BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Akuntansi adalah kegiatan yang sangat erat hubungannya dengan etika. Hal ini
terjadi karena akuntansi adalah kegiatan yang membutuhkan banyak judgement, dan aturan akan sangat sulit untuk melingkupi seluruh judgement yang mungkin diambil oleh seorang akuntan. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran etika seorang akuntan untuk pengambilan keputusan akuntansi yang tidak tercakup oleh peraturan tertulis.
Isu-isu etika dalam akuntansi sudah terjadi sejak abad ke -20, hal ini dibuktikan oleh peningkatan kebutuhan edukasi etika dalam akuntansi. Langenderfer dan Rockness (1989) dalam M ayhew dan M urphy (2009) mengatakan bahwa terjadi peningkatan
kebutuhan
pendidikan
etika
selama
beberapa
dekade
terakhir .
Peningkatan kesadaran etika dalam dunia akuntansi kembali terjadi pada awal abad ke-21 yang dipicu oleh munculnya skandal etika yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan besar di dunia seperti Enron, KAP Arthur A ndersen, dan WorldCom.
Enron melakukan manipulasi laporan keuangan periode 1997 hingga 2000 untuk menaikkan laba pada laporan keuangan yang ditujukan untuk mendapatkan kepercayaan pemegang saham agar harga saham tetap tinggi. Kantor akuntan publik terkemuka Arthur Andersen juga ikut terlibat dalam skandal ini. KAP Arthur Andersen didakwa bersalah pada tahun 200 2 karena dianggap melakukan upaya untuk menutupi kebenaran dengan menghilangkan semua dokumen termasuk email dan berkas-berkas perusahaan yang terkait dengan jasa audit yang diberikan kepada Enron. Perusahaan lain yang mengalami skandal etika adalah WorldCom. Pada tahun 2003 salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia i tu terbukti melakukan 1
kecurangan
pada
laporan
keuangan.
Kecurangan
tersebut
dilakukan
untuk
menyembunyikan pendapatan WorldCom yang merosot dan mempertahankan harga saham . Kecurangan tersebut dilakukan dengan cara mencatat beban interkoneksi dengan perusahaan telekomunikasi lain sebagai capital expenditures, sehingga transaksi yang seharusnya diakui sebagai beban justru diakui sebagai aset dan menyebabkan
aset
perusahaan
overvalued.
Selain
itu
WorldCom
juga
menggembungkan pendapatan mereka dengan cara melakukan pencatatan akuntansi palsu akun unallocated revenue.
Di Indonesia, kasus skandal etika dialami oleh PT KAI yang melakukan manipulasi laporan keuangan pada tahun 2005. Skandal etika juga dialami oleh KPM G Siddharta S iddharta dan Harsono pada tahun 2001 dengan melakukan praktik suap terhadap pegawai pajak. Skandal etika lainnya dialami oleh sembilan KAP di Indonesia yaitu AI dan R, HT dan M , H dan R, JM dan R, PU dan R, RY, S dan S, SD dan R, serta RBT dan R demgan melakukan kolusi dengan klien mereka. Kasus ini ditemukan oleh Indonesian Corruption Watch pada tahun 2001.
Banyaknya skandal dan isu-isu etika yang terjadi dalam dunia akuntansi dan bisnis mendorong lembaga pendidikan mewajibkan dimasukannya pendidikan etika ke dalam kurikulum pendidikan akuntansi. Lembaga akreditas ternama seperti Advance Collegiate Schools of Business (AACSB) sudah mendorong universitas yang memiliki bidang studi bisnis untuk memasukkan pendidikan etika dalam kurikulum mereka sejak tahun 1976 (Conaway, 2000). AACSB juga menjadikan pendidikan etika bisnis dalam kurikulum sebagai salah satu persyaratan bagi seluruh universitas yang ingin memperoleh akreditasi atau melakuka n akreditasi ulang AACSB (Swanson dan Frederick, 2003). Namun kasus skandal etika terus bermunculan bahkan setelah adanya instruksi untuk memasukkan pendidikan etika ke kurikulum universitas yang 2
memiliki bidang studi bisnis. Hal ini memunculkan keraguan tentang kualitas dan efektivitas pengintegrasian pendidikan etika ke dalam kurikulum sekolah bisnis. Dampak dari pendidikan etika bisnis terhadap kemampuan etis seseorang juga diragukan karena berbagai penelitian yang mencoba melihat hubungan pendidikan etika bisnis terhadap kemampuan etis seseorang memiliki hasil yang bervariasi (Gautschi III dan Jones, 1998; Wu, 2003; Eynon dkk, 1997; Weber, 1990).
Gautschi III dan Jones (1998) menemukan peningkatan substansial dalam kemampuan siswa untuk mengenali isu-isu etika setelah mengambil kursus etika bisnis. Penelitian Gautschi III dan Jones (1998) menggunakan uji t-values menemukan bahwa siswa sekolah bisnis yang mendapatkan pendidikan etika bisnis dapat mengenali tiga isu etika lebih banyak dibandingkan sebelum mengambil pendidikan etika bisnis, dan mengalami peningkatan kemampuan mengenali isu etika hampir 50% yaitu dari t-values 6.1 sebelum mendapat pendidikan etika bisnis menjadi 8.7 setelah mendapat pendidikan etika bisnis. Wu (2003) menemukan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap nilai-nilai etika, kemampuan untuk mengenali isu-isu etika, dan kemampuan pengambilan keputusan etis pada siswa di Taiwan setelah mengikuti kursus etika bisnis,
meskipun
tingkat
kesadaran
etika
tersebut
belum
optimal.
Dalam
penelitiannya, Wu (2003) memasukkan lima perilaku yang dapat menghambat seseorang untuk melakukan tindakan etis, yaitu (1) Illiberal interests, (2) Profit orientation, (3) Shortsighted self-profitability, (4) Favoritism in marketing, dan (5) Discrimination against rights. Satu dari lima perilaku tersebut yaitu profit orientation mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar -5.733 pada t-test setelah mahasiswa di Universitas D on H ua mengambil pendidikan etika bisnis. Perilaku
3
lainnya juga mengalami penurunan setelah mahasiswa Universitas Don Hua mengambil pendidikan etika bisnis namun tidak signifikan. Eynon dkk (1997) menemukan bahwa para profesional akuntansi yang mendapatkan pendidikan etika di perguruan tinggi cenderung memiliki tingkat kemampuan penalaran moral yang lebih tinggi diukur dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT). Penilaian terhadap DIT akan menghasilkan skor P. Ukuran skor P adalah dari 0-95. Semakin tinggi skor P maka semakin tinggi kemampuan penalaran moral dari sampel. Hasil penelitian Eynon dkk (1997) menunjukkan bahwa para profesional akuntansi yang pernah mendapatkan pendidikan etika bisnis memiliki skor P 43.1, sedangkan para profesional akuntansi yang tidak pernah mendapatkan pendidikan etika bisnis hanya memiliki skor P 34.8. Dari hasil tersebut Eynon dkk (1997) menyimpulkan bahwa pelaku akuntansi yang mendapatkan pendidikan etika bisnis di sekolahnya memiliki kemampuan penalaran moral lebih baik dibanding dengan pelaku akuntansi yang tidak mendapatkan pendid ikan etika bisnis. Weber (1990) menemukan bahwa tingkat kesadaran etika dan pertimbangan etika siswa memang membaik setelah mengambil kursus etika bisnis, namun efek tersebut hanya bersifat sementara dan dalam jangka waktu yang sebentar. Hasil dari penelitannya tahun 1990 menemukan bahwa tiga dari empat sampel artikel yaitu mi lik M artin (1981-1982), Arlow dan Ulrich (1983) serta Stead dan M iller (1988) menunjukkan bahwa pendidikan etika bisnis tidak secara signifikan meningkatkan kemampuan moral seseorang, atau hanya meningkatkan kemampuan moral seseorang namun hanya bersifat sementara. Dalam Weber (1990), penelitian M artin (1981-1982) menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan dalam kemampuan untuk menilai suatu skenario etika. Penelitian Arlow dan U lrich (1983) menunjukkan bahwa pendidikan etika bisnis secara signifikan meningkatkan kemampuan moral siswa,
4
namun peningkatan kemampuan tersebut ternyata menghilang dalam jangka waktu empat tahun. Sementara penelitian M iller (1988) menunjukkan bahwa pendidikan etika bisnis hanya meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya isu sos ial, namun tidak secara signifikan meningkatkan kemampuan siswa untuk memprioritaskan isu sosial.
Disisi lain, tingkat religiositas seseorang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan moral. M enurut Vitell dkk (2009), dimensi intrinsik dan ekstrinsik dari religiositas memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap internalisasi dan simbo lisasi dari identitas moral, yang mana identitas moral merupakan salah satu faktor dari pengambilan keputusan etis seseorang. Rest dkk (1999) dalam Kurpis dkk (2008) mengatakan bahwa moralitas berkaitan dengan duniawi, sementara agama berkaitan dengan hal yang di atas akal pikiran, namun ketika agama mendefinisi tentang bagaimana kita terikat dengan orang lain ketika hidup di dunia maka agama juga mendefinisi moralitas. Berdasar pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa religiositas seseorang sangat mungkin memiliki pengaruh terhadap tingkat kemampuan etis seseorang.
Wimalasiri (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan dari variabel agama dan kemampuan etis dari responden penelitian. Wimalasiri (2004) melakukan penelitian terhadap mahasiswa yang berada di Singapura dan Fiji. Penelitian dilakukan dengan menguji hubungan antara agama, pendidikan etika, ras, jenis kelamin, dan usia terhadap kemampuan etika sesorang dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT). Hasil penelitian tersebut menunjukkan korelasi yang signifikan antara pendidikan, ras dan agama terhadap skor P pada mahasiswa Singapura, sementara pada mahasiswa Fiji korelasi yang signifikan hanya ditemukan antara agama terhadap skor P (Wimalasiri, 2004). 5
Kurpis dkk (2008) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara religiositas seseorang terhadap com mitment to moral self-im provement. Penelitian tersebut dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada mahasiswa universitas yang berafiliasi agama di Pacific Northwest. Pengolahan data dilakukan menggunakan analisis regresi. Hasilnya adalah religiositas seseorang adalah prediktor yang signifikan dari comm itment to m oral self-improvement. Selain itu K urpis dkk (2008) juga menemukan bahwa responden dengan tingkat religiositas yang tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih mengenali isu etika dibanding dengan responden dengan tingkat religiositas yang rendah. Responden dengan tingkat religiositas yang tinggi juga memiliki kecenderungan untuk tidak berperilaku seperti business person. Namun penelitian Kurpis dkk (2008) menunjukkan bahwa religiositas tidak memiliki dampak langsung terhadap perceived im portance of ethics.
Conroy dan Emerson (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tingkat religiositas seseorang dilihat dari afiliasi agama, frekuensi kehadiran di gereja, frekuensi doa atau meditasi, dan tingkat religiositas yang bersifat self-reported memiliki pengaruh yang minimal terhadap perilaku etis. Conroy dan Emerson (2004) juga mengatakan bahwa mengambil kursus etika atau pendidikan agama tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku etis.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh dari tingkat religiositas mahasiswa akuntansi terhadap kemampuan penalaran moral. Tingkat religiositas dipilih sebagai variabel independen karena tingkat religiositas seseorang adalah salah satu faktor yang membentuk kemampuan moral seseorang dan memiliki pengaruh terhadap pembentukan kemampuan moral seseorang, salah satunya kemampuan penalaran moral (Vitell dkk, 2009; Wimalasiri, 2004; Kurpis dkk, 2008). Dalam penelitian ini penulis ingin melihat dampak tingkat religiositas terhadap penalaran 6
moral dari berbagai agama. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki keterbatasan penelitian serupa yang sebelumnya telah dilakukan pada mahasiswa S1 jurusan akuntansi Fakultas Ekonom ika dan Bisnis Universitas Gadjah M ada yang dilakukan oleh Putri (2015). Dalam penelitiannya, Putri (2015) hanya mengukur tingkat religiositas mahasiswa dari satu agama saja. Sementara dalam penelitian ini, penulis melihat tingkat religiositas dari berbagai agama, sehingga akan didapat hasil yang lebih menggambarkan dampak tingkat re ligiositas secara umum terhadap kemampuan penalaran moral, bukan hanya dampak tingkat religiositas satu agama tertentu terhadap kemampuan penalaran moral. Selain itu penelitian ini juga menggunakan instrumen pengukuran yang berbeda untuk melihat tingkat re ligiositas responden. Peneliti menggunakan instrumen I-Revised untuk mengukur tingkat religiositas intrinsik responden. Instrumen ini digunakan oleh K notts dkk tahun 2000. Keunggulan instrumen ini adalah kemampuan instrumen untuk mengukur tingkat religiositas instrinsik secara umum bukan hanya dari satu agama tertentu saja dan instrumen ini mengukur dimensi religiositas intrinsik yang merupakan dimensi yang lebih baik untuk memprediksi tingkat religiositas seseorang. Sementara penalaran moral dipilih sebagai variabel independen dalam penelitian ini karena penalaran moral merupakan kemampuan mo ral yang paling krusial di bidang akuntansi. Kemampuan penalaran moral adalah kemampuan moral yang selalu digunakan akuntan ketika memberikan jasa akuntansi. Penalaran moral berfungsi sebagai dasar pengambilan keputusan yang dilakukan oleh akuntan agar keputusan yang diambil bersifat etis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrumen Accounting Defining Issues Tests (ADIT). ADIT adalah instrumen terapan dari Defining Issues Test (DIT) yang dikembangkan oleh Rest tahun 1979. Keunggulan ADIT dibanding DIT adalah ADIT memiliki kasus dilema moral yang
7
terjadi dalam bidang akuntansi, sehingga hasil yang didapat akan lebih reliabel untuk mengukur tingkat penalaran moral mahasiswa akuntansi. Terjadinya peningkatan kebutuhan dan kesadaran etika dalam dunia akuntansi, dan banyaknya perdebatan mengenai dampak yang dihasilkan oleh pendidikan etika terhadap peningkatan kemampuan etis dalam dunia akuntansi, membuat penulis ingin membandingkan kemampuan etis mahasiswa akuntansi yang sudah m engambil pendidikan etika melalui mata kuliah etika bisnis dan yang belum m engambil pendidikan etika melalui mata kuliah etika bisnis dilihat dari kemampuan mahasiswa mengenali isu etika (penalaran moral). Hal ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dampak yang dihasilkan pendidikan etika terhadap kemampuan penalaran moral.
Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 jurusan akuntansi FEB UGM yang sudah menempuh mata kuliah etika bisnis dan yang belum me nempuh mata kuliah etika bisnis dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penilitian di atas, maka pertanyaan penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaaan tingkat penalaran moral antara mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang belum mengambil mata kuliah etika bisnis? 2. Apakah terdapat perbedaan tingkat penalaran moral antara mahasiswa yang memiliki tingkat religiositas tinggi dengan mahasiswa yang memiliki tingkat religiositas lebih rendah?
8
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. M enganalisis dan memperoleh bukti empiris dari perbedaan penalaran moral mahasiswa yang sudah menjalani mata kuliah etika bisnis dan mahasiswa yang belum menjalani mata kuliah etika bisnis dilihat dari kemampuan mahasiswa mengenali isu etika (penalaran moral). 2. M enganalisis dan memperoleh bukti empiris dari perbedaan penalaran moral mahasiswa yang memiliki tingkat religiositas tinggi dan mahasiswa yang memiliki tingkat religiositas lebih rendah dilihat dari kemampuan mahasiswa mengenali isu etika (penalaran moral).
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan setidaknya empat manfaat, antara
lain :
1. M emberikan bukti empiris terkait pengaruh pendidikan etika bisnis terhadap kemampuan etis. 2. M emberikan bukti empiris terkait pengaruh tingkat religiositas terhadap kemampuan etis. 3. M emberikan informasi untuk pengembangan kurikulum etika bisnis bagi akademisi khususnya dalam bidang akuntansi. 4. M emberikan kontribusi untuk penelitian selanjutnya.
9
1.5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
BAB I
PENDAHU LUA N
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
TELAA H LITERATUR DAN PENG EM BANGAN HIPO TESIS
Bab ini berisi teori-teori yang mendasari analisis penelitian yaitu teori penalaran moral, tingkat religiositas, dan pendidikan etika bisnis.
BAB III
M ETODA PENELITIAN
Bab ini berisi penjelasan variabel penelitian, ruang lingkup penelitian, sampel penelitian, jenis dan sumber data, metoda pengumpulan data, dan metoda analisis data.
BAB IV
ANALISIS DATA DA N PEM BAHASAN
Bab ini berisi penjelasan pengujian data, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil survei sesuai dengan alat analisis yang digunakan.
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran.
10