1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organatausistemdalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkankerusakanjaringan (Isbagio, 2009). Insidentahunandari SLE ini bervariasi pada orang dewasa, yakni 1,9 sampai 5,6 tiap 100.000 orang per tahun, dengan angka prevalensi 124 kasus tiap 100.000 orang (Dipiro dkk.,2008).Penyakit SLE terjadi terutama pada wanita, dengan perbandingan prevalensi SLE pada wanita dan pria adalah 10:1. Diagnosis penyakit SLEbiasanya pada usia antara 15 tahun sampai 45 tahun (D’Cruz, 2006). Penyakit SLE paling sering terjadi pada wanita dewasa muda, namun penyakit ini dapat terjadi pada semua orang dari segala usia atau ras dan jenis kelamin wanita ataupun laki-laki(Dipiro dkk., 2008). Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah di Indonesia. Masalah utama dalam penanganan terapi SLE yaitu sebagian besar obat yang masuk dalam guideline terapi yang dikeluarkan olehPerhimpunan Rematologi Indosnesia Tahun 2014 belum mendapat persetujuan dari FDA / BPOM sehingga masih dalam kategori obat off label untuk terapi SLE.Di Indonesia sendiri obat yang masih dalam kategori off label ini tidak masuk dalam
2
jaminan asuransi, sehingga pasien SLE harus mengeluarkan biaya yang banyak ketika melakukan pengobatan.Penggunaan obat off label ini tentu diharapkan memberikan luaran terapi yang sesuai dengan target terapi SLE, namun dari sisi negatifnya juga perlu diperhatikan efek sampingnya. Obat off label merupakan obat yang diresepkan dan dijual di pasaran tetapi tidak digunakan sesuai indikasi (penyakit atau gejala) dan belum menerima persetujuan dari Food and Drug Administration(FDA) (Stafford, 2008).Pada tahun 2006 pada kelompok obat yang umum digunakan, 21% dari resep adalah untuk penggunaan offlabel (Radley, 2006).Pada pasien tertentu, tingkat ini mungkin bahkan lebih tinggi. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan bahwa 78,9% anak-anak keluar dari rumah sakit anak menggunakan setidaknya 1 obat offlabel (Shah, 2007). Selain itu, pada departemen darurat pediatrik, tingkat penggunaan obat off label diperkirakan 26,2% (Qureshi, 2011). SLEmerupakan penyakit kronik yang berpotensi mengancam nyawa dan menjadi tantangan terapi karena manifestasi organ yang heterogen. Masih sangat sedikit obat yang disetujui oleh FDA atau BPOM penggunaanya untuk pengobatan SLE. Beberapa obat yang masih masuk kategori off label dalam terapi SLE adalah : azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, mikofenolat mofetil, siklosporin (Lacydkk.,2011), TNF antagonis, rituximab, abatacept, tocilizumab, dan eculizumab (Belmont, 2013). Penggunaan obat off label
harus dilakukan pengawasan oleh tenaga
medis, agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Penggunaan obat off label ini berkaitan dengan luaran terapi dan efek samping obat. Luaran terapi
3
merupakan hasil dari pengobatan yang telah memenuhi target terapi. Pada penyakit SLE sendiri pengobatannya ditujukan untuk mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, serta mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian, sehingga dari tujuan ini dapat dilihat luaran terapi pada SLE. Efek samping pengobatan SLE dengan obat off label juga perlu diperhatikan, karena obat off label ini masih tergolong belum mendapat persetujuan dari FDA atau BPOM, dan digunakan tidak sesuai dengan indikasinya. Dengan demikian, maka pada penulisan karya ilmiah saya yang berupa skripsi, maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “Kajian Luaran Terapi dan Efek Samping Obat Off Label Pada Terapi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta”. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: i.
Bagaimanakahgambaranpenggunaanobat off labeluntuk terapi SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
ii.
Bagaimanakah luaran terapi penggunaan obat off label pada pasien SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
iii.
Bagaimanakah efek samping penggunaan obat off label pada pasien SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakart?
4
C. Tujuan Penelitian i.
Mengetahui gambaran penggunaan obat off label pada pasien SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
ii.
Mengetahui tentang luaran terapi dari penggunaan obat off label pada pasien penyakit SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
iii.
Mengetahui tentang efek samping penggunaan obat off label pada pasien penyakit SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan: i.
Manfaat secara teoritis sebagai salah satu sumber informasi terapi penggunaan obat off label pada pasien penyakit SLE .
ii.
Manfaat praktis sebagai bahan evaluasi bagi rumah sakit terhadap peggunaan obat off label pada terapi SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
iii.
Manfaat sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit SLE a. Definisi dan Prevalensi SLE SLE adalah penyakit yang penyebabnya tidak diketahui, terjadi kerusakan jaringan dan sel oleh autoantibodi dan kompleks imun patogenik. Sembilan puluh
5
persen kasus terjadi pada perempuan, biasanya pada usia subur, namun pada anak, laki-laki, dan orang tua juga dapat terkena. SLE lebih banyak dijumpai pada perempuan diduga ada kaitannya faktor hormon dengan patogenesis (Yuliasih, 2007). Faktor hormon pada perempuan yang mempunyai hubungan dengan meningkatnya tingkat aktivitas penyakit pada SLE adalah hormon estrogen dan prolaktin (Alarcon dkk.,2001). Di Amerika Serikat prevalensi SLE di daerah perkotaan berkisar antara 15 sampai 50 tiap 100.000 populasi, penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam daripada berkulit putih.Masyarakat keturunan Asia dan Spanyol juga rentan (Harrison, 1995). Penyakit SLE ini merupakan gangguan kompleks yang terutama menyerangpasien pada
usia produktif mereka
(Anonim,1999).
Menurut
Isbagio.,dkk (2009), SLE ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak adalah pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). b.
Gambaran Klinis
Pada awal kejadian SLE gambaran kliniknya masih membingungkan. Gejala yang paling sering adalah artritis atau atralgia, gangguan ini dapat ditemukan pada sekitar 90% dari seluruh kasus, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan kaki.Poliartritis SLE berbeda dari rematoid karena jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas.Nodula subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE (Prince dkk., 1994). Gejala-gejalakonstitusional
adalah
demam,
rasa
lelah,
lemah,
danberkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada masa awal penyakit dan
6
dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini.Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE (Prince dkk., 1994). Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada pipi, leher, dan anggota gerak, atau seluruh tubuh.Kira-kira 40% dari penderita SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu.Kira-kira 65% dari penderita SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya, namun hanya 25% yang menjadi berat(Princedkk., 1994). c.
Patofisiologis
SLEtimbul akibat interaksi antara gen kerentanan dan lingkungan. Faktor lingkungan, seperti organisme menular,obat, dan bahan kimia, menjadi agen pemicu secara genetik dan hormonal pada individu yang rentan akan menginduksi keadaan disregulasi sistem imun. Respon imun yang abnormal akan menyebabkan hiperaktifitas fungsi dari limfosit Thelper 2 dan limfosit B. Penekanan fungsi dari fungsi limfosit T, produksi sitokin, kegagalan mekanisme clearence, dan mekanisme pengaturan kekebalan tubuh lainnya juga tidak normal dan gagal untuk menekan pembentukan autoantibodi dari limfosit B yang hiperaktif. Autoantibodi terbentuk dari disregulasi imun kemudian menjadi patogen, membentuk imun yang kompleks, dan mengaktifkan komplemen yang mengarah ke kerusakan jaringan host (APC= Antigen Presenting Cell, TH 2)(Dipirodkk., 2008).
7
d. Diagnosis The American Rheumatism Association telah mengembangkan kriteria untuk memilah SLE.Adanya empat atau lebih dari ke-11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk menegakkan diagnosis. 1. Ruam malar 2. Ruam discoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulkus mulut 5. Artritis 6. Serositis sepertipleuritis atau pericarditis 7. Gangguan pada ginjal yaitu proteinurea persisten yang lebih dari 0,5 g/hari, atau adanya silinder selular 8. Gangguan neurologik seperti kejang-kejang atau psikosis 9. Gangguan darah seperti anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, trombositopenia 10. Gangguan imunologik seperti anti-DNA positif, anti-Sm positif, atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis. 11. Antibodi antinuclear (Prince dkk., 1994). e.
Prognosis
Prognosis penyakitSLE tergantung dari organyang terlibat, apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi.Mortalitas pada pasien dengan SLE telah menurun selama20tahun terakhir.Sebelum1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat ini, tingkat
8
kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secarasignifikan lebih rendah, mulaidari60% -70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan SLE dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan dalam perawatan medis umum (Bartels dkk., 2011). Di Indonesia sendiri daya tahan hidup 5 tahun bagi pasien SLE di Indonesia saat ini mencapai 100% dan 85,5% diantaranya dapat mencapai remisi bebas terapi dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun (Anonim, 2002). Berdasarkan penelitian Fatoni (2007) dan Friedman (1999), durasi penyakit tidak mempengaruhi tingkat aktivitas penyakit pada penderita SLE. f.
Obat Perawatan SLE
1) NSAID (Nonsteroid Antiinflamatory Drug) Tanda-tanda dan gejala seperti demam, arthritis, danserositis adalah yang paling umum pada pasien dengan penyakit aktif.Oleh karena itu, banyak pasien dengan penyakit ringan, menggunakan NSAID sebagai pengobatan awal. Pemlihan
NSAID pada SLE adalah bersifat
empiris.Dosis yang digunakan
haruscukup untuk memberikan efek antiinflamasi, meskipun dosis rendahaspirin mungkin
berguna
dalam
pengelolaan
pasien
dengan
antiphospholipid
syndrome(Wahl dkk., 2001). NSAID nonselektif siklooksigenase secara signifikan meningkatkan risikoiritasi lambung dan ulkus peptikum, sehingga peresepan dengan Protont
9
Pump Inhibitor mungkin akan lebih menguntungkan. Pasien SLE yang menggunakan NSAID mungkin mengalamipenurunan fungsi ginjal karena efek dari obat dan bukan karena penyakit yang mendasarinya. NSAID dapat menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus sehingga harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal.Efek samping ini penting untuk diperhatikan, karena menurunnyafungsi ginjal disalah artikan sebagai perkembangan lupus nefritis. Pasien dengan SLE memiliki insiden yang lebih tinggi hepatotoksisitasdibandingkan pasien lainyang menggunakan NSAID. Penggunaan NSAIDjuga berhubungan dengan meningitis aseptik pada pasien SLE (Dipiro dkk., 2008). 2) Kortikosteroid Terapi kortikosteroid sudah biasa diregimen terapi untukSLE.Meskipun bukti peningkatan kelangsungan hidup dengan terapi kortikosteroid tidak memadai, agen ini dikenal untuk menekan ekspresi klinik penyakit dan dianggap menjadi faktor utamadalam prognosis yang lebih baik dalam beberapa tahun terakhir. Percobaan yang paling terkontrol terapi kortikosteroid telah dilakukan pada pasien dengan lupus nefritis, tetapi bukti menunjukkan bahwa kortikosteroid jugaefektif dalam pengelolaan kasus SLE derajat berat seperti penyakit sistem saraf pusat,pneumoniae,polyserositis, vaskulitis, trombositopenia, dan manifestasi klinik lainnya (Hahn, 2001). Seorang
pasien
dengan
diagnosis
SLE
tidak
secara
otomatis
memerlukanterapi kortikosteroid. Penyakit ringan dengan manifestasi seperti demam, atralgia, pleuritis, atau manifestasi kulit dapat merespon secara memadai
10
dengan NSAID atau antimalaria, tetapi pasien dengan manifestasi klinisyang lebih serius
atau
tidak
responsif
terhadap
obat
lain
biasanya
membutuhkankortikosteroid (Hahn, 2001). Tujuan dari pengobatan dengan kortikosteroid pada SLE adalah untuk menekan danmempertahankan penekanan penyakit aktif dengan dosis serendah mungkin.Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah (prednison 10 sampai 20mg / hari) sudah cukup, namun pada pasien dengan penyakit yang lebih parah(anemia berat hemolitik atau keterlibatan jantung), dosis yang lebih tinggi, sepertiprednison 1 sampai 2 mg / kg sehari, mungkin diperlukan (Dipiro dkk., 2008). 3) Obat Antimalaria Agen antimalaria seperti klorokuindan hidroksiklorokuintelah berhasil digunakan dalam pengelolaan lupus diskoid danSLE .Secara umum manifestasi SLE
yang
dapatdikelola
dengan
antimalaria
yaitu
manifestasi
kulit,
athralgia,pleuritis, peradangan ringan perikardial, kelelahan, dan leukopenia. Karena obat ini tidak efektif dengan segera, maka obat ini baik digunakandalam pengelolaan jangka panjang. Respon terhadap klorokuin terjadi dalam 1 sampai 3 bulan, sedangkan efek maksimal hidroksiklorokuin mungkintidak terjadi selama 3 sampai 6 bulan (Gordon, 2005). Mekanisme kerja dari obat antimalaria tidak pasti.Telah diusulkan bahwa antimalaria mengganggu aktivasi dari T-limfosit.Efek lain dari antimalaria yang mungkin bermanfaat bagi pasienSLE yaitu penghambatan sitokin, penurunan sensitivitas terhadapsinar ultraviolet, aktivitas antiinflamasi, efek antiplatelet,
11
danaktivitas antihyperlipidemic. Antimalaria juga mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen (Isbagio dkk., 2009). Efek samping dari obat ini yaitu termasuk efek sistem syaraf pusat (sakit kepala,kegelisahan, insomnia), ruam, dermatitis,perubahan pigmen kulit dan rambut, gangguan pencernaan (nausea, vomite) dan ketoksikan okular yang reversibel seperti cycloplegia dan deposit korneal (Dipiro dkk., 2008). Efek samping dari antimalaria ini jarang berupa diare atau rash, namun pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan efek samping pada retina sehingga dianjurkan untuk dilakukan evaluasi setiap 6 bulan (Yuliasih, 2007). 4)
Imunosupresan atau obat sitotoksik
Sejumlah besar literatur menggambarkan penggunaan obatsitotoksik pada terapi SLE, meskipun masih sedikit yang melaporkanuji klinis terkontrol. Dalam kategori ini ada alkylating agent cyclophosphamide agen alkilating sklofospamid dan antimetabolit azatioprin. Agen-agen ini, biasanya digunakan dalam kombinasidengan kortikosteroid, telah menjadi andalan terapi immunosupresan. Meskipun keduanya dikenal untuk menekan dan menstabilkanaktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi agen initelah difokuskan pada lupus nefritis, faktor utama yang terkait denganmorbiditas dan mortalitas pada SLE (Dipiro dkk., 2008). Pasien dengan manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa yang tidak menunjukkan perbaikan yang nyata setelah pemberian kortikosteroid dosis tinggi selama 4 minggu dapat diberikan imunosupresan lain berupa obat sitostatika (Isbagiodkk.,2009).
12
2. Obat Off Label Obat off label merupakan obat yang diresepkan dan dijual di pasaran tetapi digunakan tidak sesuai indikasi dan belum menerima persetujuan dari FDA (Stafford, 2008).Istilah off label juga dapat berlaku untuk penggunaan obat dipasaran pada populasi pasien (anak),dosis, atau bentuk sediaan yang tidak memiliki persetujuan FDA (Stafford,2008). Peran saat ini FDA adalah untuk mengontrol obat yang tersedia secara komersial, oleh karena itu FDA menyetujui obat baru yang telah terbukti aman dan efektif untuk indikasi tertentu (onlabel).FDA tidak membatasi atau mengontrol obat yang diresepkan oleh dokter setelah obat yang tersedia di pasar. Dengan kata lain, peresepan obat off label yaitu untuk indikasi atau menggunakan bentuk sediaan atau dosis yang belum disetujui melalui FDA. Penggunaan obat off label dapat disebabkanoleh beberapa faktor.Pertama, obat mungkin tidak dipelajari dan disetujui untuk populasi tertentu (anak, geriatri, atau pasien hamil) (Lin, 2006).Kedua, kondisi mengancam jiwa atau pengobatan terakhir yang mendorong ahli kesehatan untuk memberikan pengobatan yang logis dan tersedia, baik yang disetujui oleh FDA atau tidak. Ketiga, jika salah satu obat dari golongan obat memiliki persetujuan FDA, dokter umumnya menggunakan obat lain di golongan yang sama tanpa persetujuan khusus dari FDA untuk indikasi yang sama (Stafford, 2008). Sekarang ini penggunaan obat off label sudah umum.Pada tahun 2006 pada kelompok obat yang umum digunakan, 21% dari resep adalah untuk
13
penggunaan offlabel.Pada pasien tertentu, tingkat ini mungkin bahkan lebih tinggi. Sebagai contoh, sebuah penelitian menemukan bahwa 78,9% anak-anak keluar dari rumah sakit anak mengambil setidaknya 1 obat offlabel (Shah dkk., 2007). Selain itu, di departemen darurat pediatrik, tingkat penggunaan obat off label diperkirakan 26,2% (Qureshi dkk., 2011). Penggunaan obat offlabelbisa menjadi luas mengakar dalam praktek klinis dan menjadi perawatan dominan untuk kondisi klinis tertentu. Sebagai contoh, antidepresan trisiklik tidak memiliki persetujuan FDA sebagai pengobatan untuk nyeri neuropatik, namun obat kelas ini dianggap sebagai pilihan pengobatan lini pertama (Dworkindkk., 2010). Sejak pasien dalam populasi pediatrik sering dikeluarkan dari studi klinis obat, contoh dari penggunaan off label menjadi berlimpah. Misalnya, morfin tidak pernah menerima indikasi FDA untuk pengobatan nyeri di anak-anak, tetapi secara luas digunakan untuk indikasi ini di rumah sakit anak (Shah dkk., 2007).Sebagai tambahan, banyak bronkodilator, antimikroba, antikonvulsan, dan inhibitor pompa proton sering digunakan dalam populasi anak tanpa persetujuan resmi dari FDA (Phan dkk., 2010). 3. Obat Off Label SLE SLE merupakan penyakit kronik yang berpotensi mengancam nyawa dan menjadi tantangan terapi karena manifestasi organ heterogen. Penggunaan obat SLE yang disetujui FDA masih sangat sedikit. Oleh karena itu, pertimbangan pengobatan akan mencakup penggunaan obat off label yang disetujui untuk indikasi lain (Aringer dkk., 2012).
14
Penggunaan obat off label hanya dibenarkan setelah semua standar obat perawatan tidak berhasil, dlihat dari toksisitas atau ketidak responsifan target, sebagaimana obat-obat ini tidak disetujui untuk SLE dan efikasinya hanya berdasarkan dari teori manfaat, dari case report, dan uji coba tahap I, II atau III dimana hasil primer statistik tidak signifikan dan hanya analisis post hoc yang menunjukkan peningkatan (Belmont, 2013). Berikut ini adalah beberapa obat yang digunakan untuk terapi SLE dan masih dianggap sebagai obat off label: 1. TNF Antagonis 2. Rituximab 3. Abatacept 4. Tocilizumab 5. Eculizumab (Belmont, 2013) 6. Azathioprine 7. Mikofenolat mofetil 8. Siklofosfamid 9. Metotreksat 10. Siklosporin (Lacydkk., 2010). Obat-obat off label diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. TNF Antagonis TNF Antagonis merupakan mediator penting dari peradangan yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar dalam serum, kulit, dan ginjal sampel pasien SLE, sementara pada saat yang sama dapat
15
mengontrol autoimunitas seperti yang ditunjukkan oleh ANA dan antibodi dsDNA, serta kadang-kadang obat ini menginduksi SLE selama pengeblokan TNF.Meskipunpedang bermata dua kekhawatiran mengenai pengobatan ini, TNF antagonis telah dicoba selama beberapa tahun
dalam
kasus
tunggal
dan,
paling
sering
dengan
infliximab.Beberapa penelitian dalam SLE masih banyak yang belum dilaporkan.Khasiat telah dibuktikan dalam pasien SLE dengan arthritis, nefritis sindromhemophagocytic dan penyakit paru interstitial, infeksi telah dilaporkan, dan peningkatan antibodi antifosfolipid dengan teori risiko trombosis juga telah dicatat.Temuan ini mendukung bahwa TNF inhibitor yaitu infliximab untuk induksi pengobatan tetapi tidak untuk pemeliharaan dan diberikan perhatian untuk obat yang menginduksi ketoksikan lebih lama (Belmont, 2013). 2. Rituximab Sejak case report tahun 2000, beberapa literatur dan meta analisis mendukung sel B depleting terapi, termasuk review sistematis dari 188 pasien berat, penyakit yang sulit disembuhkan menunjukkan 91% memiliki peningkatan yang signifikan dalam setidaknya satu manifestasi SLE (Ding dkk, 2013). Dalam French Autoimmunity and Rituximab Registry dilaporkan pada perbaikan manifestasi di artikular, kulit, ginjal, dan hematologi dengan profil keamanan yang memuaskan. Sebuah meta-analisis dari 611 pasien dengan intractable renal dan nonrenal SLE mengungkapkan peningkatan aktivitas
16
penyakit secara keseluruhan setelah induksi dengan rituximab, pengurangan penggunaan steroid, dan manfaat setelah retreatment (Gunnarssoon dkk., 2013). 3. Abatacept Sebagai selektif T costimulasi sel modulator yang menghambat Aktivasi sel T dan produksi antibodi sel B berikutnya, namun pada penelitian RCT (Randomized Controlled Ttrial) tidak mengungkapkan manfaat abatacept di SLE
renal atau non renal. Namun, dari
desainpercobaan dan pilihan khusus dari poin akhir efikasi primer dapat menjelaskan hasil negatif sebagai hasil studi lanjut dari penelitian yang mengungkapkan manfaat dari abatacept untuk polyarthritis, gejala konstitusional, dan nefritis ( Dingdkk., 2013). 4. Tocilizumab Reseptor
pengeblok
IL-6
telah
terbukti
mengurangi
tingkat
imunoglobulin dan menghasilkan penurunan kecil dalam tingkat antidsDNA, serta perbaikan dalam skor aktivitas penyakit selama Tahap 1 dosis eskalasi dari pasien SLE renal dan non-renal dilaporkan pada tahun 2010 (Shirota dkk., 2013). Selanjutnya dari hasil studi case report dideskripsikan adanya manfaat dalam SLE termasuk untuk serositis
keras
dengan
hemolitik(Alten, 2013).
efusi
perikardial,
autoimun
anemia
17
5. Eculizumab Eculizumab disetujui untuk pengobatan hemoglobinuria nokturnal paroksismal (PNH).Pasien dengan penyakit ini memiliki mutasi genetik somatik terkait gen X PIG-A.Hal ini mengarah pada tidak adanya protein regulator pelengkap dan untuk generasi sel darah merah yang abnormal yang kekurangan inhibitor pelengkap terminal.Dengan mengikat C5, eculizumab menghambat pembelahan untuk C5a dan C5b dan mencegah generasi dari inflamasi kompleks pelengkap terminal C5b-9 yang diberikannya aktivitas hemolitik (Hillmendkk., 2006). Pengobatan dengan eculizumab meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kebutuhan transfusi dan risiko trombosis pada pasien dengan
PNH
(Emadi
dkk.,
2009).
Namun,eculizumab
dapat
meningkatkan risiko infeksi meningokokus karena penurunan tingkat C5 aktivitas.Oleh karena itu, pasien harus divaksinasi atau divaksinasi dengan vaksin meningokokus di minimal 2 minggu sebelum menerima dosis pertama eculizumab (Davis, 2008).Pasien juga harus dipantau erat untuk tanda-tanda awal infeksi meningokokus dan dievaluasi segera jika infeksi dicurigai, dan diobati dengan antibiotik jika perlu.Efek samping lain termasuk sakit kepala, nasofaringitis, sakit punggung, batuk, dan mual dapat terjadi dalam periode setelah injeksi.Mekanisme kerja dari eculizumab yaitu membuat antibodi monoklonal berpotensi untuk perawatan lupus nephritis, sebagai komponen terminal komplemen C5b-C9 yang memainkan peran
18
penting dalam menengahi peradangan dan kerusakan podocytes dan membran basal glomerulus. Peran mAb ini pada SLE sedang diselidiki dalam studi fase I dosis tunggal (Robak dkk., 2009). 6. Azatioprin Azatioprin umumnya digunakan untuk induksi remisi dan sebagai agen steroid-sparing pada penyakit ringan sampai sedang. Ia bekerja dengan mempengaruhi sel dan respon imun humoral melalui penghambatan proliferasi limfosit, penurunan produksi antibodi dan penekanan aktivitas sel pembunuh alami. Pada penyakit yang berat, digunakan sebagai terapi pemeliharaan dan dari data percobaan lupus nephritis menunjukkanpeningkatan signifikan dalam aktivitas penyakit berikut induksi terapi dengan siklofosfamid atau mikofenolat mofetil (Mok dkk., 2004). Sejumlah penelitian yang menguji peran azatioprin pada SLE menunjukkan bahwa obat ini memiliki sedikit efek pada SLE serius tetapi berguna menurunkan ketergantungan steroid. Azatioprin menjadi sering digunakan sebagai agen kemoterapi dan steroid oral dosis tinggi dan secara umum sangat aman, sekitar 15 sampai 20 persen pasien mengalami gangguan perut, yang dapat diatasi dengan membagi atau mengurangi dosisnya. Azatioprin seperti juga semua imunosupresan, meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi. Meskipun azatioprinbisa mengakibatkan pertumbuhan kanker setelah penggunaan selama bertahun-tahun, pemberian selama 2 sampai 4 tahun pada
19
pasien
SLE
aktif
tidak
menyebabkan
meningkatnya
resiko
kanker(Wallace, 2007). 7. Mikofenolat mofetil Mikofenolat mofetil adalah penekan kekebalan yang dikembangkan untuk mencegah penolakan organ yang ditransplantasikan. Meskipun lebih kuat tetapi lebih mahal daripada azatioprin dan tidak lebih manjur daripada siklofosfamid, mikofenolat mofetil jauh lebih aman.Beberapa peneltian menunjukkan bahwa mikofenolat mofetil bisa digunakan untuk mengobati lupus nefritis. Mikofenolat mofetil bisa digunakan untuk membatasi pengaruh siklofosfamid dan telah dicoba dekombinasikan dengannya, obat ini juga bisa digunakan bersamaan dengan steroid(Wallace, 2007). 8. Siklofosfamid Siklofosfamidadalah agenalkylating,
yang menyebabkankematian
selpada setiap tahapdarisiklus sel.Siklofosfamid juga mereduksibaiksel Bdansel
T,
sehingga
mengurangi
patogenik(Bompas,
2007).Uji
olehNationalInstitutes
of
Health
produksiautoantibodi
cobayang (NIH)
dilakukan menunjukkan
siklofosfamidintravenalebih bermanfaat daripadakortikosteroid oral dosis tinggiuntuk pengobatanlupus nefritis (Austin etal., 1986). Siklofosfamid intravena menjadi standar perawatan, meskipun tanpa izin, untuk induksi remisi pada manifestasi lupus ginjal berat karena
20
kemampuan untuk memperlambat perkembangan gagal ginjal stadium akhir(Flanc dkk., 2004). 9. Metotreksat Metotreksat dalam dosis tinggi sangat efektif dalam menangani beberapa jenis kanker. Dengan menghambat zat-zat kimia penyebab radang dan penting untuk pertumbuhan sel. Metotreksat dosis rendah mengurangi radang tulang sendi dan digunakan dalam SLE. Bagaimanapun, beberapa masalah masih dijumpai.Pertama, pasien SLE lebih sensitif terhadap sinar ultraviolet.Selain itu, obat ini sedikit berpengaruh
terhadappenyakit
ogan.Kadang-kadang,
metotreksat
dikendalikan oleh ginjal.Oleh karena itu, jika penyakit ginjal muncul dosis harus diturunkan secara drastis untuk mencegah penurunan jumlah darah. Siapapun yang mengonsumsi metotreksat harus menghindari alkohol dan harus melakukan tes fungsi darah dan hati secara teratur.Mual, luka mulut, dan sakit kepala adalah efek samping yang biasanya dialami saat mengonsumsi metotreksat.Metotreksat digunakan pada pasien SLE yang mengalami radang tulang sendi tanpa penyakit kulit dan penyakit organ yang signifikan(Wallace, 2007). 11. Siklosporin Siklosporin adalah obat imunosupresan lebih kuat yang bekerja dengan menghalangi fungsi sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh yang disebut Tlimfosi, atau sel T.Seperti imunosupresan lainnya, pada awalnya digunakan untuk mencegah sistem kekebalan tubuh pasien dengan
21
transplantasi ginjal dari menolak organ transplantasi.Sekarang juga diresepkan untuk orang yang menderita radang ginjal yang disebabkan oleh SLE, atau dikenal sebagai lupus nefritis. Namun, siklosporin dapat menjadi racun bagi ginjal, sehingga penggunaan obat ini biasanya digunakan untuk kasus-kasus dimana SLE seseorang tidak menanggapi obat imunosupresan lain seperti mikofenolat mofetil. Siklosporin juga diresepkan untuk orang dengan psoriasis berat, kondisi kulit yang juga dapat menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan pada sendi, dan dapat membantu dalam mengurangi beberapa rasa sakit, bengkak, dan kekakuan yang berhubungan dengan rematoid arthritis (Anonim,2016). 4. Luaran Terapi Luaran terapi merupakan hasil dari pengobatan yang telah memenuhi target terapi.Luaran terapi pada penyakit SLE ini sangat berhubungan dengan tujuan dari pengobatan penyakit SLE sendiri. Tujuan pengobatan SLE yaitu: a). mendapatkan masa remisi yang panjang, remisi yang dimaksud ialah: (1) urin rutin tidak aktif lagi (hematuria < 10/lpb, tidak ada sedimen dan proteinuria berkurang atau < 1 g/ 24 jam) (2) tidak ada peningkatan kreatinin serum yang lebih dari 2x kreatinin sebelumnya. (3) komplemen serum dan anti dsDNA normal (4) aktivitas ekstra renal lupus minimal b). menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin,
22
c). mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup kesehariantetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. (Anonim, 2011) Pada penelitian yang telah dilakukan Moroni dkk., (2006) disebutkan bahwa efektivitas azatioprin dibanding siklosporin pada penderita SLE dapat dilihat dari data primer yaitu flare, dan data sekunder berupa level proteinuria dan serum kreatinin. Flaredapat diklasifikasikan menjasi tiga yaitu ringan, sedang, atau berat. Flare ringan mungkin dapat ditandai dengan ruam, flare yang moderat dapat mencakup ruam, kelelahan, dan nyeri sendi atau otot, dan flare parah berpotensi menyebabkan kerusakan pada organ termasuk penumpukan cairan di sekitar jantung atau bahkan penyakit ginjal atau kegagalan ginjal (disebut lupus nefritis), yang akan membutuhkan perhatian medis segera. (Anonim, 2013) Berikut ini adalah tanda-tanda flare yang mungkin terjadi pada pasien SLE: a) Peningkatan nyeri sendi atau pembengkakan sendi. b) Kelemahan dan nyeri otot. c) Demam tinggi yang lebih sering terjadi. d) Peningkatan rasa lelah dan mudah letih. e) Rambut rontok. f) Sakit kepala. g) Pusing dan mudah lupa. h) Ketidaknyamanan perut dan gangguan pencernaan.
23
i) Peningkatan ruam. j) Adanya gejala baru yang belum dijelaskan. (Anonim, 2013) Proteinuria disebut juga albuminuria atau urine albumin merupakan suatu kondisi di mana urin mengandung jumlah abnormal protein. Albumin adalah protein utama dalam darah. Protein adalah sistem pertahanan untuk semua bagian tubuh, termasuk otot, tulang, rambut, dan kuku. Protein dalam darah juga melakukan sejumlah fungsi penting.Protein melindungi tubuh dari infeksi, membantu pembekuan darah, dan menjaga jumlah cairan yang tepat beredar di seluruh tubuh (Anonim, 2014). Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Corwin, 2001). 5. Efek Samping Efek samping obat adalah reaksi yang tidak dikehendaki yang muncul saat penggunaan klinik pada terapi suatu penyakit. Efek samping obat terjadi hampir setiap hari diinstitusi perawatan kesehatan dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup besar. Banyak perhatian yang telah diberikan untuk mengidentifikasipopulasi pasien yang paling berisiko, obat yang paling umum menyebabkan efek samping, dan potensi penyebab efek samping (Schatz dkk., 2015).
24
Efek samping obat yang merugikan dapat
menyebabkan pasien
kehilangan kepercayaan terhadap dokter, sehingga mereka mencari pilihan pengobatan mandiri, yang bisa menyebabkanefek samping obatlain. Sekitar 5% dari semua pasien yang masuk rumah sakit merupakanakibat darikejadian efek samping obat, dan sekitar 10% -20% dari pasien rawat inap akan memiliki minimal satu efek samping obat selamamereka tinggal di rumah sakit (Schatz dkk., 2015). Efek samping obat diklasifikasikan ke dalam dua subtipe. Efek samping tipe A adalah tergantung dosis dan dapat diprediksi, dan merupakan efek farmakologidari suatu obat seperti hipotensi ortostatik pada obat antihipertensi. Efek samping tipe B adalah jarang dan tak terduga, tergantung dari efek farmakologi suatu obat, efek samping ini tidak tergantung oleh dosis dan mempengaruhi populasi kecil, hal ini menunjukkan bahwa efek samping ini bersifat individual (Schatz dkk., 2015). Salah satu instrumen untuk mengevaluasi kemungkinan efek samping adalah menggunakan Algoritma Naranjo.Metode ini telah diuji validitasnya maupun reabilitas, mudah dalam penggunaannya.
25
Tabel I. Algoritma Naranjo
No
Pertanyaan Apakah ada laporan lengkap tentang reksi 1. tersebut sebelumnya? Apakah kejadian yang tidak dikehendaki 2. muncul setelah obat yang dicurigai digunakan? Apakah efek yang tidak dikehendaki membaik ketika obat tersebut dihentikan 3. atau setelah pemberian antagonis yang spesifik? Apakah efek yang tidak dikehendaki 4. muncul kembali setelah obat tersebut digunakan kembali? Adakah penyebab lain yang dapat 5. menyebabkan reaksi tersebut muncul? Apakah reaksi muncul kembali setelah 6. pemberian placebo? Apakah kadar obat dalam darah (atau 7. cairan lain) berada dalam rentang yang dianggap toksik? Apakah reaksi menjadi lebih parah ketika 8. dosis obat ditingkatkan atau menjadi kurang parah ketika dosis obat diturunkan? Apakah pasien memiliki reaksi serupa 9. terhadap obat-obatan yang sama atau serupa pada paparan sebelumnya? Apakah reaksi yang tidak dikehendaki telah dipastikan dengan suatu bukti yang 10. obyektif (misalnya: hasil uji laboratorium, dan sebagainya)?
Ya
Tidak Tidak Tahu
+1
0
0
+2
-1
0
+1
0
0
+2
-1
0
-1
+2
0
-1
+1
0
+1
0
0
+1
0
0
+1
0
0
+1
0
0
Skor
Dalam Algoritma Naranjo ada 10 pertanyaan yang digunakan untuk menilai apakah efek merugikan tersebut disebabkan penggunaan obat.Jika skor total 9 atau lebih disimpulkan bahwa kejadian efek samping obat tinggi (definite), skor total 5-8 kemungkinan terjadi efek samping obat (probable), skor total 1-4 mungkin merupakan efek samping obat (possible),kecil atau sama dengan nol (doubtful) maka efek samping obat diragukan (Doherty, 2009).
26
Klasifikasi efek samping obat: 1. Pasti (definite) a. Hubungan sementara yang jelas antara pemberian obat dan reaksi. Urutan waktu pemberian obat dan terjadinya reaksi adalah wajar. b. Adanya penegasan laboratorium dan/ atau. c. Kejadian berhenti dengan menghentikan obat. d. Kejadian kembali, dengan pemberian obat itu kembali. e. Kejadian itu berkaitan dengan apa yang diketahui tentang obat. 2. Dapat mungkin (probable) a. Urutan waktu pemberian dan terjadinya reaksi adalah wajar. b. Berkaitan dengan apa yang diketahui dari obat itu. c. Perbaikan setelah penghentian obat jika tidak ada obat lain yang dihentikan. d. Tidak secara wajar diterangkan oleh penyakit pasien. e. Suatu reaksi yang tidak biasa dari obat dengan tidak hadirnya faktor lain. 3. Mungkin (possible) a. Urutan waktu pemberian dan terjadinya reaksi adalah wajar. b. Berkaitan dengan apa yang diketahui dari obat itu. c. Dapat merupakan akibat penyakit pasien atau terapi lain. d. Sembuh setelah penghentian obat. e. Hubungan sementara anatra pemberian obat dan reaksi tidak jelas.
27
4. Meragukan (doubtful) Efek samping obatyang meragukan ialah setiap reaksi yang tidak memenuhi kriteria tersebut di atas (Siregar, 2005).
F. Keterangan Empirik Penelitian ini dapat diketahui luaran terapi dan efek samping dari obat off label dalam terapi SLE di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menentukan pemilihan obat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan pasien SLE.