BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Perkawinan menurut ahli fikih dan hadis adalah hubungan yang terjalin antara suami-istri dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan, seperti: wali, mahar, dua saksi yang adil, dan disahkan dengan ijab dan qabul. 1 Pada hakikatnya, akad pernikahan adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga.2 Ikatan perkawinan suami-istri adalah ikatan yang paling suci dan kokoh. Mempertahankan perjanjian yang kokoh dalam kehidupan rumah tangga seperti yang dimaksudkan dalam AlQur‟an terkadang terhalang oleh keaadaan yang merupakan taqdir dari Allah yaitu kematian. Namun adakalanya halangan itu datang dari manusia sendiri berupa perceraian sebagai jalan terakhir karena sudah tidak ada lagi kecocokan antara suami dan istri. Perceraian dalam bahasa Indonesia berasal dari kata cerai, yang menurut KBBI, cerai adalah pisah; putusnya hubungan suami istri selagi keduanya masih hidup.3 Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri dengan
1
Ali Yusuf, Fiqh KeluargaPedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta: Azmah, 2010),
2
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm.11 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses pada tanggal 26 April 2017
hlm.1 3
1
2
putusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami istri tidak akan hidup rukun lagi sebagai suami istri (Soemiyati, 1982:12).4 Perceraian disyariatkan Allah sebagai "obat" pertikaian dalam keluarga ketika tak ada "obat" lain yang manjur. Berabad yang lalu, orang-orang Barat [Kristen] mengkritik hal ini dan menganggapnya sebagai bukti penghinaan Islam terhadap nilai wanita dan kesucian tali pernikahan.5 Padahal Islam bukan agama pertama yang mensyariatkan perceraian. Dalam agama Yahudi dan masyarakat-masyarakat kuno juga telah mengenal perceraian. Islam datang membawa aturan-aturan yang menjamin hak serta kemuliaan suamiistri. Seperti halnya, Islam selalu melakukan pembaruan terhadap masalahmasalah sosial. 6 Perceraian dalam Islam bukanlah sarana untuk mempermainkan kesucian tali pernikahan. Perceraian dalam Islam juga bukan untuk menjadikan kehidupan keluarga tidak stabil seperti halnya yang dilakukan orang-orang Barat ketika memperbolehkan perceraian. Tapi justru sebaliknya Islam membolehkan perceraian dalam konteks demi mendapatkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan disyariatkannya pernikahan yakni tercapainya ketentraman dan kedamaian jiwa. Meski demikian, perceraian dalam Islam bukanlah akhir dari segalanya karena dalam perceraian masih ada masa Iddah sebagai titik tunggu jika mungkin
4
Muchlisin Riadi, Pengertian, Alasan dan Proses Perceraian, diakses dari www.kajianpustaka.com (diakses pada tanggal 21 Februari 2017) 5 Musthafa As-Shiba‟i. Wanita dalam Pergumulan Syariat dan Hukum Konvensional. Judul Asli.( Al-Marah Baina Fiqh Wal Qonun. Penerjemah Ali Ghufron & Saiful Hadi. Jakarta : Inti Media. Tt.,) hlm, 134 6 A.R. Idham Kholid, Di Persimpangan Jalan antara Melanjutkan Perceraian atau Rujuk dalam Masa „Iddah, EjournaL Eksklusif edisi 1 Vol. 1 2016, hlm. 2
3
masih ada jalan untuk dilanjutkan (rujuk)-nya bahtera rumah tangga, atau melanjutkan perceraian setelah yakin kembali bersatu tak lagi bisa dilakukan. Masa menunggu wanita biasa disebut dengan kata „iddah. Mengenai „Iddah, Ulama Madzhab berbeda pendapat terutama untuk iddah tiga quru‟. Imam Abu Hanifah adalah Imam Madzhab yang memiliki pandangan berbeda dari Imam Madzhab yang lain. Hukum tentang „Iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya adalah 3 quru>‟ :
ٍ والْمطَلَّقات ي ت ربَّصن بِأَنْف ِس ِه َّن ثَََلثَة قُر وء ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ ُ َ Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.” (QS.Al-Baqarah (2): 228) Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu riwayat berpendapat yang dimaksud dengan quru‟ adalah bersuci. Dengan demikian, „Iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya adalah tiga kali suci. 7 Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam riwayat lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru>‟ adalah haid.8 Karena adanya perbedaan tersebut, penulis merasa tertarik apakah sumber dalil yang digunakan Imam Abu Hanifah khususnya untuk masalah „Iddah tiga quru‟ ini. Dari latar belakang diatas dan sebagai tambahan wacana keilmuan, penulis mengajukan skripsi dengan judul “ANALISIS PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG „IDDAH TIGA QURU<‟ DALAM TALAK RAJ‟I”. 7
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm.325 8 Ibid, hlm.326
4
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, masalah pokok dalam studi ini penulis rumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana pemikiran Imam Abu Hanifah tentang „Iddah tiga quru‟ dalam talak raj‟i? b. Apakah dasar hukum yang Imam Abu Hanifah gunakan dalam memaknai „Iddah tiga Quru‟? C. Tujuan Penelitian Setelah melihat dari latar belakang dan rumusan masalah diatas, studi ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan bagaimana pemikiran mengenai „Iddah tiga quru‟ menurut Imam Abu Hanifah. 2. Menjelaskan apa dasar hukum Imam Abu Hanifah tentang „Iddah tiga quru‟. D. Manfaat Penelitian Dari tujuan diatas, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk: 1. Secara teoritis a.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat muslim tentang apa itu „Iddah tiga quru‟ dan apa saja perintah dan larangan yang mengikuti hukum tersebut.
b.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian lebih lanjut terhadap kajian-kajian seputar „Iddah tiga quru‟ dalam talak raj‟i, khususnya apabila ditinjau dari pemikiran Imam Abu Hanifah.
5
2. Secara praktis a. Dapat dijadikan sebagai acuan wanita muslim di indonesia ketika menghadapi persoalan tentang masa „Iddah. b. Dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang pandangan „Iddah wanita jika ditinjau dari Imam Abu Hanifah. E. Kerangka Teori Syari‟at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar permaalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubahubah lantaran berubahnya masa dan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari‟at Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum saja. Penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad ulama. Sehubung dengan masalah tersebut, kita yang hidup pada masa kini, bahkan disetiap masa, selalu membutuhkan seorang ahli hukum (faqi
ih}dad wanita, maka penulismenggunakan beberapa pendekatan yaitu: Pertama,pendekatan historis digunakan sebagai upaya untuk mengungkap makna teks. Dalam hal ini pendekatan historis meliputi pendekatan biografi
9
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.V
Qawa‟id
6
intelektual atau sejarah sosial intelektual –yang dalam istilah Azyumardi Azra-10 dimaksudkan sebagai kajian atau analisis terhadap faktor-faktor sosial intelektual yang mempengaruhi terjadinya peristiwa sejarah itu sendiri.Biografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bi.o.gra.fi [n] riwayat hidup (seseorang) yangg ditulis oleh orang lain. Biografi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios dan graphien yang berarti hidup dan tulis. Sehingga dapat diartikan sebagai kisah riwayat hidup seseorang.Dalam konteks ini, yaitu biografi Imam Abu Hanifah. Kedua, metode pengambilan dalil atau Dala>latul Hukmi. Menjelaskan bagaimana metode pengambilan dalil yang beliau gunakan dalam berijtihad. Imam Abu Hanifah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu „illat-„illat dan maksud-maksud hukum. Sedang untuk masalah-masalah yang tidak ada nash-nya beliau gunakan qiya>s, istih}sa>n dan „urf.11 Imam Abu Hanifah dalam menjelaskan tentang pemikirannya didasarkan pada sumber dalil yang sistematis atau tertib. Abu Hanifah menempatkan AlQur‟an pada urutan pertama, kemudian As-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya qoul saha>by, ijma‟ qiya>s, istih}sa>n dan yang terakhir „urf. Dalam hal terjadinya pertentangan qiya>s danistih}sa>n, sementara qiya>s tidak dapat dilakukan,
10
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Nusantara, edisi revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 4. 11 Djazuli, Ilmu Fiqih, (Kencana: Jakarta, 2012), hlm.127
7
maka Abu Hanifah meninggalkan qiya>s dan berpegang pada istih}sa>n karena adanya pertimbangan maslahat.12 Atas dasar seperti inilah Imam Abu Hanifah melakukan istinbat hukum dan cara ini menjadi dasar pegangan atau ushul Madzhab Hanafi dalam menetapkan dan membina hukum Islam. Dari paparan teori-teori diatas penulis anggap cukup untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik untuk mendapatkan analisis kritis atas pokok bahasan yang penulis angkat. F. Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai „Iddah memang bukan satu-satunya dan pertama kali dilakukan dari literatur yang penulis telaah ada beberapa yang membahas masalah yang sama walaupun dalam porsi dan spesifikasi yang berbeda. Adapun bukubuku yang menyinggung persoalan tersebut adalah Fiqih Empat Madzhab yang ditulis oleh Syaikh Al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahma>n Ad-Dimasyqi< dan Kitab-kitab Fiqih Hanafi, diantaranya Al-Mabsu>t, An-Natfu fil Fatawa>,Bada>ai‘u Al-Shonaa>i’, dan lain-lain Jurnal, “Iddah dan Tantangan Modernitas”, oleh Siti Zulaikha, 2010. Hasil dari penelitian ini `iddah yang merupakan suatu syari‟at yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hikmah `iddah mendatangkan kemaslahatan bagi semua pihak, maka ketika 12
hlm.48
Romli SA, Muqoronah Madzahib fil Ushul, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1999),
8
diketahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak akan tercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain, atau dengan kata lain agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab, adanya masa sebagai kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berpikir kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya ataukah akan meneruskan cerai jika hal tersebut dianggap lebih baik. Sehingga dihasilkan keputusan terbaik jangan sampai istri tergantung, tidak bisa menikah dengan laki-laki lain dan kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa `iddah itu memiliki berbagai keutamaan di berbagai aspek, yang mana masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.13 Jurnal “Di Persimpangan Jalan antara Melanjutkan Perceraian atau Memilih Rujuk dalam Masa „Iddah”, oleh A.R.Idham Kholid, 2016. Islam memperbolehkan perceraian antara suami istri yang saling benci, untuk mencegah bahaya yang lebih besar dan mendapatkan manfaat yang lebih banyak. Adalah kebaikan jika mereka bercerai, karena pertentangan dan perselisihan sering terjadi di antara mereka, sedangkan kehidupan suami istri harus dilandasi cinta dan keharmonisan, ketenteraman dan ketenangan, bukan dilandasi pertengkaran dan permusuhan.14 Jurnal Studi Gender dan Anak : „Iddah dalam Analisis Gender. Oleh Indar.Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa hukum
13
hlm.1
14
Siti Zulaikha, „iddah dan Tantangan Modernitas, Jurnal Hukum Vol. 7 nomor , 2010,
A.R.Idham Kholid, “Di Persimpangan Jalan antara Melanjutkan Perceraian atau Memilih Rujuk dalam Masa „Iddah”, Jurnal Eksklusif edisi 1 Vol. 1: 2016. Hlm. 26
9
Islam dalam persoalan „Iddah perlu diteliti lebih lanjut maksud dari „Iddah, yang ternyata tidak hanya berhubungan dengan masalah janin atau kebersihan rahim, tetapi ada etika sosial, yaitu pada „Iddah wafat. Selain itu, „Iddah berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, maka perlu dijelaskan persoalan „Iddah yang tertuang dalam al-Qur‟an dengan lebih mendalam.15 „Iddah dan Ih{da>d Wanita Karier : Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif . Oleh Ahmad Fahru. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2015. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan hukum „Iddah dan Ih}dad bagi wanita adalah sesuatu yang beralasan, baik dari segi agama maupun dari segi kebaikan bagi si perempuan. Akan tetapi beberapa larangan bagi seorang perempuan yang menjalankan „Iddah dan ih}dad bisa dicarikan beberapa alasan untuk menjadi sebuah hukum yang sesuai disetiap zaman dan keadaan.16 Jurnal “Hukum Penggunaan Social Media oleh Wanita dalam Masa „Iddah”,
oleh
Izzaatul
Muchidah.
Dalam
penelitian
tersebut
penulis
menyimpulkan bahwa penggunaan social media oleh wanita yang dalam masa „iddah di Kecamatan Gunung Anyar Surabaya, tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Karena dari tiga responden yang diwawancarai, dua di antaranya diketahui menggunakan social media sebagai sarana untuk menjalin hubungan baru dengan lawan jenis agar tidak diketahui khalayak. Berawal dari perkenalan
15
Indar, „Iddah dalam Analisis Gender, Purwokerto: Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 5 No. , hlm. 2 16 Diperoleh dari http://repository.uin-suska.ac.id/720/ (diakses pada tanggal 22 Februari 2017)
10
lewat social media, keakraban pun terjalin sehingga hubungan yang semestinya tidak timbul dalam masa „iddah, akhirnya terjadi. Seyogyanya, ia tetap menjaga kehormatan diri dan suaminya meskipun dalam interaksi dunia maya. Karena „illah „iddah adalah etika atau kesopanan terhadap pasangan sehingga selalu relevan dengan zaman, tidak terbatas waktu, tidak terikat kondisi apapun.17 Skripsi “Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang „Iddah bagi Wanita yang belum Haid”, oleh Ulin Nuha,2016. Dalam penelitian ini hasilnya adalah yang pertama, bahwasanya madzhab Hanafi menyatakan seorang wanita yang belum haid wajib menjalani masa iddah selama tiga bulan. Madzhab Hanafi menggunakan dasar hukum Al-Qur‟an surat ath-Thalaq ayat 4 dalam menetapakan iddah bagi wanita yang belum haid, karena madzhab Hanafi memandang surat ath-Thalaq ayat 4 ini adalah umum untuk semua iddah bagi istri yang belum haid atau yang sudah berhenti haid (menopause). Dengan menunjukkan lafadz “ allā‟i lam yakhidzna” merupakan lafadz yang berarti bersifat „am, karena dalam surat ath-Thalaq ayat 4 ini tidak terdapat lafadz yang secara khusus menunjukkan bahwa mantan istri yang ditalak oleh mantan suaminya wajib menjalankan masa iddah.18 G. Metode Penelitian Metode Penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan atau tatanan yang bertujuan agar kegiatan penelitian terlaksana secara rasional dan
17
Izzaatul Muchidah, Hukum Penggunaan Social Media oleh Wanita dalam Masa „Iddah,Al-Hukama Vol.3 No. 01, hlm. 15 18 Ulin Nuha, “Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang „Iddah bagi Wanita yang belum Haid”, hlm. 64
11
terarah sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan optimal.19 Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dalam mengumpulkan data, menjelaskan dan menyimpulkan objek skripsi ini, penulis
menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penelitian
Kualitatif
merupakan penelitian dengan konteks dan latar apa adanya bukan melakukan eksperimen yang dikontrol secara ketat atau memanipulasi variabel.20 a.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (Library Research), yaitu
penelitian yang dialkukan dengan cara membaca, menelaah dan mengkaji literatur ilmiah atau buku-buku yang terdapat dalam suatu perpustakaan. Library Research adalah metode penelitian dengan pengumpulan data dari bahan tertulis (teoriteori) yang berkaitan dengan pokok-pokok masalahyang mengandalkan atau memakai sumber karya tulis kepustakaan.21 Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptifanalitis,22yakni mendeskripsikan atau menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan „Iddah tiga quru‟, terutama menurut Imam Hanafi agar mendapatkan pemahaman yang utuh untuk dan dapat dipertanggungjawabkan.
19
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 6 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 10. 21 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1997), hlm. 9. 22 Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan atau kelompok tertentu dan untuk menentukan frekuensi atau penyebarn suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakaiuntuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Lihat Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 47-49. 20
12
b. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative dan Ushul Fiqh. Kedua pendekatan tersebut menerapkan metode pemecahan ilmiah yang mengarah pada ditetapkannya sesuatu berdasarkan teksteks Alqur‟an, sunnah, kaidah-kaidah fiqhi>yah dan ushuli>yah, maqāshidusy-
syari>ah serta pemikiran yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas. c.
Sumber data Dikarenakan penelitian ini merupakan kajian kepustakaan, maka sumber data
primernya adalah karya-karya atau buku karangan Imam Abu Hanifah, karangan murid-muridnya dengan merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah, atau pendapat-pednapat di dalam mazhab Hanafi dengan merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah. yang membahas tentang „Iddah dan Ih{da>d Wanita. Adapun karya-karya kategori tersebut adalah sebagai berikut: Al-Mabshu>t, An-Natfu fil Fatawa>,Bada>ai‘u Al-Shonaa>i’, dan lain-lain Sementara sumber data sekunder berupa buku-buku tentang biografi ImamAbu Hanifah, Buku tentang Hukum Keluarga, Kitab-kitab Fiqh Munakahat, Kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer yang terkait „Iddah dan ih{da>d wanita, Kitab-kitab uṣūl fiqh dan Qawā‟idul fiqhiyyah dan Fikih Empat Madzhab. d. Analisis Data Analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menganalisis, mempelajari serta mengolah data-data tertentu sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang konkrit tentang persoalan yang sedang diteliti. Dalam menganalisis data penulis menggunakan metode kualitatif dengan metode berfikir
13
deduktif yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum untuk menemukan kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya penulis menguraikan secara deskriptif tentang teori-teori yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas. Dari data yang bersifat umum akan dianalisis sehingga menghasilkan data yang bersifat khusus yang berhubungan dengan „Iddah. H. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan pejabaran tulisan , penelitian ini akan dibagi menjadi lima (5) bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I:
Bab ini merupakan Bab Pendahuluan yang isinya antara lain memuat; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Bab ini membahas tentang biografi Imam Abu Hanifah, yang isinya terdiri dari 6 sub bab, yaitu : kelahiran Imam Abu Hanifah, pendidikan Imam Abu Hanifah, karya-karya Imam Abu Hanifah, guru-guru dan murid-murid Imam Abu Hanifah, penilaian para ulama terhadap Imam Abu Hanifah dan kedudukan Sumber dalil Imam Abu Hanifah. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan sosok Imam Abu Hanifah secara Umum. BAB III: Dalam Bab ini secara umum membahas tentang tinjauan umum tentang „Iddah talak raj‟i. Yaitu berisi tentang, „Iddah : pengertian, dasar hukum, hukum pelaksanaannya, tujuan disyari‟atkannya, dan hikmah disyari‟atkannya „Iddah. Hal ini bertujuan agar dapat diketahui jawaban secara umum mengenai hal tersebut..
14
BAB IV: Pada bab ini difokuskan analisis dan pembahasan pemikiran Imam Abu Hanifah tentang „Iddah tiga quru‟ dalam talak raj‟i, dan sumber hukum Imam Abu Hanifah tentang „Iddah tiga quru‟. BAB V: Bab ini adalah Bab Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
15
BAB II BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH A. Kelahiran Imam Abu Hanifah Nama Aslinya adalah An-Nu’ma>n bin sa>bit bin Az-Zu>thy Al-Khu>fi. Beliau lebih terkenal dengan sebutan Abu Hanifah. Pada masa beliau dilahirkan, Islam berada ditangan Abd. Malik bin Marwah, Raja Bani Umayyah yang ke5.23Beliau hidup 52 Tahun pada zaman Bani Umayyah dan 18 tahun pada zaman Bani Abbasiyah.24 Beliau memiliki gelar Abu Hanifah karena diantara anaknya ada yang bernama Hanifah, tetapi dalam riwayat lain, nama Abu Hanifah bukan karena mempunyai putra bernama Hanifah, tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah alHanifah, diambil dari ayat : )فاتبعوا ملة إبراىيم حنيفاMaka ikutilah agama Ibrahim yang lurus. Ali Imran : 95).25 Menurut riwayat lain pula, beliau diberi gelar Abu Hanifah karena beliau dekat dan eratnya berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.26
23
M.Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
184 24
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosdakaya,2003),hlm. 71 25 Djazuli, Ilmu Fikih,(Jakarta : Kencana,2012), hlm.125 26 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam...),hlm. 71
16
Beliau lahir di Kuffah pada tahun 80 H/699 M dan beliau wafat pada tahun 150 H/ 767 M. Abu Hanifah bukan orang Arab tetapi keturunan orang Persia yang menetap di Kuffah.27 Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali, ayah beliau adalah keturunan Persia, tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah berpindak ke Kuffah. Kakeknya dan ayahnya pernah didoakan oleh Imam Ali agar mendapatkan keturunan yang diberkahi Allah SWT.28 Bukan keturunan Arab tentu saja bukan sebuah cela. Justru catatan sejarah menunjukkan bahwa keilmuan Islam lebih banyak dikuasai muslim non-Arab atau Mawali29. Seperti, al-Hasan bin Abu Hasan, Muhammad bin Sirin dari Irak, Najih bin Abu Najih dari Madinah, dan lain sebagainya. Semua merupakan Mawali yang bersungguh-sungguh dan rajin.30 Keluarganya
adalah
pedagang
sutra.
Oleh
karena
itu,
tidaklah
mengherankan apabila Abu Hanifah pun kemudian menjadi pedagang. Pada masa mudanya, Abu Hanifah menjadi pedagang dan penuntut ilmu, kemudian berhenti berdagang demi mengajar dan berfatwa.31 Abu Hanifah adalah imam dari madzhab Hanafiyah. Abu Hanifah adalah imam tertua diantara imam empat madzhab, sekaligus menjadi imam yang paling dekat masanya dengan rosulullah SAW. Abu hanifah adalah seorang mufti atau 27
Imam Abu Zahroh, Abu Hanifah, (Daa>rul Fikri Al-„Arabi), hlm.14 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Imam Madzhab, Hanafy, Maliky, Syafi‟i, Hanbaly, (Jakrta : Bulan Bintang, 1955), hlm.19 29 Mawali adalah jamak dari kata maula. Secara istilah, Maula adalah orang yang dimerdekakan atau orang yang masuk Islam dari tangan orang lain. 30 Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab, (Jakarta : Kana Media), hlm. 19 31 Musthafa Sa‟id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2014), hlm.111 28
17
pemberi fatwa di Kuffah (secara khusus) dan Baghdad (secara umum) yang menjadi kebanggaan penduduk Irak. Sebeb, sepeninggal beliau tidak ada seorang pun ulama yang dapat menyamai. Nama Abu Hanifah tercatat dalam tinta sejarah sebagai seorang ulama ahli Ra‟yi (Logika) yang disegani kawan maupun lawan. 32 Abu Hanifah juga memiliki logat bicara yang bagus, paling bagus suaranya saat bersenandung, dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang yang diinginkannya (pendapat Abu Yusuf). Berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara, kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu tidak mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya (menurut Hamdan putranya). Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik serta bersih, suka memakai wewangian yang harum, dan suka duduk di tempat duduk yang baik. Karena beliau suka dengan wewangian, ia dikenal oleh orang tentang baunya sebelum mereka melihat kepadanya.33 B. Perjalanan menuntut ilmu Sejarah kuno menyebut Irak sebagai kota besar yang menyimpan berbagai peristiwa sejarah. Sebelum periode Islam, sudah berkembang sebuah peradaban maju yang dimotori bangsa Siryan. Pada masa itu sekolah-sekolah sudah dibangun untuk mempelajari filsafat Yunani dan Persia.34 Ketika Islam datang, berbagai madzhab dan aliran pemikiran juga bermunculan di wilayah ini. Perkembangan berbagai aliran seperti Syi‟ah,
32
Pakih Sati, Jejek Hidup dan Keteladanan Imam Empat Madzhab, (Jakarta : Kana Media,2014), hlm.15 33 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Imam Madzhab, Hanafy, Maliky, Syafi‟i, Hanbaly, (Jakrta : Bulan Bintang, 1955), hlm.21 34
Ibid, hlm.20
18
Khawarij, Mu‟tazilah, dan Ahli Sunnah wal Jamaah pun berlangsung dengan pesat.35 Perkembangan pesat berbagai madzhab ini ternyata seiring dengan masa tumbuh kembang Abu Hanifah di Kuffah.beliau menyaksikan secara langsung dan merasakan sendiri bagaimana hebatnya pertarungan antar madzhab yang ada. Namun demikian, Abu Hanifah lebih memilih mengikuti jejak ayahnya menjadi pedagang dan berjualan di pasar. Disinilah Abu Hanifah bertemu dengan AsSa‟bi.36 Pada suatu waktu,Abu Hanifah lewat di depan al-Sa‟bi salah seorang ulama besar di Kuffah. Al-Sa‟bi memanggilnya dan terjadilah dialog antara keduanya, yaitu sebagai berikut : Al-Sa‟bi : “Kau mau ke mana?” Nu‟man : “Saya mau ke pasar.” Al-Sa‟bi : “Jangan Hanya ke pasar saja pergilah ke ulama” Nu‟man : “memang sayajarang-jarang ke ulama.” Al-Sa‟bi : “Jangan begitu. Kau harus memperdalam ilmu dan menghadiri pengajian-pengajian yang diberikan para ulama, karena saya melihat kau mempunyai potensi yang besar di bidang ilmu.” Nu‟man : “Nasihat as-Sa‟bi menyentuh hatiku, maka saya meninggalkan kesibukan di pasar dan mulai menuntut ilmu.”37 Sayangnya, tidak ada yang mengetahui secara pasti sejak usia berapa Abu Hanifah mulai belajar kepada sang guru. Pastinya, hal itu dilakukan sejak dirinya lebih banyak meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu.38 Sejak mulai terjun ke dunia ilmu, Abu Hanifah mempelajari berbagai cabang ilmu agama yang berkembang di Kuffah ketika itu. Kuffah merupakan
35
Ibid. Ibid. hlm.29 37 Djazuli, Ilmu Fikih,(Jakarta : Kencana,2012), hlm.126 38 Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab..., hlm.31 36
19
salah satu kota yang sedang berkembang dan sekaligus menjadi pusat ilmu dan kebudayaan. Di kota Kuffah ini, berkembang cabang-cabang ilmu agama dan sering diadakan diskusi oleh para ulama.39 Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan ilmu apa yang terlebih dahulu dipelajari Abu Hanifah. Apabila merunut buku-buku sejarah Irak, disebutkan pada waktu itu berkembang tiga kajian ilmu, yakni kajian Ushul Akidah, kajian Hadis dan periwayatannya, juga kajian Fikih dan Fatwa. Ada sebagian ahli sejarah yang mengatakan bahwa Abu Hanifah terlebih dahulu belajar Ushul Akidah dan metode-metode perdebatan, baru kemudian belajar Fikih. Riwayat lain mengatakan beliau langsung belajar Fikih dan menjadi ahli di bidang itu.40 Guru-guru Abu Hanifah yang terkenal diantaranya adalah al-Sa‟bi bin Hammad bin Abi Sulaiman di Kuffah, Atha‟ bin Rabbah di Mekkah, Imam Za‟id bin Ali Zainal Abidin, Ja‟far Shodiq, Sulaiman dan Salim di Madinah.41 Setelah gurunya Hammad bin Abi Sulaiman wafat, ia menggantikan kedudukan gurunya untuk mengajar ilmu agama, yang ketika itu umur beliau 40 tahun. Dari sini mulailah Abu Hanifah mengeluarkan pandangan-pandangan yang tidak jarang menimbulkan kontroversial dengan pandangan-pandangan yang sudah ada. Ia mulai mengembangkan teori-teori pemikiran dalam hal istinbat hukum.42 Penggembaraan keilmuan seorang calon ulama besar ini kemudian berlanjut kepada beberapa guru. Bersama Atha‟ bin Rabbah di Mekkah, selama enam tahun
39
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.20 Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab..., hlm. 30 41 Djazuli, Ilmu Fikih..., hlm.126 42 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.20 40
20
Abu Hanifah belajar Hadis. Bersama Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin yang merupakan Ahlul Bait (keturunan Ali RA), selama dua tahun Abu Hanifah belajar ilmu fikih. Belajar dengan adik Zaid bin Ali Zinal Abidin, Muhammad bin Baqir yang merupakan salah satu imam dua belas yang dipercaya Syi‟ah Itsna Asyariyyah, beliau belajar untuk tidak menjelek-jelekkan para sahabat tetapi memujinya. Bersama Abu Muhammad Abdullah bin al-Hasan, seorang ulama besar dengan murid yang banyak, Abu Hanifah mempelajari banyak hal. Bersama Ja‟far Shadiq, Abu Hanifah belajar ilmu Fikih.43 Sesungguhnya semasa muda Abu Hanifah pernah bertemu langsung dengan beberapa sahabat di penghujung hidup mereka. Diantaranya Anas bin Malik (w.93 H), Abdullah bin Aufa (w.87 H) dan Sahl bin Said (w.88 H). Sayangnya beliau belum sempat belajar kepada mereka. Saat itu, Abu Hanifah muda belum mengenal pentingnya ilmu.44 Jika demikian, Abu Hanifah sempat bertemu Sahabat, apakah bisa dikatakan sebagai tabi‟in? Jika tabi‟in hanya cukup dengan bertemu saja, maka beliau adalah tabi‟in, jika disyaratkan harus menemani dan menimba ilmu dari para sahabat maka Abu Hanifah bukanlah bagian dari tabi‟in.45 Yang menonjol dari fikih Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah46 : a. Sangat rasional, mementingkan maslahat dan manfaat. b. Lebih mudah dipahami daripada madzhab yang lain. c. Lebih leberal sikapnya terhadap Dzimmi (warga negara yang non muslim). 43
Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab, (Jakarta : Kana Media), hlm.
32-35 44
Ibid.hlm.39 Ibid.hlm.40 46 Djazuli, Ilmu Fikih..., hlm.127 45
21
Hal ini bisa dipahami karena cara beristinbat Abu Hanifah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum. Sedang untuk masalah-masalah yang tidak ada nash-nya beliau gunakan qiyas, istihsan dan „urf.47 Sejak zaman Rosulullah saw. sudah terdapat dua kubu ulama. Ada yang dikenal dengan ahli riwayah dan ada yang dikenal dengan ahli ra‟yi. Bukan hanya pada masa sahabat saja, tetapi juga pada masa tabi‟in dan tabi‟ut tabi‟in. Pada masa ini, pertarungan antar madzhab sangat kuat. Hijaz dikenal dengan ahli hadis dan Kuffah atau Baghdad dikenal dengan sarang ahli ra‟yi.48 Baghdad yang saat itu sangat kurang dalam hal perkembangan hadis, apalagi ahlinya, saat menemui masalah dan mereka tidak mendapatkan pemecahannya pada hadis, mereka mau tidak mau mengambil hukum dengan cara menganalogikan masalah. Logika yang digunakan bukan sembarang logika. Metode logika hanya akan dirujuk jika tidak ada dasar dari Al-Qur‟an dan AsSunnah. Inti dari keduanya akan diambil untuk menetapkan hukum dari masalah yang muncul.49 Selain perihal pokok di atas, terdapat pula perbedaan antara ahli riwayah dan ahli ra‟yi. Ahli riwayah tentu saja lebih senang kepada periwayatan hadis. Biasanya mereka tidak menggunakan logika kecuali saat-saat darurat saja, yaitu saat sudah tidak menemukan hadis lain. Berbeda dengan ahli ra‟yi, mereka hanya
47
Ibid. Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab, (Jakarta : Kana Media),
48
hlm.38 49
Ibid.
22
menerima hadis yang dipandang sahih saja. Mereka pun tidak menerima hadishadis dho‟if50 C. Murid-muridnya dan Guru-gurunya Adapun guru-guru dan murid-murid imam Abu Hanifah dapat dilihat dari tabel berikut51 : Guru-gurunya
Murid-muridnya
Hammad bin Abi
Abu Hu dzail Zufar bin
Sulaiman
Hudzail bin Qais Al-„Anbari (110-158 H)
Abdurrahhman bin Hurmuz al-„A‟raji
Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim (113-182 H) Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan (132-189 H)
„Ady bin Tsabit
Abu Ali Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu‟lui (133-204 H)
Sulaiman bin Kuhail
Nuh bin Abi Maryam
Qotadah bin Di„a>mah
Abu Muthi‟ al-Hakam bin Abdillah al-Baghly
„Amru bin Dinar
Asad bin „Amru al-Qodhi
Abu Ja‟far Muhammad
Ibnu Hamad bin Abu
bin Ali
50
Hanifah
Ibid, hlm.39 Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad, Manaaqib Al-Imam Abu Hanifah, (India), hlm. 19-
51
20
23
D. Karya-karyanya Imam Abu Hanifah adalah seorang yang ahli fiqih dan ilmu kalam, keahliannya jarang bisa ditandingi pada masa itu. Dikala beliau masih hidup, tidak diragukan lagi mengapa banyak para ulama yang berguru kepada beliau.52 Oleh sebab itu, dikala beliau wafat, diantara para ulama terkeal menjadi sahabat karib beliau, seperti Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Hasan bin Ziyad dan lainnya. 53 Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Moslem mengemukakan, bahwa Abu Hanifah meninggalkan 3 karya besar, yaitu : fiqh akbar, al-„alim wa al-muta‟alim dan musnad fiqh akbar.54 1. Kitab Al-Fiqh Al-Akbar Kitab ini masuk dalam kitab fikih, bukan aqidah, walaupun isi dari kitab ini membahas tentang masalah-masalah aqidah.55 Pada masa penyebaran kitab, ternyata ada beberapa murid yang meriwayatkan. Diantaranya adalah : a.
Hammad bin Abu Hanifah, yang di syarah oleh Al-Qori‟.
b.
Abu Muthi‟ Al-Balkhy, yang terkenal dengan nama Al-Fiqh Al-Mabshu>t. Dan terdapat pula riwayat dari murid yang lain lengkap dengan syarah-nya. Beberapa masalah yang di bahas dalam kitab ini adalah manusia yang
palig afdhal setelah Rosulullah adalah Khulafaur Rasyidin, yaitu : Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin „Affan dan Ali bin Abi Thalib.
52
Ibid, hlm.66 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Imam Madzhab, Hanafy, Maliky, Syafi‟i, Hanbaly, (Jakrta : Bulan Bintang, 1955), hlm.76 54 Humaizah Tahido Tango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997), hlm.101 55 Muhammad Abu Zahroh, Abu Hanifah, Darul Fikri Al-„Arabi, hlm. 210 53
24
Selain membahas tentang itu, kitab ini pun membahas mu‟jizat yang dimiliki para Nabi, lengkap dengan karamah yang dimiliki para wali. Perbedaan antara karamah dan perkara-perkara luar biasa yang bisa dilakukan orang-orang kafir juga dibahas disini, dan lain sebagainya. 2. Kitab Al-Alim Wa Al-Mutaallim Kitab ini berisi tentang ilmu kalam dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Ada tiga pokok pembahasan, yaitu56 : a. Masalah Qiyas dan kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu yang harus diketahui. b. Masalah pengkajian dan istidlal yang harus diketahui olwh seorang alim dan penuntut ilmu. c. Masalah iman, hidayah dan petunjuk. 3. Kitab Musnad Kitab ini membahas tentang hadis-hadis dan atsar yang diriwayatkan Abu Hanifah tentang berbagai tema.57 Selain tiga kitab tersebut, Imam Abu Hanifah juga menulis pada sebuah majalah ringkasan yang sangat terkenal. Disamping itu Imam Abu Hanifah membentuk badan yang terdiri dari tokoh-tokoh cendikiawan dan ia sndiri yang menjadi ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulian dan mengalihkan syari‟at Islam ke undang-undang.58
56
Ibid., hlm.70 Ibid.,hlm. 213 58 Humaizah Tahido Tango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997), hlm.101 57
25
Menurut Anas PA dalam tulisannya yang berjudul “The Hanafi School : Origin, Development And Features”, karya-karya Imam Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya,maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada saat beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Abu Hanifahhanya meninggalkan buku fundamental, yaitu beberapa buku kecil yang hanya menerangkan prinsip-prinsip ideologi secara umum dan prinsip-prinsip ajarannya. Hampir semua warisan ilmu yang diberikan kepada mereka (murid-muridnya) hanya secara lisan saja. Kemudian setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh muridmuridnya dan pengikut-pengikutnya, sehingga menjadi Madzhab Ra‟yi yang hidup dan berkembang. Madrasah ini diberi nama madrasah Hanafi, biasa disebut juga madrasah Ra‟yi atau madrasah Kuffah.59 Adapun murid-murid Imam Abu Hanifah yang berjasa di madrasah Kuffah dan membukukan fatwa-fatwanya hingga dikenal di dunia Islam adalah 60: 1. Abu Yusuf (Ya’ku>b bin Ibra>him al-Ansha>ry>) (113-182 H) Nama aslinya adalah Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib Al-Anshori. Beliau besar, tinggal serta belajar di Kuffah. Walaupun aslinya Abu yusuf adalah orang Arab. Ia dilahirkan pada tahun 113 H dan meninggal pada tahun 182 H. Beliau adalah seseorang yang ditunjuk menjadi ketua Mahkamah Agung atau kepala Qodhi selamazaman Khalifah Al-Mahdi, Khalifah Al-Haadi, kemudian Khalifah Al-Rasheed. Pada khalifah yang terakhir, mereka sangat berterima kasih kepada Abu Yusuf karena ia adalah pengaruh utama dalam
59
Anas PA, The Hanafi School : Origin, Development And Features, (aligahr muslim university : aligarh india), hlm.2 60 Ibid.,hlm.2-3
26
mendukung Al-Rasheed untuk menjadi Kholifah. Oleh karena itu Abu Yusuf diangkat menjadi Hakim Agung. 61 Abu Yusuf memiliki pandangan sendiri dari fikih Hanafi, dan ia menulis beberapa buku tentang Madzhab. mahasiswa dekatnya adalah Al-Syaibani, yang belum mencapai usia dua puluhan ketika Abu Hanifah meninggal.62 2. Muhammad bin Hasan al-Syaiba>ny> (132-189 H) Muhammad bin Al-Hasan lahir pada tahun 132 H degan gelar Abu Abdullah dan meninggal pada tahun 189 H. Ia menimba ilmu kepada Imam Abu Hanifah hanya sebentar. Karena ketika Imam Abu Hanifah meninggal, ia baru berusia 18 tahun. Akan tetapi Muhammad bin Al-Hasan adalah salah satu murid sang imam yang paling terkenal selain Abu Yusuf. Abu Yusuf adalah guru kedua Muhammad Al-Hasan setelah Imam Abu Hanifah. Setelah Abu Yusuf melepaskan jabatannya sebagai qodhi pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Muhammad Al-Hasan ditunjuk sebagai pengganti. Beliau adalah seorang penulis yang baik, dan ia menulis banyak buku-buku yang bagus tentang ajaran Imam Abu Hanifah, sehingga membuat kontribusi terbesar kepada Madzhab Hanafi. Seperti Abu Yusuf, Al-Sheybani memiliki pandangan sendiri tentang fikih, dan dia mengatakan ketika ia menulis fikih Hanafi. Al-Sheybani juga belajar
61
Ibid. Ibid.
62
27
dibawah Malik IbnAnas selama 3 tahun, dan ia dipengaruhi oleh metodologi nya, sehingga ia memperkenalkan metode Malik ibn Anasdi Madzhab Hanafi. 63 3. Al-Hasan ibn Ziya>d al-Lu‟lu„i> (133-204 H) Beliau belajar hukum di Abu Hanifah, dan kemudian di Abu Yusuf dan baru kepada Muhammad al-Sheibani. Namanya dikenal sebagai murid sang imam yang memiliki kelebihan dalam periwayatan hadis. Menurut riwayat, ulama madzhab Hanafi membagbagi masalah fikih menjadi tiga tingkatan, yakni : yang pertama “Masa>ilul-Ushul”, kedua “Masa>il an-Nawa>dzir”, dan yang ketiga “Al-Fatawa> wal Wa>qiat”. 64 1. Masa>ilul-Ushul (Masalah-masalah Pokok) Masa>ilul-Ushul, kitabnya bernama Dhariru Riwayah. Kitab ini berisi masalah-masalah yang diriwayatkan dari imam Hanafi dan muridnya-muridnya yang terkenal. Kitab ini berisi tentang keagamaan yang sudah dikatakan, dikupas dan ditetapkan oleh beliau, lalu dicampur dengan perkataan-perkataan murid beliau yang terkenal tersebut, seperti Abu Yusuf dan lain-lain. Imam Muhammad bin Al-Hasanmenghimpun Masa>ilul-Ushul itu dalam enam kitab, yaitu65 : a. Kitab Al-Mabshut b. Kitab Jami‟ Al-Saghir c. Kitab Jami‟ Al-Kabir d. Kitab Assairu-Saghir 63
Ibid. Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Imam Madzhab, Hanafy, Maliky, Syafi‟i, Hanbaly..., hlm.77 65 Ibid. hlm.76 64
28
e. Kitab Assairu-Kabir f. Kitab Az-Ziyada>t 2. Masa>il an-Nawa>dzir (Persoalan Langka) Yang dimaksud dengan Masa>il an-Nawa>dzir, ialah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah dan sahabatnya dalam kitab lain selain Dhariru Riwayah. Seperti yang ditulis oleh imam Hasan bin Ziyad, yaitu : Harunniyat, Jurjaniyyat, dan Kaisaniyyat.66 3. Al-Fatawa> wal Wa>qiat ( Kejadian dan Fatwa) Adapun yang dimaksud dengan Al-Fatawa> wal Wa>qiat ialah yang berisi masalah-masalah keagamaan hasil istinbat para ulama mujtahid madzhab Hanafi. Kitab tentang Al-Fatawa> wal Wa>qiat pertama kali dihimpun oleh Abdul Laits As-Samarqandy (w.375 H) dengn judul ‚An-Nawa>zil‛.67 E. Sifat-sifat terpuji Imam Abu Hanifah Banyak ulama memuji Imam Abu Hanifah. Beliau benar-benar menjaga wibawa dan muruah baik ketika berada di tempat ramai maupun saat sendiri. Karena Abu Hanifah sadar sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui semua yang dikerjakan makhluk-Nya. a. Lebih banyak berfikir, sedikit berbicara dan sedikit interaksi kepada manusia. Pada dasarnya, Abu Hanifah adalah sosok yang tidak lelah berusaha untuk menjauhi perbuatan sia-sia. Menghabiskan waktu tanpa faedah sama sekali bukan
66
Ibid. hlm.76 Ibid. hlm.77
67
29
kebiasaan beliau. Setiap ada waktu kosong Imam Abu Hanifah lebih banyak memaksimalkan akal, mengisinya dengan kegiatan berfikir.68 b. Rajin menunaikan ibadah sholat dan puasa Selain terbiasa menghabiskan waktu dengan berpikir, sang imam juga dikenal memiliki kebiasaan menghabiskan waktu dengan menunaikan ibadah. Sungguh sosok teladan yang menghibahkan hidupnya di jalan Allah. Tidak mengenal lelah dalam beribadah dan menuntut ilmu.69 Abu Hanifah adalah sosok yang yang rajin menunaikan ibadah puasa demi menjaga kebersihan hati dan menjaga dari ketamakan. Karena beliau meyakini, orang yang selalu menjaga kebersihan hati dan menjaga dari ketamakan akan selalu cerdas akalnya.70 c. Rajin membaca Al-Qur‟an Sebuah riwayat dari Huraits Ibn Abi Waraqa‟, bahwa saya mendengar Abu Yusuf berkata : “Bahwasannya Abu Hanifah menghatamkan Al-Qur‟an pada malam hari dalam satu raka‟at.”71 Dalam hidupnya beliau telah menghatamkan Al-Qur‟an sebanyak 7000 kali.72 Dalam suatu riwayat menjelaskan, Yahya bin Nasir berkata : mungkin Abu Hanifah pada bulan Ramadhan menghatamkan Al-Qur‟an sebanyak 60 kali.”73
68
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad, Manaaqib Al-Imam Abu Hanifah, (India), hlm. 17 Ibid, hlm. 20-21 70 Pakih Sati, Jejek Hidup dan Keteladanan Imam Empat Madzhab, (Jakarta : Kana Media,2014), hlm.58 71 Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad, Manaaqib Al-Imam Abu Hanifah..., hlm. 21 72 Ibid, hlm. 24 73 Ibid, hlm. 23 69
30
d. Memiliki rasa takut yang besar kepada Allah Abu Hanifah termasuk hamba yang sangat takut kepada Allah Swt. sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Ismail, “Aku mendengar bahwa Waki berkata : Hasan bin Shalih berkata: Abu Hanifah sangat takut kepada Allah Swt. dan khawatir terjerumus ke dalam hal-hal yang haram.”74 e. Sosok yang lemah lembut Mengenai sifat ini, Abu Hanifah patut menjadi salah satu teladan karena beliau tidak mudah terpancing saat terjadi sesuatu yang sesugguhnya dapat membuat seseorang marah atau bereaksi keras.75 f. Sosok yang wara‟ Warak dalam hal ini bisa diartikan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah Swt. (dalam Al-qur‟an) dan Rosulullah dari hadis-hadis nya. Abu Hanifah terkenal sebagai sosok yang wara‟, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdul Malik bahwa beliau mendengar bahwa Yazid bin Harun berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih afdhal, lebih wara‟ dan lebih berakal melebihi Abu Hanifah.”76 g. Dermawan Latar belakang keluarga yang berkecukupan tidak membuat beliau lupa dengan saudaranya. Bagi beliau, mengeluarkan uang untuk beribadah di jalan Allah Swt. tidaklah harus kikir. Jika Abu Hanifah memberikan nafkah kepada keluarganya maka beliau juga akan bersedekah dengan nominal yang sama.
74
Ibid, hlm. 17-18 Pakih Sati, Jejek Hidup dan Keteladanan Imam Empat Madzhab, (Jakarta : Kana Media,2014), hlm.60 76 Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad, Manaaqib Al-Imam Abu Hanifah..., hlm. 42 75
31
h. Sosok yang tidak gila jabatan Abu Hnaifah tidak tergila-gila pada jabatan. Padahal setiap kali ada pergantian kepemimpinan khalifah, beliau terus ditawarkan menjadi Qodhi negara. Setiap kali ditawarkan itu pula sang imam menolaknya. Bahkan, nyawa Imam Abu Hanifah harus melayang karena bersikukuh menolak jabatan yang ditawarkan kepada beliau ini.77 F. Kedudukan Sumber Dalil Imam Abu Hanifah Di kalangan para madzhab ushul dalam melakukan istinbat hukum (ijtihad)78 mereka telah menyusun macam-macm sumber dalil secara sistematik. Dan dalam kenyataannya,
macam-macam sumber dalil tersebut ada yang
disepakati dan ada yang tidak disepakati. Dengan kata lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum dikalangan ulama ushul tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan dipihak lain terdapat perbedaan.79 Dalam kajian ushul fiqh, secara lugawi para ulama ushul mengartikan dalil dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.80 sedangkan As-Subki dalam kitab Matn Jam‟i al-Jawami‟ menyebutkan bahwa dalil hukum adalah81 :
ِ ٍ ُصل بِص ِحْي ِح النَّظَ ِر فِْيو إىل مطْل وب َخ ََِبي َ ُ ُّ َما ُيُْك ُن الت ََّو ََ
Artinya: Apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki. Yaitu hukum syara‟ dengan berpijak pada pemikiran yang benar.
77
Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab..., hlm. 64 Ijtihad adalah aktivitas yang dilakukan oleh seorang faqih (orang yang berbakat Fiqih) untuk memperoleh hukum tingkat Zanny. Lihat Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 69. 79 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.47 80 Ibid.hlm. 41 81 Ibid.hlm. 42 78
32
Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara‟ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Dalam kegiatan istinbat, Imam Abu Hanifah menempuh langkah-langkah sebaga berikut : pertama, berpegang pada Al-Qur‟an, kedua, As-Sunnah, ketiga, Qoul Sahabi, keempat, Ijma‟, Kelima Qiyas, keenam Istihsan, Ketujuh, „Urf/Kebiasaan.82 1. Al-Qur‟an Al-Qur‟an adalah sumber fikih yang pertama83. Secara etimologis , AlQur‟an merupakan Masdar dari kata kerja “ “قرأyang berarti bacaan atau yang ditulis. Secara terminologis (istilah) para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa definisi sebagai berikut84: Zakaria al-Birri yang disebut Al-Qur‟an adalah :
a.
ِ َكَلَم اهللِ املنَ َّزُل علَى النَِِّب ُُم َّم ٍد بِاللَّ ْف ِظ العرِ ِِّب و املْن ُقو ُل بِالتَّواتِِر و املكْتُوب ِف املص ِ اح َ ِّ َ ُ ََ ُ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ ََ Artinya: “Al-Qur‟an adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir85 dan tertulis pada lembaran-lembaran Mushaf.” Menurut Al-Ghazali yang disebut Al-Qur’an adalah :
b.
ال ُق ْرآ ُن َو ُى َو قَ ْو ُل اهللِ تَ َع َاىل 82
Ibid.hlm.22 Djazuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta : Kencana,2012), hlm.62 84 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.56 85 Mutawatir adalah di mana Al-Qur‟an begitu disampaikan kepada para sahabat, maka para sahabat menghafal dan menyampaikan pula kepada orang banyak, dan dalam penyampaiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan kebohongan. Lihat Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.57 83
33
Artinya: “Al-Qur‟an yaitu merupakan firman Allah SWT” Dari kedua pengertian diatas dapat dilihat bahwa pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama.Kehujjahan Al-Qur‟an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan didalamnya. Dengan kata lain Al-Qur‟an itu benar-benar datang dari Allah yang dinukil secara Qath‟i (pasti) . oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur‟an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Dari beberapa ayat berikut ini merupakan bukti atas kebenaran Al-Qur‟an tersebut :
ِِ ِ َّ ِ صلَ ْو َن َسعِ ًي ْ َين يَأْ ُكلُو َن أ َْم َو َال الْيَتَ َامى ظُْل ًما إََِّّنَا يَأْ ُكلُو َن ِف بُطُوِن ْم نَ ًارا َو َسي َ إ َّن الذ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”86 (QS.An-Nisa‟ : 10)
ِ ِ ك ً ك َش ِه ً ث ِف ُك ِّل أ َُّم ٍة َش ِه ُ َويَ ْوَم نَْب َع َ يدا َعلَى َى ُؤََلء َونََّزلْنَا َعلَْي َ ِيدا َعلَْي ِه ْم ِم ْن أَنْ ُف ِس ِه ْم َوجْئ نَا ب ٍ ِ ِ الْ ِكت ِِ ِ ي َ اب تْب يَانًا ل ُك ِّل َش ْيء َوُى ًدى َوَر ْْحَةً َوبُ ْشَرى ل ْل ُم ْسلم َ َ Artinya:“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.87(QS.AnNahl : 89)
ِ السماو ِ ات َ ََْسَائِ ِه ْم ق َ َق ْ َْسَائِ ِه ْم فَلَ َّما أَنْبَأ َُى ْم بِأ ْ آد ُم أَنْبِْئ ُه ْم بِأ َ ال يَا َ َ َّ ب َ ال أَ ََلْ أَقُ ْل لَ ُك ْم إ ِِّّن أ َْعلَ ُم َغْي ِ َو ْاْل َْر ض َوأ َْعلَ ُم َما تُْب ُدو َن َوَما ُكْنتُ ْم تَكْتُ ُمو َن Artinya: “Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka namanama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, 86
Mushaf „Aisyah, (Bandung : Jabal, 2010) Ibid.
87
34
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”.88(QS. Al-Baqarah : 33) Dari ketiga ayat yang dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa kehujahan Al-Qur‟an dan kebenaran isinya tidak bisa dibantah. Bahkan Allah sendiri menantang orang-orang musyrik Makkah melalui wahyu yang di sampaikan oleh Muhammad SAW, dimana mereka tetap saja ragu atas kebenaran Al-Qur‟an.89 Sebagaimana telah dibahas sebelum ini, tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka Al-Qur‟an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqaha‟ dan umat Islam menyatakan bahwa Al-Qur‟an adalah sumber hukum utama dari hukum Islam. Dilihat dari segi kebenarannya sebagai sumber, maka Al-Qur‟an adalah merupakan sumber dari segala sumber. Dengan kata lain, Al-Qur‟an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Kebijaksanaan Al-Qur‟an dalam menetapkan
hukum menggunakan
prinsip-prinsip90 : a.
Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan.
b.
Menyedikitkan tuntutan.
c.
Sejalan dengan kemaslahatan umat. Memberikan kemudahan, ini sesuai dengan ayat Al-Qur‟an, antara lain :
88
Ibid. Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.58
89
90
Djazuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta : Kencana,2012), hlm.64
35
يد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر ُ يد اللَّوُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوََل يُِر ُ يُِر Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al-Baqarah : 185) Selain itu dalam Al-Qur‟an terkandung hukum-hukum rukhsah. Seperti dalam keadaan sakit, bepergian, dan lain sebagainya.91 Menyedikitkan tuntutan, dibuktikan antara lain dengan ayat:
ِ َّ ِ ي يُنَ َّزُل الْ ُق ْرآ ُن تُْب َد َ ين َآمنُوا ََل تَ ْسأَلُوا َع ْن أَ ْشيَاءَ إِ ْن تُْب َد لَ ُك ْم تَ ُس ْؤُك ْم َوإِ ْن تَ ْسأَلُوا َعْن َها ح َ يَا أَيُّ َها الذ ِ لَ ُكم ع َفا اللَّو عْن ها واللَّو َغ ُف يم ٌ ُ َ ََُ َ ْ ٌ ور َحل “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS.Al-Maidah : 101)
ِ ِ ِ ِ ين ْ قَ ْد َسأَ ََلَا قَ ْوٌم م ْن قَ ْبل ُك ْم ُُثَّ أ َ َصبَ ُحوا ِبَا َكاف ِر “Sesungguhnya telah ada segolongsn manusia sebelum kamu menanyakan halhal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya”. (QS.Al-Maidah : 102) Al-Qur‟an juga bertahap dalam menerapkan hukum terdapat dalam beberapa ayat. Yang terkenal adalah ayat-ayat tentang keharaman khamr, yaitu sebagai berikut :
ِ اْلَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر قُ ْل فِي ِه َما إِ ُْثٌ َكبِ ٌي َوَمنَافِ ُع لِلن ك ْ ك َع ِن َ ََّاس َوإِْْثُُه َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْفعِ ِه َما َويَ ْسأَلُون َ َيَ ْسأَلُون ِ ما َذا ي ْن ِف ُقو َن قُ ِل الْع ْفو َك َذلِك ي ب ِّي اللَّو لَ ُكم ْاْلي ات لَ َعلَّ ُك ْم تَتَ َف َّك ُرو َن َ ُ ُ ُ َُ َ ُ َ ََ Artinya:“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.... (QS.AlBaqarah : 219) 91
Ibid, hlm.65
36
ِ َّ الص ََل َة َوأَنْتُ ْم ُس َك َارى َح ََّّت تَ ْعلَ ُموا َما تَ ُقولُو َن َّ ين َآمنُوا ََل تَ ْقَربُوا َ يَا أَيُّ َها الذ Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....”. (QS.An-Nisa‟ : 43)
ِ َّ ِ اْلمر والْمي ِسر و ْاْلَنْصاب و ْاْل َْزََلم ِرج ِ َِّ اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ْ َس م ْن َع َم ِل الشَّْيطَان ف َ يَا أَيُّ َها الذ ٌ ْ ُ َ ُ َ َ ُ ْ َ َ ُ ْ َْ ين َآمنُوا إَّنَا تُ ْفلِ ُحو َن “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS.Al-Maidah : 90) Dari ayat-ayat tersebut jelas tahap-tahap dalam mengharamkan khamr dan maisir. Awalnya hanya ditunjukkan bahwa dosa meminum khamar lebih besar dari manfaatnya, kemudian dikuatkan pada surat an-Nisa‟ ayat 43, dan kemudian diharamkan dalam surat al-Maidah ayat 90. Penahapan diperlukan agar tidak ada goncangan kejiwaan dan kewajiban bisa dilaksanakan dengan mantap. Itu jelas menunjukkan sebab dilarangnya khamr, Al-Qur‟an memberikan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia.92 Dalam menetapkan hukum, imam Abu Hanifah memposisikan Al-Qur‟an sebagai sumber hukum pertam sebagai rujukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa as-Sunnah menjelaskan al-Qur‟an jika Al-Qur‟an membutuhkan penjelasan.93 Bayan (penjelasan) Al-Qur‟an menurut imam Abu Hanifah terbagi menjadi tiga94 :
92
Ibid, hlm.67 Hasby Ash- Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm.142 94 Ibid, hlm.142 93
37
a. Bayan Taqrir b. Bayan Tafsir, menerangkan kata mujmal dan musytarak dalam Al-Qur‟an. c. Bayan Tabdil, Al-Qur‟an dinashkan dengan Al-Qur‟an, jika menggunakan asSunnah, maka harus sunnah mutawattir atau masyhur mustafidlah. 2. As-Sunnah Seperti yang telah dijelaskan bahwa Al-Qur‟an al-Karim pada umumnya bersifat kulli. Penjelasan-penjelasan lebih jauh dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan dalam as-Sunnah.95 Menurut bahasa (lughawi) as-sunnah berarti : cara atau jalan yang terpuji maupun yang tercela. Adapun menurut istilah as-sunnah diartikan sebagai berikut96 : a. Menurut Hafizuddin al-Nasafi : Sunnah yaitu sesuatu yang diriwayatkan dari nabi Muhammad SAW, baik perbuatan maupun perkataan. b. Menurut Abu Ishak al-Syatibi : Sunnah ialah berkaitan dengan perkataan rosul, perbuatan serta diamnya dan begitu pula perbuatan para sahabat dan perkataannnya.97 Dari kedua definisi diatas pada dasarnya memeiliki maksud yang sama. Sunnah memiliki macam-macam, diantaranya yaitu : a. Sunnah dilihat dari segi bentuknya mempunyai tiga macam, yaitu98 :
95
Djazuli, Ilmu Fiqh...,hlm.68 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul..., hlm.65 97 Djazuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta : Kencana,2012), hlm.68 98 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm.146 96
38
1) Sunnah Qouliyah, ialah hadis-hadis yang diucapkan secara langsung oleh Rosullah SAW dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuk yang utuh seperti yang diucapkan oleh nabi tersebut. 2) Sunnah Fi‟liyyah, ialah hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat,kemudian disampaikan kepada orang lain. 3) Sunnah Taqriyyah, yaitu perbuatan dan ucapan yang dilakukan dihadapan dan sepengetahuan Rosulullah, tetapi beliau mendiamkan dan tidak menolaknya. Sikap diam Rosulullah dan tidak menolaknya beliau dianggap sebagai tanda persetujuannya beliau. b. Macam-macam Sunnah dilihat dari segi Kuantitas Rowinya99 : 1) Sunnah Mutawattir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Rawi (periwayat) yang jumlahnya banyak dan diyakini mustahil adanya kedustaan. Penukilan Sunnah Mutawattir ini dinukil dengan jumlah rawi yang banyak, mulai dari sahabat, tabi‟i, tabi‟uttabi‟in. Oleh karena itu Sunnah Mutawattirini hadis yang paling tinggi derajatnya, dan para ulama baik kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah dan lainya sepakat Sunnah Mutawattirmerupakan hujjah yang kuat disamping Al-Qur‟an. 2) Sunnah Masyhur
99
Lihat Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),hlm.71-74
39
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh nabi dan dua orang atau lebih, dan tidak mencapai derajat muttawatir. Hadis ini tersebar di kalangan Tabi‟in (generasi kedua) atau pada kalangan Tabi‟ut Tabi‟in (generasi ketiga). Menurut penjelasan Zaky al-Din Sya‟ban100Hadis Masyhur ini banyak berkaitan dengan sunnah fi‟liyah, seperti tata cara wudhu, sholat, dan tata cara haji. 3) Hadis Ahad Yang dimaksud dengan Hadis Ahadyaitu hadis yang diriwayatkan dari Rosulullah, tetapi tidak mencapai tingkat Mutawattir. Hal ini terjadi,karena mungkin hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, dua orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat Mutawatir. Dilihat dari pembagian sunnah menjadi Mutawattir, Masyhur, dan Ahad, sebagaimana disebutkan diatas, maka sunnah mutawattir, masyhur maupun ahad merupakan sumber dan dasar pembinaan hukum Islam ( )مصادر للتشريع.101 Oleh karena itu para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam Al-Qur‟an tentang peristiwa yang terjadi, mereka mencari dalam sunnah. Kalangan Hanafiyah menerima hadis ahad dengan beberapa syarat. Pertama, hadis ahad dapat diterima jika hadis tersebut tidak terkait dengan berbagai peristiwa. Kedua, tidak berlawanan dengan Qiyas, Ushul, dan Kaidahkaidah yang pasti dalam syari‟at. Ketiga, perawi hadis ahadtidak menyalahi
100
Lihat Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),
hlm.72 101
Ibid,hlm.74
40
riwayatnya, karena meriwayatkannya berarti ia menasakhkan yang seharusnya dilakukannya.102 Sebagai contoh, kalangan Hanafiyah mengemukakan hadis tentang bejana yang terkena jilatan anjing yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam hadis ini disebutkan bahwa “apabila bejana terkena jilatan anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya menggunakan tanah”. Akan tetapi diriwayat dan sanad yang lain, Abu Hurairah tidak melakukan sesuai apa yang diriwayatkannya, beliau memandang cukup dengan membasuhnya tiga kali.103 Ada tiga fungsi sunnah jika dilihat dari hubungan antara keduanya, yaitu : 1) Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan hukum-hukum yang dibawa oleh Al-Qur‟an. Dengan demikian hukum-hukum merupakan dua sumber yaitu Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Misalnya: sholat, puasa haji, larangan sumpah palsu, larangan membunuh dan sebagainya yang dibahas didalam keduanya, baik perintah maupun larangan. 2) Untuk menjelaskan dan memberikan rincian pelaksanaan ajaran yang dibawa Al-Qur‟an yang hanya bersifat global saja. Seperti memberikan batasan nash yang mutlak, mengkhususkan nash yang umum, seperti tata cara sholat dan jumlah rakaatnya. 3) Sunnah kadang-kadng berfungsi untuk menetapkan sesuatu, ketentuan yang tidak disebutkan oleh Al-Qur‟an. Dengan kata lain, jika ada penetapan hukum, sementara Al-Qur‟an tidak menjelaskannya secara rinci, maka hal seperti itu ditetapkan oleh Sunnah. 102
Ibid,hlm.75 Ibid,hlm.75
103
41
Berdasarkan uraian diatas, Imam Syafi‟i menyebutkan dalam kitab ArRisalah sebagaimana dikutip oleh Romli SA104 bahwa Syafi‟i menyatakan “Sepengetahuan saya tidak ada para ahli ilmu yang menyangkal dari dari ketiga macam hubungan Sunnah dan Al-Qur‟an, seperti disebutkan diatas”. Dengan demikian, melihat ketiga fungsi Sunnah terhadap Al-Qur‟an mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan tidak dapat dipisah. Tanpa Sunnah, Al-Qur‟an tidak dapat dimengerti. 3. Al-Asar/Qoul Sahabi Secara bahasa, “Qaul” artinya adalah ucapan atau perkataan dan “Shahaby” artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang dimaksudkan di sini adalah sahabat Nabi, yakni seorang yang hidup di masa Nabi atau pernah bertemu dengan Nabi dan mati dalam keadaan Islam.105 Qaul Shahaby dalam ilmu ushul fiqih adalah106 :
ِِ ِ َّ فَتَ َوى ُالص َحاِب بِانْفَراده قَ ْولُو
“Fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.” Jadi perkataan atau fatwa atau hasil ijtihad seorang sahabat Nabi tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan hukum syara‟, dinamakan Qaul Shahaby. Bila kita cermati, bahwa sahabat Nabi tidak menutup kemungkinan untuk
salah. Sebab bagaimanapun juga sahabat tidaklah tergolong orang-orang yang Ma‟shum sebagaimana nabi. Tetapi dilain hal haruslah diakui bahwa sahabat Nabi
104
Ibid,hlm.76 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm.162 106 Ibid. 105
42
adalah orang-orang yang lebih mengetahui dalam beberapa hal, seperti asbabun nuzul dari suatu ayat karena sebagian mereka menyeksikan itu.107 Imam Abu Hanifah menggunakan Qaul Shahaby dalam berhujjah, akan tetapi beliau mensyaratkan bahwa tidak boleh bertentangan dengan Qiyas dan harus didasarkan kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah.108 4. Ijma‟ Secara bahasa, ijma‟ ( ) اإلمجاعberarti sepakat dari sejumlah orang terhadap sesuatu, dan di dalam bahasa arab, padanannya sama dengan ( ) اإلتفاق. Misalnya dikatakan (أمجع القوم على كذاkaum tersebut telah sepakat atas yang demikian itu). Adapun ijma‟ dalam pengertian istilah menurut imam As-Subki109 dalam kitab matn jam‟i al-jawami‟, ijma‟ adalah :
ٍ ِ ِ ِ ي أ َْم ٍر َكا َن ِّ َص ٍر َعلَى ا ُ َو ُى َو اتِّ َف ْ م ِف َع.اق ُُْمتَ ِهدي اْل َُّمة بَ ْع َد َوفَاة ُُمَ َّمد ص
Ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya nabi Muhammad SAW terhadap persoalan yang berkaitan dengan hukum syara‟. Ijma‟ memiliki unsur-unsur dan persyaratan. Menurut Abdul Wahab Kholaf dan Safi Hasan Abu Thalib110, unsur dan rukun ijma‟ itu antara lain : a. Adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa atas peristiwa yang terjadi. Harus dari sejumlah mujtahid, bukan hanya satu saja. b. Kesepakatan para mujtahid itu harus dari berbagai tempat dan golongan.
107
Ibid. Ibid, hlm.165 109 Lihat Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), 108
hlm.78 110
Ibid.
43
c. Kesepakatan itu harus nyata, baik dinyatakan dalam lisan maupun perbuatan. d. Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dapat dikatakan jika ada sebagian kecil atau sebagian besar menyalahinya. Bila kita perhatikan kitab-kitab ushul fiqh baik yang klasik atau yang kontemporer, para ulama ushul membagi ijma‟ pada dua macam, yaitu ijma‟Sharih dan ijma‟ Sukuti. Ijma‟ Sharih yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara‟ dan kesepakatan itu dinyatakan secara tegas oleh masing-masing mujtahid. Ijma‟ Sharih juga biasa disebut dengan Ijma‟ Qauly atau ijma‟ Hakiki.111 Dan ijma‟ yang kedua yang disebut sebagai ijma‟ sukuti, maksudnya adalah sebagian mujtahid menyatakan kesepakatan mereka tentang hukum suatu peristiwa secara nyata dan pada suatu masa, sedangkan mujtahid yang lainya bersikap diam dan tidak menyatakan pendapat mereka apakah mereka menerimanya atau menolaknya.112 Dengan kata lain diamnya sejumlah mujtahid dianggap sepakat dan biasa disebut dengan Ijma‟ Sukuti.113 Jika dalam kasus diatas ada mujtahid yang menyatakan penolakan, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ijma‟. Lalu, bagaimana otoritas atau kehujahan ijma‟ sebagai dalil istinbat hukum?
111
Ibid, hlm.83 Ibid. 113 Ibid. 112
44
Para ulama memang berbeda pendapat tentang otoritas ijma‟ ini. Perbedaat-perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh masal-masalah subtansial seperti apakah ijma‟ itu dalam arti kesepakatan seluruh mujtahid tanpa terkecuali, atau sebagian besar mujtahid saja. Dengan kata lain, perbedaan pada aspek ini menyangkut batasan ijma‟ itu sendiri dan ukuran kesepakatan para mujtahid atas suatu masalah. Kemudian persoalan yang menyangkut internal masing-msing madzhab yaitu perbedaan terkait pada sumber terbentuknya ijma‟ dan penerimaan mereka terhadap ijma‟ tersebut. Terhadap subtansial ijma‟, terdapat tiga persoalan yang menjadi perbedaan di kalangan mazhab ushul. a. Tentang ukuran atau batasan ijma‟. Perbedaan berakar pada penilaian ulama tentang batasan atau ukuran jumlah mujtahid yang memberikan kesepakatan terhadap suatu masalah yang terjadi. Perbedaan penilaian tersebut melahirkan tiga pandangan, pendapat pertama menekankan ijma‟ itu sudah dianggap cukup jika sebagian besar saja mujtahid yang sepakat dan lainnya menolak. Pandangan kedua, menjelaskan bahwa persoalannya adalah jika kesepakatan seluruh mujtahid tanpa terkecuali. Dengan kata lain, tidak dipandang ijma‟ jika sebagian besar saja mujtahid yang sepakat dan lainnya menolak. Kemudian pendapat
ketiga, menjelaskan bahwa
persoalannya adalah jika kesepakatan sebagian besar mujtahid, walaupun tidak digolongkan ijma‟, tetapi yang penting ia dapat digunakan sebagai hujah.114
114
Ibid, hlm.86
45
b. Kemungkinan terjadinya ijma‟. Para ulama juga berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma‟. Jika mungkin, bagaimana ijma‟ itu bisa terwujud, dan jika tidak mungkin faktor apa yang menghalangi?. Pendapat pertama dari kalangan jumhur ulama mengatakan bahwa ijma‟ itu mungkin saja terjadi. Kalangan jumhur beralasan bahwa kemungkinan terjadinya ijma‟ itu memang telah ada. Misalnya kesepakatan tentang bagian waris nenek adalah seperenam bagian dari harta. Contoh kasus ini terjadi pada masa sahabat, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dan para mujtahid sepakat atas kasus tersebut. Kalangan jumhur mrngatakan bahwa kesepakatan diatas merupakan alasan yang jelas terhadap kemungkinan terjadinya ijma‟ dalam perbuatan.115 Kemudian pendapat kedua, mengatakan bahwa ijma‟ itu tidak mungkin terjadi pada kenyataan. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Nazam dari pengikut mu‟tazilah dan sebagian pengikut syi‟ah116. Menurut golongan ini, jika ijma‟ itu merupakan kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa, maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Sebab, para mujtahid itu berada dan tersebar di berbagai kawasan atau daerah yang jaraknya berjauhan serta tidak mudah bagi mereka untuk berkumpul pada suatu tempat untuk menyatakan kesepakatan. Lebih-lebih pada masa tabi‟in umumnya para mujtahid telah berpencar diberbagai daerah dan sangat sulit untuk mendapatkan kesepakatan.117
115
Ibid, hlm.87 Ibid. 117 Ibid. 116
46
Sebagai contoh, imam Abu Yusuf- murid Imam Abu Hanifah- menolak apa yang dinyatakan oleh Imam Auza‟i tentang ijma‟, karena berbeda dengan zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab, para mujtahid pada zaman tabi‟in tersebar di negara Islam yang berbeda-beda. Jadi sangat tidak mungkin terwujud kesepakatan.118 c. 1)
Kehujahan ijma‟ sebagai dalil. Ijma‟ Sarih() اإلمجاع الصريح Terhadap ijma‟ sarih ini para ulama sepakat bahwa ijma‟ sarih merupakan
hujjah qot‟iy yang wajib diamalkan.119 Alasan bagi kalangan jumhur bahwa ijma‟ merupakan hujjah adalah sebagai yang tertulis dalam firman Allah SWT : Artinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS.An-Nisa‟ : 115) Menurut jumhur, ayat diatas merupakan dalil bahwa jalan yang tidak ditempuh oleh orang mukmin adalah bathil, dan jalan yang ditempuh oleh orang mukmin itu adalah jalan yang haq. Dan apa yang telah disepakati oleh para mujtahid dari kalangan orang-orang mukmin berarti ia jalan orang mukmin yang haq dan wajib diikuti dan tidak boleh menolaknya.120 Kemudian alasan selanjutnya, kalangan jumhur ushul berpegang kepada hadis Nabi sebagai berikut121 :
118
Ibid. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm.76 120 Ibid. hlm.89 121 Ibid. 119
47
ََل ََْت َم ُع أ َُّم ِِت َعلَى اْلَطَِأ Artinya: Umatku tidak akan melakukan kesepakatan untuk berbuat kesalahan. Atau di dalam matan yang lain ditemukan ungkapan seperti berikut :
ضَلَلٍَة َ ََل ََْت َم ُع أ َُّم ِِت َعلَى Artinya: Umatku tidak akan melakukan kesepakatan untuk berbuat kesesatan. Dan dalam hadis lain ditemukan pula pernyataan berikut :
ِ و ما رآه املسلِمو َن حسنًا فَهو ِعْن َد اهلل َح َس ٌن َُ َ َ ُْ ْ ُ ُ َ َ َ Artinya: Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka dipandang baik di sisi allah. Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa umat Muhammad tidak akan berbuat kesalahan jika mereka bersepakat tentang suatu perkara.Sementara itu yang mengingkari menyatakan bahwa ijma‟ tidak dapat diterima sebagai hujjah. Kalangan ini adalah An-Nazam, sebagian Khawarij dan Syi‟ah.122 Mereka mengatakan :
س ِِبُ َّج ٍة َ َإِ َّن ا ِإل ْمج َ اع لَْي Artinya: Sesungguhnya ijma‟ itu bukanlah hujjah. Adapun alasan mereka menolak sebagai berikut123 : pertama, berpegang pada firman Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 59 :
122
Ibid. Ibid.hlm.91
123
48
ِ َّ ِ َطيعوا اللَّو وأ ِ ِ ول َوأ ُوِل ْاْل َْم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْي ٍء فَ ُرُّدوهُ إِ َىل اللَّ ِو َ الر ُس َّ َطيعُوا َ َ ُ ين َآمنُوا أ َ يَا أَيُّ َها الذ ِ ِ ِ الرس َح َس ُن تَأْ ِو ًيَل َ ول إِ ْن ُكْنتُ ْم تُ ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِو َوالْيَ ْوم ْاْل ِخ ِر ذَل ْ ك َخْي ٌر َوأ ُ َّ َو Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Menurut kalangan ini, bahwa dalam ayat ini perintah Allah untuk mengembalikan perselisihan (perbedaan) hanya kepada Allah dan Rosul-Nya. Adapun yang dimaksud dengan kembali kepada Allah adalah kembali kepada kitab-Nya dan begitu pula yang dimaksud dengan mengembalikan kepada Rosul Allah ialah kembali kepada Rosul ketika masih hidup dan atau kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Tidak ada satupun perintah mengembalikan perselisihan kepada kesepakatan para mujtahid. Oleh karena itu, alasan berpegang pada ijma‟ tidak dapat diterima. Kedua, mereka berpegang kepada hadis Muaz bin Jabal. Menurut golongan ini ketika nabi menanyakan kasus hukum yang dihadapkan kepadanya, ternyata Muaz bin Jabal tidak menyebut ijma‟, dan nabi membenarkan hal yang demikian.124 Ijma‟ Sukuti( )امجاع سكويت Mengenai ijma‟ sukuti ini, ada dua golongan yang berbeda pendapat. Pendapat pertama, bahwa ijma‟ sukuti bukanlah hujjah sekalipun sifatnya zanny. Sama sekali tidak dapat diterima.
124
Ibid.hlm.92
49
Pendapat kedua, bahwa ijma‟ sukuti itu merupakan hujjah yang qath‟i dan tidak boleh ditolak karena sama seperti ijma‟ sarih meskipun kekuatannya sedikit lebih rendah dari ijma‟ sarih tersebut. Pendapat ini merupakan pandangan sebagian besar pengikut Imam Abu Hanifah dan pengikut Imam Ahmad bin Hambal.125 Imam Abu Hanifah sebagai tokoh Madzhab Hanafi berpendapat bahwa ijma‟ adalah merupakan hujjah. Ia menerima ijma‟ qauli dan ijma‟ sukuti. Imam Abu Hanifah menerima hukum-hukum yang telah disepakati oleh mujtahid dan tidak menolak apa-apa yang telah disepakati oleh ulama Kuffah.126 5. Qiyas Secara bahasa, qiyas diartikan dengan تقدير الشيء بشيء آخرyaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Dapat pula diartikan dengan 127 ( تقدير الشيءعلى )مثال شيء آخر و تسويتو بوyang dimaksud adalah mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian mengamalkannya. Qiyas mempunyai unsur-unsur, yaitu sebagai berikut128 : a. Ashal ( ) اْلصل Yaitu nash yang dijadikan tempat mengqiaskan.129 Ashal harus berupa nash, yaitu Al-Qur‟an, Al-Hadis atau Ijma‟. Disamping itu ashal harus mengandung illat hukum. b. Cabang 125
Ibid.hlm.95 Ibid.hlm.97 127 Ibid.hlm.101 128 Djazuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta : Kencana,2012), hlm.77 129 Ibid. 126
50
Yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya (yang diqiyaskan). Syaratnya : cabang tidak mempunyai hukum sendiri, illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan illat yang ada pada ashal, dan hukum cabang sama dengan hukum ashal. c.
Hukum ashal Syarat hukum ashal antara lain : harus merupakan hukum yang amaliah,
hukum asal persyariatannya harus rasional, hukum ashal bukan hukum yang khusus (seperti larangan menikahi bekas istri Nabi), dan hukum ashal masih tetap berlaku. d.
Illat Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan. Syarat illat antara
lain, illat harus merupakan sifat yang nyata, illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu (dapat dipastikan wujudnya). Qiyas merupakan unsur yang penting dalam pengembangan hukum Islam, karena qiyas menambah fleksibilitas dan daya responsif hukum Islam terhadap perkembangan masyarakat.130 Sebagai contoh adalah “khamr”, dihukumkan haram oleh nash dengan tegas, karena memabukkan. Dalam hal ini akan diqiyaskan terhadap minuman keras lainnya yang bersifat memabukkan juga.131
130
Ibid. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm.154
131
51
6. Istihsan Secara bahasa, istihsan adalah anggapan baik, atau menganggap baik. Istihsan menurut ahli fiqih adalah132 : “Suatu dalil yang keluar dari pemikiran seorang mujtahid yang menetapkan kerajihan qiyas yang tidak terang (khafi) dari pada qiyas yang terang (jaly), atau merajihkan ketentuan hukum yang khusus (juz‟iy), dari ketentuan yang umum (kully).” Dilihat dari kedua perbedaan di atas, istihsan dilihat dari bentuknya dapat dibagi menjadi dua133 : a. Istihsan merajihkan qiyas khafi dari qiyas jali, biasa disebut dengan kata “istihsan qiyas”. Contoh : Bila seorang telah mewakafkan sebidang tanah, maka hak pengairan dan hak lalu lintas pada tanah itu ikut terbawa, karena di-qiyas-kan dengan sewa menyewa. Sedangkan qiyas jaly dalam hal tersebut, hak pengairan dan hak lalu lintas tidaklah termasuk dalam wakaf, karena di-qiyas-kan dengan jual beli, hingga yang teranggap diwakaf hanyalah yang disebutkan dengan jelas dalam wakaf. b. Merajihkan pengecualian hukum khusus dari pada yang umum (kulli), biasa disebut “istihsan ijma”. Contoh :
132
Ibid, hlm.157 Ibid, hlm.158
133
52
Nabi melarang jual beli sesuatu yang belum ada. Tetapi karena masyarakat membutuhkannya, maka diperbolehkan. Golongan hanafiyah berpendapat bahwa istihsan boleh dipakai hujjah dengan alasan firman Allah yang berbunyi :
ِ ِ ِ ِ اب بَ ْغتَ ًة َوأَنْتُ ْم ََل تَ ْشعُ ُرو َن ْ َواتَّبِعُوا أ ُ َح َس َن َما أُنْ ِزَل إلَْي ُك ْم م ْن َربِّ ُك ْم م ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَأْتيَ ُك ُم الْ َع َذ “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”. (QS.Az-Zumar : 55) Istihsan menurut Imam Abu Hanifah bukanlah menguatkan atau merajihkan dengan dasar perasaan semata, tetapi menguatkan dengan dasar adanya kemaslahatan dalam hal yang dikuatkan dan mengandung penolakan terhadap kerusakan atau masfsadah.134 7. „Urf „Urf menurut bahasa adalah “menunjukkan sesuatu yang datang silih berganti” biasa disebut juga dengan “ adat”, “kebiasaan”, “kebiasaan yang terus menerus”.135 „Urf menurut ilmu ushul fiqh yaitu : “sesuatu yang telah terbiasa (di kalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan telah dilihat secara terus-menerus yang diterima oleh akal yang sehat”.136
134
Ibid, hlm.160 Mustafa Sa‟id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2014), hlm.
135
157 136
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm.162
53
Dalil syar‟i tentang „Urf terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang artinya : “Apa saja yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka menurut Allah juga baik.”137 Syarat diakuinya „Urf yaitu : „Urf berlaku umum dan „Urf sudah berlaku ketika persoalaan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya „Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu sudah ada sebelum adanya kasus yang akan ditetapkan status hukumnya.138 Selain syarat diakuinya „urf, ada pula syarat dalam pemakaian „urf tersebut, yaitu139 : a. „Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang ada. b. „Urf tidak boleh dipakai bila mengesampingkan kepentingan umum. c. „Urf bisa dipakai apabila tidak membawa kepada keburukan-keburukan atau kerusakan. Para ulama membenarkan penggunaan „urf hanya dalam hal-hal muamalat, itupun setelah memenuhi syarat-syarat diatas. Dalam hal ibadah, tidak berlaku „urf. Yang menentukan dalam hal ibadah adalah Al-Qur‟an dan Al-Hadis.
137
Mustafa Sa‟id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih..., hlm. 160 Ibid.hlm.161 139 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, (Jakarta : Kencana,2010), hlm.163 138
54
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG „IDDAH TALAK RAJ‟I A. Pengertian Talak Raj‟i Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan. Talak berasal dari kata it}la>q yang berarti melepaskan atau meninggalkan.140 Dalam terminologi syari‟at, talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu. Adapun pengertian talak menurut ulama adalah: 1. Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang.141 2. Madzhab Syafi‟i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. 3. Madzhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami-istri.142 Talak mempunyai beberapa macam, salah satunya adalah talak raj‟i. Talak raj‟i adalah talak yang masih boleh rujuk kembali, talak raj‟i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang telah digauli tanpa ganti rugi.
140
Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm.230 Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), Cet. 4, hlm. 53 142 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1996), cet.2 jilid 9,hlm.9 141
55
Dalam keadaan ini, suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan selama masa „iddah.143 B.
Pengertian „Iddah Definisi „Iddah menurut bahasa berasal dari kata “”العد, yaitu sesuatu yang dihitung oleh perempuan.144 Ia menempatinya pada beberapa hari dan beberapa masa. „Iddah merupakan nama untuk masa bagi wanita untuk menunggu dan mencegahnya untuk menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.145 „Iddah terhitung sejak adanya sebab-sebab, yaitu wafat dan talak. „Iddah telah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka tidak menginginkan dan meninggalkan „Iddah mereka. Ketika islam datang ditetapkanlah „Iddah karena didalamnya mengandung kemaslahatan.146 Definisi „Iddah menurut bahasa dari kata “ ”العدdan “ ”اَلىصىyang berarti bilangan atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu persatu dan jumlah keseluruhan. Allah berfirman dalam Al-Qur‟an :
ِ ....ُّهوِر ِعْن َد اللَّ ِو اثْنَا َع َشَر َش ْهًرا ُ إِ َّن ع َّد َة الش Artinya : ‚Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan.‛147
Dalam buku “Fiqh of The Muslim Family” disebutkan, „Iddah wanita berarti hari-hari kesucian wanita, masa menunggu wanita hingga halal bagi suami lain, masa dilarangnya untuk menikah lagi (hingga waktu tertentu), yaitu ketika 143
ABD. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Cet. II, Jakarta: Kencana, 2003) hlm. 199 Yusuf As-Subki. Ali , Fiqih Keluarga, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm.348 145 Rules and Regulations of the iddat, Madresa Maseehul Uloom, ( South Africa : MulabarPort Elizabeth), hlm.1 146 Yusuf As-Subki. Ali , Fiqih Keluarga...,hlm.348 147 QS.At-Taubah (9) : 36 144
56
suaminya meninggal dunia, atau diceraikan oleh suaminya. Biasanya dihitung menggunakan masa menstruasi atau bulan.148 C. Dasar Hukum „iddah Hukum dari masa „iddah adalah wajib. Dasar hukumya yaitu : 1. Al-Qur‟an a. Dalam Al-Qur‟an Al-Karim, „iddah bagi wanita yang dicerai adalah 3 quru‟149, seperti firman Allah ta‟ala:
ٍ والْمطَلَّقات ي ت ربَّصن بِأَنْف ِس ِه َّن ثَََلثَة قُر ...وء ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ ُ َ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.” (QS.Al-Baqarah: 228)
b. „iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari150, seperti Firman Allah ta‟ala dalam surat Al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi,
ِ َّ ِ ص َن بِأَنْ ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا فَِإ َذا بَلَ ْغ َن ْ َّاجا يَتَ َرب ً ين يُتَ َوفَّ ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو َ َوالذ ِ أَجلَه َّن فَ ََل جنَاح علَي ُكم فِيما فَع ْلن ِف أَنْ ُف ِس ِه َّن بِالْمعر وف َواللَّوُ ِِبَا تَ ْع َملُو َن َخبِ ٌي َُ َ َ َ ْ َْ َ ُ ُْ َ Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´‟iddah) empat bulan sepuluh hari.”
c. Bagi perempuan-perempuan yang tidak haid} lagi (monopause), masa „iddahnya adalah tiga bulan. Dan bagi wanita-wanita yang sedang hamil,
148
Hasan Ayyoub, Fiqih of The Moeslim Family, (Cairo, Egyp : Islamic INC.), hlm.326 Syalabi Khoiruddin, Ahka>mul Iddah ‘ala> Khuqu>qi Al-Ma>liyah wa Al-Ma’nawiyah li Zaujah, (Universitas Muhammad Haidhor : Bashkar, 2015), hlm.9 149
150
Ibid.
57
maka masa „iddahnya sampai melahirkan151. Dasar hukum tersebut tertulis dalam Al-Qur‟an QS.At-Talaq : 4, yang berbunyi :
َّ يض ِم ْن نِسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَْبتُ ْم فَعِدَّتُ ُه َّن ثَََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو َّ َو ِ الَلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح ْض َن ْ الَلئِي ََلْ َِي َ ِ ْ ت ْاْل ْض ْع َن ْحَْلَ ُه َّن َوَم ْن يَت َِّق اللَّ َو ََْي َع ْل لَوُ ِم ْن أ َْم ِرِه يُ ْسًرا َ َوأ َ ََجلُ ُه َّن أَ ْن ي ُ ُوَل َ َْحَال أ Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid} lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa „iddahnya), maka masa „iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid}. Dan perempuanperempuan yang hamil, waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” 2. As-Sunnah Sebagaimana dalam Shahih Muslim152, dari Fatimah binti Qais bahwa Rosulullah bersabda kepadanya :
ِ ِ ت اب ِن َع ِّم ك ابْ ِن أ ُِّم َمكْتُ ٍوم ْ ْاعتَدِّي ِف بَْي
“Hendaklah engkau ber-‟iddah di rumah pamanmu ibnu Ummi Maktum.” 3. Ijma‟
Umat islam sepakat wajibnya „iddah sejak zaman Rosulullah hingga sekarang.153 D. Macam-macam „iddah „Iddah pada wanita dapat terjadi karena tiga hal, yaitu ketika terjadinya talak, wafatnya suami dan mafqud nya suami. 154 :
151 152
Ibid, hlm.10
Muslim bin Hijaj Abu Hasan, Musnad Shahih Al-Mukhtashir, (Bairut : Darul Ihya’ Tirats Al-‘Arabi) 153 Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm.320 154 Rules and Regulations of the iddat, Madresa Maseehul Uloom..., hlm.5
58
1. „iddah talak, yaitu „iddah setelah terjadinya talak, seperti talak raj‟i atau ba‟in dan setelah adanya surat keterangan pemisah setelah terjadinya perkawinan. Ada tiga jangka waktu yang berbeda yang di tentukan oleh syariat tentang „iddah. Setiap masa berlaku untuk beberapa jenis wanita155 : a. „Iddah tiga quru>‟. „Iddah bagi wanita yang menstruasi biasa disebut dengan „iddah tiga quru>‟. Yaitu „iddah setiap perpisahan dalam hidup bukan kematian156. Jika wanita itu masih haid}, maka ketentuannya tertuang dalam firman Allah QS.Al-Baqarah : 228 yang berbunyi :
ٍ والْمطَلَّقات ي ت ربَّصن بِأَنْف ِس ِه َّن ثَََلثَة قُر ...وء ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ ُ َ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.” Kata “al-Quru>‟” bagian dari lafal musytara>kah (yang memiliki banyak makna). Dari makna tersebut, jumhur berbeda pendapat, ada yang memaknai suci dan ada yang memaknai haid}. 157 Imam Syafi„i, imam Malik, Zaid bin S|abit, Abdullah bin Umar, „Aisyah r.a, dan para ahli fikih Madinah dalam satu riwayat berpendapat bahwa kata tersebut dimaksudkan bersuci. Sedangkan Imam Hanafi dan Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat berpendapat bahwa maksud kata “al-Quru>‟” adalah haid}.158
155 156 157 158
Ibid. Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat...,hlm.325
Ibid. Syalabi Khoiruddin, Ahka>mul Iddah ‘ala> Khuqu>qi Al-Ma>liyah wa Al-Ma’nawiyah li
Zaujah..., hlm.14
59
Alasan imam Abu Hanifah mengartikan tiga quru>‟ adalah tiga kali haid} didasarkan pada159: 1) Bahwa Allah Swt. berpindah pada „iddah wanita yang tidak haid} kepada beberapa bulan. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Talak ayat 4:
َّ يض ِم ْن نِسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَْبتُ ْم فَعِدَّتُ ُه َّن ثَََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو َّ َو ِ الَلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح ...ْض َن ْ الَلئِي ََلْ َِي َ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid} lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa „iddahnya), maka masa „iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid}.‛ Demikian itu menunjukkan bahwa haid menjadi dasar dalam perhitungan, sebagaimana firman Allah :
ِ يدا طَيِّبًا ً ِصع َ فَلَ ْم ََت ُدوا َماءً فَتَ يَ َّم ُموا
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)...” (QS.Al-Maidah: 6) 2) Sabda Rosulullah Saw.
ِ ِ ٍ ِ ال ِف الْمستَح ِ ِِ َ َ أَنَّوُ ق،يم َّ ع َالص ََلة َ َ ُْ ُ «تَ َد:اضة ُ ُي َ َع ْن إبْ َراى، َع ْن َْحَّاد،َوس ُ َع ْن أَبيو َع ْن أَِِب َحني َفة ،أَيَّ َام أَقْ َرائِ َها
Artinya: “ Dia tinggalkan sholat pada hari-hari haid}nya.‛ (HR. Abu Daud) Sebagaimana pula yang dipertegas oleh hadis} Rosulullah Saw. ter- hadap wanita yang ter-khulu‟:
ٍ ِ عن أَِِب سع،اك ِ ٍ ٍ س بْ ِن وْى ِ َع ْن قَ ْي،يك يد ٌ َخبَ َرنَا َش ِر ْ أ،َحدَّثَنَا َع ْم ُرو بْ ُن َع ْون ْ َ َع ْن أَِِب الْ َوَّد،ب َ َ ِ وََل َغي ر َذ، «ََل تُوطَأُ حا ِمل ح ََّّت تَْضع:ال ِف سبايا أَوطَاس ات ْحَْ ٍل َح ََّّت ْ َ َ أَنَّوُ ق،ُ َوَرفَ َعو،ي ِّ اْلُ ْد ِر ُْ َ َ َ َ ٌ َ َ ْ َ ََ ِ »ًْضة َ يض َحْي َ ََت
Artinya: “ hendaklah tidak dicampuri wanita hamil sampai melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai sekali haid}.” (HR. Abu Daud) 3) Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi :
َوََل َِي ُّل ََلُ َّن أَ ْن يَكْتُ ْم َن َما َخلَ َق اللَّوُ ِف أ َْر َح ِام ِه َّن 159
Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat...,hlm.326
60
Artinya: “Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” Maksud ayat itu haid} atau mengandung menurut umumnya ahli tafsir, tidak ada seorang pun yang mengartikan suci.160 4) Maksud dari iddah yaitu mengetahui kebebasan rahim dari kehamilan. Terkadang dapat diketahui dengan kelahiran dan terkadang diketahui dengan sesuatu yang meniadakannya, yaitu menstruasi.161 b. „Iddah beberapa bulan. „Iddah tentang jenis yang kedua ini memiliki dua macam, yaitu : 1) Untuk wanita yang tidak memiliki menstruasi bulanan (Menopause) atau Bagi anak kecil yang tidak haid}/ belum haid}, maka „iddahnya selama tiga bulan. Hal itu dibenarkan untuk perempuan kecil yang belum baligh dan perempuan tua yang tidak haid}. Berdasarkan firman Allah Swt. :
َّ يض ِم ْن نِسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَْبتُ ْم فَعِدَّتُ ُه َّن ثَََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو َّ َو ِ الَلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح ت َ ْض َن َوأ ْ الَلئِي ََلْ َِي ُ ُوَل َ ِ ْ ْاْل ...ْض ْع َن ْحَْلَ ُه َّن َ ََجلُ ُه َّن أَ ْن ي َ َْحَال أ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid} lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa „iddahnya), maka masa „iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid}. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” QS.At-Talaq : 4) Masa tiga bulan tersebut adalah pengganti dari tiga quru‟, oleh karena umumnya, wanita mengalami haid satu kali dalam sebulan, maka sebagai ganti bagi wanita yang tidak haid adalah tiga bulan. Apabila seorang perempuan sudah menyelesaikan iddahnya dengan hitungan bulan kemudia ia mengeluarkan darah haid, maka tidak ada kewajiban
160 161
Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat...,hlm.328
Ibid.
61
untuk mengulangi iddahnya dalam hitungan quru‟. Namun jika iddahnya dengan hitungan bulan belum selesai kemudian haid di pertengahan maka dia memulai dari semula hitungan iddahnya menggunakan quru‟, diumpamakan orang yang bertayamum yang kemudian menemukan air ditengah-tengah tayamumnya.162 2) Iddah beberapa bulan yang asli, yaitu yang disebabkan oleh kematian suami setelah nikah yang shahih walaupun dalam „iddah talak raj„i. 163 „Iddahnya 4 bulan 10 hari berdasarkan firman Allah Swt.:
ِ َّ ِ ...ص َن بِأَنْ ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا ْ َّاجا يَتَ َرب ً ين يُتَ َوفَّ ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو َ َوالذ Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´‟iddah) empat bulan sepuluh hari.” Empat bulan sepuluh hari tersebut jika dihitung adalah perkiraan dari proses awal terciptanya janin dalam kandungan, yaitu empat puluh hari dalam bentuk cairan sperma, kemudian empat hari berbentuk segumpal darah, lalu empat puluh hari berbentuk segumpal daging, kemudian sepuluh hari berikutnya ditiupkan ruh di dalamnya. Maka hikmah dari menunggu itu selain bentuk ta‟abbud adalah untuk memastikan kondisi rahim apakah hamil atau tidak.164 Cara menghitung iddah wafat dengan perhitungan bulan ini menggunakan bulan qomariyah bukan masehi, jika terjadinya talak atau kematian di awal bulan, maka hitungan perbulannya sesuai dengan awal masuk di bulan selanjutnya.165 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 189 :
ِ ِ ِِ ِ يت لِلن اْلَ ّج ْ َّاس َو َ َيَ ْسأَلُون ُ ك َع ِن ْاْلَىلَّة قُ ْل ى َي َم َواق “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” 162
Rasyida Arsjad, Iddah Wafat, Antara Agama dan Budaya, Jurnal Lentera Vol.3 No.1. 2017, hlm. 126 163 Salaby Khoiruddin, Ahka>mu al-‘Iddah wa as|a>riha> ‘ala Huqu>qi al-Ma>liyyah wa alMa’nawiyyah li az-Zaujah, (Universitas Muhammad Haidhor : Bashkar, 2015), hlm.9 164 Rasyida Arsjad, Iddah Wafat, Antara Agama dan Budaya,... hlm. 127 165
Ibid.
62
Bahkan jika jumlahnya berkurang, misalkan dalam satu bulan ada dua puluh sembilan hari, sesuai firman Allah dan sabda Nabi saw. hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama.166 c. „Iddah hamil. Tidak ada perbedaan antara para fuqoha‟ bahwa wanita yang hamil jika dipisah suaminya karena talak atau khulu‟, atau fasakh, baik wanita merdeka atau budak, „iddahnya sampai melahirkan kandungan. Seperti firman Allah Swt. dalam QS.At-Talaq : 4 :
ِ ْ ت ْاْل ....ْض ْع َن ْحَْلَ ُه َّن َ َوأ..... َ ََجلُ ُه َّن أَ ْن ي ُ ُوَل َ َْحَال أ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.At-Talaq : 4) E.
Hikmah „Iddah Mayoritas fuqoha‟ berpendapat bahwa semua „Iddah tidak lepas dari sebagian maslahat yang dicapai, yaitu sebagai berikut : 1. „iddah bagi wanita yang ditalak raj‟i mengandung arti memberi kesempatan secukupnya kepada suami-istri tersebut untuk memikirkan, merenungkan, dan memperbaiki diri dan pribadi masing-masing, memahami kekurangannya, mempertimbangkan kemaslahatan hidup bersama di masa-masa selanjutnya, kemudian semua itu dianalisa dalam suasana tenang dan hati yang dingin setelah sebelumnya emosinya membara. Dengan demikian masing-masing dapat mempertimbangkan kesepakatan untuk rujuk atau bercerai. 2. Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab. Agar terpeliharanya kemurnian keturunan dan nasab anak yang dilahirkannya itu tidak tercampur dengan laki-laki lain. 166
Ibid, hlm. 128
63
3. Memberikan kesempatan suami agar dapat intropeksi diri dan kembali kepada istri yang di cerai. 4. Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama. Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa „Iddah adalah diantara perkara yang bersifat ibadah (ta‟abbudi) yang tidak menemukan hukmahnya selain Allah karena kita berhajat mengetahui kebebasan rahim wanita yang mandul ketika dicerai dan tidak ada kesempatan ruju‟ dalam talak ba‟in. Sesungguhnya „Iddah hukumnya wajib sekalipun pada wanita yang mandul. F. Pengertian ihdad Pengertian ihdad menurut bahasa adalah menengah atau membatasi diri.167 Sedangkan menurut istilah, ihdad adalah meninggalkan segala perhiasan dan apa saja yang membawa pada kategori menghias diri serta menarik perhatian khalayak ramai terhadap wanita tersebut seperti memakai pakaian warna-warni, memakai heharuman,
memakai
perhiasan, memakai
celak
dan
sebagainya
yang
dikategorikan sebagai perhiasan.168
167 168
Al-Zuhaili Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr), hlm. 659 Ibid.
64
G. Dasar hukum ihdad Ada perbedaan pendapat mengenai hukum berihdad, ada yang mengatakan ihdad itu wajib, ada juga yang berpendapat bahwa ihdad itu boleh. Alasan dari kedua pendapat tersebut adalah sebagai berikut : a. Wajib Yang mendorong jumhur fuqoha‟ untuk mewajibkan ihdad secara gris besar didasarkan atas shahihnya hadits yang berkenaan dengan masalah ini dari Rosulullah Saw., Ummu Salamah istri Nabi berkata :
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ يا رس:ت ف َعْن َها َ َجاءَت ْامَرأَةٌ إِ َىل َر ُسول اهلل ُ َ َ ْ َ فَ َقال،صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َِّ إ َّن ابْنَِِت تُ ُو،ول اهلل ِ ِ ُ ال رس ِ ْ َ َمَّرت- » «ََل:صلَّى اهللُ َعلَْي ِو و َسلَّم ي ْ َوقَد ا ْشتَ َك،َزْو ُج َها َ ول اهلل ُ أَفَنَك،ت َعْي نُ َها ُ َ َ ْحلُ َها؟ فَ َق َ َ ِ ِ ت إِ ْح َدا ُك َّن ِف َ َ ُُثَّ ق- ََل:ول ُ ك يَ ُق َ ُك َّل َذل،أ َْو ثَََلثًا ْ َ َوقَ ْد َكان، «إََِّّنَا ى َي أ َْربَ َعةُ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشٌر:ال 169 ِ ِ ال ،»اْلَ ْول ْ اىلِيَّ ِة تَ ْرِمي بِالْبَ ْعَرةِ َعلَى َرأْ ِس َْ
Artinya : “Ada seorang wanita datang kepada Rosululah Saw. Kemudian berkata : Ya Rosulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karena sakit pada matanya, bolehkan ia mencelaki kedua matanya?. Rosulullah menjawab : tidak boleh (2x) atau (3x) yang pada masing-masingnya beliau menyatakan tidak boleh. Kemudian beliau berkata : sesungguhnya „iddahnya ialah 4 bulan 10 hari, dan sesungguhnya dahulu ada diantara kamu berihdad selama satu tahun penuh.” Abu Muhammad mengatakan, berdasarkan hadis ini maka wajib bagi kita berpegangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu wajib hukumnya. b. Boleh Akan halnya hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Zainab putri Abi
169
Muslim bin Hujjaj Abu Al-Hasan Al-Qasyiri An-Naisaburi, Musnad Shahih Muslim, (Bairut : Daru Ihya’ At-Tirats Al-‘Arabi), juz.2, hlm. 1124
65
Salamah, beliau berkata170 :
َح َّدثَِن ُْحَْي ُد بْ ُن، َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن أَِِب بَ ْك ِر بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزٍم، َع ْن ُس ْفيَا َن،َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َكثِ ٍي ِ ِ ِ ِ ت ْ َد َع، لَ َّما َجاءَ َىا نَع ُّي أَبِ َيها، َع ْن أ ُِّم َحبِيبَةَ بِْنت أَِِب ُس ْفيَا َن،َب بِْنت أ ُِّم َسلَ َمة َ َ َع ْن َزيْن،نَاف ٍع ِ يب فَمسح ِ ِّ لَوَلَ أ،يب ِمن حاج ٍة ِ ِ صلَّى اهللُ َعلَْي ِو ْ َ َوقَال،اعْي َها ْ َ َ َ ٍ بِط َّ ِت الن َ ت ذ َر ُ َِّن َْس ْع َ َِّب ْ َ َ ْ ِ ِّ َما ِِل بالط:ت ٍ َت فَو َق ثََل ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ إََِّل َعلَى َزْو ٍج،ث ُ َو َسلَّ َم يَ ُق ْ ِّ «َلَ َي ُّل َل ْمَرأَة تُ ْؤم ُن باللَّو َواليَ ْوم اْلخ ِر َُت ُّد َعلَى َمي:ول 171 »أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا
“ Aku masuk ke rumah Umi Habibah istri nabi Saw. Ketika bapaknya bernama Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia. Maka aku memanggil Umi Habibah dan mengambilkannya minyak wangi za‟faran kuning atau yang lainnya dan kemudian di sentuhkannya kepadanya, kemudian Umi Habibah berkata : ( demi Allah aku tidak perlu minyak, karena aku mendengar Rosulullah Saw. Bersabda : tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendak berkabung kepada mayit lebih dari tiga hari kecuali atas kematian suaminya empat bulan sepuluh hari.)” Hadis ini bukan merupakan hujjah karena yang disebutkan didalamnya merpakan pengecualian dari hal-hal yang dilarang, sehingga karenanya hadis ini memberkan pengertian kebolehan (ibahah), bukan kewajiban. H. Hikmah disyari‟atkannya ihdad Hikmah seorang wanita itu meninggalkan segala perhiasan pada dirinya karena berdukacita di atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari, ini karena seorang janin itu sempurna segala sifatnya dan ditiupkan padanya roh ialah selepas melalui masa selama seratus dua puluh hari, maka ditambah sepuluh hari lagi sebagai mengambil jalan yang lebih sedikit.172
170
hlm.336
171
Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Amzah, 2009),
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al-Ja’fi, Shohih Bukhori, (Da>ru Thouqi Al-Naja>h : Damaskus), Juz 7, hlm.61 172 Russanani, ‚Pensyariatan Ihdad Sebagai Pembelaan Terhadap Wanita‛, Muzakarah Fiqh & International Fiqh Conference 2016, hlm. 46
66
Islam menetapkan iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya juga melaksanakan hak suami yang telah meninggal dunia. Allah mewajibkan istri supaya menghormati, setia, melayani suaminya dengan baik. Oleh karena itu, tidak sewajarnya wanita terus melupakan suaminya setelah ia meninggal dunia.173 I. Hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan bagi orang yang berihdad. Para fuqoha‟ berpendapatbahwa wanita yang sedang berihdad dilarang melakukan hal-hal tertentu, seperti : a. Dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki padanya, seperti perhiasan intan dan celk. Mereka semua memberikan rukhsoh dengan membolehkan pemakaian celak karena terpaksa (misalnya, sakit mata). Mengenai pemakaian celak ini, sebagian fuqoha‟ mensyaratkan bahwa hendaknya hal itu bukan sebagai perhiasan, sedangkan sebagian lainnya tidak mensyaratkan
demikian.
Sementara
golongan
lainnya
mensyaratkan
pemakaiannya di malam hari, bukan disiang hari. b. Dilarang pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna kecuali hitam. Karena imam malik tidak memakruhkan pakaian warna hitam bagi wanita yang sedang berihdad.
173
Ibid.
67
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG „IDDAH TIGA QURU<‟ DALAM TALAK RAJ‟I ‟Iddah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara‟ bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan akad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai ta`abbudī kepada Allah SWT.174 `Iddah artinya satu masa di mana perempuan yang telah diceraikan, baik di cerai hidup ataupun cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak maka dalam waktu ber-`Iddah itu akan kelihatan tandanya. Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan.175 Pada prinsipnya, dalam bahasan mengenai pemikiran Imam Abu Hanifah sangat erat kaitannya dengan dalil-dalil hukum yang beliau gunakan. Untuk itu penelitian juga akan mengarahkan pada dalil yang beliau gunakan dalam menetapkan hukum.
174
Siti Zulaikha, „iddah dan Tantangan Modernitas, Jurnal Hukum Vol. 7 nomor , 2010,
hlm.86 175
Ibid, hlm.87
68
„Iddah bagi wanita yang menstruasi biasa disebut dengan „Iddah tiga quru>‟. Yaitu „Iddah setiap perpisahan dalam hidup bukan kematian176. Jika wanita itu masih haid}, maka ketentuannya tertuang dalam firman Allah QS.Al-Baqarah : 228 yang berbunyi :
ٍ والْمطَلَّقات ي ت ربَّصن بِأَنْف ِس ِه َّن ثَََلثَة قُر ...وء ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ ُ َ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.” Seperti yang telah penulis jabarkan di bab sebelumnya, kata “al-Quru>‟” adalah bagian dari lafal musytara>kah (yang memiliki banyak makna). Dari makna tersebut, ulama empat madzhab berbeda pendapat, ada yang memaknai suci dan ada yang memaknai haid}.177 Imam Syafi„i, imam Malik, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar, „Aisyah r.a, dan para ahli fikih Madinah dalam satu riwayat berpendapat bahwa kata tersebut dimaksudkan bersuci. Sedangkan Imam Hanafi danAhmad bin Hambal dalam satu riwayat berpendapat bahwa maksud kata“al-Quru>‟” adalah haid}.178 Alasan imam Abu Hanifah mengartikan tiga quru>‟ adalah tiga kali haid} didasarkan pada179: 1.
Bahwa ketentuan Allah Swt. tentang „iddah berpindah untuk „Iddah bagi wanita yang tidak haid} dari tiga quru>’ menjadi beberapa bulan. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Talak ayat 4:
176
Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat...,hlm.325 Ibid. 178 Syalabi Khoiruddin, Ahka>mul ‘iddah ‘ala> Khuqu>qi Al-Ma>liyah wa Al-Ma’nawiyah li Zaujah..., hlm.14 179 Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat...,hlm.326 177
69
َّ يض ِم ْن نِسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَْبتُ ْم فَعِدَّتُ ُه َّن ثَََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو َّ َو ِ الَلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح ...ْض َن ْ الَلئِي ََلْ َِي َ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid} lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa „„Iddahnya), maka masa „„Iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid}.‛ Imam Abu Hanifah menggunakan dasar hukum Al-Qur‟an surat ath-Thalaq ayat 4 dalam menetapakan iddah bagi wanita yang belum haid, karena Imam Abu Hanifah memandang surat ath-Thalaq ayat 4 ini adalah umum untuk semua iddah bagi istri yang belum haid atau yang sudah berhenti haid (menopause), Maksud ِ ”الْ َم ِحdijadikan landasan oleh Imam Abu alasan dari ayat di atas yaitu kata “يض Hanifah dalam mengartikan quru‟ itu adalah haid. Karena, jika wanita yang di talak oleh suaminya itu tidak haid karena masih kecil ataupun monopause, „iddahnya berpindah dari tiga quru‟ menjadi tiga bulan. Jadi tidak lain yang dimaksud dengan quru‟ adalah haid. Demikian itu cukup menunjukkan bahwa haid menjadi dasar dalam perhitungan, sebagaimana firman Allah :
َح ٌد ِمْن ُك ْم ِم َن الْغَائِ ِط أَْو ََل َم ْستُ ُم َ َوإِ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُروا َوإِ ْن ُكْنتُ ْم َم ْر َ ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو َجاءَ أ ِ يدا طَيِّبًا ً ِصع َ ِّساءَ فَلَ ْم ََت ُدوا َماءً فَتَ يَ َّم ُموا َ الن
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)...” (QS.Al-Maidah: 6)
Maksudnya, Allah juga memberlakukan perpindahan ketentuan dari wudhu ke tayammum jika sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air untuk berwudhu sebagaimana Allah memindahkan ketentuan dari tiga quru‟ menjadi tiga bulan bagi wanita yang tidak haid atau monopause.
70
2.
Sabda Rosulullah Saw.
ِ ِ ٍ ِ ِِ ))الص ََل َة أَيَّ َام أَقْ َرائَِها َ َ أَنَّوُ ق،يم َّ ُ((تَ َدع:اض ِة َ ال ِف الْ ُم ْستَ َح ُ ُي َ َع ْن إبْ َراى، َع ْن َْحَّاد،َوس ُ َع ْن أَبيو َع ْن أَِِب َحني َفة Artinya: “ Dia tinggalkan sholat pada hari-hari haid}nya.‛ (HR. Abu Daud) Kata “ ”أَقْ َرائِ َهاsebagaimana ayat di atas menunjukkan bahwa arti dari kata
ٍ ”قُرadalah haid. “وء ُ
Sebagaimana pula yang dipertegas oleh hadis Rosulullah Saw. terhadap wanita yang ter-khulu‟:
ٍ ِ عن أَِِب سع، عن أَِِب الْوَّد ِاك،ب ٍ ِ َع ْن قَ ْي،يك ْ يد ِّ اْلُ ْد ِر ٌ َخبَ َرنَا َش ِر ْ أ،َحدَّثَنَا َع ْمُرو بْ ُن َع ْون ُ أَنَّو،ُ َوَرفَ َعو،ي َ َْ ْ َ ٍ س بْ ِن َوْى َ ِ ِ ِ ِ َ َق »ًْضة َ يض َحْي َ َ «ََل تُوطَأُ َحام ٌل َح ََّّت ت:اس َ َوََل َغْي ُر َذات ْحَْ ٍل َح ََّّت ََت،ْض َع َ َال ف َسبَايَا أ َْوط Artinya: “ hendaklah tidak dicampuri wanita hamil sampai melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai sekali haid}.” (HR. Abu Daud) Maksud ayat itu haid atau mengandung menurut umumnya ahli tafsir, tidak ada seorang pun yang mengartikan suci.180 Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi :
َّ ق َّللاُ فِي أَرْ َحا ِم ِه َّه َ ََو ََل يَ ِحلُّ لَه َُّه أَ ْن يَ ْكتُ ْمهَ َما َخل
Artinya: “Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” Dalam hal yang lain maksud dari „Iddah yaitu mengetahui kebebasan rahim dari kehamilan. Terkadang dapat diketahui dengan kelahiran dan terkadang diketahui dengan sesuatu yang meniadakannya, yaitu menstruasi.181 Implikasi dari pendapat Imam Abu Hanifah di atas, menurut penulis masa iddah wanita akan lebih panjang, karena saat ditalak wanita dalam keadaan suci, 180
Abdul Aziz Muhammad Azzam.dkk, Fiqih Munakahat...,hlm.328 Ibid.
181
71
wanita harus menunggu haid dahulu kemudian suci hingga selesai haid yang ketiga, dan menurut penulis itu adalah bagian dari kehati-hatian Imam Abu Hanifah dalam mengistinbathkan hukum. Sedangkan pendapat imam yang lain yang mengartikan quru‟ dengan kata suci, implikasinya masa „iddah wanita tersebut lebih pendek dari pendapat Imam Abu Hanifah, karena saat talak wanita dalam keadaan suci, dan itu bagian dari masa iddah yang dijalani. Dari pembahasan yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis berusaha menganalisis pemikiran Imam Abu Hanifah tentang „Iddah tiga quru‟. Yang mana pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan tentang keunikan Imam Abu Hanifah dibandingkan ulama‟ lain seperti Imam Malik, Imam Syafi‟ i dan Imam Ahmad dalam hal penggunaan sumber dalil, sehingga berdampak pada hukum yang dikeluarkan, dengan dasar ihukum yang berbeda maka berbeda pula hukum yang dihasilkan. Imam Abu Hanifah dalam menganalisis pemikirannya berpegang pada sumber dalil yang sistematis atau tertib. Abu Hanifah menempatkan Al-Qur‟an pada urutan pertama, kemudian As-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya qoul saha>by, ijma‟ qiya>s, istih}sa>n dan yang terakhir „urf. Dalam hal terjadinya pertentangan qiya>s danistih}sa>n, sementara qiya>s tidak dapat dilakukan, maka Abu Hanifah meninggalkan qiya>s dan berpegang pada istih}sa>n karena adanya pertimbangan maslahat.182
182
hlm.48
Romli SA, Muqoronah Madzahib fil Ushul, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1999),
72
Dalam menetapkan hukum suatu perbuatan, tentunya para fuqoha memiliki metode-metode tersendiri, sehingga produk hukum yang dikeluarkan memiliki dasar, bersifat argumentatif dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia memiliki metode tersendiri dalam menetapkan hukum, khususnya dalam masalah „Iddah tiga quru‟. Sejauh pengamatan penulis, paling tidak ada dua tahapan atau dua metode yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam menetapkan masalah tersebut. Metode pertama, Imam Abu Hanifah secara khusus merujuk ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan metode kedua, bahwa Imam Abu Hanifah merujuk pada hadis-hadis nabi yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat atau tabi‟in. Dalam „iddah tiga quru‟, Imam Abu Hanifah menggunakan dalil dalam surat AlBaqarah ayat 228 Allah berfirman bahwa masa „Iddah bagi wanita yang ditalak adalah tiga Quru>‟ (Haid), kemudian dalil tersebut dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Dapat disimpulkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan buah pikirannya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan al- hadis yang shahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Imam Abu Hanifah pernah berkata183: “Sesungguhnya saya mengambil kitab suci Al-Qur‟an dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur‟an, maka saya mengambil dari sunnah Rosulullah saw. yang shahih dan tersiar di kalangan orang-orang yang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil pendapat dari orang-orang terpecaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim alSya‟bi, Hasan ibn Sirin, dan Sa‟id ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
183
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. Kedua, 2001, hlm.86
73
Dan juga pastinya hukum yang ditetapkan oleh Allah tentu memiliki tujuantujuan penting, misalnya dalam hal „Iddah yaitu untuk mengetahui kekosongan rahim seorang wanita, diisamping pelaksanaannya merupakan ibadah dan kewajibanseorangwanita.
74
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. „Iddah bagi wanita yang menstruasi biasa disebut dengan „iddah tiga quru>‟. Imam Syafi„i, imam Malik, Zaid bin S|abit, Abdullah bin Umar, „Aisyah r.a, dan para ahli fikih Madinah dalam satu riwayat berpendapat bahwa kata “ٍ ”قُ ُروءdimaksudkan bersuci. Sedangkan Imam Hanafi dan Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat berpendapat bahwa maksud kata “ ”قُ ُروءadalah haid. Jadi „iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya dan wanita tersebut adalah wanita yang dapat menstruasi menurut Imam Abu Hanifah „iddahnya adalah tiga kali haid. 2. Dasar hukum Imam Abu Hanifah dalam mengartikan tiga quru>‟ adalah tiga kali haid} didasarkan pada QS. At-Talak ayat 4, Imam Abu Hanifah menggunakan dasar hukum Al-Qur‟an surat ath-Thalaq ayat 4 dalam menetapakan iddah bagi wanita yang belum haid, karena Imam Abu Hanifah memandang surat ath-Thalaq ayat 4 ini adalah umum untuk semua iddah bagi istri yang belum haid atau yang sudah berhenti haid ِ ”الْ َم ِحdijadikan landasan (menopause), alasan dari ayat itu yaitu kata “يض oleh Imam Abu Hanifah dalam mengartikan quru‟ itu adalah haid, karena ketika kata “ ”قُ ُروءdiartikan dengan suci itu tidaklah sesuai, ayat tersebut menerangkan „iddah bagi wanita yang tidak haid/monopause. Kemudian
75
diperkuat oleh sabda Rosulullah yang menerangkan bahwa kata “”قُ ُروء adalah haid, dan diperkuat lagi dengan hadits Rosulullah tentang „iddah wanita yang ter-khulu‟ adalah satu kali haid. Dalam hal yang lain maksud dari „Iddah yaitu mengetahui kebebasan rahim dari kehamilan. Terkadang dapat diketahui dengan kelahiran dan terkadang diketahui dengan sesuatu yang meniadakannya, yaitu menstruasi.
B. SARAN-SARAN Setelah menguraikan dan menganalisa permasalahan mengenai pendapat Imam Abu Hanifah tentang iddah dan ihdad wanita, maka penulis menyampaikan beberapa saran demi kemaslahatan bersama, yaitu : 1. Hendaknya kita menyadari realitas zaman yang semakin cepat berubah dan maju serta modern, dimana syari‟at Islam dengan segala aspeknya dihadapkan pada persoalan-persoalan baru dan semakin modern sedangkan literatur kita di bidang hukum hampir semuanya adalah hasil karya ulamaulama terdahulu yang sudah berbeda jauh kondisinya dengan keadaan sekarang, oleh karena itu untuk menjawab tantangan zaman yang berorientasi kekinian diperlukan untuk mengkaji kembali pendapat ulama-ulama terdahulu yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang. 2. Dengan mengadakan kajian ilmiah dan berfikir yang kritis analitis yang menjauhkan kita dari sikap fanatisme madzhab, akan memberikan wawasan yang luas tentang berbagai pendapat tentang hukum Islam.
76
3. Sebagai akademisi kita harus mampu menjawab persoalan yang dihadapi Islam untuk menjawab tantangan zaman, karena kita secara khusus merupakan intelektual yang bergelut di bidang keagamaan
77
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999 Ali, Hasan Muhammad, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996 Anas PA, The Hanafi School : Origin, Development And Features, aligahr muslim university : aligarh india Ayyoub, Hasan, Fiqih of The Moeslim Family, Cairo, Egyp : Islamic INC Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Nusantara, edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004. Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014 Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih, 1&2, Jakarta: Kencana,2010 Bakker , Anton, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986 Beni, Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat,Bandung: CV Pustaka Setia, 2013 Chaidaroh, Umi,Konsep „iddah dalam Hukum Fiqh, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013 Chalil, Moenawar, Biografi Serangkai Imam Madzhab, Hanafy, Maliky, Syafi‟i, Hanbaly, Jakrta : Bulan Bintang, 1955 Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997 Djalil. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana, 2010 Djazuli, Ilmu Fikih :Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2012 Ghazali. ABD. Rahman , Fikih Munakahat, Cet. II, Jakarta: Kencana, 2003 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 2007
78
Haris, Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2010 Humaizah, Tahido Tango, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997 Imam, Abu Zahroh, Abu Hanifah, Daa>rul Fikri Al-‘Arabi Indar, „Iddah dalam Analisis Gender, Purwokerto: Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 5 No.1
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakaya,2003 Kamal. Abu Malik, Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses pada tanggal 26 April 2017 Al-Khin. Musthafa Sa‟id, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014 Kurnia, Ryan Ganang, Perceraian karena suami Mafqud, Skripsi : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015
Muchidah, Izzatul,Hukum Penggunaan Social Media oleh Wanita dalam Masa „Iddah, Al-Hukama Vol.3 No. 01 Muchlisin, Riadi,Pengertian, alasan dan proses perceraian, diakses dari www.kajianpustaka.com (dilihat pada tanggal 21 Februari 2017) Musthafa Sa‟id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2014 Muslim, Hijaj Abu Hasan, Musnad Shahih Al-Mukhtashir, Bairut : Darul Ihya‟ Tirats Al-„Arabi Muhammad, Abi Abdillah, Manaaqib Al-Imam Abu Hanifah, India. Muhammad, Syaikh Al-„Allamah, Fiqih Empat Madzhab, Bandung: Hasyimi, 2014 Muhammad Abu Zahroh, Abu Hanifah, Darul Fikri Al-„Arabi Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shohih Bukhori, Da>ru Thouqi Al-Naja>h : Damaskus, Juz 7
79
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2015 Nata. Abuddin, Masail Al-Fiqhiyah, Jakarta: Kencana, 2012 Ny.Soemiyati,Hukum perkawinan Islam dan UU NO.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2007 Pakih, Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam Empat Madzhab, Jakarta: Kana Media, 2014 Praja. Juhaya,Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia, 2011 Rasyida Arsjad, „iddah Wafat, Antara Agama dan Budaya, Jurnal Lentera Vol.3 No.1. 2017 Rules and Regulations of the iddat, Madresa Maseehul Uloom, ( South Africa : Mulabar- Port Elizabeth) Russanani, ‚Pensyariatan Ih{da
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999. Ash- Shiddieqy, Hasby, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang) As-Sarkhosi, Syamsuddin, Al-Mabshut, Bairut, Libanon: Darul Qutub Al„Ilmiyah, 1993. Siti, Zulaikha, „iddah dan Tantangan Modernitas, Jurnal Hukum Vol. 7 nomor , 2010 Sutrisno, Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1997) Syalabi, Khoiruddin, Ahka>mul ‘‘iddah ‘ala h}uqu>qi Al-Ma>liyah wa AlMa’nawiyah li Al-Zaujah, (Universitas Muhammad Haidhor: Bashkar, 2015) Syaikh Muhammad Al-„Allamah. Fiqih Empat Madzhab, Bandung: Hasyimi, 2014
80
Yusuf, Ali, Fiqh Keluargapedoman berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2010. Al-Zuhaili Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr)
81
BIOGRAFI Nama
: Fatimah Azzahra
NIM
: 13.21.21.012
Tempat, Tangga Lahir : Karanganyar, 09-05-1994 Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Ngunut RT.02/06 Tawangmangu, Karang anyar
No. HP
: 0857-0240-4710
Riwayat Pendidikan
:
Riwayat Organisasi
-
Pondok Pesantren Imam Bukhori
2001
-
SMP Muh. Darul Arqom Karanganyar 2007
-
MAPK Surakarta
-
IAIN Surakarta
2010 2013- sekarang
: -
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) 2014/2015
-
Badan Ekskutif Mahasiswa
(BEM) 2015/2016