1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan dalam negeri dari sektor non migas. Siti Kurnia Rahayu (2010) mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia sampai tahun 1983, masih mengandalkan sektor minyak dan gas sebagai sumber penerimaan yang paling utama. Tetapi pada tahun 1983 harga minyak dunia mengalami resesi yang menyebabkan turunnya permintaan terhadap ekspor minyak di Indonesia. Hal tersebut berdampak kepada target Penerimaan APBN tahun 1983. Untuk tetap bertahan dalam kondisi ekonomi global yang semakin tidak stabil di tandai dengan berfluktuasinya harga minyak dunia dan tingkat inflasi semakin tinggi, menyebabkan daya beli masyarakat semakin berkurang. Tetapi pembangunan Indonesia harus tetap berjalan di tengah berbagai permasalahan tersebut, untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera. Pemerintah akhirnya melakukan kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi di sektor perpajakan untuk meningkatkan jumlah penerimaan negara dengan tidak mengandalkan dari sektor migas. Sejalan dengan pernyataan Sri Mulyani (2009) “upaya lain yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan melanjutkan program ekstensifikasi pajak dan intensifikasi pajak”. Ekstensifikasi perpajakan yaitu dengan meningkatkan jumlah pajak dan objek pajak baru, sedangkan intensifikasi pajak adalah dengan
2
meningkatkan kesadaran membayar pajak misalnya dengan penyuluhan, sunset policy (2008) dan sebagainya. Dengan adanya kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi yang terjadi di bidang perpajakan, pada saat ini penerimaan di sektor perpajakan memiliki prosentasi
terbesar dari penerimaan APBN, seperti yang terlihat dalam
gambar 1.1. Menurut APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2010, sumber penerimaan yang paling besar adalah penerimaan yang berasal dari sektor perpajakan, melampaui penerimaan yang berasal dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan hibah.
Gambar 1.1 Sumber:Departemen Keuangan (2011) Menurut data yang diperoleh dari Departeman Keuangan (2011), lebih dari 50% PNBP berasal dari minyak bumi dan gas. Sedangkan penerimaan yang berasal dari sektor perpajakan masih lebih besar dibandingkan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ataupun hibah. Hibah merupakan unsur tersendiri yang relatif kecil yaitu berasal dari pemberian dan sumbangan dari pihak manapun. Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa pada tahun
3
2010 Penerimaan Perpajakan mencapai 76,2%, penerimaan PNBP mencapai 23,7% dan penerimaan hibah hanya mencapai 0,1%. Meskipun realisasi penerimaan pajak terus meningkat, bukan berarti pelanggaran Undang-undang dalam bidang perpajakan sudah tidak ada lagi, terbukti dengan masih banyaknya praktek mafia pajak yang melibatkan sejumlah Wajib Pajak/Oknum Pejabat ataupun Karyawan. Seperti yang dikatakan oleh Liberti Pandiangan (2010) bahwa “tiga perusahaan milik seorang tokoh lalai membayar pajak sebesar Rp2,1 triliun. Kasus pelanggaran pajak itu mengemuka pada tahun 2009 terkait dengan Surat Pemberitahun Tahunan (SPT) 2007”. Jadi salah satu pelanggaran pajak adalah terkait dengan Surat Pemberitahun (SPT). Sejalan dengan pernyataan Tjiptarjo (2010) “Ada empat faktor yang membuat penerimaan dari PPh anjlok. Pertama, karena pertumbuhan negatif penerimaan PPh Pasal 21 (pajak untuk penghasilan tetap yang dilaporkan pemberi kerja) sebesar 5,7 persen. Hal ini disebabkan oleh hilangnya kewajiban wajib pajak untuk memasukkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak mulai 2010”. Dalam Self assessment system, WP diberi kepercayaan serta tanggung jawab secara langsung dan mandiri untuk menghitung, menyetor, serta melapor sendiri besarnya pajak terutang. Dengan kepercayaan tersebut WP diharapkan untuk dapat menggunakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan dan UU perpajakan yang berlaku, dengan begitu penerimaan Negara dari sektor pajak dapat meningkat.
4
KPP Pratama Tasikmalaya adalah salah satu KPP yang telah melaksanakan sistem administrasi, pelayanan dan situasi kerja yang baik yang meliputi wilayah yang luas. Keberadaan KPP Pratama Tasikmalaya sangatlah penting untuk menyerap potensi pajak yang ada di wilayah Tasikmalaya. Sehingga KPP Pratama Tasikmalaya merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan penerimaan pajak sesuai dengan target yang ingin di capai. Berikut ini adalah gambaran penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya selama empat tahun berturut-turut, yaitu dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Tabel 1.1 Penerimaan KPP Pratama Tasikmalaya % Penerimaan PPh Pasal Tahun Lembar PPh 21 Pasal21 (dalam jutaan) (dalam ribuan) 2007 30 70.137 2008 26 -13,33% 79.270 2009 37 42,31% 88.201 2010 36 -2,7% 115.662 Sumber: KPP Pratama Tasikmalaya (data sudah di olah)
%
13,02% 11,27% 31,14%
Berdasarkan tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa Penerimaan PPh Pasal 21 mengalami kenaikan dari 2007 sampai dengan 2010, kenaikan yang paling besar yaitu terjadi pada tahun 2009 sampai 2010 yaitu sebesar 31,14%. Sedangkan Lembar SPT yang di setorkan ke KPP Pratama Tasikmalaya mengalami penurunan serta kenaikan dari tahun ke tahun, padahal penerimaan pajak yang diterima oleh KPP Pratama Tasikmalaya mengalami kenaikan dari tahun-ketahun.
5
Melihat fenomena yang terjadi di KPP Pratama Tasikmalaya, yaitu terjadinya kenaikan penerimaan PPh Pasal 21 pada tahun 2007 sampai dengan 2010 secara signifikan di saat jumlah penyetoran SPT mengalami kenaikan dan penurunan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di KPP Pratama Tasikmalaya untuk mengetahui mengapa fenomena tersebut dapat terjadi, dengan menganalisis hubungannya dengan dan tingkat pelanggaran pajak dan tunggakan Pajak. Dalam penelitian kali ini, penulis akan lebih memfokuskan pada penerimaan PPh Pasal 21 di mana femonena tersebut terjadi. Kantor
Pelayanan
Pajak
(KPP)
Tasikmalaya
menghadapi
permasalahan yang sama dengan KPP lainnya dalam hal mengamankan penerimaan negara di bidang pajak. Salah satu masalah tersebut adalah tingginya tingkat pelanggaran Pajak sebagai akibat adanya wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban pembayaran pajak yang terutang sebagaimana mestinya karena ketidaktahuan wajib pajak, wajib pajak lalai atau memang sengaja menghindarkan diri dari pajak yang dibebankan. kepadanya, atau wajib pajak tersebut pailit sehingga Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dan dapat dikatakan penambahan jumlah Wajib Pajak juga mengakibatkan penambahan tingginya tingkat pelanggaran Pajak. Penelitian sebelumnya yang telah di lakukan oleh Ayu Rahayu (2010) pada tiga KPP yang ada di daerah Bandung, memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang searah antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang ditandai dengan jumlah penyetoran SPT dengan penerimaan PPh di KPP
6
Pratama Bandung Bojonagara dan KPP Pratama Bandung Cicadas. Tetapi terdapat hubungan yang berlawanan arah di KPP Bandung Karees, artinya di saat penyetoran SPT meningkat tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan PPh. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Munari (2005) di Kantor Pelayanan Pajak Batu Malang, menyebutkan bahwa Tax
avoidance
berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPh hal tersebut juga berhubungan dengan kepatuhan
dari para WP
dalam membayar PPh
sebagaimana yang seharusnya, apabila para WP tidak patuh untuk membayar pajak kemudian melakukan kecurangan dalam pelaporan SPT dengan tujuan untuk menghindari PPh maka ha1 tersebut akan mengakibatkan penurunan penerimaan PPh di KPP Batu Malang. Berangkat dari hal tersebut, penulis melihat adanya pengaruh yang berbeda dari kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak di tiga KPP yang berada di wilayah Bandung dan adanya pengaruh negatif dari penghindaran pajak, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimanakah pengaruh penyetoran SPT yang dilakukan oleh Wajib Pajak serta tingkat pelanggaran pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis akan mengambil judul “Pengaruh SPT (Surat Pemberiahuan) dan Tingkat Pelanggaran Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Studi Kasus Di KPP Pratama Tasikmalaya) ”.
7
1.2 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah pengaruh penyetoran SPT terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya? b. Bagaimanakah
pengaruh
tingkat
pelanggaran
Pajak
terhadap
penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya? c. Bagaimanakah pengaruh penyetoran SPT dan Tingkat Pelanggaran Pajak secara simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1
Maksud Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah apakah Jumlah
penyetoran SPT dan Tingkat pelanggaran Pajak berpengaruh kepada penerimaan Pajak Penghasilan khususnya PPh Pasal 21. Dengan melihat dan menganalisis hubungan antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang ditandai dengan penyetoran SPT dan tingkat pelanggaran Pajak terhadap penerimaan pajak PPh Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya baik secara simultan maupun parsial.
8
1.3.2
Tujuan Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan maksud memperoleh data dan
informasi yang dibutuhkan dengan masalah pokok yang akan dibahas dengan tujuan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pengaruh penyetoran SPT terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya. b. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pelanggaran Pajak terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya. c. Untuk mengetahui pengaruh penyetoran SPT dan Tingkat Pelanggaran Pajak secara simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di KPP Pratama Tasikmalaya.
1.4 Kegunaan Penelitian Manfaat dari penelitian ini di bagi menjadi dua yaitu manfaat praktis (operasional) dan manfaat teoritis (pengembangan ilmu pengetahuan). -
Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dan masukan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti objek dan tema yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan Pasal 21.
9
-
Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi pelengkap,
masukan
atau
pertimbangan
bagi
KPP
Pratama
Tasikmalaya, sehubungan dengan SPT, Tingkat Pelanggaran Pajak, dan hal-hal lain yang menyangkut penerimaan pajak penghasilan.