akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan Undang-Undang lain yang baru. Macam hak atas tanah yang bersifat tetap ini, yaitu :
3
a.
Hak Milik
b.
Hak Guna Usaha
c.
Hak Guna Bangunan
d.
Hak Pakai
e.
Hak Sewa untuk Bangunan
f.
Hak Membuka Tanah, dan
g.
Hak Memungut Hasil Hutan
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak -Hak Atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hal. 88.
7
Sementara hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan UndangUndang mengandung pengertian bahwa hak atas tanah sebagaimana dimaksud akan lahir setelah atau melalui ditetapkannya suatu UndangUndang. Mengenai hak atas tanah yang bersifat sementara merupakan hak atas tanah yang untuk sementara waktu masih berlaku tetapi suatu saat nanti akan
dihapuskan,
dikarenakan
mengandung
unsur-unsur pemerasan
(eksploitatif), feodal dan bertentangan dengan filosofi atau jiwa dari UUPA. Macam hak atas tanah sementara menurut Pasal 53 UUPA, yaitu : a.
Hak Gadai (Gadai Tanah)
b.
Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
c.
Hak Menumpang
d.
Hak Sewa Tanah Pertanian Dalam penulisan hukum ini penulis akan mengangkat tema tentang
salah satu jenis dari hak atas tanah sementara, yaitu Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil). Boedi Harsono memberikan penjelasan tentang Bagi Hasil yaitu hak seseorang atau badan hukum (yang disebut dengan penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya 4 .
4
Boedi Harsono dalam Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.138.
8
Perbedaan antara bagi hasil dengan sewa- menyewa adalah bahwa dalam sewa- menyewa apa yang akan diterima oleh yang menyewakan sebagai sewa tidak dipengaruhi besar kecilnya hasil tanah yanag bersangkutan. Dalam perjanjian sewa- menyewa, risiko usaha menjadi tanggungan penyewa sendiri. Sementara dalam perjanjian bagi hasil, risiko dipikul bersama oleh penggarap dan yang punya tanah5 . Praktek bagi hasil di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Asal mula terjadinya perjanjian bagi hasil ini adalah sebagai sarana tolongmenolong antara penggarap dan yang punya tanah. Seorang pemilik tanah memiliki tanah yang luas namun tidak mampu mengerjakan tanahnya secara sendiri, padahal ia ingin mendapatkan hasil dari tanahnya itu. Oleh karena itu ia memberikan ijin kepada pihak lain untuk mengusahakan tanahnya tersebut sehingga terjadi semacam simbiosis mutualisme di mana si penggarap tanah juga turut menikmati hasil atau keuntungan yang berupa bagian dari hasil tanah yang diusahakan itu dikarenakan si penggarap telah mengerjakan sawah tersebut. Pada awalnya praktek bagi hasil dilaksanakan berdasarkan pada hukum adat setempat. Misalnya di Sumatera Barat dikenal dengan istilah memperduai, di Minahasa disebut dengan istilah toyo, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut maro atau mertelu (bagi dua atau bagi tiga), di Jawa Barat disebut nengah atau jejuron, dan di Lombok disebut dengan nyakap.
5
Boedi Harsono, Op.cit., hlm.118.
9
Menurut aturan hukum adat, imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak, yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak penggarap. Hal itu dikarenakan tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan. Dalam rangka melindungi golongan petani ekonomi lemah dari praktek-praktek golongan yang kuat, yang mengandung unsur-unsur eksploitasi, dalam masa jabatan Menteri Agraria Sadjarwo dikeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang diundangkan di Lembaran Negara 1960 Nomor 2 serta Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 1924. Undang-Undang bagi hasil tersebut hanya mengenai tanah pertanian. Pada tahun 1964, menyusul Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan yang diundangkan di Lembaran Negara 1964 Nomor 97 dan Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 2690. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 mengadakan perubahan terhadap perjanjian bagi hasil yang sebelumnya dijalankan berdasarkan peraturan adat masing- masing daerah, antara lain mengenai imbangan pembagian hasil, jangka waktu perjanjian, bentuk perjanjian dan siapa saja yang diperbolehkan menjadi penggarap. Kabupaten Klaten, Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Praktek
10
bagi hasil pertanian hingga saat ini masih sering dilakukan oleh para petani di kabupaten ini. Salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten yang para petaninya sering melakukan praktek bagi hasil adalah Kecamatan Wonosari6 .Para petani di kecamatan ini melakukan praktek perjanjian bagi hasil bukan secara tertulis seperti yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Perjanjian Bagi Hasil melainkan secara lisan sesuai dengan kebiasaan setempat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis melakukan penelitian secara lebih mendalam dengan judul “Pelaksanaan Bentuk Tertulis Dan Imbangan Pembagian Hasil Dalam Praktek Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten”.
B.
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan hukum ini, yaitu: 1.
Bagaimana pelaksanaan aturan bentuk tertulis dan imbangan pembagian hasil dalam praktek perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang berlangsung di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten?
2.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala bagi pelaksanaan bentuk tertulis serta imbangan pembagian hasil sesuai yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil?
6
Hasil pra-survey pribadi, tgl 14 September 2013
11
C.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan bentuk tertulis serta penentuan imbangan pembagian hasil dari praktek perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang berlangsung di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten.
2.
Untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang menjadi kendala bagi pelaksanaan bentuk tertulis serta imbangan pembagian hasil sesuai yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan terdapat beberapa penelitian yang juga membahas tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, yaitu: 1.
Bagi Hasil Tanah Pertanian Dalam Kehidupan Masyarakat Tani Setelah Berlakunya UU No. 2 Tahun 1960 di Kabupaten Dati II Magelang. Penelitian ini dilakukan oleh Nani Indrawati. Dalam penelitian ini dibahas pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Kabupaten Dati II Magelang.
2.
Praktek Pembagian Hasil Di Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Kabupaten Dati II Sleman. Penelitian ini dilakukan oleh Sri Umawati.
12
Dalam penelitian ini dibahas praktek pembagian hasil dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Kabupaten Dati II Sleman. 3.
Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Khususnya Tanah Sawah Setelah Berlakunya Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil Di Kabupaten Dati II Pekalongan. Penelitian ini dilakukan oleh Doddy S. Dalam penelitian ini selain dibahas tentang pelaksanaan perjanjian bagi hasilnya penulis juga membahas usaha- usaha untuk menertibkan dan meningkatkan pelaksanaan UU tentang Bagi Hasil di Kabupaten Dati II Pekalongan.
4.
Praktek Perjanjian Bagi Hasil Di Daerah Kabupaten Dati II Boyolali Dan Berlakunya UU No. 2 Tahun 1960. Penelitian ini dilakukan oleh Hartini. Dalam penelitian ini penulis membahas serta menganalisa praktek perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Kabupaten Dati II Boyolali.
E.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1.
Sebagai tambahan pengetahuan mengenai pelaksanaan aturan bentuk tertulis serta imbangan bagi hasilnya dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian dan pengembangan hukum agraria pada umumnya.
13
2.
Sebagai sumbangan informasi bagi pemerintah dan masyarakat yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembangunan dan pengambilan kebijakan dalam bidang pertanahan.