BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat adalah sediaan farmasi yang merupakan hasil pencampuran satu atau lebih zat aktif dalam jumlah yang tepat dan berada di dalam satu bentuk sediaan baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut Priyanto (2010) definisi obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan biologi serta mempengaruhi aktivitas fisik dan psikis yang meliputi pula bahan dan sediaan obat yang dalam kemasan, diberi label dan penandaan yang memuat pernyataan. Di pasaran dikenal istilah obat resmi dan tidak resmi, yang didefinisikan sebagai obat resmi adalah obat atau bahan baku yang dimuat dalam Farmakope yaitu buku yang memuat pembakuan bahan kimia dan disahkan berdasarkan undang-undang. Obat yang tidak dimuat dalam Farmakope adalah obat tidak resmi, tetapi boleh dipasarkan dengan izin dari Departemen Kesehatan. Di dunia kedokteran hewan (veteriner) juga telah mempunyai Farmakope obat hewan, yang mengatur tentang sediaan biologik dan premiks. Obat-obat yang digunakan dalam kedokteran hewan atau disebut obat veteriner tercantum dalam Indeks Obat Hewan Indonesia oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) dan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Obat hewan adalah obat yang khusus dipakai oleh hewan dan digolongkan ke dalam sediaan biologik, farmasetik dan premiks (Pemerintah RI, 1992). Dalam dunia kedokteran hewan khususnya di Indonesia, obat-obat yang 1
boleh digunakan harus tertera dalam Farmakope Obat Hewan Indonesia atau yang biasanya disingkat FOHI. FOHI mengatur segala hal yang berkaitan dengan sediaan biologik, farmasetik dan premiks yang digunakan di Indonesia (Deptan RI, 2009b). Formularium adalah himpunan obat yang diterima oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) untuk digunakan di rumah sakit dan di revisi pada jangka waktu tertentu. Formularium terdiri dari Daftar Obat Esential Nasional (DOEN) dan Daftar Obat Tambahan (DOT), daftar ini dimasukkan kedalam formularium atas usulan masing-masing staf medik fungsional dan melalui komite medik. Tiap-tiap rumah sakit harus menyusun formularium sesuai dengan kepentingan rumah sakit dengan melibatkan orang-orang yang berkompeten di bidang klinik, farmakologi, farmasi dan unsur tenaga kesehatan pendukung (Depkes RI, 2004a). Formularium RS adalah daftar obat yang disusun dengan nama generik dan sesuai dengan daftar obat esential, termasuk obat-obat lain yang belum ada sediaan generiknya, namun sangat dibutuhkan oleh rumah sakit dan telah disetujui penggunaannya oleh rumah sakit. Formularium biasanya disusun berdasarkan DOEN (Depkes RI, 2004a). Rumah Sakit merupakan salah satu sarana penunjang kesehatan, yang berperan dalam menyediakan dan menyalurkan sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dll. Rumah Sakit berfungsi dalam penyelenggaraan pelayanan medik, pelayanan penunjang, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian administrasi umum dan keuangan (Depkes RI, 2004a). Rumah sakit hewan adalah 2
sarana yang dibangun untuk menunjang kesehatan hewan. Rumah Sakit Hewan (RSH) Prof. Soeparwi didirikan selain sebagai Rumah Sakit pendidikan juga berfungsi memberikan pelayanan umum kepada masyarakat pemilik hewan, baik hewan
ternak,
hewan
eksotik
maupun
hewan
kesayangan.
Rumah Sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Obat dan alat kesehatan merupakan salah satu komponen terbesar dalam pengeluaran belanja rutin Rumah Sakit. Pada rumah sakit pemerintah tersedia subsidi bagi rumah sakit tersebut, berbeda keadaannya dengan Rumah Sakit Hewan yang tidak mendapatkan subsidi dari pihak manapun. Menurut Quick, dkk (1997) anggaran belanja obat di rumah sakit mencapai 40 % dari seluruh anggaran rumah sakit, sehingga manajemen obat merupakan salah satu aspek penting sebuah rumah sakit. Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat saat dibutuhkan baik jenis, jumlah maupun kualitasnya (Siregar dan Amalia, 2003).
Melihat vitalnya
pengelolaan obat dalam rangka mencapai efisiensi pengelolaan, maka evaluasi terhadap manajemen obat dalam setiap tahapannya merupakan sebuah keharusan dalam menjalankan sebuah rumah sakit (Balai POM, 2001). Studi tentang manajemen rumah sakit sudah sangat sering kita dengar, sedangkan studi yang mengulas tentang rumah sakit hewan belum mempunyai referensi yang bisa dijadikan pathokan. Referensi yang selama ini hanya mengacu dari perundangan-undangan yang mengatur tentang kedokteran hewan atau sering disebut dunia veteriner. Dari observasi awal terlihat bahwa ada beberapa perbedaan pada manajemen, baik struktur, fungsi maupun standar yang diterapkan 3
di rumah sakit umum dan rumah sakit hewan. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan jenis subjek pasien yang ditangani dengan ke-khasan dari jenis rumah sakitnya, misalnya pada rumah sakit hewan jumlah kandang identik dengan jumlah kamar pada rumah sakit umum, contoh lainnya lagi adalah pada rumah sakit umum mempunyai dokter bedah yang berbeda dengan dokter umum dan dokter ahli anestesi, di dunia kedokteran hewan terutama di Indonesia, hal ini belum dilakukan, dokter hewan yang berpraktik di rumah sakit hewan bisa juga bertugas menjadi dokter penyakit dalam, dokter bedah, dokter anesthesi bahkan juga dokter gigi. Dunia veteriner secara umum berdiri di atas dua kaki yang sama penting, yaitu peternakan dan medis. Hal ini disebabkan karena dunia veteriner selain mengurusi tentang hewan secara umum, baik dari manajemen pemeliharaan, perawatan hewan, tata laksana reproduksi, juga mengurusi tentang masalah kesehatan hewan, baik tentang penyakit, vaksinasi, penggunaan obat, dan tindakan pembedahan. Dari bidang yang digeluti, dapat dilihat adanya kekhususan karakteristik sebuah rumah sakit hewan. Peraturan pendirian rumah sakit hewan di Indonesia menurut aturan Departemen Pertanian belum menyebutkan adanya peran apoteker di instalasi farmasi/apotek-nya, sehingga menarik untuk dikaji pola manajemen seperti apa yang diterapkan di dalam sebuah rumah sakit hewan. Peran apoteker yang sangat vital dalam siklus manajemen obat di rumah sakit umum, tidak di dukung oleh adanya regulasi yang mengatur keberadaan tenaga kesehatan tersebut pada sebuah rumah sakit hewan. 4
Apoteker yang berperanan penting, baik sebagai individu maupun sebagai anggota tim Panitia Farmasi dan Terapi belum dimiliki oleh RSH Prof. Soeparwi, sehingga proses manajemen obat di instalasi farmasi/apotek dimungkinkan memiliki proses yang berbeda, seperti contohnya dalam proses seleksi obat, peran farmasis dalam memilih obat yang akan digunakan, baik jumlah, jenis maupun bentuk sediaan obatnya (Dumoulin, 1998), peran ini diambil alih oleh para dokter hewan, sehingga ada kemungkinan tidak sesuainya obat yang di seleksi dengan kebutuhan untuk rumah sakit hewan tersebut, di karenakan keinginan dari masingmasing dokter hewan yang bertugas untuk membeli obat yang diinginkannya. Hal ini bisa mengakibatkan tidak sesuainya jenis dan jumlah obat yang diinginkan dengan pola penyakit yang terjadi sehingga bisa memicu pembengkakan biaya, baik biaya pengadaan, biaya penyimpanan maupun penumpukan obat yang memungkinkan adanya kerusakan dan kadaluarsa obat. Pola pengadaan obat di RSH Prof. Soeparwi
yang belum memiliki
apoteker pada tahun 2009-2012 menggunakan metode pengadaan langsung, sehingga
kemungkinan besar harga yang di dapatkan bukanlah harga yang
minimal metode ini mempunyai keuntungan, yaitu waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat karena tidak menggunakan tender terlebih dahulu. Obat yang digunakan di dunia veteriner Indonesia selain menggunakan obat khusus untuk hewan, para dokter hewan juga masih menggunakan obat yang di produksi untuk manusia. Hal ini disebabkan masih terbatasnya obat hewan yang beredar di Indonesia, baik yang di produksi perusahaan dalam negeri maupun obat yang di import dari luar negeri. Pengadaan obat khusus untuk hewan tentunya akan 5
berbeda dengan pola pengadaan obat yang digunakan oleh manusia, baik dari sisi regulasi maupun dari sisi pengadaan itu sendiri. Penjualan obat hewan biasanya dilakukan oleh tenaga dokter hewan maupun tenaga kesehatan hewan dan peternakan sebagai wakil dari perusahaan secara langsung, sehingga kemungkinan pada proses pengadaan untuk obat khusus hewan, menggunakan metode pengadaan langsung, sedangkan untuk obat yang digunakan secara umum oleh manusia perlu di cermati lebih lanjut. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut sebelumnya, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Seperti apakah manajemen obat yang meliputi tahap selection ( seleksi ), procurement ( perencanaan dan pengadaan), distribution ( penyimpanan dan pendistribusian) dan use (penggunaan) di RSH Prof. Soeparwi? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai evaluasi manajemen obat belum pernah di lakukan di Rumah Sakit Hewan Prof. Soeparwi UGM, penelitian dengan pola yang sejenis telah banyak di lakukan pada Rumah Sakit Umum (manusia), misalnya : 1. “Analisis Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas” yang diteliti oleh Murwanti (2011). 2. .”Analisis Manajemen Obat di Instalasi Farmasi RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah” yang diteliti oleh Lilihata (2011). 6
3. “Evaluasi Manajemen Obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Tengah” yang dilakukan oleh Afriadi (2005). 4. “Analisis Pengelolaan Obat di Gudang Farmasi Kabupaten Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju tahun 2006, 2007 dan 2008” yang dilakukan oleh Tamzil (2009). 5. “Analisis Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Tidar Magelang.” yang dilakukan oleh Kusumaningrum (2010). Perbedaannya adalah pada tempat, waktu dan objek penelitian serta indikator yang digunakan. C. Tujuan Penelitian Memberikan gambaran tentang manajemen obat yang dilakukan oleh RSH Prof. Soeparwi pada tahun 2009-2012 yang meliputi tahap selection (seleksi), procurement (perencanaan dan pengadaan), distribution (penyimpanan dan pendistribusian) dan use (penggunaan). D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi RSH dan Fakultas Kedokteran Hewan pada umumnya
7
a. Sebagai acuan dalam pembentukan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Hewan/Instalasi
Farmasi
Veteriner
yang
sesuai
dengan
UU
Departemen Pertanian. b. Sebagai bahan kajian dalam pembahasan otoritas veteriner 2. Bagi RSH. Prof. Soeparwi a. Sebagai bahan acuan dalam perbaikan pengelolaan obat dan farmasi veterinernya. b. Sebagai bahan pembantu dalam merancang konsep sebuah rumah sakit hewan yang ideal 3. Bagi kalangan Farmasis a. Sebagai gambaran dalam mengetahui manajemen obat pada Rumah sakit Hewan b. Sebagai peluang untuk penelitian tentang obat-obat yang digunakan pada dunia veteriner c. Sebagai peluang untuk mengembangkan farmasi rumah sakit veteriner d. Sebagai peluang untuk pengetahuan keilmuan dunia farmasi veteriner
8