BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1.1 Permasalahan Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rabobank, Pawan Kumar, Rabobank Associate Director of Food and Agribusiness Research and Advisory (FAR), mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penyumbang produksi minyak sawit terbesar dunia. Indonesia menyumbang sebanyak 48% dari total volume produksi minyak sawit di dunia, diikuti Malaysia sebesar 37% (Wicaksono, 2012). Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian mencatat bahwa pada tahun 2010, produksi kelapa sawit di Indonesia mencapai 16.291.856 ton dan mencapai 20.577.976 ton pada tahun 2013 dengan luas areal perkebunan pada tahun 2010 yaitu 8.385.394 hektar dan terus bertambah hingga 10.465.020 hektar pada tahun 2013 (Anonim, 2014). Produksi kelapa sawit yang terus bertambah setiap tahunnya mengakibatkan produksi limbah pengolahan kelapa sawit akan terus bertambah. Dari 1 ton tandan buah kelapa sawit segar dihasilkan 220 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Selama ini TKKS dimanfaatkan sebatas untuk pembuatan pupuk organik, bahan baku pulp, dan sebagainya (Anonim, 2014). Namun, TKKS ini memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan menjadi 1
bahan lain yang bernilai lebih tinggi, salah satunya adalah menjadi bahan baku bioetanol. TKKS memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan menjadi bahan baku bioetanol karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu berkisar 43-51% (Zainuddin, et al., 2012). Dengan pemanfaatan TKKS menjadi bioetanol, jumlah TKKS yang terbuang menjadi limbah akan berkurang sekaligus didapatkan hasil bioetanol yang dapat digunakan sebagai energi alternatif terbarukan. Hal ini akan mendukung implementasi pengelolaan lingkungan dan mendukung pemerintah dalam program konversi bahan bakar minyak bumi ke bahan bakar terbarukan. TKKS merupakan biomassa yang memiliki kandungan selulosa, hemiselulosa,
dan
lignin,
sehingga
sering
disebut
dengan
limbah
lignoselulosa. Pada proses produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa, ada 4 tahapan proses, yaitu pretreatment lignoselulosa, hidrolisis selulosa menjadi glukosa, fermentasi glukosa menjadi etanol, dan pemurnian etanol. Dari keempat tahap ini, tahap hidrolisis merupakan salah satu tahap yang krusial. Proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa merupakan proses pemecahan polisakarida yaitu selulosa di dalam biomassa lignoselulosa menjadi monomer gula penyusunnya yaitu glukosa. Proses hidrolisis yang umum digunakan adalah hidrolisis dengan menggunakan asam, baik asam encer maupun pekat (acid hydrolysis, dilute and concentrated) dan hidrolisis dengan
menggunakan
enzim
(enzymatic
hydrolysis),
yaitu
dengan
menggunakan enzim selulase murni atau menggunakan mikroorganisme yang menghasilkan enzim selulase seperti jamur. Beberapa spesies jamur yang 2
menghasilkan enzim selulase dengan jumlah yang besar, antara lain Trichoderma reesei, Aspergillus niger, Pseudomonas alcaligenes, Rhizopus sp., dan Fomitopsis sp. Aspergillus niger mempunyai produktivitas enzim selulase yang tinggi dan seimbang dibanding jamur yang lain, serta mudah diperoleh (Sohail, et al., 2009). Dengan beberapa kelebihannya, Aspergillus niger lebih banyak digunakan. Penelitian mengenai hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzymatic hydrolysis telah banyak dilakukan sebelumnya. Sebagian besar peneliti meninjau seberapa besar glukosa dihasilkan dari proses hidrolisis dari berbagai macam substrat lignoselulosa, tetapi hanya sebagian kecil yang meninjau tentang seberapa cepat reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa berlangsung. Kecepatan reaksi hidrolisis menjadi penting untuk diteliti untuk mendapatkan model kecepatan reaksi yang nantinya akan bermanfaat pada proses perancangan reaktor hidrolisis. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti seberapa cepat selulosa diubah menjadi glukosa pada proses hidrolisis enzimatis. Proses hidrolisis enzimatis menghasilkan glukosa yang memiliki rantai lebih pendek dan struktur lebih sederhana dibandingkan dengan selulosa. Glukosa merupakan substrat yang potensial dan paling umum digunakan untuk fermentasi menggunakan berbagai jenis mikroorganisme termasuk jamur, baik untuk skala laboratorium maupun skala industri (Shuler and Kargi, 2002). Aspergillus niger menghidrolisis selulosa untuk mendapatkan glukosa yang sebagian akan dikonsumsi sebagai sumber energi 3
untuk pertumbuhannya. Produk yang diinginkan dari proses hidrolisis sendiri adalah glukosa sehingga konsumsi glukosa oleh jamur Aspergillus niger merupakan hal yang tidak diinginkan dan sebisa mungkin diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa cepat Aspergillus niger mengkonsumsi glukosa dibandingkan menghidrolisis selulosa. Hasil penelitian ini nantinya akan menghasilkan model kecepatan reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa dan model kecepatan reaksi terbentuknya glukosa.
1.1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzymatic hydrolysis telah banyak dilakukan sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Reczey, et al. (1996); Kang, et al. (2004); Bommarius, et al. (2008); Lu, et al. (2008); Aderemi, et al. (2008); Lin, et al. (2010), dan Highina et al. (2012). Reczey, et al. (1996) meneliti efek perbedaan sumber karbon dan konsentrasi substrat pada hidrolisis menggunakan Trichoderma reesei RUT C30. Dari penelitiannya, Reczey, et al. (1996) mendapatkan hasil yaitu 90% selulosa untuk semua jenis substrat didegradasi oleh Trichoderma reesei RUT C30 dan yield terbesar dari proses tersebut terjadi ketika reaksi hidrolisis menggunakan substrat selulosa dengan konsentrasi awal 10 g/L. Kang, et al., (2004) menggunakan Aspergillus niger KK2 untuk mempelajari produksi enzim selulase yang dihasilkan pada hidrolisis selulosa 4
pada jerami padi dan dedak gandum dengan metode Solid-State Fermentation. Penelitian Kang, et al., (2004) menghasilkan kesimpulan bahwa jamur Aspergillus niger KK2 menghasilkan aktivitas selulase maksimum pada hari ke-4 sampai hari ke-6 hidrolisis. Bommarius, et al., (2008) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan kinetika produksi enzim selulase dengan menggunakan microcrystalline cellulose dengan enzim selulase komersial dari Trichoderma reesei. Dari penelitiannya, Bommarius, et al., (2008) menyimpulkan bahwa kecepatan hidrolisis selulosa menurun ketika konversi selulosa menjadi glukosa yang tinggi. Aderemi, et al. (2008) meneliti kinetika hidrolisis enzimatis menggunakan model Michaelis-Menten untuk analisis reaksi hidrolisis enzimatis jerami padi menggunakan jamur Aspergillus niger pada konsentrasi substrat yang rendah (Liquid-State Fermentation), yaitu 1 – 12 g/L. Dari penelitian Aderemi, et al. (2008) dihasilkan model kinetika reaksi dengan nilai µ max sebesar 1,5288 x 10-4 g/(L.s) dan nilai Km sebesar 33,7 g/L. Lu, et al., (2008), meneliti pengaruh konsentrasi padatan pada hidrolisis enzimatik selulosa dari bonggol jagung dengan enzim selulase komersial menggunakan metode hidrolisis enzimatis dan fermentasi terpisah (Separate Enzymatic Hydrolysis and Fermentation). Hasil penelitian Lu, et al. (2008) menyatakan bahwa pada range konsentrasi selulosa 10 – 30 %, konversi selulosa menjadi glukosa akan sedikit berubah dengan naiknya konsentrasi selulosa yang digunakan. 5
Lin, et al. (2010) meneliti pengaruh interaksi komponen-komponen lignoselulosa dalam proses hidrolisis enzimatis pada jerami padi dan microcrystalline cellulose dengan menggunakan enzim selulase komersial. Dari penelitian Lin, et al. (2010), didapatkan hasil yaitu glukosa terbentuk optimum saat hidrolisis berlangsung 72 jam. Highina et al. (2012) meneliti model kinetika produksi glukosa dari dedak gandum menggunakan Aspergillus niger. Dari penelitian yang dilakukan Highina et al. (2012), didapatkan model kinetika reaksi dengan nilai µ max sebesar 1,723 x 10-4 g/(L.s) dan nilai Km sebesar 36,83 g/L. Dari beberapa penelitian di atas, sebagian besar peneliti meninjau efek kondisi operasi (jenis substrat, konsentrasi substrat, waktu hidrolisis, suhu, pH) terhadap yield, konversi, dan seberapa besar glukosa dihasilkan, tetapi hanya sebagian kecil yang meninjau tentang seberapa cepat reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa berlangsung. Kecepatan reaksi hidrolisis menjadi penting untuk diteliti untuk mendapatkan model kecepatan reaksi yang nantinya akan bermanfaat pada proses perancangan reaktor hidrolisis. Dua penelitian tentang kecepatan reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa yaitu Aderemi, et al. (2008) dan Highina et al. (2012) mendapatkan model kinetika reaksi dengan memperhatikan penurunan konsentrasi selulosanya saja dan belum meninjau seberapa cepat glukosa diproduksi oleh Aspergillus niger mengingat bahwa sebagian glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis
selulosa
akan
dikonsumsi
oleh
Aspergillus
niger
untuk
pertumbuhannya. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti 6
seberapa cepat proses hidrolisis enzimatis selulosa menjadi glukosa sekaligus membandingkannya dengan seberapa cepat glukosa dihasilkan pada proses hidrolisis menggunakan jamur Aspergillus niger dengan metode Solid State Fermentation.
1.1.3 Manfaat Penelitian Bagi Ilmu Pengetahuan: 1. Memberikan informasi tentang kinetika proses hidrolisis dan model matematis kinetika hidrolisis selulosa menjadi glukosa dengan hidrolisis enzimatis menggunakan Aspergillus niger untuk memudahkan rekayasa proses dan perhitungan dimensi optimum reaktor untuk proses tersebut. 2. Memberikan informasi penggunaan metode solid state fermentation (SSF) pada proses hidrolisis enzimatis menggunakan Aspergillus niger.
Bagi bangsa dan negara: Memberikan informasi pada perancangan proses produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa untuk mendukung konversi bahan bakar minyak bumi ke bahan bakar terbarukan.
1.2 Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan informasi tentang kinetika proses hidrolisis enzimatis selulosa menjadi glukosa dengan menggunakan jamur Aspergillus niger dengan metode Solid State Fermentation. 7
2. Mendapatkan parameter-parameter model matematis kinetika proses hidrolisis enzimatis selulosa menjadi glukosa dengan menggunakan jamur Aspergillus niger dengan metode Solid State Fermentation
8