BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masyarakat Maluku sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang sangat heterogen. Heterogenitas sosial di masa sebelum kolonial ditandai oleh perbedaan suku dan kultur etnis yang sangat beraneka ragam (Trijono, 2001). Perbedaan ini diikat oleh nilai-nilai budaya yang melambangkan persekutuan, kekeluargaan dan saling menghargai dalam bentuk pela, gandong, duan lolat, kalwedo, basudara salam dan basudara sarane sebagai panggilan sehari-hari dan lain-lain sebagai lambang perdamaian yang telah lama dipraktekkan dan telah menjadi bagian dari jiwa dan semangat anak negeri Maluku. Sebagai nilai budaya yang telah membentuk cara pandang dan perilaku, tentu nilai ini telah menjadi kekuatan atau daya dorong bagi anak negeri Maluku untuk selalu menciptakan suasana damai dalam hidupnya. Dengan adanya nilai budaya yang demikian maka kehidupan anak negeri Maluku selalu diliputi oleh suasana persaudaraan yang sangat kuat walaupun terdapat berbagai perbedaan yang dimiliki berupa perbedaan agama, perbedaan asal negeri, perbedaan asal pulau dan sebagainya (Waileruny, 2011). Namun kenyataannya ikatan nilai dan budaya tersebut tidak dapat mencegah terjadinya konflik Maluku tahun 1999. Konflik yang terjadi tanggal 19 Januari 1999 itu melibatkan dua komunitas beragama yakni Islam dan Kristen. Konflik awalnya dipicu oleh pertikaian antara JL dengan NSB yang adalah warga Mardika dan Batu Merah. Selanjutnya sejak tanggal 20 Januari 1999 konflik mulai meluas ke berbagai tempat seperti kota
1
2
Ambon, Benteng Karang, Nania, Hila, Wailete, Kamiri, dan Hative Besar. Akhirnya konflik pun muncul dalam skala yang lebih besar dan dikenal dengan “konflik bernuansa agama.” Konflik yang terus berlangsung hingga beberapa tahun telah mengakibatkan penderitaan dan kematian. Korban yang diperkirakan meninggal akibat konflik tersebut mencapai sekitar 3 ribu orang lebih sementara jumlah pengungsi dari seluruh provinsi Maluku diperkirakan mencapai sekitar 440 ribu orang (Trijono, 2001). Di luar pulau Ambon, konflik mulai meluas pada bulan Februari 1999, antara lain di pulau Seram, Haruku, Saparua. Di pulau Seram, konflik terjadi antara warga desa Rumberu, Rambatu, Witasi dan Kairatu pada tanggal 3-5 Februari 1999. Di Saparua, konflik terjadi antara lain di Kulur, Sirisori Islam, Iha, Pia, Haria, Sirisori Kristen, Ouw, dan Ulath pada tanggal 3 Februari 1999. Konflik juga terjadi di Kariu, Pelau, Kailolo, Rohomony, Haruku-Samed, dan Oma, di pulau Haruku (Trijono, 2001). Di samping itu, konflik yang berlangsung selama 5 tahun ini (1999-2004) telah mengakibatkan perekonomian dan kegiatan pendidikan terganggu serta terjadi disintegrasi wilayah dimana wilayah Ambon terbagi masing-masing menjadi wilayah Islam, wilayah Kristen dan wilayah netral (Ratnawati, 2006). Wim Manuhuttu (dalam Ratnawati, 2006) menggambarkan tiga ciri tahapan kerusuhan di Ambon/Maluku dan polanya sebagai berikut: 1. Tahun 1999 dan pertengahan pertama tahun 2000 bermacam-macam gelombang kekerasan merembet di seluruh Maluku diselingi dengan suasana
3
tenang; peningkatan organisasi kekerasan diikuti oleh ketidakmampuan pemerintah untuk mengakhiri munculnya kembali kekerasan. 2. Dimulai
pada
pertengahan
kedua
tahun
2000
hingga
akhir
2001
membanjirnya milisi memulai gelombang baru kekerasan yang lebih besar, penambahan aparat keamanan dan pemberlakuan status darurat sipil. 3. Setelah Februari 2003, insiden-insiden dengan kekerasan masih terjadi, khususnya di sekitar peringatan proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) tanggal 25 April, tetapi skala kekerasan berkurang.
Jelaslah bahwa konflik yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun ini berdampak secara fisik, material maupun psikologis. Secara fisik dan material tampak nyata dengan rusaknya berbagai fasilitas Negara, masyarakat harus tinggal di camp pengungsian karena kelihangan rumah dan harta benda. Tidak tanggungtanggung banyak nyawa baik dewasa maupun anak-anak yang hilang akibat konflik tersebut. Itulah sejarah kelam yang pernah dialami oleh provinsi Maluku. Selain menjadi sejarah kelam, konflik yang terjadi dari tahun 1999-2004 sepertinya mengindikasikan bahwa provinsi Maluku seolah-olah begitu identik dengan kekerasan. Indikasi ini justru memprihatinkan sebab anak-anak harus hidup dalam tekanan dan ketakukan. Bagaimana tidak, situasi saat konflik sulit ditebak. Kapan saja dan dimana saja saling tembak, saling lempar dan saling bunuh dapat terjadi. Trijono (2001) menulis bahwa pada saat ia melakukan penelitian di Ambon, ia melihat secara langsung betapa dasyatnya konflik tersebut. Di sepanjang jalanjalan di Ambon dipenuhi oleh orang-orang yang siap berperang, membawa senjata
4
tajam. Tak ketinggalan, di kampung-kampung semua orang keluar rumah bersiapsiap berperang begitu mendengar suara rentetan tembakan dan hiruk-pikuk suara massa yang tengah berbaris di tengah jalan. Usaha dan upaya segala pihak untuk meredakan konflik yang terjadi antara dua komunitas beragama dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui perjanjian Malino II pada tanggal 12 Februari 2002 yang dimediasi oleh pemerintah pusat. Dampak dari usaha dan upaya damai yang dilakukan ini pun akhirnya berjalan dengan baik dan terasa hingga sekarang. Hubungan yang harmonis antara dua komunitas beragama yang bertikai kini telah terjalin kembali dan proses pembangunan yang terus berlangsung seperti menjadi tanda positif bahwa Maluku telah menuju kepada arah perbaikan yang lebih baik. Gambaran situasi konflik tersebut dialami oleh anak-anak yang harusnya tumbuh dan berkembang dengan rasa aman dan nyaman yang memberikan ruang untuk mengeksplorasi dunianya dengan cara bermain. Jahja (2011) menyatakan bahwa permainan memiliki fungsi kognitif dan emosi. Secara kognitif, permainan memberikan
kesempatan
kepada
anak-anak
menjelajahi
lingkungannya,
mempelajari objek-objek di sekitarnya, dan belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Melalui permainan, anak-anak mengembangkan kompetensi dan keterampilan yang diperlukannya. Secara emosi, permainan memungkinkan anak untuk memecahkan, sebagian dari masalah emosionalnya, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin. Permainan memungkinkan anak melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan yang terpendam. Karena tekanan batin terlepaskan dalam permainan, anak dapat mengatasi
5
masalah-masalah kehidupan. Menyangkut masalah emosional, Hurlock (1980) mengemukakan bahaya awal masa kanak-kanak yang besar kelihatan pada dominasi emosi yang kurang baik, terutama amarah. Kalau anak mengalami terlalu banyak emosi yang kurang baik dan sedikit mengalami emosi-emosi yang menyenangkan maka hal ini akan mengganggu pandangan hidup dan mendorong perkembangan watak yang kurang baik. Salah satu bentuk perkembangan watak yang kurang baik adalah anak memahami bahwa kekerasan dapat menjadi satu-satunya alternatif pemecahan masalah. Dengan demikian ada sebuah dilema bagi peneliti untuk melihat dampak berkepanjangan yang ditimbulkan oleh konflik yang pernah terjadi di provinsi Maluku. Walaupun kenyataannya situasi di Maluku sekarang jauh lebih kondusif namun ada kemungkinan luka-luka emosional yang pernah terjadi di masa lalu suatu ketika dapat muncul ke permukaan dan bermanifestasi lewat perilaku. Hal ini bisa terjadi karena selama konflik, ada anak-anak telah terbiasa mendengar bahkan melihat segala bentuk kekerasan mulai dari pemukulan, penembakan, sampai pada pembunuhan. Rentetan peristiwa demi peristiwa konflik yang terjadi sepertinya telah menjadi sebuah pemandangan yang familiar di kalangan masyarakat bahkan tidak menutup kemungkinan apabila peristiwa ini terus saja terjadi maka anak-anak yang tumbuh dan berkembang di kota Ambon akan sangat identik dengan kekerasan. Anak akan memahami bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Apabila perilaku ini terinternalisasi maka akan membentuk
6
karakter anak, sehingga perlahan-lahan perilaku tersebut akan tampak suatu saat ketika anak berhadapan dengan situasi yang sama. Asumsi tersebut di atas diperkuat dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Bandura, Ross dan Ross (1961), dimana anak dipertontonkan beberapa perilaku oleh model, hasilnya menunjukkan bahwa perilaku tertentu seperti kekerasan, bisa dipelajari melalui proses observasi dan imitasi tanpa penguatan yang disediakan baik model atau pengamat. Bandura et al. (1961) menyimpulkan bahwa pengamatan anak-anak terhadap orang dewasa yang terlibat dalam perilaku tersebut mengirimkan pesan kepada anak-anak bahwa kekerasan diperbolehkan, sehingga melemahkan hambatan anak melawan agresi. Bandura (1986), melalui teori belajar sosialnya, mengatakan bahwa sebagian besar perilaku manusia dipelajari melalui observasi lewat pemodelan. Dengan mengamati orang lain, salah satu bentuk aturan perilaku dikodekan menjadi informasi yang pada suatu ketika dapat berfungsi sebagai panduan untuk bertindak. Karena orang-orang dapat belajar tentang apa yang harus dilakukan melalui pemodelan sebelum mereka melakukan perilaku apapun, mereka dapat terhindar dari kerugian dan kesalahan. Kapasitas untuk belajar melalui pengamatan memungkinkan
orang
untuk
memperluas
pengetahuan
dan
keterampilan
berdasarkan informasi yang ditunjukkan dan disampaikan oleh orang lain. Kebanyakan pembelajaran sosial dibantu dengan mengamati kinerja sebenarnya dari orang lain dan konsekuensinya bagi mereka. Bandura telah meletakkan sebuah landasan berpikir tentang pentingnya peran
model
dalam
proses
perkembangan
anak
sebab
dalam
proses
7
perkembangannya, anak cenderung mengembangkan perilaku mencontoh apa yang dilakukan oleh model. Jadi, peneliti berasumsi bahwa tidak mengherankan apabila anak yang pernah melihat berbagai macam perilaku selama peristiwa konflik akan terbawa sampai saat ia beranjak dewasa dan akan muncul suatu ketika dalam bentuk tindakan kekerasan. Faturochman (2009) memberikan sebuah gambaran bahwa remaja dan anak-anak di daerah pertempuran seperti Lebanon, misalnya, sering melihat dengan mata kepala sendiri berbagai usaha untuk saling membunuh. Hanya dengan melihat kejadian yang menstimulasi agresi, orang bisa menjadi agresif. Olweus (1979) dan Krahe (2001), menyimpulkan bahwa anak-anak kemungkinan menumbuhkembangkan kecenderungan agresifnya sejalan dengan pertambahan usia mereka, kecuali bila mereka kemudian menjadi target programprogram intervensi tertentu. Berdasarkan latar belakang di atas maka relevansi antara teori dan kenyataan inilah yang memunculkan keresahan peneliti untuk meneliti dampak berkepanjangan dari konflik terhadap perilaku agresif anak yang terekspos konflik dan tidak terekspos konflik. Agresivitas dalam penelitian ini dilihat sebagai bahaya laten yang sewaktu-waktu akan muncul dalam bentuk perilaku agresi.
B. Rumusan Permasalahan Konflik yang terjadi di Maluku tidak hanya berdampak secara fisik tetapi juga secara psikologis. Dampak psikologi tersebut akan berakibat panjang bagi mereka yang masih dalam pertumbuhan dan tinggal di daerah konflik yaitu mereka yang
8
terekspos dengan konflik Maluku yang terjadi selama kurang lebih 5 tahun. Dengan demikian
maka
penelitian
ini
dilakukan
dalam
rangka
menguji
dampak
berkepanjangan dari konflik yang pernah terjadi di Maluku terhadap perilaku agresif. Penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah subjek yang terekspos konflik memiliki tingkat agresivitas yang tinggi? 2. Apakah subjek yang terekspos konflik lebih agresif daripada yang tidak terekspos konflik? 3. Apakah subjek laki-laki baik yang terekspos konflik atau tidak, lebih agresif dibandingkan subjek perempuan yang terekspos konflik maupun tidak? 4. Apakah subjek laki-laki yang terekspos konflik lebih agresif dibandingkan dengan seubjek laki-laki yang tidak terekpsos konflik? 5. Apakah subjek perempuan yang terekspos konflik lebih agresif dibandingkan dengan subjek perempuan yang tidak terekpsos konflik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada dampak/efek jangka panjang ekpos konflik terhadap agresivitas. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Dalam tataran teoritis, penelitian ini dapat memperkaya wawasan teoritik dalam bidang psikologi dengan menyediakan data empirik berdasarkan kasus yang diteliti. Dalam tataran praktis, hasil penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi berupa informasi kepada masyarakat umum mengenai
9
dampak konflik secara psikologis yakni mengakibatkan agresi sebagai salah satu externalizing problem. Dengan demikian masyarakat sebagai lingkungan sosial dapat meminimalisir berkembangnya perilaku agresi.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang perilaku agresif telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Quota, Punamaki, Miller, dan El-Sarraj (2008) dengan judul “Does war beget child aggression? Military violence, gender, age and aggressive behavior in two Palestinian sample.” Penelitian ini menguji tiga hipotesis yaitu pertama, hubungan antara paparan kekerasan militer terhadap perilaku agresi anak. Kedua, apakah pola asuh menjadi moderator hubungan paparan kekerasan militer dan perilaku agresif. Hipotesis ketiga adalah apakah paparan kekerasan militer pada situasi yang berbeda (yang mengalami vs yang menyaksikan) memiliki asosiasi khusus dengan berbagai bentuk agresi (baik agresi reaktif maupun agresi proaktif). Hasil penelitian menunjukkan bahwa menyaksikan kekerasan militer berhubungan dengan perilaku agresi dan antisosial (berdasarkan hasil laporan orang tua), berhubungan juga dengan agresi proaktif, agresi reaktif, dan agresi kenikmatan (berdasarkan hasil laporan anak). Dalam hal ini baik korban maupun hanya menyaksikan kekerasan berkolerasi dengan perilaku agresif dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Model regresi mengungkapkan bahwa yang hanya menyaksikan pembunuhan dan
10
penghancuran diprediksi mengakibatkan agresi. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang baik dapat memoderasi hubungan antara paparan kekerasan militer dengan perilaku agresif. 2. Holmes (2013) melakukan penelitian dengan judul “Aggressive behavior of children exposed to intimate partner violence: An examination of maternal mental health, maternal warmth and child maltreatment.” Penelitian ini dilakukan terhadap 1.161 orang anak di Amerika Serikat. Hasilnya IPV (Intimate Partner Violence) secara signifikan berhubungan dengan kesehatan mental ibu yang buruk. Buruknya kesehatan mental ibu berkaitan dengan perilaku agresif terhadap anak, kehangatan ibu yang lebih rendah, dan lebih sering terjadi pelecehan fisik dan psikologis pada anak. Selanjutnya pelecehan secara psikologis dan kehangatan ibu yang rendah berhubungan langsung dengan perilaku agresif. 3. Penelitian dilakukan oleh Carnagey dan Anderson (2005) berjudul “The effect of reward and punishment in violent video games on aggressive affect, cognition, and behavior.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa subjek yang diberikan reward membunuh lebih banyak daripada subjek yang diberikan punishment. Subjek yang memainkan game yang diberikan reward lebih agresif daripada subjek yang diberikan game versi punishment dan subjek yang memainkan game yang tidak bergenre kekerasan. Dalam kaitannya dengan jenis kelamin, ditemukan bahwa laki-laki lebih tinggi perilaku agresifnya dibandingkan perempuan.
11
4. Wei (2007) melakukan penelitian terhadap 312 responden. Penelitian ini meneliti efek dari paparan kekerasan videogame online pada sikap remaja di Cina terhadap kekerasan, empati, dan perilaku agresif. Peneltiian yang berjudul “Effect of playing violent videogames on Chinese adolescents’ proviolence attitudes, attitudes toward others, and aggressive behavior” menunjukkan paparan kekerasan pada videogame online berdampak negatif yaitu bermain videogame kekerasan secara signifikan berhubungan dengan toleransi yang lebih besar terhadap kekerasan, sikap empati terhadap orang lain lebih rendah, dan mengakibatkan tingkat agresi yang lebih tinggi. 5. Uhlmann dan Swanson (2004) dengan judul “Exposure to violent video games increases automatic aggressiveness.” Peneltian yang dilakukan pada 121 mahasiswa psikologi (54 orang laki-laki, 65 perempuan, 2 abstain). Peserta diberikan kesempatan memainkan game kekerasan (Doom) dan bukan kekerasan (mahjong) kemudian diukur tingkat agresifnya. Hasilnya adalah peserta dalam kondisi memainkan game Doom secara otomatis mengasosiasikan diri dengan agresi dibandingkan dengan peserta yang memainkan game mahjong. Terdapat juga pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku agresi, dimana laki-laki memiliki skor yang lebih tinggi daripada perempuan. Dengan demikian tampak bahwa game kekerasan secara otomatis dapat meningkatkan perilaku agresif bagi para pemainnya. 6. Penelitian dilakukan oleh Hasan, Begue, dan Bushman (2013) berjudul “Violent video games stress people out and make them more aggressive.” Penelitian ini dilakukan terhadap 77 mahasiswa perancis, 83% diantaranya
12
adalah laki-laki. Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan/subjek yang memainkan game kekerasan lebih agresif dibandingkan dengan partisipan yang memainkan game bukan kekerasan. 7. Peneltiian dilakukan oleh Doh et al. (2012) dengan judul “Influence of marital conflict on young children’s aggressive behavior in South Korea: the mediating role of child maltreatment.” Subjek penelitian terdiri dari 349 ibu yang memiliki anak anak-anak usia sekitar 3 tahun. Temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa
konflik
perkawinan
secara
tidak
langsung
mempengaruhi perilaku agresif anak yaitu melalui penganiayaan ibu. Tingkat penganiayaan secara positif berhubungan dengan frekuensi dan tingkat keparahan konflik perkawinan di antara orang tua, yang juga secara signifikan berkaitan dengan perilaku agresif anak. Anak yang dianiaya memiliki kecenderungan lebih besar untuk menampilkan perilaku agresif dibandingkan dengan anak yang tidak dianiaya. Dalam hal ini, anak-anak yang dianiaya memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan interpersonal dan interaksi di luar rumah yang positif. 8. Penelitian dengan judul “The effect of video game competition and violence on aggressive behavior: Which characteristic has the greatest influence?” yang oleh Adachi dan Willoughby (2011) menemukan bahwa permainan yang kompetitif memiliki pengaruh jangka pendek yang cukup besar terhadap munculnya perilaku agresi.
13
Berdasarkan beberapa kajian penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa paparan kekerasan fisik baik secara langsung melalui peperangan (kekerasan militer), menyaksikan kekerasan pasangan yang terjadi di dalam keluarga (Intimate partner violence) ataupun memainkan video game bergenre kekerasan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif anak dimana anak laki-laki ditemukan memiliki tingkat agresif yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Walaupun penelitian yang berkaitan dengan agresi telah banyak dilakukan namun jelas perbedaan lokasi penelitian dan subjek penelitian tentu merupakan faktor pembeda terhadap keaslian suatu penelitian. Oleh karena itu maka penelitian tentang agresivitas sebagai dampak jangka panjang ekspos terhadap konflik yang terjadi di Maluku belum pernah dilakukan sebelumnya.