BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penting di masyarakat. TBadalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebar melalui udara (airborne disease), kemudian ditularkan melalui percikan dahak ketika penderita TB mengalami bersin dan batuk. Sebagian kuman tuberkulosis menyerang pada bagian paru-paru manusia, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dapat menyerang bagian tubuh manusia yang lain. World Health Organization (WHO) menerangkan bahwa saat ini terdapat 8,7 juta orang jatuh sakit dan 1,4 juta meninggal karena TBpada tahun 2011 di seluruh dunia(World Health Organization, 2013).Secara global angka penemuan kasus di dunia adalah 59%, sementara secara regional ditemukan fakta bahwa 40% dari kasus TB ditemukan di wilayah Asia Tenggara dan hampir satu juta kematian setiap tahunnya. Kasus TB 95% dilaporkan di Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar dan Thailand. Di negara-negara tersebut, TB telah dikenal sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling besar (Kemenkes, 2011). Indonesia adalah penyumbang TB ketiga terbesar di dunia, setelah India dan China. Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk Tuberculosis Infection=ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1%-3% berarti setiap tahun diantara 1.000 penduduk 10-30 orang akan terinfeksi. Secara
1
2
nasional penderita TB mencapai 107 per 100.000 penduduk. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2011). Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kualitas pengobatan TB berdasarkanlaporan Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat namun tetap masih rendah yaitu angka kesembuhan baru mencapai 84,07% (target 85%). Sedangkan angka prevalensi TB pada tahun 2012 sebesar 76,88% meningkat dibandingkan tahun 2011 sebesar 69,65%.Menurut data Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2012 dilaporkan sebanyak 247 penderita TB BTA positip dan 168 penderita TB BTA negatip/Ekstra paru dengan berbagai riwayat pengobatan seperti dijelaskan pada gambar 1. Hasil Pengobatan Penderita TB di fasilitas Kesehatan Kabupaten Sleman 2012 100
87,5
86,7
80 60 BTA (+) 40
BTA (-)
20
3,2
2,8 4,8
1,2 0
1,6 1,9
4,5 6
Drop Out
Gagal
Pindah
Meninggal
0 Sembuh
Lengkap
Gambar 1. Hasil Pengobatan Penderita TB di Fasilitas Pelayanan KesehatanKabupaten Sleman Tahun 2012 (Sumber: Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013, DinKesDIY)
3
Penderita TB yang tidak sembuh atau penderita yang tidak memperoleh pengobatan karena belum ditemukan, merupakan sumber penular yang mengancam pencapaian derajad kesehatan, mengingat penyakit TB disamping bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor berbagai penyakit fatal lain seperti HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi, dan lain sebagainya (DinKes DIY, 2013). Kementerian Kesehatan mengadopsi strategi Directly Observed Treatment Short (DOTS)untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase 19952000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas (SRATNAS TB 2010-2014). Saat ini, sistem DOTS mulai berkembang dan penderita TB dapat melakukan pengobatan yang tersedia di puskesmas, rumah sakit, dan balai pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang dipakai dikemas dalam paket yang disebut Kombipak dan Fixed Dose Combination (FDC). Pada Kombipak di dalamnya terdapat 4 jenis obat dalam blister-blister secara terpisah, sedangkan FDC terdapat 4 jenis obat yang disatukan dalam bentuk tablet. Pengobatan pada fase intensif dilakukan selama 2 bulan dengan pemberian obat setiap hari dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan pemberian obat sebanyak 3 kali seminggu (Depkes RI, 2005). Pengobatan dengan DOTS dilakukan dalam waktu 6 bulan. Waktu yang relatif lama, dan faktor-faktor lain seperti kesalahan dari pelayanan kesehatan dalam pemberian resep dan penyaluran obat, gagal dalam mengedukasi dan menekankan pentingnya menjalani pengobatan hingga lengkap dan adanya efek samping pengobatan TB seperti sakit kepala, mual-mual, muntah, serta sakit sendi
4
tulang ini menyebabkan penderita TB beresiko untuk mengalami ketidakteraturan pengobatan(Madkour, 2004).Untuk mengatasi hal tersebut, pasien TB yang menjalani pengobatan memerlukan adanya PMO. Dalam Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis disebutkan bahwa PMO idealnya adalah keluarga dari pasien itu sendiri (KemenKes, 2011) Perawat adalah kelompok terbesar dari tenaga kesehatan di setiap bagian dan oleh karena itu perawat sering melakukan sebagian besar pekerjaan dalam penanggulangan TB (ICN, 2008). Berdasarkan kode etik International Council of Nurses (ICN) perawat memiliki empat tanggungjawab dasar yaitu promosi kesehatan, pencegahan penyakit, mengembalikan kesehatan dan meringankan penderitaan. Berhubungan dengan pengendalian TB, perawat melakukan promosi kesehatan dengan cara mencegah masyarakat yang rentan terkena suatu penyakit di suatu tempat, perawat melakukan pencegahan dengan mengurangi penularan TB melalui penemuan kasus baru, memperbaiki kesehatan dengan memastikan pasien menerima perawatan dan pengobatan sesuai kebutuhannya dan mengurangi penderitaan dengan memberikan support untuk pasien berdasarkan kebutuhannya (ICN, 2008) Upaya pengawasan dan pemberian informasi kesehatan mengenai penyakit TB kepada pasien yang sedang menjalani pengobatan penting dilakukan agar pasien berobat secara teratur untuk mencegah dampak negatif seperti drop out ataupun resistensi OAT. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penggunaan OAT yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi karena penderita yang menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya.
5
Dapat pula terjadi karena mutu obat yang dibawah standar. Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak lagi dapat membunuh kuman. Dampaknya, disamping kemungkinan terjadinya penularan kepada orang disekitar penderita, juga memerlukan biaya yang lebih mahal dalam pengobatan tahap berikutnya (Depkes RI, 2005). Program pengawasan dan pemberian informasi pengobatan pasien tuberkulosis kini mulai berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan telekomunikasi. Penelitian Short Message Service (SMS) Reminders To Improve The Tuberculosis Cure In Developing Countriesoleh Georges Bediang (2014) yang dilakukan di Cameroon, menunjukkan adanya peningkatan signifikandalamtingkat
pemulihanpasien
dandapat
yang
menyebabkan
penghematanbagi otoritaskesehatan (Bediang et al, 2014). Di Indonesia sendiri, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pengguna telepon genggam per Agustus
2013 sejumlah 240.000.000 jiwa
(Kemenkominfo, 2013). Menurut Taylor Nelson Sofrens (TNS), sebuah perusahaan spesialis riset pasar, menyebutkan bahwa SMS adalah fitur handphone yang paling sering digunakan disusul dengan internet dan musik. SMS memiliki peluang yang besar menjadi media promosi kesehatan yang tepat bagi masyarakat Indonesia(TNS, 2011). Keefektifan dan keberhasilan pesan promosi kesehatan terkadang tidak dapat dicapai karena adanya beberapa hal yang mempengaruhi. Menurut model komunikasi SMCR (Model Berlo) terdapat empat komponen komunikasi, yaitu source (sumber dari proses komunikasi), message (pesan yang dikandung dalam
6
komunikasi), channel (media yang digunakan) dan receiver (penerima) (Berlo, 1960). Pesan kesehatan dapat diterapkan sebagai pesan persuasif yang dirancang untuk mengubah perilaku kesehatan. Pesan ditulis dan diusahakan untuk mengubah tidak hanya perilaku kesehatan pasien tetapi juga perilaku pada layanan kesehatan seperti peningkatan pengingat pencegahan penyakit atau melaporkan penyakit pada badan kesehatan. Pesan kesehatan seharusnya dikembangkan oleh ahli yang mengetahui tentang kesehatan dan tipe pesan dibuat berdasarkan model dan teori perubahan perilaku. Komponen yang digunakan dalam pembuatan pesan dideskripsikan sesuai dengan karakteristik responden yang dapat mempengaruhi pertahanan seseorang dalam mengubah perilakunya. Hal ini menjadi tantangan dalam penyusunan pesan karena harus didahului dengan pengkajian karakteristik impermanen responden seperti sikap, motivasi dan self-efficacy penerima pesan (Cawsey, 1997). Menurut Wilson (2007) pengkajian karakteristik responden dapat dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan pesan dalam merubah perilaku diantaranya, faktor penerima (audience factors), proses penerimaan informasi individu, sumber, dan faktor komponen pesan yang terdiri dari penggambaran kesimpulan, 1-sided atau 2-sided, fear appeals dan penyediaan statistik dan contoh. Pentingnya pengobatan tuberkulosis untuk selalu diingatkan melalui promosi kesehatan, dan juga mempertimbangkan banyaknya faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan pesan promosi kesehatan yang efektif,
7
inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai penyusunan pesan promosi kesehatan untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita tuberkulosis di fasilitas kesehatan Kabupaten Sleman berdasarkan analisa sasaran atau disesuaikan dengan karakteristik masyarakat penderita tuberkulosis di Kabupaten Sleman Yogyakarta. B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah pesan promosi kesehatan yang sesuai untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita tuberkulosis di fasilitas kesehatan Kabupaten Sleman? C.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyusun pesan promosi kesehatan yang sesuai untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita tuberkulosis di fasilitas kesehatan Kabupaten Sleman Yogyakarta 2. Tujuan Khusus a. Mengeksplorasi pendapat kelompok sasaran yaitu penderita TB yang menjalani pengobatan tentang pesan promosi kesehatan yang sesuai untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TB. b. Mengeksplorasi pendapat kelompok sasaran yaitu petugas kesehatan yang menangani pengobatan TB tentang pesan promosi kesehatan yang sesuai untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TB.
8
c. Mengetahui materipesan promosi kesehatan
yang sesuai untuk
meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TB di Kabupaten Sleman Yogyakarta d. Menguji coba pesan promosi kesehatan yang telah disusun untuk mengetahui tanggapan penderita TB tentang rancangan penyusunan pesan untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TBdi Kabupaten Sleman Yogyakarta
1.
D.
Manfaat Penelitian
pesan
promosi
Manfaat Praktis a. Bagi informan i.
Memberikan
kesehatan
yang
sesuai
dengan
karakteristik informan ii.
Memudahkan penderita TBC dalam memahami pesan promosi kesehatan
iii.
Membantu meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TBC
b. Bagi tenaga kesehatan setempat i.
Memberikan informasi mengenai pesan promosi kesehatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat
ii.
Membantu
meningkatkan
upaya
tenaga
kesehatan
dalam
meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TBC c. Bagi pemerintah dan pemegang kebijakan i.
Menjadi bahan masukan kepada pemerintah mengenai pesan promosi kesehatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat. Pemegang
9
kebijakan setempat diharapkan memprioritaskan, mendukung dan memfasilitasi berjalannya program-program pesan promosi kesehatan untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TBC. ii.
Membantu program peningkatan keteraturan pengobatan penderita TBC dengan adanya pesan promosi kesehatan yang telah disesuaikan dengan karakteristik masyarakat.
d. Bagi peneliti Menambah pengalaman dan wawasan peneliti mengenai pesan promosi kesehatan untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TBC. Melalui penelitian ini, peneliti berkesempatan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keefektivan pesan promosi kesehatan untuk meningkatkan keteraturan pengobatan penderita TBC sehingga peneliti bisa membandingkan antara konsep teoritis dengan kondisi praktis di lapangan. 2. Manfaat Teoritis Mengembangkan
ilmu
pengetahuan
khususnya
di
bidang
ilmu
keperawatan komunitas berkaitan tentang pesan promosi kesehatan yang efektif bagi penderita TB dan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pesan promosi kesehatan.
10
E.
Keaslian Penelitian
No
Peneliti
Judul Penelitian
Persamaan
1.
Ariyani, D. 2009
Buku Cerita Bergambar Sebagai Media Promosi Kesehatan Untuk Prevensi Dini Kekerasan Seksusal Pada Siswa SD Di Kota Yogyakarta
Metode penelitian adalah metode kualitatif Teknik sampling adalahpurposive sampling. Teknik pengumpulan data adalah FGD dan wawancara mendalam.
2.
Rahmawati,Rizka S. 2012
Booklet Sebagai Media Promosi Kesehatan Reproduksi Remaja Usia 1012 Tahun Di Sekolah Dasar Kabupaten Jombang
Metode penelitian adalah metode kualitatif Teknik sampling adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data adalah FGD dan wawancara mendalam.
3.
Hingle, M. 2013
Texting for Health: The Use of Participatory Methods to Develop Healthy Lifestyle Message for Teens
Metode penelitian adalah metode kualitatif . Teknik pengumpulan data adalah FGD. Variabel tunggal penelitian adalah penyusunan dan uji coba pesan kesehatan
Perbedaan Variabel tunggal penelitian adalah media promosi kesehatan yaitu buku cerita bergambar Sampel penelitian adalah anak-anak tujuannya adalah prevensi dini kekerasan seksual pada anak Variabel tunggal penelitian adalah media promosi kesehatan yaitu booklet Sampel penelitian adalah remaja usia 10-12 tahun tujuannya adalah promosi kesehatan reproduksi remaja Sampel penelitian adalah remaja usia 12-18 tahun Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku remaja tentang nutrisi dan aktivitas fisik